• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM dan Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 105-121)

permasalahan yang bersifat universal dan masyarakat internasional. Perubahan politik yang diawali dengan pergantian rezim di Indonesia telah membuka informasi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh otoritas atau Pemerintah atau pelanggaran hukum yang tidak direspon oleh negara sebagai kejahatan internasional atau yang dapat dikategorikan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM terjadi karena kekuasaan yang didominasi oleh otoritas kekuasaan. Dalam situasi tersebut pelanggaran HAM oleh Polisi atau pejabat pemerintahan lainnya sering terjadi dalam masyarakat, seperti perampasan hak milik pribadi dengan alasan digunakan untuk kepentingan umum, penculikan dan pembunuhan aktivis HAM dan lain-lain. Sejak turunnya Suharto dari kursi kepresidenan telah membuat penegakan hukum di Indonesia menjadi titik sentral dan selalu menjadi perhatian dalam bentuk penegakannya.

Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau ketentuan yang telah ada akan mudah dan cepat mendapat reaksi serta sorotan dari masyarakat, apalagi apabila penyimpangan tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah kritis dan mempunyai kepedulian dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungan dengan penegakan hukum.

Kepedulian masyarakat menjadi penting supaya pelanggaran HAM tidak mengambang, dan dibiarkan terulang kembali. Untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan dialog harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsepsi HAM

Secara mendasar HAM sebagai suatu konsep telah diakui secara internasional namun terkadang konsepsi tersebut menjadi bias dan dipersepsikan secara sepihak sehingga kita sering melihat bahwa setiap pihak yang berhadapan masing-masing mengklaim dirinya sedang menegakkan HAM-nya. Akan tetapi memang perlu diperhatikan bahwa konsepsi HAM mempunyai jangkauan yang luas dan komplek, tetapi kenyataannya hanya menyentuh para aparat pemerintahan saja khususnya para penegak hukum.

Batas antara kewenangan tugas alat negara atau penegak

HAM DAN POLRI

hukum yang merupakan representasi negara sebagai otoritas kekuasaan dan penyelenggara negara dengan pelanggar HAM sangat tipis. Untuk itu perlu pemahaman yang mendalam dari penegak hukum dan alat negara terhadap konsep HAM supaya benar-benar memahami perbedaannya.

Hukum HAM memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi dan kelompok pribadi dengan Pemerintah dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan pribadi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah dan juga oleh kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta serta mengusahakan dan menjamin iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia namun juga memperhatikan kepentingan negara sebagai representasi masyarakat dalam mengelola organisasi masyarakat (negara).

Secara ideal hukum HAM harus memperhatikan harmonisasi kehidupan masyarakat dalam negara, sehingga ada batas yang jelas antara penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Secara faktual penegakan hukum yang dilakukan oleh negara merupakan rangkaian penegakan HAM, namun apabila negara yang diwujudkan oleh otoritas kekuasaan atau Pemerintah tidak menjalankan fungsinya, maka secara faktual pula telah terjadi pelanggaran HAM.

Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia

Terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh beberapa indikator-indikator, antara lain:

a. Pendekatan pembangunan pada masa Orde Baru yang mengutamakan security approach dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh Pemerintah. Cara-cara refresif yang digunakan oleh pemegang kekuasaan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, antara lain: 1) Penangkapan dan penahanan seseorang demi

menjaga stabilitas, tanpa berdasarkan hukum.

2) Penerapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang dianggap ekstrim.

3) Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUPP.

4) Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

menyatakan pendapat, karena dikhawatirkan akan menjadi oposan pemerintah.

b. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan Orde Baru dengan pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat yang notabene pada figure seorang Presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat sehingga menimbulkan peluang pelanggaran HAM dalam bentuk pengekangan. Hal ini berakibat matinya kreativitas masyarakat dan terkekangnya hak politik warga selaku pemilik kedaulatan. Metode ini dilakukan dalam rangka melestarikan kekuasaan penguasa. c. Kualitas layanan publik yang masih rendah sebagai akibat

belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang, akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum berubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran HAM seperti:

1) Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitan dengan kesejahteraan lahir dan bathin yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraannya.

2) Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan dengan jaminan, perlindungan, pengakuan hukum, dan perlakuan yang adil dan layak.

3) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

4) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus bagi anak-anak, orang tua dan penderita cacat.

5) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

HAM DAN POLRI

d. Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat seperti:

1) Pembunuhan. 2) Penganiayaan. 3) Penculikan. 4) Pemerkosaan. 5) Pengusiran.

6) Hilangnya mata pencaharian. 7) Hilangnya rasa aman, dll.

e. Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun PBB telah mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang HAM belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk:

1) Kekerasan berbasis gender bersifat fisik, seksual atau psikologis; penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai jenis pelecehan.

2) Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. 3) Diskriminasi dalam sistem pengupahan. 4) Perdagangan wanita.

f. Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun piagam HAM telah memuat dengan jelas mengenai perlindungan hak asasi anak namun kenyataannya masih sering terjadi perlanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah:

1) Kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental.

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

2) Menelantarkan anak. 3) Perlakuan buruk. 4) Pelecehan seksual. 5) Penganiayaan.

6) Mempekerjakan anak di bawah umur.

g. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk:

1) Perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat.

2) Menjauhnya rasa keadilan.

3) Terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidak percayaan kepada perangkat hukum.

Upaya Pencegahan Pelanggaran HAM di Indonesia

1. Pendekatan security yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya refresif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran HAM, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidak adilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.

HAM DAN POLRI

3. Reformasi aparat Pemerintah dengan mengubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural, enviromental, dan kultural, mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah.

4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil dan menyeluruh.

5. Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama bagi semua HAM di bidang, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil.

Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan, lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah diratifikasi dalam UU No. 7 tahun 1984, mengaktifkan fungsi Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus dibuat peraturan perundang-undangan yang memadai yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis pelanggarannya. 6. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus

mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi di dalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana phisik dan psikologis yang Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

memungkinkan anak berkembang secara normal dengan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakkan secara professional tanpa padang bulu. 7. Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus

berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan layanan yang baik dan adil kepada masyarakat penari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum, menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

8. Perlu adanya kontrol dari masyarakat (social control) dan pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah.

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah telah meletakkan landasan hukum yang kuat dalam usaha penegakan HAM di Indonesia, berbagai kebijakan tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain:

a) Hak-hak tersangka/terdakwa telah dilindungi dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981).

b) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

c) UU No. 23 Tahun 2001 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

d) PP No. 24 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.

e) PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Berat.

Tugas Polri

Pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri memuat tugas pokok Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan

HAM DAN POLRI

pelaksanaan kepada masyarakat. Polri dituntut harus senantiasa tampil simpatik dan menyenangkan hati masyarakat. Dalam tugas penegakan hukum, Polri harus tegas, kuat dan perkasa walaupun dalam suatu keadaan, terpaksa menggunakan kekerasan.

Kepada Polisi diberikan peran tertentu yang tidak diberikan kepada orang lain. Kepadanya diberikan kekuatan dan hak yang tidak diberikan kepada orang biasa. Oleh karena keistimewaan tersebut, Polisi dihadapkan tuntutan-tuntutan yang tidak diminta dari warga negara biasa. Polisi harus berani menghadapi bahaya dan kekerasan, sedang rakyat dibenarkan menghindari bahaya tersebut. Sebagai manusia biasa, Polisi akan menghadapinya dengan perasaan takut, marah, kecurigaan, dibanding dengan orang lain pada pekerjaan yang berbeda. Polisi dituntut untuk memberikan respon terhadap emosi-emosi tersebut secara memadai, seperti menunjukkan keberanian, keuletan dan kehati-hatian.

Secara teoritik, Polisi sebagai hukum yang hidup berusaha untuk menerapkan peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hal ini sangatlah berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Jaksa, Hakim, pejabat lembaga pemasyarakatan dan Advokat. Polisi terjun langsung untuk mencari dan mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat dan nyawa di dalam kehidupan masyarakat.

Polisi biasanya menghadapi berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penilaian terhadap Polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu membuat pilihan tindakan yang benar untuk tujuan yang benar. Secara singkat, Polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagi bagian yang integral dari pekerjaannya. Pekerjaan Polisi yang boleh menggunakan kekerasan ditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitu kelangsungan hidup manusia. Dihadapkan kepada tuntutan yang demikian itu banyak pekerjaan Polisi yang secara moral menjadi problematik.

Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas mempunyai posisi yang sentral dalam melaksanakan tugas sebagai representasi kekuasaan dan dalam melaksanakan tugasnya tersebut telah diatur tentang penggunaan kekerasan baik secara nasional maupun internasional, dimana penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berpotensi menjadi Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

pelanggaran terhadap HAM.

Polri sebagai aparat penegak hukum, dalam melaksanakan tugasnya secara yuridis, kadang dalam situasi yang kritis atau genting dapat menggunakan kekerasan dalam menjalankan wewenangnya dan hal tersebut mungkin dapat dibenarkan oleh hukum, terutama saat Polisi harus menangkap atau menahan pelaku kejahatan. Penggunaan kekerasan oleh Polisi dalam melaksanakan tugasnya dalam penegakkan hukum dan kamtinas telah diatur dan diakui antara lain:

1. Dalam Pasal 3 Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979) dinyatakan bahwa petugas penegak hukum diperkenankan menggunakan kekerasan sepanjang penggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional dan bersifat fungsional atau dengan kata lain penggunaan kekerasan merupakan kekecualian yang bersifat tertentu dan penggunaannya yang bersifat:

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b. Untuk memudahkan serta membantu menangkap/ menahan tersangka berdasarkan prosedur yang melanggar undang-undang.

c. Landasan penggunaan kekerasan adalah asas proporsionalitas.

2. Dalam kongres PBB tentang Prevention of Crime and Treatment offender di Havana, Kuba (1990) telah diadopsi prinsip-prinsip dasar yang memuat ketentuan tentang syarat-syarat penggunaan senjata api, yaitu:

a. Petugas penegak hukum dapat menggunakan senjata api untuk membela diri, untuk menghadapi kondisi terbunuh atau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi.

b. Untuk mencegah atau persiapan khususnya terhadap kejahatan yang membahayakan kehidupan.

c. Untuk menangkap seseorang dalam kondisi yang berbahaya dalam melawan kejahatan.

d. Untuk mencegah seseorang melarikan diri dan kecuali dalam kondisi yang mendesak untuk mencapai tujuan. 3. Dalam hukum positif juga diatur penggunaan kekerasan oleh

Polri dalam melaksanakan tugas, antara lain:

HAM DAN POLRI

a. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

b. Dalam KUHP:

- Pasal 50 KUHP yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan.

- Pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan.

Menyikapi fenomena pelaksanaan tugas Kepolisian tersebut, maka Polri dalam merespon situasi harus melaksanakan tugas secara profesional. Dari segi yuridis kewenangan Polri menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya secara internasional telah diatur dan diakui namun harus tetap terkontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri atau Polri digunakan dan dikooptasi oleh kekuasaan (elit politik).

Nilai kejuangan, aktualisasi dan implementasi nilai-nilai kejuangan yang dijabarkan melalui doktrin Tribrata dan Catur Prasetya merupakan modal dasar bagi lembaga Polri. Dalam penjabaran nilai-nilai rersebut telah diciptakan suprastruktur yang menunjang dengan menciptakan lembaga Kode Etik Profesi, sehingga pelaksanaan tugas Anggota Polri terukur dengan kodeetik profesi.

Selain hal tersebut Mabes Polri juga telah menerbitkan Juklak dan Juknis tentang pembinaan nilai juang untuk dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap Anggota Polri yang diharapkan Anggota Polri tidak melakukan pelanggaran HAM, selain itu tuntutan masyarakat untuk menciptakan Polri yang mandiri secara struktural dan instrumental terlepas dari pengaruh politis menciptakan iklim yang kondusif bagi Polri dalam melaksanakan tugas sehingga dapat dihindari penyalahgunaan kelembagaan Polri sebagai alat kekuasan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM.

Penegakan Hukum oleh Polri

Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yang konkret. Peran Polri adalah untuk mengkonkretkan hal tersebut. Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

Penegakan hukum mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan keadilan.

Penegakan hukum yang dilakukan tanpa disertai penegakan terhadap HAM hanya akan mempertahankan otoritas kekuasaan terhadap kepentingan kekuasaan dan hukum secara luas. Penegakan hukum sangat rentan terhadap perkembangan politik suatu negara sehingga terkadang hukum dapat dikooptasi untuk kepentingan politik atau penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Polri sebagai salah satu komponen fungsi terdepan dalam penegakan hukum berhadapan langsung dengan berbagai macam kompleksitas kemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Namun dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya banyak menemui hambatan-hambatan, antara lain:

a. Dalam substansi hukumnya:

i. Tentang ketentuan perundang-undangan yang saling bertentangan;

ii. Pembaharuan hukum ternyata belum didahului dengan persamaan persepsi, sehingga ada penyelundupan ketentuan hukum yang tidak benar;

iii. Masih adanya ketentuan hukum positif peninggalan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman;

iv. Adanya peraturan perundang-undangan yang belum ada peraturan pelaksananya, sehingga menyulitkan penegakannya;

v. Tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkap yang dapat mengatur semua perilaku manusia; b. Dalam kondisi masyarakat yang dihadapi masih terdapat

adanya sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang tidak/kurang menguntungkan untuk terselenggaranya penegakan hukum yang baik, antara lain:

i. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap pembinaan kamtibnas pada umumnya, khususnya penegakan hukum.

HAM DAN POLRI

ii. Enggan berpartisipasi dalam melaksanakan tugas keamanan yang dilakukan oleh Polri.

iii. Kurang mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar atau diganggu.

iv. Kurang mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. v. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya

hukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosial atau politik.

Dalam rangka menciptakan profesionalisme di bidang penegakan hukum sebagai suatu core business, Kepolisian telah mengembangkan keorganisasian untuk menunjang hal tersebut. Peningkatan organisasi reserse secara struktural akan berdampak terciptanya anggota Polri yang lebih professional di bidang penegakan hukum.

Penegakan HAM oleh Polri

Penegakan hukum mempunyai perbedaan dengan penegakan HAM. Penegakan hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan keadilan, sedang penegakan HAM bertujuan mewujudkan nilai-nilai etika dan moral di dalam kehidupan manusia secara universal. Di dalam nilai etika dan moral tersebut secara implisit terkandung nilai penegakan hukum.

HAM sebagai suatu bentuk kejahatan yang melibatkan otoritas kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok. Kejahatan ini sulit dideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran HAM ini adalah bentuk kooptasi politik terhadap hukum. Dalam praktiknya, kejahatan ini terjadi secara terencana dan sistematis. Kejahatan atau pelanggaran ini didukung oleh sistem sosial lainnya sebagai bagian dari sistem politik negara. Pelanggaran akan terungkap manakala rezim suatu pemerintahan berakhir atau tumbang, dan sistem pendukung lainnya juga tidak berfungsi.

Institusi Pemerintah yang sering terlibat langsung dengan permasalahan HAM adalah Polri. Tujuan strategi Polri dalam menghadapi kejahatan atau pelanggaran HAM adalah untuk menciptakan anggota Polri yang professional. Anggota tersebut harus Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

dapat menguasai pelaksanaan tugas bidang penegakan hukum yang mencakup penyelidikan dan penyidikan, sesuai dengan HAM yang diakui secara internasional sebagai kejahatan internasional.

Sebagai penyidik dan penyelidik yang melaksanakan tugas penyidikan yang merupakan penyidik utama dalam KUHAP, Polri mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yang berhubungan dengan HAM. Dalam menghadapi pelanggaran HAM Polri sebagai aparat penegak hukum perlu melaksanakannya secara terencana serta didukung oleh kebijaksanaan strategi yang jelas.

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah diintrodusir suatu mekanisme peradilan. Penyidikan dan penuntutan merupakan suatu subsistem yang berdiri sendiri. Penyidikan sebagai gerbang proses dalam sistem peradilan pidana dilaksanakan oleh lembaga Polri dan dalam proses penyidikan secara umum dilakukan oleh Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu sesuai dengan lingkup kewenangannya.

Dalam KUHAP dinyatakan pula bahwa Polri merupakan penyidik utama dan sekaligus sebagai koordinator penyidikan lainnya, walaupun hal tersebut diingkari oleh beberapa UU lainnya seperti UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 9 tahun 1995 tentang Kepabeanan, UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, namun secara menyeluruh penyidikan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan penegakan HAM dilakukan oleh Polri.

Secara substansial dan formal kelembagaan Polri pada prinsipnya telah melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaian penegakan terhadap HAM. Namun dalam praktik masih ditemukan kendala-kendala yang bersifat eksternal dan internal. Guna menyikapi hal tersebut, selain upaya untuk meniadakan kendala eksternal, maka Polri secara kelembagaan perlu membenahi diri secara internal.

Tugas polisi sangat penting dalam menjaga supremasi HAM dalam kehidupan sosial sebagaimana terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2002, yaitu:

1. Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat,

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 105-121)