• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi? Ikrar Nusa Bhakti

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 41-51)

Abstraksi

Meski Indonesia sudah lepas dari periode otoritarianisme namun bukan berarti kekerasan oleh aparatus tak pernah terjadi. Beberapa kasus kekerasan pasca Orde Baru masih menempatkan aparat sebagai pelaku

utamanya. Tulisan ini hendak mempresentasikan deskripsi sejumlah faktor yang menjadi penyebab mengapa kekerasan oleh aparat masih

berlangsung hingga hari ini.

Reformasi Sektor Keamanan yang telah berlangsung di Indonesia sejak pertengahan 1998, telah banyak membawa perubahan pada institusi-institusi yang terkait dengan keamanan negara, khususnya terkait dengan pengaturan baru melalui pembentukan berbagai undang-undang baru dan juga peraturan di bawahnya. Reformasi yang berlangsung di Tentara Nasional Indonesia (TNI) misalnya, telah memungkinkan lahirnya UU yang terkait dengan TNI, seperti UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia. TNI secara lambat tapi pasti juga sudah mengubah jati dirinya dari yang dulu dikenal sebagai tentara politik (political army) dan tentara niaga (business army) menjadi tentara profesional (professional army).

Setali dengan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga telah memiliki UU baru. UU tersebut yaitu UU No.2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam praktiknya, Polri tercatat terus berupaya memperbaiki kinerjanya melalui capaian-capaian cepat yang ingin dicapai melalui program Quick Wins, seperti dalam menangani urusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pokok Kendaraan Bermotor (BPKB). Tak hanya dalam pelayanan kepada masyarakat, Polri juga memperoleh apresiasi tinggi dalam menangani terorisme di Indonesia.

Satu-satunya institusi bagian dari keamanan yang hingga kini masih belum memiliki UU sendiri ialah Intelijen Negara. Hingga kini rancangan UU mengenai Intelijen Negara hasil dari inisiatif DPR-RI, proses legislasinya masih berlangsung di DPR-RI. Kalangan masyarakat sipil juga masih terus memberi masukan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aparat intelijen negara. Di mata banyak kalangan masyarakat sipil, RUU Intelijen ini masih banyak kelemahannya. Keinginan pihak pemerintah untuk memberikan institusi intelijen negara hak untuk menyadap, menangkap dan menahan juga masih dikritik tajam oleh kalangan masyarakat sipil karena akan menimbulkan tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh intelijen terhadap masyarakat.

Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) yang memiliki otoritas sebagai lembaga koordinasi sekaligus menjalankan tugas intelijen di dalam dan luar negeri, juga dikritik akan menjadikan LKIN sebagai lembaga super yang memiliki wewenang luas seperti Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pada masa Orde Baru. Lepas dari sudah adanya berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur institusi-institusi keamanan negara tersebut, satu hal yang paling sulit dihilangkan dari tingkah laku aparat keamanan negara ialah budaya kekerasan. Ini tidak terbatas dilakukan oleh ketiga institusi tersebut, melainkan juga dilakukan, misalnya, oleh aparat pemerintah daerah yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Tulisan singkat ini berupaya menggambarkan dan mengurai beberapa kasus kekerasan oleh aparat dan mengapa hal itu masih terjadi.

Tulisan ini diawali dengan penggambaran mengenai Negara, Pemerintah, dan Kekuasaan Negara. Penggambaran ini penting agar kita dapat memahami hak dan tanggung jawab negara serta kekuasaan serta otoritas yang dimilikinya. Bagian berikut yang ingin digambarkan ialah berbagai tindak kekerasan oleh aparat yang masih terus terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Ini dilanjutkan dengan uraian mengapa tindak kekerasan oleh aparat negara masih terus berlangsung di bumi Indonesia.

Negara, Pemerintah, dan Kekuasaan Negara

Jika kita mendefinisikan secara sederhana, Negara adalah institusi politik yang memiliki kedaulatan tertinggi, yakni sebuah institusi

KEKERASAN APARAT

politik yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur 1

masalah-masalahnya sendiri. Pemerintah adalah sekelompok orang di dalam negara yang memiliki otoritas penuh untuk bertindak atas nama negara. Mereka adalah kelompok yang unik di dalam negara; mereka, dan hanya mereka, yang memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan yang semua orang di dalam negara memiliki

2 tugas untuk menerima dan mematuhinya.

Pemerintah yang bertindak atas nama negara, memiliki kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini didefinisikan sebagai “kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain untuk bertindak sesuai dengan yang pihak pertama inginkan, dengan berbagai cara.” Kekuasaan dapat dijalankan dengan berbagai cara: pertama, coercion atau paksaan, yaitu bila kita memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang orang atau kelompok itu tidak ingin melakukannya; kedua, persuasion atau bujukan, ketika kita meyakinkan seseorang/kelompok bahwa apa yang kita instruksikan itu sesuai dengan keinginan atau kepentingannya; ketiga, construction of incentives atau membangun insentif-insentif yaitu ketika kita membuat alternatif menjadi tidak atraktif dan hanya satu

3 opsi yang paling masuk akal yang tersisa dan menjadi pilihannya.

Kemampuan orang atau kelompok untuk menjalankan kekuasaannya didasari oleh basis kekuasaan yang dimilikinya seperti money, affection, physical strength, legal status (the power of a police officer to direct traffic, for instance), the possession of important information, a winning smile, strong allies, determination,

4 desperation, dsb.

Kekuasaan negara terbagi dalam tiga bidang: pertama, range of power atau jangkauan kekuasaan; kedua, domain of power atau domain kekuasaan negara, dan; ketiga, scope of power, atau lingkup kekuasaan negara. Jangkauan, lingkup dan domain kekuasaan negara ini akan memudar di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, atau terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang memiliki pengaruh kuat di dalam negara seperti pejabat atau kelompok yang digunakan oleh negara untuk bertindak atas nama kepentingan negara, apakah kelompok ini kelompok resmi yang ataupun tidak resmi.

Dalam situasi normal, yakni situasi di mana rakyat atau Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

1. W. Phillips Shively, Power and Choice. An Introduction to Political Science. New York: McGraw-Hill, Third Edition, 1993, hlm. 31.

2. Ibid., hlm. 29. 3. Ibid., hlm. 6. 4. Ibid., hlm 6.

masyarakat menerima legitimasi negara secara penuh, kekuasaan negara tidak memerlukan tindakan paksaan, bujukan atau pun konstruksi insentif-insentif, karena sudah ada persetujuan umum bahwa pemerintah berhak membuat aturan dan rakyat harus mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Namun, dalam situasi tertentu, negara perlu membujuk rakyat untuk melakukan sesuatu seperti “jika anda tidak ingin pergi ke dokter, makanlah sebuah apel setiap hari,” atau “jika ingin membangun keluarga yang sejahtera, dua anak cukup.”

Dalam keadaan lain, pemerintah atau aparatnya dapat melakukan tindak kekerasan jika masyarakat tidak mematuhi aturan yang dibuatnya. Namun, penggunaan kekerasan ini adalah cara terakhir jika cara bujukan atau konstruksi insentif-insentif tidak mampu membuat rakyat menerima atau mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Jika alasan-alasannya amat kuat, aparat pemerintah dapat melakukan tindakan yang dikategorikan “necessary evil”, yaitu tindak kekerasan yang memang diperlukan untuk diambil tindakan agar tercipta situasi damai atau stabil.

Kekerasan Aparat

Berbagai pertanyaan yang perlu diajukan sebelum aparat melakukan tindakan kekerasan ialah: pertama, apakah berbagai langkah persuasif, komunikatif, dan pemberian insentif sudah dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan kekerasan oleh aparat benar-benar perlu dilakukan?; kedua, apa motif dari masyarakat sehingga mereka tidak mematuhi aturan yang dibuat pemerintah?; ketiga, sudahkah pemerintah melakukan distribusi yang adil kepada rakyatnya seperti distribusi kekayaan, distribusi kekuasaan, distribusi penghargaan, sehingga rakyat benar-benar merasakan keadilan yang dilakukan negara kepada rakyatnya?; keempat, sudahkah rakyat diberikan informasi yang akurat, masuk akal dan menyeluruh sehingga tindakan melawan aparat dipandang sebagai sesuatu anomali dalam penerimaan kekuasaan negara oleh rakyatnya?

Kita melihat bahwa berbagai pertanyaan tersebut tampaknya belum terjawab secara baik sehingga rakyat tidak memiliki pilihan lain selain melawan tindakan aparat. Sebaliknya, aparat di lapangan juga belum melakukan berbagai tindakan lain dalam menerapkan kekuasaan negara, sebelum tindak kekerasan itu dilakukan.

KEKERASAN APARAT

Contoh yang paling konkret ialah tindakan aparat dalam menghadapi tantangan terhadap negara yang berasal dari dalam negara atau dalam konsep politik disebut sebagai tantangan dari bawah (challenges from below) seperti gerakan-gerakan pemisahan diri (separatism) atau penarikan diri (secessionism). Gerakan semacam itu biasanya terjadi di wilayah negara yang jauh dari pusat kekuasaan, kaya akan sumber daya alam, terdapatnya nasionalisme etnik yang kuat, terjadinya marginalisasi masyarakat serta kurangnya distribusi kekuasaan, kekayaan dan penghormatan yang adil oleh negara kepada rakyat di wilayah itu.

Gerakan separatisme atau penarikan diri bisa berbentuk gerakan sporadis militer seperti yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di masa lalu, atau gerakan politik seperti yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat Papua yang menyuarakan kemerdekaan Papua baik di dalam maupun luar negeri. Gerakan mereka bisa saja merupakan tindakan murni untuk merdeka, tapi bisa juga sebagai pengungkapan rasa ketidakadilan yang dilakukan negara kepada rakyat.

Sebelum era reformasi bergulir, sebagian rakyat di Aceh dan Papua menentang kekuasaan negara melalui tindakan sporadis militer. Namun, sejak era reformasi gerakan mereka lebih banyak dilakukan melalui cara-cara politik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada diplomasi internasional agar nasib rakyat Aceh dan Papua diperhatikan.

Persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan amat baik melalui Persetujuan Helsinki pada 15 Agustus 2005 setelah melalui perundingan-perundingan yang alot antara pemerintah Indonesia dan GAM yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Persoalan Papua sampai saat ini masih belum dituntaskan dan masih saja ada insiden kekerasan di bumi Cendrawasih (Papua).

Dalam kasus Papua, pemerintah Indonesia sejak era reformasi menerapkan dua cara, yaitu politik akomodatif, seperti yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengganti nama provinsi dari Irian Jaya menjadi Papua pada 1 Januari 2000 dan membantu serta membolehkan dilaksanakannya Kongres Rakyat Papua II di Jayapura pada tahun yang sama. Cara kedua ialah politik kekerasan yang terus terjadi seperti pembunuhan tokoh Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, oleh aparat Kopassus pada dini hari Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

11 November 2001 setelah yang bersangkutan menghadiri acara peringatan Hari Pahlawan 10 November 2001 di markas Kopassus di Polimak, Jayapura, Papua. Kekerasan aparat Brimob terhadap kalangan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang berasal dari Pegunungan Tengah juga kerap terjadi.

Terbunuhnya Kelly Kwalik pada dini hari 16 Desember 2009 di Timika oleh aparat gabungan Brimob dan Detasemen Khusus 88 juga merupakan fenomena kekerasan yang terjadi di Papua. Pertanyaan yang muncul ialah apakah benar Kelly Kwalik, tokoh OPM yang sering melakukan aktivitas sporadik militer di wilayah Pegunungan Tengah, melakukan perlawanan terhadap aparat dan akan melarikan diri saat ditangkap, sehingga perlu dibunuh? Ini mirip dengan alasan yang dilakukan oleh aparat Kopassus untuk membunuh kurator Museum Antropologi, Arnold Ap, pada 1984 yang kemudian menjadi salah satu pemicu gelombang 10.000 pelintas batas dari Irian Jaya ke Papua Niugini antara 1984-1985.

Pelanggaran HAM atau kekerasan aparat di tanah Papua, baik yang dilakukan oleh oknum polisi atau pun TNI masih terus berlangsung. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, setidaknya ada 290 kasus penyiksaan oleh aparat militer dan polisi di Papua pada kurun waktu 1997-2007. Hingga saat ini laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Selain itu ada juga penyiksaan yang diduga dilakukan aparat Brimob terhadap Yawan Wayeni dan penyiksaan oleh aparat TNI-AD

5

di Puncak Jaya pada 2010. Sebelumnya, Jaringan Pembela HAM Peduli Papua juga mengutuk penggunaan stigma separatis/OPM

6 sebagai justifikasi Kekerasan Aparat Negara di Papua.

Video mengenai kekerasan oknum TNI-AD di Puncak Jaya pada 2010 yang beredar melalui YouTube, sempat menimbulkan kritik internasional terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanggapan pemerintah melalui Menkopolhukam Joko Suyanto sangat positif, yaitu langsung mengadili mereka yang melakukan tindak kekerasan tersebut. Namun, ternyata pengadilan tersebut masih dirasa kurang adil karena tidak berlangsung secara fair dan hanya ditujukan untuk konsumsi luar negeri agar kecaman asing terhadap pemerintah berkurang dan tidak menyelesaikan masalah.

Kekerasan oleh aparat memang bukan monopoli dilakukan

KEKERASAN APARAT

terhadap para aktivis gerakan kemerdekaan di tanah Papua saja, namun masih berlangsung melewati sekat-sekat geografis Papua. Aparat terekam masih kerap melakukan tindakan anarkisnya ketika menangani proses penanganan kasus-kasus pidana. Hasil riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, misalnya, mencatat Indeks Penyiksaan pada tahun 2010 terhadap 100 responden tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa praktek kekerasan masih terjadi baik saat penangkapan, pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP), penahanan maupun saat menjalani hukuman. Saat pemeriksaan, aparat hukum tidak jarang menggunakan cara-cara penekanan psikologis agar tersangka mengakui perbuatannya. Ini tentunya tidak akan mendapatkan kebenaran yang substansial. Padahal, dalam setiap pemeriksaan mensyaratkan adanya proses pemeriksaan tersangka atau pun saksi dilakukan secara bebas, bukan dalam keadaan stres, tertekan, apalagi terancam.

Kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum terbanyak adalah kekerasan fisik saat terjadinya penangkapan, yakni sebesar 72,9 persen. Disusul oleh pembentakan saat ditangkap, 67,7 persen,

7 ditampar, 63,5 persen dan ditendang 60,4 persen.

Kekerasan aparat terkait dengan persoalan tanah juga marak terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di Mamuju Utara, di mana aparat kepolisian lebih berpihak kepada para pemilik modal yang ingin mengambil alih tanah rakyat ketimbang memihak kepada petani miskin. Bahkan terjadi pula salah tembak oleh aparat kepolisian pada kasus di daerah yang sama sebelumnya. Peristiwa tersebut memicu sejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Solidaritas Anti Kriminalisasi Petani melakukan demonstrasi di

8 depan kantor Polda Sulselbar pada 17 Maret 2011.

Kekerasan aparat bukan hanya dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian Negara, melainkan juga oleh aparat Satpol PP, seperti yang mereka lakukan terhadap demonstran di Tanjung Priok yang ingin mempertahankan “Makam Mbah Priok” pada 2010, atau yang dilakukan terhadap Warga Cina Benteng di Tangerang pada 13 April 2010. Dalam kaitan ini aparat kepolisian tampaknya tidak berbuat banyak dalam mencegah kekerasan oleh aparat Satpol PP atau oleh massa terhadap aparat Satpol PP, seperti yang terjadi di Tanjung Priok, tidak menimbulkan korban jiwa.

Satu hal yang patut dikritisi ialah kadangkala aparat Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

7. “Kekerasan Struktural oleh Aparat Negara Masih Banyak Terjadi,”Koran Suroboyo, www.Koransuroboyo.com/ 2010/12/kekeras..., diunduh 31 Maret 2011.

kepolisian membiarkan terjadinya kekerasan massa terhadap kelompok masyarakat seperti penyerangan terhadap kelompok jemaah Ahmadyah di Cikeusik, Banten, atau terhadap kelompok ummat Nasrani di Temanggung yang waktunya amat berdekatan pada

9 pertengahan Februari 2011 lalu.

Aparat seharusnya dapat menerapkan “necessary evil” terhadap kelompok yang ingin melakukan tindakan makar. Karena aksi mereka sudah mengarah pada ancaman menggulingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika pemerintah berani tegas membubarkan kelompok aliran agama yang secara paksa ingin membubarkan Ahmadyah. Namun, perhitungan politik jangka pendek menyebabkan pemerintah tidak berani melakukan tindakan apa pun terhadap kelompok tersebut. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil kedaulatan negara akan terancam.

Mengapa Kekerasan Terus Terjadi?

Banyak penyebab mengapa kekerasan aparat terus terjadi di era reformasi politik. Tindakan aparat seharusnya terukur dan tepat guna. Namun kenyataannya di lapangan tidak sedikit aparat keamanan yang masih melakukan tindak kekerasan.

Bagi anggota TNI dan Polri yang bertugas di daerah seperti Papua, kekerasan masih terjadi karena daerah itu sangat jauh dari pusat kekuasaan sehingga mereka beranggapan bahwa kontrol pusat sangat lemah. Namun, di era komunikasi yang amat canggih ini mereka lupa bahwa apa yang terjadi di pelosok Papua sekali pun, dalam detik yang sama dapat tersiar di seantero bumi melalui alat komunikasi internet atau pun mobile phone.

Saat saya dulu sering melakukan penelitian di tanah Papua, penyebab lain dari tindakan kekerasan aparat ialah mereka seakan sudah tidak lagi bisa membedakan antara rakyat Papua biasa dan aktivis kemerdekaan Papua. Di mata mereka, semua yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah OPM dan musuh negara. Anggapan salah ini belum sirna hingga saat ini.

Alasan lain, Papua, khususnya daerah perbatasan dan pedalaman yang sulit transportasinya, merupakan “neraka” bagi aparat keamanan. Karena itu ada anggapan di sebagian anggota TNI maupun Polri bahwa gara-gara adanya gerakan separatisme inilah makanya mereka ditempatkan di daerah itu. Tindakan kekerasan juga

KEKERASAN APARAT

didasari oleh alasan bahwa apabila mereka melakukan kekerasan terhadap rakyat, mereka pasti akan dipindahkan dari wilayah itu. Anggapan ini belum tentu benar karena sejak 1980an akhir, aparat TNI yang melakukan kesalahan bukan saja mendapatkan ganjaran hukuman individual, melainkan grup pasukannya juga terkena hukuman dalam bentuk penambahan waktu tugas dari yang biasanya 6 bulan menjadi 9 bulan. Rotasi pasukan memang kadangkala terkendala oleh terbatasnya anggaran untuk menarik pasukan dari daerah pedalaman.

Dalam kaitannya dengan aparat kepolisian atau Satpol PP, kekerasan terjadi karena mereka memiliki alat atau pun status sebagai aparat keamanan yang boleh menggunakan kekerasan. Mereka lupa bahwa penggunaan kekerasan merupakan cara terakhir apabila pendekatan persuasif atau pun pemberian insentif gagal. Anak-anak muda yang berstatus aparat keamanan, diberi alat pemukul atau senjata, memudahkan mereka untuk berlagak jagoan dalam menghadapi masyarakat.

Lepas dari berbagai alasan di atas, kekerasan oleh aparat yang tidak didasari oleh alasan kuat untuk menggunakan cara tersebut, merupakan, meminjam istilah Yudhi Latif, ciri negara kriminal. Apakah kita tidak bisa membentuk aparat yang benar-benar santun tapi tegas dalam melakukan tugas-tugas mereka sebagai bhayangkari negara? Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan aparat akan terus berlangsung.

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara:

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 41-51)