• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinian

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 87-105)

Domu P. Sihite

Abtraksi

Hak asasi manusia (HAM) adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat (inheren) pada diri manusia, bersifat kodrati, berlangsung sepanjang hidup manusia dan universal. Oleh karena

itu, segala bentuk pelanggaran terhadap HAM merupakan pengingkaran terhadap harkat dan martabat manusia yang diterimanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pendahuluan

Indonesia sebagai suatu bangsa yang mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM. Dalam konteks Internasional, Indonesia menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan bahkan telah meratifikasi beberapa konvensi internasional HAM yang penting, antara lain: (i) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik; (ii) Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; (iii) Konvensi tentang Hak Anak; (iv) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; (v) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; (vi) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Bila kita mengamati dari sisi peraturan perundang-undangan, terlepas dari implementasinya bagaimana di lapangan, ini menunjukkan setiap adanya produk undang-undang dapat dinilai merupakan suatu kemajuan besar dalam upaya penyelenggaraan pada hak-hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak-hak yang terkait sebagaimana ratifikasi sejumlah dokumen rujukan utama hak-hak

asasi manusia internasional.

Selain ratifikasi dimaksud, kemajuan dapat juga kita lihat melalui amandemen UUD 1945 yakni mengamandemen beberapa bab yang terkait dengan hak asasi manusia sehingga menjadi komprehensif dan dapat menyesuaikan dengan standar hak-hak asasi manusia Internasional, karena di dalamnya juga ada memuat kata-kata “hak asasi manusia”.

Sebenarnya mendengar istilah “hak asasi manusia” biasanya banyak bayangan orang hanya tertuju pada hak-hak yang bersifat hak sipil dan politik, seperti kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan dan sebagainya. Padahal hak asasi yang bersifat ekonomi, sosial dan budaya, seperti halnya nasib kaum miskin dalam lingkungan masyarakat sangat perlu dan sangat terkait juga dengan hak sipil dan politik.

Bila kita melihat dalam literatur hak asasi, dikenal adanya tiga generasi hak asasi. Hak-hak sipil dan politik barulah generasi pertama. Generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sedangkan generasi ketiga adalah hak atas pembangunan, yang mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai

1 bagian dari kehidupan bangsa tersebut.

Pada sisi lain, sebagaimana kerangka acuan yang diuraikan ELSAM antara lain “ Kemajuan yang perlu dicatat yakni di bidang institusional. Komnas HAM kedudukannya diperkuat menjadi didasarkan UU, tidak lagi keputusan Presiden. Gelombang institusionalisasi yang marak pasca rezim otoritarian Soeharto mendorong kelahiran lembaga Negara yang secara spesifik menangani hak asasi seperti Komisi Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia atau komisi-komisi lainnya.

Dengan gambaran di atas, kemajuan hak-hak asasi manusia di Indonesia, bukan berarti kita sudah bisa menarik nafas lega dalam lapangan hak-hak sipil dan politik, sebab kemajuan ini nampaknya banyak yang baru pada tahap diplomasi HAM dan prosedural. Bukan atau belum HAM secara substansial.

Artinya, benar bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai

PERAN KEJAKSAAN

instrumen hak-hak asasi manusia internasional, membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak asasi, membentuk berbagai lembaga yang terkait dengan perlindungan hak asasi, dan lain-lain, tetapi ini semua adalah tindakan-tindakan yang bersifat prosedural formal, sehingga baru disebut HAM prosedural.

Dari uraian di atas sudah barang tentu timbul pertanyaan bagaimana implementasinya? Masih sangat jauh dari memuaskan masalahnya. Meminjam kata-kata aktivis hak asasi, Amiruddin Al Rahab, dunia internasional juga cenderung melihat HAM dengan ukuran prosedural formal semata. Akibatnya, citra HAM kita

2 membaik. Inilah kecerdasan Pemerintah dalam membaca situasi.”

Jadi kemajuan HAM prosedural tidak serta merta berarti kemajuan HAM substansial. Tidak kurang dari Komisi Hak Asasi Manusia Nasional (Komnas HAM) pun pernah melontarkan penilaian bahwa “pelaksanaan berbagai prosedur itu tidak berarti terciptanya kondisi yang kondusif bagi penegakan HAM di

3 Indonesia.”

Menyangkut implementasi, disebut masih jauh dari memuaskan. Ada alasan dan dasar yang dapat diamati selama ini menyangkut belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu, mulai kasus G/30 September 1965, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Semanggi I dan Semanggi II, Penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Penilaian publik barangkali benar karena nyatanya belum ada titik terang kapan penyelesaian kasus-kasus tersebut.

Hal ini merupakan bagian yang ada korelasinya dengan institusi lain seperti Komnas HAM yang punya kewenangan melakukan penyelidikan kasus-kasus kejahatan HAM yang berat, Jaksa Agung yang punya kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan.

Landasan Hukum

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Pemerintah yang melaksanakan kedaulatan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

2. Harian Kompas, “Pejabat Tinggi HAM PBB dan Politik Citra” 4 Desember 2007, hal 5 3. Ibid, hal 5

undangan. Secara organisasi Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan.

Adapun tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 30 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam ayat :

1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara.

3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Disamping tugas dan wewenang tersebut dalam UU Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang

PERAN KEJAKSAAN

berdasarkan UU lain, dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Dalam konteks penegakan hukum, agar warga masyarakat dapat menjunjung tinggi hukum, sangat diperlukan kesadaran hukum yang tinggi yang mencakup kesadaran mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif), dan memikul tanggung jawab bersama dalam menegakkan hukum. Kesadaran hukum sangat perlu dimiliki seluruh warga negara, baik itu penyelenggara pemerintahan khususnya maupun masyarakat pada umumnya.

Kesadaran hukum perlu ditumbuhkembangkan di kalangan masyarakat melalui pandangan, pemahaman dan keyakinan dengan perilaku taat hukum, hidupnya akan merasa aman dan tentram (ketertiban umum), keadilannya dirasakan dan HAM-nya terlindungi.

Bila dievaluasi sesuai perkembangan keadaan yang nyata, perubahan yang telah terjadi di beberapa sendi kehidupan perpolitikan melalui ketetapan MPR nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, komitmen penghormatan Hak Asasi Manusia terus berlanjut dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tanggal 23 September 1999 sebagai pelaksanaan ketetapan MPR dimaksud.

Adapun dasar pertimbangan dalam UU HAM antara lain, bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal tentang hak asasi manusia yang ditetapkan oleh PBB, serta sebagai Instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia. Sebagai penjabaran hal tersebut secara substansial mengandung kewajiban dasar manusia yaitu setiap orang yang ada di wilayah Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

Lebih lanjut sebagai kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah yaitu menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum Internasional tentang Hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Dalam kenyataan, demi mengadili pelanggaran HAM berat, dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, yang dinilai tidak memadai sehingga dicabut karena tidak disetujui DPR. Kemudian terbitlah UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang disahkan pada 23 Nopember 2000, untuk menindaklanjuti Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dari kedua UU tersebut, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bila diamati secara cermat, dalam ketentuan umumnya Pasal 1 ayat (1) disebut ” Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat dan Kekhususannya Secara Khusus, dasar dan kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

a. Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat

Sesuai penjelasan umum UU No. 26 tahun 2000 disebutkan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional. Adapun perumusan perbuatan yang masuk dalam pengertian tindak pidana pelanggaran HAM yang berat sesuai UU

PERAN KEJAKSAAN

tersebut, diuraikan dalam pasal-pasal: - Pasal 7

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi: a. kejahatan Genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.

- Pasal 8

Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

a. Membunuh anggota kelompok;

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik sebagian maupun seluruhnya;

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok lain ke kelompok tertentu ke kelompok lain.

- Pasal 9

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan

kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran, secara Volume VII No. 1 Tahun 1011 dignitas

paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

Kekhususan dalam Penanganan Pelanggaran HAM Berat

Hukum acara kasus pelanggaran HAM berat tetap mengacu kepada ketentuan Hukum Acara Pidana, kecuali dalam hal ditentukan lain oleh UU No. 26 tahun 2000. Adapun hal-hal yang ditentukan secara khusus oleh UU ini, antara lain sebagai berikut:

- Penyelidik

Penyelidik perkara pelanggaran HAM yang berat hanya dilakukan oleh Komnas HAM. Dengan demikian lembaga ini yang berwenang menerima laporan atau pengaduan pelanggaran HAM yang berat, sesuai dengan Pasal 22. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. Dalam hal Komnas HAM melakukan penyelidikan, penyelidik memberitahukan kepada Penyidik. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam lingkup pro justisia. Hasil kesimpulan penyelidikan disampaikan kepada Penyidik.

- Penyidik

Penyidik perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Penyidikan sebagaimana dimaksud tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan. Dalam melakukan penyidikan, Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsur Pemerintah dan atau unsur masyarakat.

PERAN KEJAKSAAN

- Penuntutan

Penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

- Persidangan

Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM. Pemeriksaaan perkara tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri atas dua orang Hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang Hakim ad hoc. (Pasal 27). Pengadilan HAM pertama kali dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar (Pasal 45). Sementara perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul DPR. Bagaimana bunyi putusan MK? berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden (Pasal 43).

- Tenggang waktu

Ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan (240 hari), penuntutan (70 hari), dan pemeriksaan di pengadilan (180 hari).

- Perlindungan korban dan saksi

Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran HAM yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan pihak manapun (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 jo. PP No.2 Tahun 2002).

- Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oeh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 jo. PP No.3 Tahun 2002).

Pengadilan terhadap Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat dapat kita rumuskan dalam pasal-pasal berikut :

- Pasal 104 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dilingkungan Peradilan Umum”.

- Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 “Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”.

- Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”.

PERAN KEJAKSAAN

Dari beberapa pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penanganan perkara pelanggaran HAM berat, diperiksa dan diputus oleh dua jenis Pengadilan HAM, yaitu:

- Pengadilan HAM Ad Hoc yaitu Pengadilan HAM yang berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi sebelum diundangkannya Undang Undang Nomor 26 tahun 2000.

- Pengadilan HAM (biasa) yaitu Pengadilan HAM yang berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi sesudah diundangkannya Undang Undang Nomor 26 tahun 2000.

Kejaksaan dan Penanganan Kasus Pelanggaran HAM

Dengan dasar yuridis yang sudah dipaparkan di muka, tiba saatnya Kejaksaan memaparkan sejauhmana penanganan institusi kami terkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sekarang. Bila mengevaluasi secara khusus file berkas yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah dilimpahkan ke Pengadilan dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Pelanggran HAM yang berat, yang peristiwanya terjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dilimpahkan ke Pengadilan:

- Kasus Timor-Timur, terdapat 18 Perkara - Kasus Tanjung Priok, terdapat 4 Perkara

b. Pelanggaran HAM yang Berat, yang peristiwanya terjadi sesudah undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dilimpahkan ke Pengadilan.

- Kasus Abepura 2 Perkara, sudah disidangkan melalui Pengadilan HAM di Makasar.

Sementara berkas yang diduga Pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku, dan saat ini ada di Kejaksaan adalah:

- Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II - Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998

- Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksa - Berkas peristiwa Talang Sari

Volume VII No. 1 Tahun 2011 digitas

Berkas yang diduga Pelanggaran HAM yang Berat, yang terjadi sesudah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku, dan saat ini ada di Kejaksaan adalah :

- Berkas perkara Pelanggaran HAM Berat Wasior-Wamena, masih di Kejaksaan. Hasil penyelidikan berkas dari Komnas HAM setelah diteliti secara cermat, ternyata penilaian atas kelengkapan berkas, baik syarat formil maupun syarat materil belum lengkap.

Adapun kendala yang dihadapi dalam proses penanganan berkas yang belum ditindaklajuti penyelesaiannya terkait dengan berkas yang ada di Kejaksaan saat ini yakni :

a. Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan semanggi II b. Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998

c. Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksa d. Berkas peristiwa Talang Sari.

Sehingga untuk menindaklanjuti berkas peristiwa tersebut, berdasarkan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mengharuskan terlebih dahulu dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc sebelum dilakukan Penyidikan oleh Jaksa Agung.

Adapun dasar dan alasannya dapat digambarkan sebagai berikut :

lPenafsiran atas implementasi dari ketentuan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 beserta Penjelasannya, yakni kapan sebenarnya Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk, haruslah dipahami dalam konteks hakekat sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dalam hal ini, seluruh subsistem yang ada: Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengadilan dalam melaksanakan prosedur penanganan perkara pidana telah diatur sedemikian rupa oleh UU (baik dalam UU No. 26 tahun 2000 maupun KUHAP), sehingga dalam menjalankan fungsinya, subsistem tersebut saling berhubungan satu sama lain secara terpadu. Subsistem yang satu tidak akan dapat memenuhi fungsinya tanpa keberadaan sub system yang lain.

Sebagai contoh, penyidik dalam melakukan penyitaan atau

PERAN KEJAKSAAN

penggeledahan membutuhkan ijin atau persetujuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang. Pengadilan yang berwenang dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 43 UU 26 tahun 2000, adalah Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR. Ijin/ persetujuan penyitaan/ penggeledahan tersebut merupakan syarat keabsahan dari tindakan penyidik, dan Ijin/ persetujuan tersebut menjadi bagian dari berkas perkara serta merupakan persyaratan formil berkas perkara.

lSelanjutnya berkas perkara yang dibuat penyidik tersebut akan dijadikan dasar oleh Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan, dan seterusnya Surat Dakwaan berikut berkas perkara akan dijadikan dasar pemeriksaan dalam persidangan. Jadi, apabila penyitaan tersebut dilakukan penyidik tanpa ijin/persetujuan Pengadilan yang berwenang (dalam hal ini Pengadilan HAM ad hoc), maka disamping alat/barang bukti yang disita tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar oleh terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengajukan eksepsi meminta surat dakwaan Penuntut Umum dibatalkan karena dakwaan dibuat berdasarkan berkas perkara yang tidak sah. Dan apabila eksepsi tersebut diterima oleh Pengadilan HAM ad hoc, maka akan berakibat luas sampai dengan kepada tindakan lain yang telah dilakukan penyidik (penangkapan, penahanan, penyitaan).

lDemikian pula tindakan lain yang membutuhkan keberadaan

Pengadilan HAM ad hoc, baik yang dilakukan oleh Penyidik maupun Penuntut Umum, misalnya dalam hal perpanjangan waktu penyidikan atau penuntutan dan perpanjangan penahanan, maupun yang dapat dilakukan korban atau keluarganya dalam mengajukan pra peradilan terhadap penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2000. Dalam hal ini pra peradilan yang dimaksud menjadi kompetensi Pengadilan HAM ad hoc.

Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa Pengadilan yang berwenang (dalam hal ini Pengadilan HAM ad hoc) harus sudah ada pada saat akan dilakukan penyidikan atas kasus Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

pelanggaran HAM Berat yang tempus delicti-nya terjadi sebelum diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2000.

lBahwa Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan atas kasus

pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, tetap tidak dapat

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 87-105)