Yance Arizona
Abstraksi
Tulisan ini berisi tiga pokok bahasan berkaitan dengan negara hukum, hak asasi manusia dan pendekatan hukum progresif. Pertama, akan dibahas tentang apa sebenarnya hukum progresif, apa asumsi-asumsi pokoknya dan mengapa ia penting dikemukakan dalam diskursus hukum
di Indonesia. Kedua, membahas pilar pokok negara hukum dalam pendekatan hukum progresif dan bagaimana posisinya dalam konstelasi aliran pemikiran tentang negara hukum di Indonesia. Ketiga, membahas posisi hak asasi manusia dalam perkembangan wacana yang menaungi
gagasan hukum progresif. Frame yang digunakan adalah pemikiran perintis hukum progresif, Prof. Satjipto Rahardjo (1930-2010), dan beberapa tulisan penstudi lain tentang Satjipto Rahardjo dan Hukum
Progresif.
Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum Satjipto Rahardjo (1930-2010)
Hukum Progresif
Diskursus tentang hukum progresif tidak dapat dilepaskan dari sosok penggagasnya, yaitu (alm) Prof. Satjipto Rahardjo (selanjutnya disebut Prof. Tjip). Mantan Guru Besar Sosiologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu mulai memperkenalkan hukum progresif sejak 2002 lewat berbagai buku dan artikelnya di suratkabar (Susanto, 2010:111). Sejak pertama kali dilontarkan, hukum progresif acap disebut dan digunakan oleh kalangan akademik, praktisi dan aparatus hukum, namun belum diletakkan pada posisi yang jelas dalam konstelasi pemikiran hukum.
Prof. Tjip sendiri tidak menyematkan label khusus terhadap pemikiran hukum progresif yang beliau lontarkan. Sebagaimana dibahas oleh Shidarta, terkadang Prof. Tjip mengatakan hukum progresif adalah suatu 'gerakan intelektual'. Pada kesempatan lain ia
menyebut hukum progresif merupakan suatu 'paradigma' dan 'konsep' mengenai cara berhukum. Bahkan terkadang beliau menyebutnya 'ilmu hukum progresif'. Beliau tidak keberatan ketika Bernard L. Tanya dan kawan-kawan dalam sebuah buku memasukan hukum progresif sebagai sebuah 'teori hukum' (Shidarta, 2010:52). Terlepas dari masih kaburnya 'jenis kelamin' hukum progresif dalam struktur keilmuan (hukum), sebagai sebuah gagasan, hukum progresif telah mampu menggugah banyak pihak.
Prof. Tjip mengenalkan hukum progresif sebagai salah satu alternatif wacana dalam pembaruan hukum di Indonesia di era reformasi. Banyak mahasiswa baik yang pernah diajar langsung oleh beliau maupun mengenal gagasan beliau lewat buku kemudian menggeliat membentuk forum-forum diskusi. Sebagian dari mereka menamakan diri 'Kaum Tjipian'. Lalu sekumpulan pengacara yang memiliki gagasan serupa dengan Prof. Tjip membentuk Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP). Ada pula yang menamakan diri Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) (Nugroho, 2011:284). Di kalangan hakim pun gagasan ini memberi bekas. Prof. Moh. Mahfud MD yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dalam banyak kesempatan menyebutkan bahwa: “Kami menganut hukum progresif”, terutama berkaitan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang fenomenal (land mark decision). Hukum progresif hadir di ruang publik menjadi idiom yang digunakan oleh para pegiat dan pejuang hukum yang anti-formalistik.
Dalam altar diskursus hukum di Indonesia, hukum progresif merupakan pendatang baru yang mulai ada dan berkembang di awal abad 21 dan ketika penggagasnya, Prof Tjip, telah berusia 70 tahun. Awaludin Marwan menyebutkan bahwa hukum progresif merupakan buah kontemplasi “Prof Tjip Tua” yang berbeda dengan pemikiran “Prof Tjip Muda” yang lebih saintifik (Marwan, 2010:14). Setelah sempat sakit parah dan dirawat sekitar tahun 2003, 'Prof Tjip Tua' akhirnya bisa lebih sembuh dan menghasilkan banyak karya-karya hukum yang kontemplatif. Buku-buku beliau kemudian lebih longgar dengan standar keilmiahan dan lebih mengalir dalam penggunaan bahasa.
Hukum progresif tidak hadir dalam ruang hampa. Oleh karena itu, hukum progresif hendaknya dibaca sebagai suatu respons terhadap dinamika yang terjadi dalam pembaruan hukum di
NEGARA HUKUM DAN HAM
Indonesia pasca Orde Baru yang instrumenal dan fungsionalistik. Pembaruan hukum pasca Orde Baru disebut instrumenal dan fungsionalistik karena dua pendekatan dominan yang menjadi arus dalam pembaruannya, yaitu pendekatan pembaruan peraturan (legal reform approach) dan pendekatan pembaruan kelembagaan (institutional reform approach) (Arizona, 2010:127). Pembaruan peraturan dilakukan dengan menciptakan dan mengganti peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Indikasinya jumlah legislasi meningkat. Hal ini membuat hukum menjadi 'rimba' peraturan perundang-undangan, saling tumpang tindih satu sama lain dan banyak hukum yang kemudian menjadi tidak implementatif atau mubazir (legisferitis). Hukum menjadi semakin teknikal dan memerlukan pembelajaran teknis yang jauh dari pemahaman awam. Hal ini pula yang secara tidak sadar memberi ruang yang semakin besar kepada para sarjana hukum untuk mendominasi pemaknaan hukum.
Sedangkan pembaruan kelembagaan dilakukan dengan membenahi institusi negara yang dilakukan dengan penegasan pemisahan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara (separation of power) dan pembentukan lembaga-lembaga independen. Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, pemilihan presiden langsung, pembentukan 12 lembaga independen dan 42 lembaga baru di bawah kekuasaan presiden menunjukkan betapa ramainya pembenahan kelembagaan yang diupayakan dalam pembaruan hukum. Pembaruan kelembagaan ini sejalan dengan penciptaan mekanisme check and balances dalam diskursus rule of law agar negara tidak jatuh kembali ke tangan otoritarianisme.
Dua pendekatan dominan itu belum mampu membawa bangsa Indonesia membangun sistem hukum yang membahagiakan rakyatnya dan mendatangkan keadilan. Secara kasat mata kita lihat sehari-hari kasus besar dilakukan oleh para aparatus negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kebanyakan kasus yang melibatkan penguasa diredam seperti kasus Bank Century dan mafia pajak. Namun di sisi lain, hukum diterapkan secara tajam kepada rakyat kecil yang mengambil kakao, pisang dan ranting kayu untuk kebutuhan mempertahankan hidupnya. Belum lagi kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat di kampung-kampung yang mempertahankan wilayah kehidupannya dari eksploitasi atau Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas
penghancuran oleh para pengusaha yang difasilitasi oleh pemerintah. Sekalian persoalan dalam kehidupan berhukum di Indonesia memuncak pada dua persoalan utama yaitu korupsi dan cara pandangan aparatus yang positivistik.
Sebagai sebuah gerakan, hukum progresif lahir sebagai respons atas kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis, yang hanya terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme (lebih tepatnya paham legisme) kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia sebagai warisan dari sistem hukum Kolonial Belanda 'mengharuskan' hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) dan aparatus penegak hukum lainnya sebagai 'mesin hukum' yang berkerja secara mekanis berdasarkan postulat-postulat hukum tertulis.
Sebagai kritik terhadap positivisme hukum, hukum progresif tidak berhenti ketika peraturan diterapkan pada kenyataan, melainkan terus berupaya sebagai rangkaian proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti (Rahardjo, 2005:3). Bahkan hukum progresif mempromosikan cara berpikir yang mematahkan cara-cara lama dalam berhukum yang diistilahkan dengan 'rule breaking', yaitu sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal guna menggapai keadilan.
Prof. Tjip tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagai suatu tipe hukum yang khas dan selesai (distinct type and a finite scheme), melainkan lebih merupakan gagasan yang mengalir, yang tidak mau terjebak ke dalam status quo, sehingga menjadi mandek (stagnant) (Shidarta, 2011:54). Hukum progresif selalu ingin setia pada asas besar, 'hukum adalah untuk manusia.' Hukum progresif bisa diibaratkan sebagai papan petunjuk, yang selalu memperingatkan, hukum itu harus terus-menerus merobohkan, mengganti, membebaskan hukum yang mandek (Rahardjo, 2009a:81-2).
Meskipun tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagai suatu yang final, Prof. Tjip dalam salah satu tulisannya (Rahardjo, 2007:139-45) menyebutkan setidaknya ada tiga pilar utama dalam hukum progresif, yaitu: (a) Bertujuan untuk mengabdi bagi kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan asas besar dalam hukum progresif yaitu hukum untuk manusia, bukan
NEGARA HUKUM DAN HAM
manusia untuk hukum. Keutamaan manusialah yang menjadi tujuan hukum, sehingga dalam konteks ini, ia sebenarnya membicarakan hak asasi manusia tanpa harus terjebak dengan standar-standar normatif hukum hak asasi manusia; (b) Mengkritik cara berhukum status quo yang positivistik-legalistik. Hal ini merupakan salah satu pembeda (distinction) antara hukum progresif dengan mainstream pembangunan hukum di Indonesia pasca Orde Baru yang sebenarnya
merupakan warisan dari rezim-rezim sebelumnya; dan (c) Mengutamakan perilaku baik dalam berhukum. Hal ini
mencirikan bahwa hukum progresif bersifat non-instrumenal dengan meletakan manusia sebagai faktor determinan dalam kehidupan berhukum, bukan peraturan sebagai faktor determinan.
Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat
Hukum progresif tumbuh di dalam situasi ketika Indonesia mengalami transisi paska Orde Baru. Dalam masa transisi itu ada banyak sekali proyek pembaruan hukum yang berkembang dan dibingkai dalam rangka membentuk negara hukum Indonesia. Hal ini senada dengan tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan supremasi hukum. Bangsa Indonesia memasuki reformasi tahun 1998 dengan kebosanan terhadap negara otoriter yang surplus kekuasaan. Negara otoriter itu ingin diganti dengan negara hukum. Secara normatif, buah dari perjuangan ini terlihat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Namun bagi Prof. Tjip, komitmen yuridis yang termaktub dalam UUD tersebut tidaklah cukup, karena membangun negara hukum bukanlah persoalan menancapkan plang nama, melainkan proyek raksasa yang terus menjadi. Membangun negara hukum tidak cukup hanya dengan membentuk institusi baru, melakukan pemilihan langsung, menciptakan mekanisme judicial review, desentralisasi dan sebagaimana yang berporos pada negara (state center), melainkan lebih mendasar daripada itu, membangun negara hukum adalah membangun suatu budaya bernegara hukum.
Prof. Tjip dalam satu tulisannya menuliskan: “Dalam bernegara hukum yang utama adalah kultur, the cultural primacy, Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas
yaitu suatu kultur pembahagiaan rakyat” (Rahardjo, 2009:67). Dengan demikian, negara hukum bukan saja dibangun dengan berporos pada negara (state centered), melainkan juga pada masyarakatnya (society centered).
Lalu bagaimana mengenali gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresif? Tulisan beliau yang berjudul “58 tahun negara hukum Indonesia” (Kompas, 11/08/2003) dan satu buku yang berjudul “Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya” (2008) dapat dipakai untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan utama negara hukum yang dikonsepsikan oleh Prof. Tjip. Setidaknya ada tujuh pilar utama negara hukum dalam pendekatan hukum progresif (Arizona, 2011:132-4).
Pertama, ia hadir sebagai kritik terhadap negara hukum liberal. Negara hukum liberal (rule of law dan rechtsstaat) lahir dalam rahim sosial Eropa untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Eropa pada abad ke-18 yang sejalan dengan berkembangnya nasionalisme, demokrasi dan kapitalisme. Semangat yang menaungi perubahan di Eropa pada masa itu adalah individualisme-liberalisme yang ditopang oleh golongan borjuis yang berupaya merebut tempat di dalam hukum yang sebelumnya dikuasai oleh raja-raja dan gereja. Sedangkan negara hukum di Indonesia hadir untuk menjawab tantangan paska kolonial dan dalam dekade terakhir untuk menjawab tantangan dalam masa paska otoritarianisme. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kebersamaan dan komunalisme tidak sejalan dengan tradisi di Eropa yang individualistik.
Kedua, negara hukum dari bawah (the rule of law from below). Kebanyakan pemikir hukum Indonesia kontemporer mempromosikan konsep negara hukum liberal (rule of law) yang telah teruji di Eropa dan Amerika untuk memaknai negara hukum Indonesia. Prof. Tjip mengkritik upaya transplantasi konsep tersebut dengan mengutip penelitian Tamanaha yang menunjukkan bahwa transplantasi gagasan negara hukum liberal di negara-negara non-Eropa seperti Micronesia telah membuktikan sejumlah bukti
NEGARA HUKUM DAN HAM
kegagalan. Indonesia bagi Prof. Tjip tidak perlu mengikuti pola transplantasi yang mengadopsi atau mengimpor (imposed from outside) gagasan negara hukum dari Eropa yang memiliki susunan masyarakat yang jauh berbeda dengan Indonesia. Prof. Tjip menawarkan membangun negara hukum dari bawah (the rule of law from below) yang berbasis pada susunan sosial masyarakat Indonesia yang ketimuran.
Ketiga, negara hukum bukan saja hukum negara. Studi tentang negara hukum selama ini berfokus pada negara dan hukum negara. Oleh karena itulah yang selalu dibenahi dalam proyek ini adalah peraturan perundang-undangan dan kelembagaan negara. Prof. Tjip mencoba membuka ketertutupan itu dengan memasukan dimensi hukum rakyat sebagai salah satu fundamen dalam bernegara hukum. Dalam tulisan yang berjudul “Era hukum rakyat” (2000) beliau membahas posisi hukum rakyat yang semakin menguat paska Orde Baru. Bernegara hukum dengan hukum negara (formal-institutional) saja tidak akan mencukupi untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Hukum rakyat (cultural-interactional) baik adat dan kebiasaan harus dilibatkan secara bersama-sama. Dengan kata lain, Prof. Tjip memberi ruang kepada pluralisme hukum masuk dalam wacana tentang negara hukum.
Keempat, peran aktif negara untuk mewujudkan negara hukum yang membahagiakan rakyatnya. Artinya bukan rakyat yang harus datang 'meminta-minta' untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah yang aktif datang kepada rakyat (Rahardjo, 2009:106). Negara hukum harus menjadi negara yang baik (benevolent state) yang memiliki kepedulian dan nurani (a state with conscience), bukan negara netral maupun negara penjaga malam (nightwatcman state). Pilar ini berbeda dengan relasi antara negara dan masyarakat dalam pandangan Lockean yang memproyeksikan relasi hak-kewajiban antara negara dan masyarakat. Untuk mewujudkan negara bernurani atau negara yang budiman, negara tidak harus dipimpin oleh para filsuf sebagaimana diandaikan Plato. Melainkan mirip dengan pendapat Aristoteles, bahwa negara harus dikelola oleh
praktik-Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas
praktik kebajikan (practical wisdow) dan moralitas kebajikan (moral virtue) dari para penyelenggara negaranya (Miller, 2010:17). Praktik dan moralitas kebajikan inilah dalam bahasa Prof. Tjip disebut dengan nurani (conscience).
Kelima, keutamaan manusia. Tujuan hukum bagi Prof. Tjip adalah untuk mengabdi dan menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity). Membangun negara hukum pun dilakukan untuk mencapai keutamaan kemanusiaan. Oleh karena itu Prof. Tjip jelas-jelas menyebutkan bahwa ia tidak mengikuti paham Kelsenian yang sangat peduli dengan bentuk dan struktur logis-rasional negara hukum, melainkan membicarakan negara hukum sebagai suatu bangunan nurani (conscience, kokoro), sehingga segala hal yang berhubungan dengan negara hukum tunduk dan ditundukan pada nurani sebagai penentu (determinant). Bukan peraturan sebagai faktor determinan.
Keenam, melampaui hukum tertulis. Prof. Tjip tidak menampik keberadaan hukum tertulis, misalkan konstitusi tertulis. Tetapi konstitusi tertulis itu harus dibaca secara bermakna agar bisa menyelami moral yang ada di balik konstitusi tertulis. Hal ini yang beliau sebut sebagai 'pendalaman makna' dalam membaca konstitusi atau dengan meminjam istilah Ronald Dworkin sebagai: the moral reading of the constitution (Rahardjo, 2007:41). Dengan melampaui hukum tertulis, maka para pengemban hukum dapat menyelami makna keadilan yang tersemat di dalam hukum tertulis.
Ketujuh, negara hukum substantif. Menurut Tamahana ada dua versi negara hukum dalam diskursus tentang negara hukum (Tamanaha, 2004:91). Pertama adalah negara hukum formal yang bersendikan (a) pembatasan kekuasaan negara; (b) pemerintahan berdasarkan hukum; (c) pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Sedangkan versi kedua adalah negara hukum substantif yang mengutamakan (a) pemenuhan hak-hak asasi; (b) pengutamaan manusia dan keadilan (human dignity and justice); dan kesejahteraan warga (welfare). Dalam dua kelompok ini, gagasan Prof. Tjip tentang negara hukum lebih menekankan negara hukum substantif yang
NEGARA HUKUM DAN HAM
berupaya mencapai kebahagiaan bagi rakyatnya.
Bagaimanakah gambaran negara yang membahagiakan rakyatnya itu? Suteki yang merupakan salah satu murid Prof. Tjip di Universitas Diponegoro mengilustrasikan negara hukum yang membahagiakan rakyatnya itu sebagaimana disampaikan oleh para dalang wayang kulit (Suteki, 2011:35).
“Mereka menggambarkan suatu negara atau kerajaan bahagia yang makmur dengan ungkapan yang sangat agung, yaitu sebagai ”negari ingkang panjang hapunjung, hapasir wukir loh jinawi, gemah ripah karto raharjo.” Artinya, wilayah suatu negara meluas dari pantai laut sampai puncak gunung, tanahnya subur (loh), barang-barang serba murah, terbeli (jinawi), murah sandang-pangan, pedagang dapat bepergian tanpa gangguan (gemah), rakyat yang jumlahnya banyak hidup rukun (ripah), petani mempunyai ternak yang cukup tanpa ada gangguan (karto) dan pemerintah dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan tidak ada kejahatan (raharjo).”
Ketujuh pilar yang disebutkan di atas tidak hendak membatasi atau memberikan definisi final terhadap gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresif, sebab hal yang final dan definitif merupakan hal yang dihindari dalam pemikiran hukum progresif. Pilar-pilar yang disebutkan di atas hendak menjadi penanda awal untuk memahami gagasan negara hukum dalam hukum progresif yang mengalir, berkembang untuk menjawab tantangan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berhukum.
Hukum Progresif di Tengah Aliran Pemikiran Negara Hukum Indonesia
Di Indonesia, negara hukum bernurani ala hukum progresif bukanlah aliran pemikiran hukum yang baru. Sebelumnya, telah ada beberapa konsep tentang negara hukum yang digagas maupun diperkenalkan oleh para pemikir hukum Indonesia. Setidaknya telah ada empat aliran pemikiran tentang negara hukum yang berkembang di Indonesia.
Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas
Negara Integralistik
Negara Hukum Pancasila
Nomokrasi Islam NeoConstitutionalism Tokoh Soepomo, Djokosoetono, Hamid S. Attamimi Soekarno, Notonagoro, Padmo Wahyono, Oemar Senoadjie, Soediman Kartohadiprodjo M. Natsir, Tahir Azhary, Yusril Ihza Mahendra
Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, Sunaryati Hartono, Jimly Asshiddiqie Gagasan pokok Nativisme, Organisisme, komunalisme, kedaulatan negara, ketimuran Pancasila, keterpimpinan,
Islam sebagai sentral bernegara
Promosi HAM, dualisme antara penguasa dan rakyatnya, fungsionalisme (supremacy constitution, separation of power, check and balances), tidak anti-market, liberalisme, interdisiplin. Relasi negara, warga dan hukum Kekeluargaan, desa, mengutamakan posisi kultural, mengutamakan kewajiban Mengutamakan kolektivisme (gotong-royong) Teori konsentris, Islam sebagai sentral, kemudian negara dan hukum, contoh Negara Madinah
Kontrak sosial, Lockean, relasi hak-kewajiban, otonomi di luar negara
Pertama, Konsep Negara Integralistik. Konsepsi tentang negara integralistik di Indonesia dapat dirujuk akar pemikirannya pada pemikiran Soepomo, khususnya terkait dengan pidato Soepomo dalam persidangan BPUPKI, 31 Mei 1945, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat dua hari sebelumnya tentang apa filosofische grondslag atau dasar falsafah dari Negara Indonesia yang akan dibentuk (Simanjuntak, 1994:81).
Dalam pidatonya tersebut Soepomo terlebih dahulu menguraikan aliran pikiran tentang negara. Pertama ia menyampaikan teori negara liberal yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa Barat. Negara liberal menciptakan dualisme antara penguasa dan rakyatnya di mana hak berada pada tangan rakyat dan penguasa berkewajiban untuk menjamin dan memenuhi hak-hak individu warga negara berdasarkan kontrak sosial yang dibuat oleh
1
rakyatnya. Kemudian ia menyampaikan negara dalam teori kelas di mana negara merupakan alat kelas yang berkuasa di dalam masyarakat. Konsep ini beranjak dari pandangan Marxisme tentang negara. Soepomo menolak kedua konsep tersebut dengan mengajukan konsep negara integralistik.
Konsep negara intergralistik menurut Soepomo adalah konsep yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, sejalan dengan tradisi ketimuran dan ia mengangkat konsep desa sebagai
NEGARA HUKUM DAN HAM
OASE
konsep bernegara. Dalam konsep negara integralistik, negara diandaikan sebagai sebuah makhluk hidup (organisisme) (Bourchier, 2007:117) di mana antara penguasa dan rakyat menyatu (manunggal) menjadi satu badan. Soepomo mendasarkan konsep negara integralistik pada pemikiran Spinoza, Adam Muller dan Hegel (Bahar et al, 1995:33). Dalam konsep negara integralistik, tugas negara bukan untuk menjamin kepentingan individu atau kelompok, tetapi untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat (Bourchier,
2 2007:118-9).
Kedua, Negara Hukum Pancasila. Konsep Negara Hukum Pancasila merujuk kepada ide Pancasila Soekarno yang diutarakan pada masa persidangan BPUPKI. Pada saat itu, Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno diterima sebagai ideologi untuk mengatasi berbagai kelompok yang ada seperti Islam dan Komunisme. Konsep Negara Hukum Pancasila itu kemudian juga mewarnai perdebatan di dalam Konstituante (1956-1959). Pada saat itu ada dua faksi besar di dalam Konstituante antara Islam dan Pancasila. Konstituante tidak dapat memutuskan persoalan dasar negara dan kemudian dibubarkan
3 oleh Soekarno.
Baik konsep negara integralistik dari Soepomo maupun Pancasila dari Soekarno sama-sama anti-individualisme dan juga anti-liberal. Bedanya, Soekarno tidak mengambil desa Indonesia tradisional tolak ukur dalam mengembangkan gagasan kenegaraan sebagaimana dilakukan oleh Soepomo, ia mengambil ukuran penentu dari aspek-aspek pemikiran kaum nasionalis seluruh dunia yang dilihatnya paling progresif (Bourchier, 2007:127). Kalangan ahli hukum yang melanjutkan gagasan Soekarno tersebut antara lain Notonagoro, Padmo Wahyono, Oemar Senoadjie dan Soediman Kartohadiprodjo.
Ketiga, Nomokrasi Islam. Gagasan Islam sebagai dasar negara merupakan perdebatan yang cukup panjang, bahkan sudah bermula sejak sebelum Republik Berdiri. Pertama kali perdebatan itu meruncing pada saat penyusunan Piagam Jakarta. Kemudian perdebatan di dalam Konstituante dan juga didebatkan dalam amandemen UUD 1945 (1999-2002). Para pengusung gagasan ini merujuk Negara Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagai contoh terbaik dalam kehidupan bernegara. Pada permulaan republik, para pengusung gagasan ini adalah kelompok Masyumi di
2. Lebih lanjut untuk memahami konsep negara intergralistik dapat dibaca Marsilam Simanjutkan, 1994.
Paham Negara Integralistik, dan David Bourchier, 2007. Pancasila versi Orde Baru dan asal muasal negara organisis (integralistik), Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila UGM.
3. Lebih lanjut tentang perdebatan di dalam Konstituante dapat dibaca Adnan Buyung Nasution, 2001. Aspirasi pemerintahan konstitusional di Indonesia: studi sosio-legal atas konstituante 1956-1959, Cet 2. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas
bawah Muhammad Natsir. Sedangkan di kalangan akademisi dan