• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini Ifdhal Kasim

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 73-87)

Pengantar

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang lebih dikenal dengan Komnas HAM) merupakan salah satu dari pilar terpenting mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dikatakan sebagai salah satu, karena paska kolaps-nya Orde Baru, lahir berbagai institusi-institusi serupa yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan perlindungan hak

1

asasi manusia. Mulai dari Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga pada pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Kehadiran institusi-institusi hak asasi manusia di atas sekaligus menunjukan komitmen yang kuat dari pemerintahan masa Reformasi. Komitmen politik yang kuat tersebut boleh dikatakan lahir sebagai bagian dari kesadaran baru dalam pengelolaan dan pengaturan negara setelah kehancuran tatanan kehidupan berdemokrasi selama pemerintahan otoriter di masa lalu.

Tonggak terpenting dari komitmen politik itu adalah pengakuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi (UUD). Walaupun sebelumnya telah disahkan sebuah TAP MPR tentang Hak Asasi Manusia, diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan disertai dengan ratifikasi terhadap beberapa konvensi internasional hak asasi manusia yang penting, menjadikan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional jelas merupakan langkah yang sangat strategis. Komitmen-komitmen yang tertuang dalam politik legislasi ini semakin memperkokoh kehadiran institusi-institusi yang menjadi bagian dari mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia.

Fokus bahasan tulisan ini tertuju pada Komisi Nasional Hak

1. Lihat Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden, 2003.

Asasi Manusia—komisi bidang HAM yang telah lahir jauh sebelum Reformasi bergulir. Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: (i) apa respon Komnas HAM terhadap tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini dan masa lalu; (ii) apa yang menjadi problem institusional yang menghambat proses penyelidikan hak asasi manusia oleh Komnas HAM saat ini; dan (iii) bagaimana gambaran relasi institusional antara Komnas HAM dengan institusi lain dalam penegakan HAM?

Pengalaman personal saya dalam mengelola Komnas HAM selama kurang lebih empat tahun ini akan saya jadikan basis dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena itu, apa yang coba saya paparkan dalam tulisan ini tidak menggambarkan pandangan institusional. Ini hanya pandangan-reflektif personal, oleh karena itu di sana-sini pasti ada subyektifitas yang tak terhindar.

Komnas HAM dan Mandatnya

Berbeda saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, sekarang (masa Reformasi) Komnas HAM memperoleh basis hukum yang lebih kuat, yaitu di bawah UU. Tidak lagi diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres), tetapi oleh sebuah undang-undang yang dihasilkan di awal Reformasi. Tepatnya, Komnas HAM diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain berbeda basis hukumnya, lingkungan politik tempat dimana Komnas HAM beroperasi juga sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya.

Sekarang ini Komnas HAM hidup di lingkungan politik jauh lebih terbuka (demokratis), dibanding dengan periode sebelumnya di masa Orde Baru yang otoriter. Berada pada lingkungan politik yang baru itu, mau tidak mau mengharuskan Komnas HAM untuk meninjau ulang peran strategisnya sesuai dengan lingkungan baru tersebut. Tidak bisa dipungkiri lingkungan eksternal ini memberi kontribusi yang signifikan terhadap efektifitas perlindungann oleh Komnas HAM.

Meski dibentuk oleh negara, dan karenanya merupakan bagian dari apparatus negara, Komnas HAM bukan dengan sendirinya adalah cabang dari Pemerintah. Komnas HAM merupakan institusi yang independen. Ia tidak berada di bawah kontrol atau

Komnas HAM dan Tantangannya

authority cabang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Independen bukan berarti Komnas HAM sama dengan organisasi non-pemerintah (NGO), melainkan independen dalam menjalankan perannya. “The differences between NGOs and National Human Rights Institution (NHRI) are perhaps most pronounced with regard to the investigation of complaints. NHRI are neutral fact finders, not advocates for one

2 side or another”.

Komnas HAM dengan demikian adalah institusi negara yang unique—yang dalam UU No. 39 tahun 1999 dirumuskan dalam bahasa “setingkat lembaga negara”, yang dimandatkan untuk mengawasi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia oleh pembentuknya sendiri, yaitu Negara. Independensi adalah kata kuncinya. Walaupun dalam menjalankan perannya, Komnas HAM baik secara langsung atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh Parlemen (DPR).

Dalam posisinya yang independen itulah Komnas HAM harus meletakkan kembali peran strategisnya di tengah lingkungan eksternal yang berubah tersebut. Untuk itu marilah kita lihat peran yang diberikan UU N0. 39 tahun 1999 kepada Komnas HAM. Berdasarkan UU tersebut, Komnas HAM diperintahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:

a) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;

b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan (Pasal 75).

Inilah mandat yang digariskan dalam UU yang harus dijalankan oleh Komnas HAM. Untuk mencapai tujuan yang dimandatkan tersebut, kepada Komnas HAM diberikan tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi: a). pengkajian dan penelitian; b). penyuluhan dan pendidikan; c). pemantauan dan penyelidikan; dan d). mediasi tentang hak asasi manusia.

Di samping menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

2. Lihat, National Human Rights Institutions: History, Principles, Roles and Responsibilities, UN: New York-Geneva, 2010. hal 13.

diamanatkan oleh UU No.39 tahun 1999, Komnas HAM juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan bagi kepentingan penuntutan atas pelanggaran berat hak asasi manusia (pro-justicia). Kewenangan ini diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam menjalankan fungsi ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc (KPP) yang anggotanya dapat direkrut dari masyarakat.

Reformasi: Menjawab Tantangan Baru

Setelah memaparkan tentang kedudukan dan mandat Komnas HAM, kini kita tiba pada pertanyaan: apa yang dilakukan Komnas HAM terkait dengan tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini dan masa lalu? Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan meletakkannya pada proses reformasi yang berlangsung secara keseluruhan di mana Komnas HAM terlibat di dalamnya.

Pada tahun pertama reformasi, MPR mengesahkan sebuah ketetapan berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian diikuti dengan amandemen pasal-pasal hak asasi manusia ke dalam UUD 1945 pada tahun 2000. Lahirnya Ketetapan ini merupakan titik awal dari perubahan pada tatanan hukum Indonesia. UU yang memberi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar mulai bermunculan, termasuk ratifikasi terhadap instrumen hak asasi manusia internasional maupun konvensi-konvensi ILO. Dimulai dengan pengesahan UU No. 8 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, diikuti dengan pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subsversi, lalu ratifikasi terhadap Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 tahun 1998, Presiden BJ Habibie kemudian mengeluarkan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No. 129 tahun 1998), dan membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Keppres No. 181 tahun 1998).

Pada tahun berikutnya (1999), Pemerintah reformasi dan DPR kembali mengesahkan UU yang memperkuat jaminan perlindungan hak asasi manusia, yaitu: UU No. 39 tahun 1999 tentang

Komnas HAM dan Tantangannya

Hak Asasi Manusia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (yang melarang sensor dan breidel), UU No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, UU No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO N0.111 tentang Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, dan UU No. 26 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No, 138 tentang Usia Minimun Anak Diperbolehkan Bekerja. Selain itu, pada tahun ini, Presiden BJ Habibie juga mengeluarkan Perpu No.1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Proses penyusunan standard-setting hak asasi manusia terus berlanjut baik pada masa kepresidenan KH. Abdurachman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri maupun di masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Di masa kepresidenan Gus Dur, DPR mengesahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU ini lahir karena ditolaknya Perpu No. 1 tahun 1999 yang diterbitkan oleh Presiden BJ Habibie, selain karena tekanan internasional yang keras paska terjadinya pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pada September 1999.

Perubahan lain yang terpenting pada tahun 2000 adalah dikeluarkannya TAP MPR yang memberi amanat kepada pemerintah untuk menuntaskan agenda reformasi, selain amandemen pasal-pasal hak asasi manusia dalam UUD 1945. Ketetapan yang dimaksud, antara lain, TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan TAP MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 berisi tentang amanat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga ekstra-judisial yang bertugas mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa Soeharto.

Pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri, TAP MPR No. V/MPR/200 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Di bawah Presiden Megawati pula, pendirian Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

dan proses seleksi anggota KKR mulai dilakukan. Namun belum sepenuhnya diterapkan, pada masa kepresidenan SBY-JK, UU ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Di masa Megawati pula dilakukan revisi terhadap undang-undang pemberantasan korupsi dan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara di masa kepresidenan SBY-JK, legislasi yang penting lainnya yang lahirkan adalah ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia yang mendasar, yaitu: (i) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005; dan (ii) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005.

Kalau di atas dipaparkan mengenai pengembangan standard setting, paparan berikut akan tertuju pada upaya-upaya yang dilakukan dalam penegakan standard-setting tersebut. Kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang diwarnai dengan adanya perkosaan, adalah kasus pertama yang diselidiki oleh pemerintahan BJ. Habibie. Dimulai dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), 23 Juli 1998, sebagai reaksi terhadap tuntutan publik agar kerusuhan Mei 1998 diungkap dengan tuntas; diselidiki latar belakangnya, luasnya peristiwa, korban dan penanggungjawabnya.

Di tengah kontroversi yang muncul ketika itu, TGPF mengeluarkan yang ditunggu-tunggu oleh publik, yaitu hasil temuannya. TGPF menemukan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang serius pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998: peristiwa ini merupakan satu kerusuhan yang terencana dan s i s t e m a t i s . B e r d a s a r t k a n p a d a t e m u a n n y a i t u , T G P F merekomendasikan kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyidikan, dan langkah-langkah yuridis terhadap para pelaku, melakukan rehabilitasi dan pemberian kompensasi terhadap para korbannya. Namun demikian, perlu ditambahkan di sini, bahwa hasil penyelidikan TGPF tidak ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Akhirnya Komnas HAM mengambil inisiatif menyelidiki kembali peristiwa ini dengan membentuk KPP HAM untuk Peristiwa Mei 1998.

Kasus kedua yang diselidiki adalah pemberlakuan DOM di Aceh. DOM adalah singkatan dari Daerah Operasi Militer, sebuah

Komnas HAM dan Tantangannya

nama operasi militer yang diberlakukan di Aceh dalam upaya menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No. 88 tahun 1999 tentang Pembentukan Komite Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Melalui Keppres tersebut Presiden memberikan mandat kepada komite untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di Aceh selama penerapan DOM, sekaligus menyelidiki kasus penembakan dan pembunuhan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateh, Kabupaten Aceh Barat, yang justru terjadi di awal reformasi, yakni pada 23 Juli 1999. Komite ini dipimpin oleh seorang tokoh Aceh, Amran Zamzami, yang berlatar belakang bisnis.

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Komite menemukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dengan korban yang sangat besar di kalangan masyarakat sipil Aceh pada masa DOM. Sedangkan pada peristiwa penyerbuan militer ke pondok pesantren Teungku Bantaqiah, Komite menemukan tindakan yang di luar prosedur dilakukan oleh tentara. Atas dasar temuan tersebut, Komite memberikan rekomendasi kepada Presiden agar segera menindaklanjuti ke proses hukum hasil penyelidikannya. Tetapi sayangnya, rekomendasi yang dijalankan Pemerintah hanya terbatas pada kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, dan perkosaan di Rumoh Geudong (Aceh Pidie). Kasus ini oleh Menteri Negara Hak Asasi saat itu, Hasballah M.Saad, ditindaklanjuti dengan menggelar Pengadilan Koneksitas di Banda Aceh.

Sedangkan kasus ketiga yang diselidiki adalah kasus yang menghebohkan dunia, yaitu pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak-pendapat awal September 1999. Peristiwa ini kembali memaksa Pemerintah B.J. Habibie harus menangani dengan cepat kasus ini. Masyarakat internasional mengecam keras peristiwa ini. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Mary Robinson, mendesak digelar penyelidikan internasional (international fact-finding mission) terhadap kasus tersebut. Presiden Habibie kemudian menerbitkan Perpu No.1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM sebagai respon terhadap desakan pembentukan international tribunal oleh masyarakat internasional (PBB).

Terbitnya Perpu No. 1 tahun 1999 memang tak lepas dari pro dan kontra. Meski demikian, Komnas HAM tetap mengambil inisiatif membentuk Tim Penyelidikan untuk mengungkap dugaan Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

pelanggaran hak asasi manusia yang massif di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut. Tim penyelidikan ini diberi nama KPP-HAM Timor Timor, dan beranggotakan tokoh-tokoh hak asasi manusia yang kredibel. Ruang lingkup penyelidikannya ditentukan mulai dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR pada Oktober 1999 yang mengesahkan hasil jajak pendapat.

KPP-HAM Timor Timur menemukan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kasus inilah yang untuk pertamakalinya diajukan ke pengadilan hak asasi manusia –segera setelah pengesahan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pasca disahkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa Orde Baru. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, dan paska 1999 satu demi satu mulai disentuh oleh Komnas HAM. Diawali dengan pembentukan KPP-HAM Peristiwa Tanjung Priok, dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KPP-HAM Peristiwa Abepura (Papua), KPP-HAM Peristiwa Trisakti, Semanggi I & II, KPP-HAM Kerusuhan Mei 1998, KPP-HAM Penghilangan Orang Secara Paksa, dan KPP-HAM Peristiwa Talangsari, Lampung. Dari penyelidikan yang dilakukan oleh berbagai KPP-HAM tersebut, hanya hasil penyelidikan KPP-HAM Peristiwa Tanjungpriok yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk Peristiwa Tanjungpriok. Sementara hasil penyelidikan oleh KPP-HAM lainnya, hingga sekarang, masih belum ditindaklanjuti penyidikannya oleh Jaksa Agung dengan alasan belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc untuk masing-masing peristiwa.

Tabel di bawah ini menyajikan lebih lanjut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang telah diinvestigasi oleh Komnas HAM pada masa kepresidenan B.J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri atau setelah pengesahan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM dan Tantangannya

Tabel 1: Kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM

Selain menggunakan mekanisme yang disediakan oleh UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM juga melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan mekanisme yang tersedia melalui UU No. 39 tahun 1999. Kasus-kasus yang diselidiki, antara lain, kasus Aceh di masa DOM. Tim dipimpin oleh Baharudin Lopa—yang kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden B.J. Habibie dengan membentuk Komite Independen Pengusutan Tindak Kekerasan Aceh lewat Keppres No. 88 tahun 1999. Kemudian kasus penyerbuan kantor PDI-P atau lebih dikenal dengan “Peristiwa 27 Juli”, kasus penyerbuan pesantren Warsidi atau lebih dikenal “Peristiwa Lampung” –yang kemudian penyelidikannya ditingkatkan dengan membentuk KPP-HAM Peristiwa Lampung, kasus pembunuhan terhadap Udin, wartawan Berita Nasional Yogyakarta, dan kasus kerusuhan Mei 1998—yang juga penyelidikannya ditingkatkan dengan membentuk KPP-HAM Peristiwa Mei 1998.

Berbeda dengan penyelidikan dengan menggunakan mekanisme UU No. 26 tahun 2000, penyelidikan berdasarkan UU

No KPP HAM Kasus yang diselidiki Perkembangan terakhir

1. KPP HAM Timtim Peristiwa bumi hangus paska jajak pendapat tahun 1999

Sudah selesai diperiksa melalui pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat

2. KP3T Tanjungpriok Peristiwa penembakan massa Islam di Tanjungpriok pada tahun 1984

Sudah selesai diperiksa melalui pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat

3. KPP HAM Abepura Peristiwa penembakan oleh polisi di Abepura, Papua, yang tejadi pada tahun 2000

Sudah selesai diperiksa melalui Pengadilan HAM di Makasar

4. KPP HAM Trisakti, Semanggi I & Semanggi II. Peristiwa penembakan terhadap demo mahasiswa tahun 1998-1999

Masih di penyidik Jaksa Agung

5. KPP HAM Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Peristiwa kerusuhan menjelang lengsernya preo siden Soeharto pada tahun 1997

Masih di penyidik Jaksa Agung

Sumber: Komnas HAM

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

No. 39 Tahun 1999 direkomendasikan tindak lanjutnya dengan menggunakan pengadilan umum.

Perlu juga dicatat disini langkah yang dilakukan oleh Presiden Megawati dalam menanggapi pembunuhan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay, pada 2002. Megawati meresponnya dengan membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN). Melalui Keppres No. 10 Tahun 2002, Presiden menunjuk Koesparmono Irsan sebagai Ketua KPN dengan sepuluh anggota yang terdiri dari Danpuspom TNI, dan unsur kepolisian serta tokoh-tokoh Papua.

KPN mengungkapkan bahwa Theys Hiyo Eluay terbunuh akibat operasi intelejen yang digelar oleh Satuan Wirabuana dari Kopassus. Kasus pembunuhan ini selanjutnya disidangkan di Pengadilan Militer Surabaya. Selain itu, juga perlu dikemukan di sini langkah yang diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merespon pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir, juga membentuk Tim Pencari Fakta. Tim Presiden ini beranggotakan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dan kepolisian. Tim ini berhasil mengungkapkan latar belakang dan yang bertanggungjawab atas pembunuhan tokoh terkemuka hak asasi manusia itu, dan ditindaklanjuti dengan membawa ke pengadilan pidana orang-orang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan yang mendapat perhatian dunia internasional tersebut.

Berbagai tim penyelidikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dipaparkan pada halaman-halaman di atas, baik yang dilakukan oleh tim pencari fakta bentukan pemerintah maupun dibentuk oleh Komnas HAM, akhirnya bermuara pada pertanggungjawabannya di pengadilan. Pada kurun reformasi ini, paling tidak tercatat digelar tiga pengadilan hak asasi manusia: dua pengadilan koneksitas, dan dua pengadilan militer. Yang diselesaikan melalui pengadilan hak asasi manusia adalah dua pengadilan yang sifatnya ad hoc, yaitu kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur paska jajak-pendapat dan kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Yang satu lagi diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen karena peristiwanya terjadi setelah tahun 2000, yaitu kasus Pelanggaran HAM yang berat di Abepura, Papua.

Yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapan pengadilan saat

Komnas HAM dan Tantangannya

itu, baik yang ad hoc maupun permanen, terdiri dari perwira tinggi militer dan polisi (Pangdam dan Kapolda), gubernur, bupati, perwira menengah hingga pelaku-pelaku lapangan (prajurit dan milisi-milisi). Para terdakwa ini, di tingkat kasasi (Mahkamah Agung) hampir semuanya bebas dari hukuman yang dijatuhkan pada tingkat pertama (pengadilan negeri), kecuali untuk Abilio Jose Soares (Gubernur Tim-Tim) dan Eurico Gueteres (Panglima Milisi) yang tetap dinyatakan bersalah di tingkat kasasi (MA).

Relasi Komnas HAM dengan Institusi Lainnya

Selanjutnya kita akan melihat bagaimana relasi institusional antara Komnas HAM dengan institusi lain dalam penegakan HAM, khususnya dengan Jaksa Agung. Relasi dengan Jaksa Agung ini terkait dengan pelaksanaan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menempatkan Komnas HAM sebagai penyelidik yustisia. Dengan memberikan peran penyelidik pro-yustisia untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat kepada Komnas HAM, maka terbangun hubungan antar subsistem antara Komnas HAM dan Jaksa Agung, yaitu hubungan antara penyelidik dan penyidik dalam sistem peradilan pidana (pelanggaran hak asasi manusia yang berat). Inilah yang membedakan dengan penyelidikan (inquiry) berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang tidak menempatkan Komnas HAM secara langsung ke dalam sistem peradilan pidana. Peran yang baru ini jelas tidak mudah bagi Komnas HAM, dan belakangan sering terjadi perbedaan.

Seperti telah dipaparkan di atas, Komnas HAM setidaknya telah melakukan lebih dari lima penyelidikan pro yustisia, yaitu: KPP HAM Timtim; KPP HAM Tanjung Priok (KP3T); KPP HAM Abepura/Papua; KPP HAM Trisakti-Semanggi I dan II; KPP HAM Kerusuhan Mei 1998; KPP HAM Penghilangan Orang; dan KPP HAM Talangsari. Laporan-laporan KPP HAM tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan rangkaian tindakan berikutnya, yaitu penyidikan dan penuntutan.

Dalam menanggapi laporan hasil penyelidikan Komnas HAM, Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk menilai apakah laporan penyelidikan tersebut sudah lengkap atau kurang lengkap Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

menyatakan ada dugaan terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Jika disimpulkan belum lengkap maka laporan tersebut akan

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 73-87)