• Tidak ada hasil yang ditemukan

Milisia Islamis, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 21-41)

Noorhaidi Hasan

Abstraksi

Periode paska luruhnya kekuasaan Orde Baru menjadi masa subur bertumbuhnya kelompok-kelompok Islamis. Mereka mengusung syariat

Islam sebagai solusi atas pelbagai macam problem sosial-politik yang tak kunjung tuntas diselesaikan oleh demokrasi sekuler. Di tengah ketidakjelasan arah transisi yang berjalan, kelompok-kelompok milisia itu lantas tampil ke permukaan dengan mencoba menggantikan

peran-peran negara dalam menciptakan ketertiban sosial dengan jalan antidemokrasi, kekerasan, dan sektarian. Islam oleh kelompok milisia itu

diseret menjadi tameng di arena politik kekuasaan. Berebut diskursus dominan dengan cara-cara yang kerap menodai demokrasi dan hak asasi

manusia.

Tumbangnya rezim otoriter Suharto pada 21 Mei 1998 membawa Indonesia pada transisi demokrasi yang penuh gejolak. Konflik komunal berdarah meletus di beberapa kawasan diikuti munculnya berbagai kelompok milisia Islamis, seperti Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin Indonesia. Mereka aktif berdemonstrasi memenuhi jalan-jalan menuntut penerapan syari'ah secara menyeluruh, menggerebek kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, rumah pelacuran, dan sarang-sarang kemaksiatan lainnya, serta yang terpenting lagi, menyerukan jihad di Maluku, Poso dan daerah-daerah kacau lainnya di Indonesia. Melalui aksi-aksi ini, mereka mengkritik sistem politik, sosial, dan ekonomi yang ada, yang mereka anggap telah gagal menyelamatkan umat Islam Indonesia dari krisis yang terus berlangsung, sembari memperlihatkan tekad mereka untuk menempatkan diri sebagai pembela Islam yang terdepan.

Selain ketiga kelompok tersebut, organisasi-organisasi Islamis lainnya aktif menuntut revitalisasi Khilafah Islamiyah dan

merespon berbagai isu transnasional, terutama seputar konflik Palestina-Israel, Afghanistan, dan Irak. Paling menonjol di antara mereka adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). KAMMI berdiri sebagai bagian dari perluasan penyebaran pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia, yang awalnya berkembang di kampus-kampus universitas dalam payung gerakan tarbiyah. Sementara Hizbut Tahrir Indonesia tumbuh sebagai bagian dari gerakan transnasional Hizbut Tahrir yang berpusat di Timur Tengah.

Kehadiran organisasi-organisasi tersebut melengkapi dan menggenapi perkembangan kelompok-kelompok vigilante jalanan serupa yang dibentuk oleh partai-partai politik, organisasi-organisasi massa, dan rezim penguasa. Di antara kelompok-kelompok ini adalah Barisan Pemuda Ka'bah, Pam Swakarsa, Pendekar Banten, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Front Hizbullah Bulan Bintang.

Ekspansi kelompok-kelompok milisia Islamis di arena politik Indonesia tampak memperlihatkan adanya paradoks dalam dinamika transisi dan demokratisasi pasca tumbangnya rezim Suharto. Liberalisasi dan demokratisasi yang berlangsung membuka hambatan-hambatan yang selama ini membelenggu partisipasi masyarakat dalam politik. Namun hal yang sama memberikan kesempatan kepada berbagai kelompok kepentingan untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi dan identitas mereka di ruang publik.

Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok milisia Islamis muncul ke permukaan, berupaya mengklaim ruang dalam situasi politik yang tengah berubah. Hanya saja, kehadiran kelompok-kelompok semacam ini sekaligus menghadirkan ancaman bagi proses demokratisasi itu sendiri. Wacana-wacana dan aksi yang mereka kembangkan di ruang publik tidak saja mengingkari prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga menggerogoti fondasi HAM yang sedang tumbuh dalam atmosfer demokratisasi di Indonesia. Tulisan ini bertujuan mengkaji eksistensi kelompok-kelompok milisia Islamis dari perspektif demokrasi dan HAM.

Kelompok-kelompok Milisia Islamis

Laskar Pembela Islam (LPI) merupakan divisi paramiliter dari organisasi massa Islamis yang bernama Front Pembela Islam (FPI). Kelompok ini didirikan oleh Muhammad Rizieq Syihab (lahir 1965),

MILISIA ISLAMIS

bekerja sama dengan tokoh-tokoh lain di dalam jaringan keturunan Hadrami (Arab) di Indonesia, di antaranya Idrus Jamilullail, Ali Sahil, Saleh al-Habsyi, Segaf Mahdi, Muhsin Ahmad Alatas, dan Ali bin

1 Alwi Ba'agil.

Didirikan tanpa basis kelembagaan yang jelas, LPI diorganisir secara bebas dengan keanggotaan yang terbuka. Kebanyakan anggotanya berasal dari ikatan-ikatan pemuda masjid dari penjuru Jakarta dan sejumlah madrasah ataupun pesantren di sekitar ibukota. Anggota-anggota biasa umumnya berlatar para pemuda pengangguran, termasuk kelompok-kelompok preman. Pemimpin organisasi itu mendorong para anggotanya untuk mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan rutin yang diberikan oleh Syihab, yang dengan konsisten selalu menekankan pentingnya jihad dan semangat motto “hiduplah dengan mulia atau lebih baik mati sebagai syahid.”

Dalam tempo singkat, LPI berhasil memperluas jaringannya ke kota-kota di luar Jakarta, mengaku pada 2004 telah mendirikan 18 cabang provinsi dan lebih dari 50 cabang kabupaten dengan puluhan ribu simpatisan di seluruh Indonesia. Laskar terorganisir secara semi-militer dan mempunyai sistem stratafikasi yang berbeda yang disebut dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Ia terbagi ke dalam jundi—istilah dari bahasa Arab jund yang secara harafiah berarti “prajurit”—yang sama dengan peleton-peleton, yang masing-masing terdiri dari 21 anggota. Setiap jundi dipimpin oleh seorang ra'is (kepala), yang berada di bawah seorang amir (komandan). Para amir inilah yang pada praktiknya merupakan pemimpin LPI di tingkat kecamatan. Mereka berada di bawah qa'id (pemimpin), yang bertindak sebagai pemimpin di tingkat kabupaten, dan wali (pengawal), para pemimpin di tingkat provinsi. Seluruh wali itu tunduk pada imam (kepala staf), orang kedua setelah panglima, yang

2 dikenal di kalangan anggota sebagai “imam besar.”

Kemunculan LPI pertama kali dirasakan pada demonstrasi massa pada 17 Agustus 1998, ketika mereka secara terbuka menantang kelompok-kelompok yang menolak B.J. Habibie sebagai pengganti Suharto. Mereka merupakan kelompok yang paling aktif melakukan apa yang disebut sebagai razia maksiat. Bersenjatakan tongkat, para anggotanya berulang kali menyerang kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, dan rumah-rumah pelacuran sambil meneriakkan slogan al-'amr bi'l-ma'ruf wa-l-nahy 'an al-munkar, Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

1. M. Rizieq Syihab, Kyai Kampung: Ujung Tombak Perjuangan Umat Islam (Ciputat: Sekretariat FPI, 1999). 2. Mengenai struktur lengkap organisasi Laskar Pembela Islam, lihat Front Pembela Islam, Struktur Laskar FPI

sebuah kalimat Qur'an yang bermakna “memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.”

Dalam melakukan aksinya, anggota Laskar ini biasanya mengenakan baju serba putih, bergerak lambat menuju sasaran-sasaran dengan menggunakan truk-truk terbuka. Kemudian mereka dengan cepat membubarkan kegiatan-kegiatan apapun yang sedang berlangsung dan menghancurkan apa saja yang mereka temukan di situ. Menariknya, tindakan penghancuran ini tidak mendapat tantangan yang berarti dari aparat keamanan.

Untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan politik mereka secara lebih keras, berkali-kali LPI menggelar demonstrasi massa. Ketika merayakan ulang tahunnya yang pertama pada Agustus 1999, ribuan anggotanya bergerak ke gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mereka membentangkan spanduk-spanduk dan poster-poster yang mendukung usulan dipilihnya kembali Habibie, sambil dengan keras dan tegas mengecam pencalonan Megawati Sukarnoputeri

3

sebagai presiden. Pada saat yang sama, mereka menuntut pemerintah menghapus kebijakan mengenai asas tunggal, yang mengharuskan seluruh organisasi sosial politik menerima Pancasila, ideologi negara, sebagai satu-satunya dasar eksistensi organisasi. Mereka bahkan menuntut agar MPR memberlakukan Piagam Jakarta, yang pernah

4 hendak dijadikan sebagai preambule Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam suatu kesempatan, anggota-anggota LPI menyerang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang mereka anggap bertindak tidak adil terhadap umat Islam dan lebih mengasihi kalangan Kristen. Pada saat itu, Komisi tersebut sedang melakukan penyelidikan terhadap aksi-aksi masa lalu sejumlah jenderal Angkatan Darat, terutama Menteri Pertahanan Wiranto, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi selama operasi-operasi militer di Timor Timur. Sekali waktu Laskar tersebut menduduki Kantor Pemda DKI Jakarta dan memaksa Gubernur Sutiyoso untuk membatasi jam-jam operasi pusat-pusat hiburan yang ada di seluruh pelosok ibukota Indonesia itu. Mereka bahkan melemparkan ultimatum yang menuntut gubernur untuk segera menutup

diskotik-5 diskotik.

Laskar juga terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi anti-pornografi dan bahkan mengerahkan anggotanya untuk menyerang kantor majalah Playboy Indonesia. Dalam peristiwa lain yang

MILISIA ISLAMIS

menarik perhatian banyak kalangan, Laskar Pembela Islam bertindak sebagai tulang punggung penyerangan terhadap massa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) pada 1 Juni 2008. Ketika itu, mereka bergerak di bawah bendera Laskar Komando Islam yang dipimpin Munarman, menghalau dengan tongkat, kayu dan tangan, massa AKKBP yang berdemonstrasi di sekitar Monas untuk membela Ahmadiyah.

Sifat keanggotaan Laskar Pembela Islam yang longgar jelas berbeda dengan Laskar Jihad. Yang terakhir adalah kelompok milisia Islamis yang menyatukan para pemuda yang menyebut diri mereka “Salafi,” pengikut Salaf al-Shalih yang artinya para pendahulu yang shaleh. Kelompok ini aktif di bawah organisasi payung Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (FKAWJ), yang pendiriannya secara resmi dicanangkan di dalam acara tabligh akbar

6

yang diadakan di Yogyakarta pada Januari 2000. Sebelum resmi berdiri, FKAWJ sebenarnya sudah ada. Ia berkembang dari Jama'ah Ihyaus Sunnah, yang pada dasarnya merupakan gerakan dakwah yang berfokus pada pemurnian iman dan integritas moral pribadi-pribadi.

Laskar Jihad didirikan oleh Ja'far Umar Thalib (lahir 1961) dan beberapa tokoh terkemuka di dalam jaringan Salafi lainnya, di antaranya Muhammad Umar As-Sewed, Ayip Syafruddin, dan Ma'ruf Bahrun. Laskar Jihad didirikan sebagai perluasan dari Divisi Khusus FKAWJ, yang markasnya berpusat di Yogyakarta, dengan kantor-kantor cabang di tingkat kabupaten dan provinsi tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Divisi ini awalnya dibangun sebagai suatu unit keamanan FKAWJ, terutama untuk mengamankan kegiatan-kegiatan umum mereka.

Laskar Jihad terdiri dari satu brigade yang dibagi ke dalam batalyon-batalyon, kompi, peleton, dan regu-regu, plus satu seksi intelejen. Persis layaknya sebuah organisasi militer. Empat batalyonnya mengambil nama empat khalifah, yakni Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin Khattab, 'Utsman bin 'Affan, dan 'Ali bin Abi Thalib. Setiap batalyon mempunyai empat kompi, setiap kompi memiliki empat peleton, dan setiap peleton memiliki empat regu dengan 11 anggota. Thalib sendiri dipilih sebagai komandan dan dibantu oleh sejumlah komandan lapangan. Simbol kelompok ini adalah dua pedang bersilang di bawah tulisan “La ilaha illa Allah,

7 Muhammad Rasul Allah.”

Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

6. Istilah tablig akbar berasal dari dua kata Arab–tabligh dan akbar—yang secara harafiah bermakna masing-masing ”penyampaian pesan” dan ”besar.”

7. Kalimat ini dikenal sebagai syahadat atau syahadatain, yang berarti pengakuan Islam terhadap iman. Lihat D. Mimaret, ”Shahada,” The Encyclopedia of Islam, vol. IX (Leiden: Brill, 1997), hal. 201.

Laskar Jihad menarik perhatian publik ketika mereka menggelar pertemuan spektakuler di Stadion Utama Senayan Jakarta pada awal April 2000. Diikuti oleh sekitar sepuluh ribu peserta, pertemuan ini mengecam “bencana” menyedihkan yang menimpa orang-orang Islam Maluku, yang dianggap sedang menghadapi ancaman genosida. Untuk menjawab ancaman itu, Thalib menyatakan perlunya jihad. Ia secara terbuka mendesak umat Islam Indonesia untuk berdiri bahu-membahu dengan saudara-saudara Muslim mereka di Maluku untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Kristen.

Selanjutnya, ia mendirikan kamp pelatihan paramiliter di Bogor, yang terletak di selatan Jakarta. Latihan paramiliter terpadu itu diorganisir di bawah supervisi para mantan anggota resimen mahasiswa universitas (Menwa) dan para veteran perang Afghan, Moro, dan Kasmir. Menurut laporan, latihan itu juga melibatkan beberapa personil tentara.

Pada kenyataannya, Laskar Jihad muncul sebagai organisasi milisia Islamis terbesar dan paling terorganisir yang mengirimkan para sukarelawan jihad ke Maluku. Mereka mengaku telah memberangkatkan lebih dari tujuh ribu pejuang selama lebih dari dua tahun. Kehadiran para sukarelawan ini, yang disebar di berbagai wilayah yang berbeda untuk melawan orang-orang Kristen, tak ayal lagi telah mengubah peta konflik komunal di kepulauan itu. Dibakar oleh semangat jihad yang mereka kobarkan, kaum Muslim Maluku tampil lebih agresif melakukan penyerangan terhadap orang-orang Kristen, dengan keyakinan bahwa saatnya telah tiba untuk menuntut balas.

Untuk memperkokoh kehadirannya di kepulauan Maluku, Laskar Jihad juga memperhatikan masalah-masalah sosial kawasan itu dan menyebarkan ajaran-ajaran agama. Mereka bukan hanya mendirikan taman kanak-kanak Islam, sekolah-sekolah dasar Islam terpadu, dan kursus-kursus baca Qur'an, tapi juga berkunjung dari rumah ke rumah untuk berdakwah secara langsung. Belakangan mereka memperluas titik-titik operasi jihad mereka dengan mengirimkan ratusan pejuang ke Poso, Sulawesi Tengah. Meskipun usaha ini gagal, para pejuangnya bahkan juga sempat ingin mendarat di Papua Barat dan Aceh.

Sebagaimana Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad

berkali-MILISIA ISLAMIS

kali mendorong kerusuhan-kerusuhan jalanan. Atas nama penerapan syari'at Islam, anggota-anggotanya menyerang kafe-kafe, rumah-rumah pelacuran, dan tempat-tempat perjudian di sejumlah kota. Ketika seruan penerapan syari'at Islam telah bergema ke seluruh penjuru tanah air, mereka bahkan menjalankan hukum rajam kepada seorang pejuang yang telah melakukan perkosaan. Mereka juga terjun ke jalan-jalan untuk memprotes beberapa kebijakan Abdurrahman Wahid, seperti usulannya untuk mencabut Ketetapan MPR yang melarang PKI (Partai Komunis Indonesia). Laskar Jihad yakin bahwa Wahid telah gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Muslim dan telah membuat negerinya terjebak dalam konspirasi yang dirancang pihak Barat dan Zionis.

Kelompok milisia Islamis lain, Laskar Mujahidin Indonesia, merupakan organisasi yang terakhir muncul dan mungkin paling militan di Indonesia pasca-Orde Baru. Ia merupakan aliansi yang longgar dari sekitar lusinan organisasi paramiliter Muslim kecil yang tersebar di kota-kota seperti Solo, Yogyakarta, Kebumen, Purwokerto, Tasikmalaya, dan Makassar. Organisasi-organisasi yang menjadi anggotanya tercatat, antara lain, Laskar Santri, Laskar Jundullah, Kompi Badar, Brigade Taliban, Korps Hizbullah Divisi Sunan Bonang, Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), dan Pasukan Komando Mujahidin.

Laskar Mujahidin berada di bawah organisasi payung Majelis Mujahiddin Indonesia, yang didirikan sebagai hasil keputusan dari apa yang disebut sebagai “Kongres Mujahiddin Indonesia I,” di Yogyakarta pada Agustus 2000. Sekitar dua ribu peserta mengikuti kongres itu. Di antara mereka saya lihat para anggota dari kelompok-kelompok di atas yang dengan bangga memakai baju seragam mereka masing-masing dan menjaga pintu masuk ke kongres.

Pada waktu itu, seluruh pembicaraan peserta tersedot pada satu tema utama: penerapan syari'ah sebagai suatu aksi yang penting untuk mengatasi masalah-masalah dan konflik-konflik yang menghancurkan Indonesia. Di dalam konteks ini, dibicarakan juga gagasan-gagasan pemikiran mengenai khilafah Islamiyah, imamah,

8

dan jihad. Kongres itu menghasilkan suatu piagam yang disebut Piagam Yogyakarta, yang menegaskan penolakan atas semua ideologi yang melawan dan bertentangan dengan Islam dan keputusan untuk terus mengajarkan dan melakukan jihad demi Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

9 kejayaan Islam.

Kongres dimulai pada 5 Agustus 2000 dan berakhir dua hari kemudian. Tanggal ini tampaknya bukanlah kebetulan. Pada tanggal yang sama limapuluh satu tahun sebelumnya, S. M. Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia, sebuah negara Islam merdeka di dalam wilayah Indonesia. Peristiwa dramatik ini mengawali pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan kemudian 10 menjalar ke Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Terinspirasi oleh semangat pemberontakan untuk mendirikan negara Islam itu, apa yang disebut gerakan Negara Islam Indonesia (NII) muncul di tahun 1970-an. Gerakan bawah tanah ini hadir untuk menarik kalangan radikal lain yang tidak puas dengan pemerintah untuk masuk ke dalam orbitnya, dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang disebut usrah (Ar. 'usra, secara harafiah berarti “keluarga”) di berbagai kota dengan nama-nama berbeda, seperti Jama'ah Islamiyah di Solo, Generasi 554 di Jakarta, dan NII Cirebon

11 di Cirebon.

Majelis Mujahidin Indonesia merekrut sejumlah tokoh terkemuka dari berbagai organisasi Islam dan partai politik, di antaranya Deliar Noer, Mochtar Naim, Mawardi Noor, Ali Yafie, Alawi Muhammad, Ahmad Syahirul Alim, dan A.M. Saefuddin. Mereka dipilih sebagai anggota ahl- al-hall wa'l-'aqd, yang secara harafiah berarti “orang yang mempunyai wewenang untuk tidak mengikat dan mengikat,” suatu badan tertinggi dari organisasi itu yang mirip dengan dewan penasehat. Dewan ini dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir, yang bergelar Amirul Mujahidin yang secara harafiah bermakna “pemimpin para pejuang suci”.

Ba'asyir adalah salah satu tokoh gaek keturunan Hadrami, yang bekerja sama dengan Abdullah Sungkar, mendirikan Pesantren Al-Mukmin, sebuah sekolah Islam konservatif, di Ngruki, Solo, Jawa

12

Tengah, tahun 1972. Keduanya pernah ditangkap pada November 1978 karena diduga bertindak sebagai pemimpin Jama'ah Islamiyah, dan setelah sempat dibebaskan melarikan diri ke Malaysia untuk menghindari hukuman penjara di tahun 1985. Pada kongres itu,

MILISIA ISLAMIS

FOKUS

9. Majelis Mujahidin Indonesia, Piagam Yogyakarta (Yogyakarta: Majelis Mujahidin Indonesia, 2000). 10. Mengenai pemberontakan ini, lihat Hiroko Horikoshi, “The Dar-ul-Islam Movement of West Java (1942-62: An Experience in the Historical Process,” Indonesia 20 (Oktober 1975): 59-86; dan C. van Dick, Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981).

Ba'asyir menyatakan bahwa penerapan syari'ah sangat mendasar dan 13 berpendapat bahwa penolakannya harus dilawan dengan jihad. Kongres itu sendiri diprakarsai oleh Irfan S. Awwas, Ketua Dewan Tanfidziyah majelis tersebut.

Seruan-seruan untuk berjihad di Maluku dan wilayah-wilayah konflik lainnya juga menjadi agenda Laskar Mujahidin. Yang berbeda dengan Laskar Jihad, Laskar Mujahidin lebih senang bekerja secara rahasia dalam unit-unit kecil yang terlatih dan handal. Jika publisitas menjadi perhatian Laskar Jihad, Laskar Mujahidin meletakkan tekad untuk menghancurkan musuh-musuh Islam sebagai prioritas.

Pada kenyataannya, Laskar Mujahidin tidak berjalan sehaluan dengan Laskar Jihad. Untuk menjamin sukses operasi-operasi jihadnya di kepulauan itu, Laskar Mujahidin dilaporkan menerima senjata-senjata canggih dari berbagai kelompok milisi di luar Indonesia, seperti kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Bagi Laskar Mujahidin, jihad di Maluku dan wilayah-wilayah kacau lainnya hanyalah latihan biasa untuk jihad yang sesungguhnya

14 melawan taghut, “tiran-tiran penindas.”

Islamisme dan Demokrasi

Munculnya kelompok-kelompok milisia seperti yang sudah dipaparkan di atas jelas merupakan pertanda kuat bagi ekspansi Islamisme di dalam landskap politik Indonesia pasca-Suharto. Islamisme merupakan konsep analitik yang ditawarkan sebagai alternatif atas konsep serupa yang dipandang bias, tapi masih d i g u n a k a n b a n y a k k a l a n g a n . C o n t o h n y a a n t a r a l a i n “Fundamentalisme Islam”, Ekstremisme Islam”, “Islam Militan”, “Islam Politik”, dan “Nasionalis Keagamaan”.

Garis demarkasi dalam konsep Islamisme memang lebih jelas jika dibandingkan dengan konsep lainnya itu yang pengertiannya kerap kabur. Sebagaimana dikemukakan Roy (1996), Islamisme mengandung makna suatu gerakan sosial-politik yang dibangun di atas landasan Islam yang didefinisikan lebih sebagai ideologi politik ketimbang agama. Definisi Roy mengajukan dua unsur paling penting bagi Islamisme; sebagai gerakan yang bertujuan mendirikan negara Islam dan yang membangun legitimasinya dari al-Quran dan

15

Sunnah. Sayyid (1997) mengkritik Roy karena definisinya Volume VII No. 1 Tahun 2011 dignitas

13. Awwas, Risalah Kongres Mujahidin I, hal. 139.

14. Wawancara dengan Irfan S. Awwas, Yogyakarta, Oktober 2001. Istilah ”taghut” ini, semula merujuk pada pengertian dewa-dewa Arab pra-Islam, tetapi kemudian fokusnya telah meluas, sehingga sekarang ia bisa berarti setan, penyihir, dan pemberontak, serta kekuatan apapun yang memusuhi Islam. Lihat F. H. Stewart, ”Thagut,” The Encyclopedia of Islam, vol. X (Leiden: Brill, 2000), hal. 93-95.

15. Oliver Roy, The Failure of Political Islam, terjemahan Carol Volk (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), hal. 39.

dipandang terlalu sempit dan mengabaikan mereka yang bermimpi mendirikan negara Islam secara bertahap (the bottom up) dengan 16 terlebih dahulu mengislamkan masyarakat pada aras akar-rumput. Alasan lainnya bagi kelemahan definisi Roy adalah ketidakjelasannya mempertimbangkan unsur gagasan tentang kemurnian (purity) dan perlunya mempertahankan batas yang tegas antara 'dirinya' (we) dan 'yang lainnya' (the others) yang melekat

17 dalam Islamisme.

Namun jangan dibayangkan Islamisme sebagai gerakan statis yang terkunci dalam perjuangan mendirikan negara Islam. Catatan sejarah di berbagai kawasan dunia Islam menunjukkan Islamisme merupakan gerakan yang sangat dinamis, tumbuh dan bergerak mengikuti konteks dan dinamika politik, sosial, ekonomi dan budaya di suatu negara. Poros pergerakannya berada di antara dua titik; radikalisasi dan moderasi.

Perasaan terancam dan frustrasi yang berkepanjangan menghadapi struktur politik yang represif dapat membawa Islamisme ke titiknya yang ekstrem; radikalisme Islamis yang mengesahkan penggunakan taktik kekerasan untuk memperjuangkan tujuan. Pilihan taktik kekerasan biasanya ditentukan oleh tingkat represi yang diterapkan negara, di satu sisi, dan struktur kesempatan politik, di sisi lain. Represi yang tanpa pandang bulu (indiscriminate) biasanya mengesahkan kerangka anti sistem (anti-system frame) kaum Islamis untuk melawan penguasa dengan kekerasan. Namun struktur politik terbuka, yang terjadi ketika negara dalam keadaan lemah, juga dapat mendorong kaum Islamis untuk menggunakan taktik kekerasan.

Wacana tentang keharusan segera beralih kepada sistem Islami menemukan konteks dan keabsahannya ketika berhadapan dengan negara lemah yang terancam gagal. Situasi politik pasca-tumbangnya rezim Suharto secara nyata memperlihatkan kelemahan dan sekaligus kegagalan sistem sekular negara-bangsa, hal yang menjelaskan mengapa kelompok-kelompok milisia Islamis muncul dalam situasi transisional itu.

Dalam dokumen 2011 Journal Dignitas No.VII 2011 (Halaman 21-41)