• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada variabel hambatan operasional (X1) responden diberikan pertanyaan berupa pernyataan-pernyataan sebanyak 21 penyataan dengan opsi pilihan jawaban “sangat setuju” (skor 4), “setuju” (skor 3), “tidak setuju” (skor 2), dan “sangat tidak setuju” (skor 1). Responden di intruksikan untuk menjawab dengan memberi penilaian skor terhadap hambatan partisipasi yang terjadi pada saat proses pelaksanaan pembangunan yang berhubungan dengan prosedur atau pembagian tugas-tugas. Ada 3 pokok indikator yang ditanyakan yaitu tentang: “Kurangnya koordinasi antara orang-orang yang terlibat”, koordinasi yang dimaksudkan adalah cara kerja atau pengkoordinasian kerja antara pihak balai TN, masyarakat, dan swasta, adanya sikap keengganan pemangku kepentingan terhadap berbagi kekuasaan, dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk diberi kuasa (untuk terlibat atau memegang kendali dalam pengelolaan).

Adanya “sistem sentralisasi administrasi publik”, sistem administrasi terlalu birokratis, segala urusan dalam pengelolaan seperti perizinan usaha, terpusat pada penguasa/pemegang saham. Kurangnya respon akan kebutuhan masyarakat secara efektif dan efisien. “Kurangnya informasi”, tingkat ketidaktahuan masyarakat akan adanya informasi apapun terkait pengelolaan, seperti rapat/pertemuan penting dengan pihak paling atas, ijin usaha, dll, contoh: ada banyak proyek pariwisata dilakukan secara diam-diam oleh otoritas lokal atau sektor swasta tanpa memberitahu masyarakat. Penilaian diberikan sesuai keadaan dan kondisi yang terjadi dan dialami oleh responden dalam keikutsertaannya atau partisipasi, sebagai masyarakat Desa Ngadisari.

Tabel 19 Hasil rataan skor hambatan operasional yang dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari, 2015

Hambatan Oprasional Rataan Skor*

Kurangnya Koordinasi 12,2 14,7 13,2 Sentralisasi Publik Kurangnya Informasi Total 40,1 ≈ 13,37

Keterangan: *Selang skor 7,01-13,99 = rendah; 14 -20,99 = sedang; 21 -27,99 = tinggi

Tabel 19, menjelaskan hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai rataan skor untuk indikator kurangnya koordinasi sebesar 12,2 artinya, nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori rendah, sehingga dapat dikatakan para pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata baik pihak pemerintah (Balai TNBTS), pihak swasta, dan masyarakat sudah melakukan koordinasi dengan baik. Hal ini terbukti dengan hasil dari beberapa jawaban penyataan bahwa mayoritas masyarakat menjawab telah sepenuhnya dilibatkan,

diberi kesempatan, diberi kuasa dan selalu diikutsertakan (berkoordiniasi) dalam kegiatan-kegiatan terkait pengelolaan kawasan wisata di Gunung Bromo baik mulai kegiatan yang diadakan oleh Balai Taman Nasional dan kegiatan yang diadakan oleh para pihak swasta.

Selain indikator kurangnya koordinasi antar pihak yang terlibat, hambatan operasional juga dilihat dari aspek adanya sentralisasi administasi publik, didapatkan nilai rataan skor 14,7. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Artinya, walaupun antar pihak sudah terjalin koordinasi yang baik dalam pengelolaan kawasan wisata di Gunung bromo, namun sebagian masyarakat masih merasakan adanya sentralisasi administasi publik. Hal ini dibuktikan melalui beberapa jawaban pernyataan bahwa sebagian masyarakat merasakan adanya sistem administrasi yang terpusat, birokratis, seperti perizinan usaha, dan pusat kendali sepenuhnya berada di pihak atas.

Pada indikator kurangnya informasi didapatkan nilai rataan skor 13,2. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori rendah. Dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak mengalami kurangnya informasi terkait hal-hal mengenai pengelolaan wisata. Hal ini terbukti dengan hasil dari beberapa jawaban penyataan bahwa mayoritas masyarakat menjawab telah sepenuhnya mendapat informasi- informasi terkait pengelolaan wisata, dan informasi yang disampaikan secara menyeluruh bukan hanya orang yang terpilih saja.

Ketiga indikator diatas mewakili variabel X1 yaitu hambatan operasional. Secara keseluruhan didapatkan skor akhir hambatan operasional yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari adalah rata-rata sebesar 40,1≈13,37 nilai tersebut berada pada selang kategori rendah. Dapat disimpulkan, masyarakat tidak merasakan adanya hambatan terkait adanya ketimpangan dalam koordinasi antar pihak, sentralisasi publik dan kurangnya informasi. Hal ini dikarenakan, masyarakat merasa bahwa tidak ada ketimpangan kerja antara pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat, semua telah diatur dan dirapatkan/dibicarakan secara bersama-sama. Walaupun, ada sebagian dari masyarakat merasakan adanya sistem administrasi publik (berpusat) namun, segala informasi terkait pengelolaan wisata disampaikan secara menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu responden yang dipilih juga untuk menjadi informan, berikut penyataannya :

“ Sejauh ini ya..masyarakat Desa Ngadisari dengan pihak yang terlibat wisata terutama balai TN rukun-rukun, aman, biasanya kalau ada program-program pengelolaan wisata dari pihak balai TN ataupun dari Dinas Pariwisata ya..masyarakat selalu dilibatkan, dan informasi selalu tersampaikan ke masyarakat di tiap Dusun, RT-RT. Pokoknya pemerintah, masyarakat, dan swasta selalu terbuka dan selalu berkoordinasi dengan baik...” (Bu GW, 41th)

Hambatan Struktural

Pada variabel Hambatan Struktural (X2) responden diberikan pertanyaan berupa pernyataan-pernyataan sebanyak 24 penyataan dengan opsi pilihan jawaban “sangat setuju” (skor 4), “setuju” (skor 3), “tidak setuju” (skor 2), dan “sangat tidak setuju” (skor 1). Responden di intruksikan untuk menjawab dengan memberi penilaian (skor) terhadap hambatan partisipasi yang muncul saat tahap pelaksanaan pembangunan pada pengembangan wisata dan berhubungan dengan

adanya pembagian peran kelembagan, struktur organisasi, legislatif, dan keterbatasan pada hal ekonomi. Ada empat pokok indikator yang ditanyakan meliputi: “Dominasi Elite” (pemangku kepentingan), Adanya peran dari kaum penguasa yang lebih menonjol dan mendominasi. Adanya dominasi politik cukup tinggi di antara kelompok orang tertentu yang memegang posisi manajemen. Contoh: sebagian proyek usaha dilakukan oleh kaum elite.

“Kurangnya sumber daya keuangan”, tingkat kurangnya sumberdaya keuangan atau hal-hal dari aspek ekonomi seperti: modal. Masyarakat lokal cenderung beroperasi bisnis skala kecil dan menengah. “Sikap professional”, tingkat adanya para pihak profesional, merasa bahwa ide dan pekerjaan mereka lebih baik daripada orang-orang lokal. Kurangnya organisasi non-pemerintah yang kuat (LSM) di tingkat nasional atau internasional. “Kurangnya hukum yang sesuai sistem”, tingkat bahwa hukum yang diterapakan tidak sesuai dengan sistem yang dijalankan dalam pengelolaan. Adanya sistem hukum di lokasi wisata tidak benar-benar mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam urusan lokal mereka. Tabel 20 Hasil rataan skor hambatan struktural yang dirasakan oleh masyarakat

Desa Ngadisari, 2015

Hambatan Struktural Rataan Skor*

Dominasi Kaum Elite 11,3

14,8 10,7 Kurangnya Sumberdaya Keuangan

Sikap Para Pihak Profesional

Kurangnya Kesesuaian Hukum 12,9

Total 49,7 ≈ 12,4

Keterangan: *Selang skor 6,01-11,99 = rendah; 12-17,99 = sedang; 18-23,99 = tinggi

Pada Tabel 20, menjelaskan hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel hambatan struktural. Didapatkan nilai rataan skor untuk indikator Dominasi Kaum

Elite sebesar 11,3 artinya, nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Sehingga, dapat dikatakan para pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata dari pihak pemerintah (Balai TNBTS), pihak swasta, dan masyarakat sudah melakukan koordinasi dengan baik dengan tidak saling mendominasi. Hal ini terbukti dengan hasil dari beberapa jawaban penyataan bahwa mayoritas masyarakat menjawab tidak ada siapa yang lebih mendominasi dalam pengelolaan semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing.

Indikator selanjutnya adalah kurangnya sumberdaya keuangan, didapatkan nilai rataan skor 14,8. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Artinya, ada sebagian dari masyarakat merasakan adanya hambatan dalam hal kurangnya sumberdaya keuangan. Hal ini dibuktikan melalui beberapa jawaban pernyataan tentang adanya keterbatasan finansial yang dirasakan ketika ingin terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata.

Pada indikator sikap para pihak profesional didapatkan nilai rataan skor 10,7. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori rendah. Artinya, masyarakat tidak mengalami hambatan terkait adanya sikap para profesional saat bekerjasama dalam pengelolaan wisata. Hal ini terbukti dari hasil beberapa jawaban penyataan bahwa mayoritas masyarakat menjawab tidak ada sikap-sikap para pihak profesional seperti menganggap bahwa pihak atas lebih berkualitas, atau pihak atas memandang rendah status kelas atau tingkat pendidikan masyarakat.

Indikator terakhir hurangnya hukum yang sesuai sistem didapatkan nilai rataan skor 12,9. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Artinya, sebagian masyarakat mengalami adanya hambatan terkait persoalan hukum yang berlaku dalam kegiatan wisata. Hukum-hukum yang diketahui masyarakat terkait pengelolaan wisata seperti peraturan tentang penggunaan hutan baik hutan rakyat, hutan adat, hutan perhutani. Hal ini terbukti dari hasil beberapa jawaban dari penyataan bahwa ada sebagian dari masyarakat yang kurang tau mengenai batas-batas hutan yang bisa dimanfaatkan, sehingga sering mengalami permasalahan dan terlibat hukum dengan perhutani.

Keempat indikator tersebut mewakili variabel X2 yaitu hambatan struktural. Secara keseluruhan didapatkan skor akhir hambatan struktural yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari adalah rata-rata sebesar 49,7≈12,4 artinya, nilai tersebut berada pada selang kategori sedang. Artinya sebagian dari masyarakat merasakan adanya hambatan terkait adanya dominasi kaum elite, kurangnya sumberdaya keuangan, sikap para pihak profesional, kurangnya kesesuaian hukum. Hasil menjelaskan tidak ada pihak atas yang terlalu mendominasi ataupun merasa paling profesional, namun masyarakat merasakan adanya keterbatasan dalam hal keuangan (adanya masyarakat yang tergolong tidak mampu) dan ketimpangan dalam sistem pengelolaan seperti pada kurangnya hukum yang sesuai. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu responden yang dipilih juga untuk menjadi informan, berikut penyataannya :

“ Beberapa masyarakat disini ya..sebagian masih berada di posisi berkecukupan artinya asal masih bisa makan, hidup, ya disyukuri.. namanya juga manusia kadangkala apa yang sudah didapatkan masih tidak cukup jadi masih sering kekurangan jadi selalu tetap berusaha..” (Pak DW, 41 th)

“ Saya merasakan kurangnya hukum yang sesuai itu ketika, dari pihak pemerintah dan balai TN membuat batasan-batasan terkait batas, mana hutan rakyat dan mana hutan lindung, terkadang ada masyarakat yang tidak tahu, lalu mengambil kayu bakar karna merasa hutan yang ada disana juga milik rakyat dan bebas, namun karena kurangnya sosialisasi yg tersampaikan, masyarakat yang tidak tahu malah tertangkap oleh polisi hutan..” (Ibu YLT, 27th)

Hambatan Kultural

Pada variabel hambatan kultural (X3) responden diberikan pertanyaan berupa pernyataan-pernyataan sebanyak 18 penyataan dengan opsi pilihan jawaban “sangat setuju” (skor 4), “setuju” (skor 3), “tidak setuju” (skor 2), dan “sangat tidak setuju” (skor 1). Responden di intruksikan untuk menjawab dengan memberi penilaian terhadap hambatan partisipasi yang muncul saat tahap pelaksanaan pembangunan pada pengembangan wisata dan berhubungan dengan faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat (fator internal) seperti keterbatasan kapasitas masyarakat yang berada pada strata bawah untuk mengambil alih pengelolaan, sikap ketidakpedulian masyarakat dan rendahnya kesadaran. Ada tiga pokok indikator penyataan-pernyataan yang diajukan, meliputi: “Terbatasnya kemampuan masyarakat” orang miskin, Adanya keterbatasan kemampuan individu atau masyarakat sendiri. Memiliki keterampilan yang kurang. “Adanya

sikap apatis masyarakat/individu”, terkadang masyarakat acuh dan tidak peduli akan penting tidaknya keterlibatan mereka, dan “Rendahnya tingkat kesadaran di komunitas local”, masyarakat lokal belum sadar akan pertingnya peran dalam pengelolaan.

Tabel 21 Hasil rataan skor hambatan kultural yang dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari, 2015

Hambatan Kultural Rataan Skor*

Keterbatasan Kapasitas Kemampuan 16,8

Sikap apatis Masyarakat 13,5

Rendahnya Kesadaran Komunitas 16,5

Total 46,8 ≈ 15,6

Keterangan: *Selang skor 6,01-11,99 = rendah; 12-17,99 = sedang; 18-23,99 = tinggi

Pada Tabel 21, hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai rataan skor untuk indikator keterbatasan kapasitas kemampuan sebesar 16,8 artinya, nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Sehingga, dapat dikatakan, ada sebagian dari masyarakat merasakan adanya hambatan dalam hal keterbatasan kapasitas kemampuan. Hal ini dibuktikan dengan hasil dari beberapa jawaban penyataan bahwa sebagian dari masyarakat merasakan adanya ketidak-mampuan untuk turut serta secara konsistensi, mengingat masyarakat sebagian besar menjalani pekerjaan sebagai pelaku wisata hanya sebagai pekerjaan sampingan, dan masih ada masyarakat yang merasa tidak percaya diri terhadap kemampuan mereka untuk memegang kendali seutuhnya terhadap pengelolaan.

Indikator selanjutnya adanya sikap apatis masyarakat dimana didapatkan nilai rataan skor 13,5. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Artinya, ada sebagian dari masyarakat merasakan adanya sikap apatis dari beberapa masyarakat atas partisipasinya dalam pengelolaan. Beberapa masyarakat kurang peduli, kurang tanggap atau acuh akan pentingnya peran mereka dalam pengelolaan.

Pada indikator rendahnya kesadaran komunitas, didapatkan nilai rataan skor 16,5. Nilai tersebut termasuk dalam selang skor kategori sedang. Dapat dikatakan bahwa masyarakat memiliki tingkat kesadaran yang sedang. Hal ini dapat dilihat dari hasil jawaban dari penyataan masyarakat bahwa ada sebagian dari masyarakat desa kurang sadar akan pentingnya peran mereka dalam pengelolaan, dan perlu adanya motivasi untuk meningkatkan kesadaran mereka terlebih dahulu untuk turut terlibat karena dianggap sebagai acuan.

Ketiga indikator diatas mewakili variabel X3 yaitu hambatan kultural. Secara keseluruhan didapatkan skor akhir hambatan kultural yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari adalah rata-rata sebesar 46,8≈15,6 artinya, nilai tersebut berada pada selang kategori sedang. Artinya masyarakat terkadang merasakan adanya hambatan terkait permasalahan terbatasnya kemampuan, adanya sikap apatis masyarakat-individu, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan, ada sebagian masyarakat merasa bahwa walaupun tidak ada ketimpangan antara peran-kerja antara pihak-pihak seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat sendiri, dan segala hal telah diatur, direncanakan selalu dirapatkan maupun dibicarakan secara bersama-sama. Namun, dalam hal lain masyarakat juga terkadang merasakan adanya kelemahan atau

keterbatasan dalam hal pengembangan kapasitas seperti kemampuan untuk mengembangkan diri, kurangnya percaya diri, adanya sikap kurang peduli dalam hal keikutsertaan dan kurang dalam meningkatkan jejaring sosial.

Selain karena beberapa alasan diatas, hambatan kultural yang terjadi di Desa Ngadisari berada pada kategori sedang (menuju ke skor tinggi), Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu responden yang dipilih juga untuk menjadi informan, berikut penyataannya :

Ngeliat kondisi kemampuan masyarakat di Desa saat ini, memang sudah mulai meningkat dari sosialnya, ekonominya, sudah sangat terbantu dengan adanya wisata Gunung Bromo yang mulai ramai. Tetapi, masih banyak juga masyarakat yang dilereng-lereng tidak mampu untuk terlibat sepenuhnya, masih banyak sebagian dari masyarakat ndak peduli, ingin terlibat seperti jadi pelaku wisata ndak ada dana, terlibat tetapi usaha bukan milik sendiri, ikut kegiatan dari Balai TN kondisi jauh, ndak memungkinkan ninggalin ladang. Jadi, masih ada aja yang belum sadar gimana pentingnya keterlibatan mereka dipengelolaan...” (Ibu KTN, 39th)

Nilai Total Hambatan Partisipasi

Setelah melihat hasil pemaparan rataan skor dari variabel hambatan operasional (X1), hambatan struktural (X2), dan hambatan kultural (X3), dimana ketiga variabel tersebut merupakan indikator dari hambatan partisipasi maka, diperoleh nilai keseluruhan untuk rataan skor total hambatan partisipasi adalah sebagai berikut, lihat Tabel 22.

Tabel 22 Hasil rataan skor total hambatan partisipasi yang dirasakan oleh masyarakat Desa Ngadisari, 2015

Hambatan Partisipasi Rataan Skor*

Hambatan Operasional (X1) 40,1

Hambatan Struktural (X2) 49,7

Hambatan Kultural (X3) 46,8

Total 136,6

Keterangan: *Selang skor (X) 63,01-125,99 = rendah; 126-188,99 = sedang; 189-251,99 = tinggi

Pada Tabel 22, hasil perhitungan yang diperoleh nilai rataan skor untuk indikator variabel hambatan operasional (X1) sebesar 40,1 artinya berada pada kategori rendah, untuk indikator variabel hambatan struktural (X2) sebesar 49,7 berada pada ketegori sedang, dan indikator variabel hambatan kultural (X3) sebesar 46,8 berada pada kategori sedang. Penjelasan hal ini untuk lebih lanjut dapat dilihat pada subbab sebelumnya, yaitu pada hambatan operasional, struktural dan kultural.

Selanjutnya, dari ketiga variabel indikator tersebut didapatkan total nilai akhir pada rataan skor total hambatan partisipasi diperoleh nilai sebesar 136,6 dan selang skor yang ditunjukan berada pada ketegori sedang. Sehingga, dapat disimpulkan ada sebagian dari masyarakat merasakan adanya hambatan partisipasi

dalam hal struktural dan kultural namun, tidak mengalami atau merasakan adanya hambatan dalam operasional.

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN WISATA

Dokumen terkait