• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hantu Gentayangan

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 76-82)

sendiri. Dibagikannya kepada saudara-saudara dan teman dekatnya. Lalu, seperti onani, mereka saling memuji satu sama lain.

Dugaan itu saya ternyata keliru. Kumpulan cerpen ini tiba- tiba laku keras. Dalam seminggu sudah terjadi tujuh kali cetak ulang. Dan di hari kedua pelemparannya ke pasar, tiba-tiba ma- syarakat geger, pemerintah bingung. Bantuan datang beruntun bagi para kere, gelandangan, orang-orang yang diceritakan oleh cerpen-cerpen dalam kumpulan ini. Halim HD seorang konglo- merat keturunan yang sangat terkenal, tiba-tiba melepas seluruh harta kekayaannya untuk disumbangkan. Jumlahnya sekitar 100 triliun. Simon HT, seorang konglomerat pribumi yang terkemu- ka, telah pula melakukan hal yang sama. Lalu, semua pengusaha kaya berlomba-lomba melakukan amal bagi semua fakir miskin, gelandangan, buruh-buruh kecil yang hidup di lingkungan in- dustri maupun pertanian. Sungguh gila. Sukses cerpen ini jauh melampaui sukses puisi Emha yang hanya berhasil menghasilkan uang 100 juta untuk korban bencana merapi.

Mula-mula saya tentu saja ikut senang. Setidaknya ikut ke- cipratan rejeki sebagai penulis pengantar. Bahkan dalam hati saya sangat yakin. Yang bikin sukses kumpulan ini bukan cerpen- nya sendiri, tapi justru pengantar saya itu. Cerpen-cerpennya itu apa/penulisnya cuma mahasiswa yang sama sekali belum punya nama. Sedang pengantarnya yang nulis kritikus terkenal. Doktor lagi. Lihat saja. Di sampulnya nama saya sangat ditonjol- kan. Doktornya juga. Tapi mana, nama penulis cerpennya. Nol. Perasaan saya itu ternyata tidak terlalu keliru. Banyak orang juga berpikir begitu. Tapi, celaka, perasaan itu pula yang akhirnya menghancurkan saya. Tiba-tiba ada sekelompok orang yang ti- dak suka pada sukses cerpen ini. Dan sayalah yang dituduh seba- gai biang keladinya. Saya dianggap sebagai satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab.

Pada suatu malam saya tersentak bangun. Sebuah tangan kekar merenggut kerah baju saya. Sebelum saya betul-betul sa- dar, masih gelagapan, tubuh saya tiba-tiba tersentak bangun, ditarik dan diseret keluar kamar.

Saya ingin berteriak. Entah membentak marah atau minta tolong. Tapi, suara saya seperti tersekat di tenggorokan. Saya coba mengibaskan tangan yang mencengkeram leher baju saya itu. Tapi bukannya saya berhasil mengibaskannya. Malahan, se- buah tangan lain yang tak kalah kuatnya, tiba-tiba mendarat ke kuping saya sebelah kiri. Sekit sekali. Kuping saya berdengung, jantung saya berdegup keras, seperti mau copot, pandangan saya serentak jadi gelap.

Dalam kegelapan itu terdengarlah suara yang dingin dan berat mejebol gendang telinga saya yang masih berdengung.

“Saudara Faruk. Anda sudah berdosa besar. Membuat peng- antar untuk sebuah cerpen penghasut. Gara-gara pengantar Sau- dara, orang-orang jadi percaya pada hasutan cerpen itu. Modal habis dihisap untuk hal-hal yang tidak produktif. Disumbangkan percuma pada kere-kere yang tidak berguna. Saudara lihat rak- yat menjadi malas bekerja. Hidup berpoya-poya karena dapat uang tanpa usaha. Sementara itu, sumber daya manusia yang penting bagi produktivitas dan peningkatan perekonomian ne- gara menjadi hancur. Mereka begitu mudah menaruh rasa iba. Dalam kehidupan yang serba keras, persaingan ekonomi yang begitu ketat, tidak ada tempat bagi rasa iba. Kecenderungan itu sudah hamper terbentuk di negeri ini. Tapi akhirnya hancur, kacau, rusak, gara-gara cerpen yang Saudara antar itu.

Saudara Faruk. Anda harus bertanggung jawab untuk se- mua kejadian itu. Sebagai hukuman percobaan, status Anda dan keluarga Anda sebagai doktor, pegawai negeri, siswa, petani, dan pencari nafkah dicabut. Hukuman itu akan tambah diper- berat dengan pencabutan status Saudara sebagai hamba Tuhan. Keringanan hukuman hanya akan diberikan apabila Saudara da- pat mengembalikan keadaan negeri ini seperti sedia kala. Ca-

ranya, dengan mengedarkan indoktrinasi sastra, khususnya tafsir cerpen Nyidam berikut.

1. Nyidam adalah cerpen yang penuh fitnah. Menceritakan apa yang tidak pernah ada di negeri ini, yaitu penggusuran yang kejam terhadap rakyat kecil. Padahal, penggusuran itu dilakukan secara suka rela, menurut kehendak rakyat sendiri. Ketika mereka menolak rezim lama dan menerima rezim yang baru, rakyat sudah menyatakan hal itu. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik di masa depan. Dan, untuk mencapai hal itu, mereka siap berkorban, bukan dikorban- kan. Begitu pula ketiak mereka terus-menerus memilih re- zim baru itu sebagai pemimpin mereka dalam setiap pemi- lihan umum.

2. Nyidam sungguh-sungguh penuh fitnah. Akan tetapi, pe- ngarangnya begitu licik. Dengan bersembunyi di balik ga- gasan mengenai karya imajinasi dan kebebasan kreatif, bu- kan karya ilmiah, mereka menjadi bebas melakukan fitnah tanpa jangkauan hukum. Rezim ini dan rakyat sendiri men- jadi tidak dapat menuntut mereka.

3. Nyidam bukan cerpen yang baik. Temanya streotipe, meng- ulang-ulang persoalan basi. Cara garapnya sama sekali tidak orisinal dan kreatif. Ada cinta yang murni, orang-orang miskin yang jujur dan lugu, yang kemudian ditindas, dipak- sa oleh kekuatan- kekuasaan yang begitu dingin dan meka- nis. Lalu, yang pertama itu menjadi korban yang tidak ber- daya, yang sangat memelas. Karya semacam ini sudah ada sejak zaman Siti Nurbaya. Pembaca dengan mudah dapat menebak awal, tengah, dan akhirnya. Pembaca tidak diajak memasuki sebuah dunia baru yang penuh kemungkinan, sebuah soal baru, sebuah wawasan dan cara pandang yang baru, yang dapat memperkaya hati, pikiran, imajinasi, dan cara penyelesaian hidup metafisi maupun sehari-hari. 4. Tidah hanya itu kelemahan Nyidam. Pada level yang paling

cerpen dalam kumpulan ini sudah kedodoran. Perhatikan kutipan-kutipan berikut.

“…Dan bagiku, seperti juga pesan simbok sebelum meninggal sepuluh tahun yang lalu, bahwa dalam hidup orang kecil itu tak perlu neko-neko.”

(Jati Wijaya, 1994:1) “…Adalah suatu hal yang wajar jika sepasang pengantin muda selang beberapa bulan kemudian sang istri hamil.”

(Arifin, 1994: 11) “…Siang tadi, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tampar pipi wanita itu berulang-ulang tanpa ia sanggup menyadarinya. Belum cukup itu ia lakukan, masih diludahi wajah istrinya sebe- lum akhirnya ia tinggalkan wanita itu meraung seorang diri.

(Subandono, 1994: 33) “…Di dunia baru yang ia bangun dengan impiannya sendiri be- nar-benar menentramkan dirinya.

(Kiswondo, 1994: 43) Nah, itulah doktrin yang harus Saudara sebarkan, ke mana- mana. Apabila Saudara melakukannya dengan setia, segala yang sudah diambil dari Saudara akan dikembalikan. Akan tetapi, jika Anda tidak melakukannya dengan baik, janganlah terkejut apabila suatu saat Saudara mengalami peristiwa yang tidak di- inginkan. Hidup Saudara, orang tua dan mertua, akan musnah menjadi hantu, roh gentayangan.”

***

Saya tentu saja tak mau melakukan tugas itu. Saya tahu betul, doktrin itu sangat subjektif, hanya bermaksud mendeskre- ditkan seniman Nyidam. Tidak ada satu butir pun dari kesim-

pulan-kesimpulan dalam doktrin itu yang benar. Cerpen-cerpen dalam Nyidam jelas cerpen-cerpen yang baik, indah. Cerpen- cerpen itu mengekspresikan komitmen penulisnya terhadap per- soalan sekitar. Persoalan ketidakadilan, penggusuran yang menimpa kaum “pinggiran” seperti yang tertulis di bagian bela- kang sampulnya. Tidak. Saya tak mau melakukannya. Biarlah hidup saya, keluarga saya lenyap jadi hantu, roh gentayangan. Dan, semuanya ternyata memang terjadi. Seperti yang Saudara duga, yang hadir di sini sekarang, bukanlah Faruk yang sebenarnya. – (Tulisan dalam diskusi “Nyidam”, buku kumpulan cerpen).

Festival kesenian Yogyakarta (FKY) 1996, hari ini 7 Juli 1996 berakhir. Menurut slentingan, materi kegiatan yang menjadi per- hatian seksi sastra Indonesia FKY adalah kajian historis dunia kepenyairan/kesastraan di Yogyakarta. Tulisan kali ini diharap- kan menjadi semacam catatan kaki buat Panitia Festival Kesenian Yogyakarta dan masyarakat sastra umumnya.

Kegiatan sastra (di) Indonesia jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya tidak hanya terpusat di Jakarta. Kegiatan bersastra juga tumbuh dan berkembang di daerah, khususnya di ibukota provinsi. Hal tersebut dapat dicermati lewat majalah, surat kabar, dan antologi (cerpen/puisi) yang terbit di daerah. Hanya saja sastra lokal tersebut belum mendapat perhatian yang serius dari penulis sejarah sastra Indonesia karena sastra Indo- nesia yang berkembang di daerah umumnya dinilai sebagai “sas- tra pinggiran”, “sastra marginal”, atau “sastra pedalaman”.

Fenomena yang menarik pada tahun 1980-an sampai tahun 1990-an berkaitan dengan kecenderungan baru dalam perkem- bangan sastra Indonesia, yaitu munculnya antologi karya sastra pengarang lokal yang terbit di luar Jakarta. Beberapa antologi tersebut adalah 99 untuk Tuhanku (Emha Ainun Nadjib, Pustaka, Bandung, 1983); Tugu: Antologi 32 Penyair Yogyakarta (Linus Sur- yadi Ag (ed), Dewan Kesenian Yogyakarta, Yogyakarta, 1986);

Sastra Indonesia di Yogyakarta:

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 76-82)