• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Studi Sastra Yogyakarta Sebuah Wahana Pemberdayaan Sastra

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 93-98)

Yogyakarta

nyata tidak berarti telah membangun tradisi bersastra. Tidak membuka wilayah sastra untuk dijadikan pijakan sastrawan mu- da dalam meniti jembatan guna menghadirkan karya ketengah- tengah suasana yang tenang ini.

Yang terjadi sekarang dan memunculkan beberapa kesim- pulan bahwa ternyata: pertama, sastra Yogya dengan wilayah mapan sebenarnya hanya dapat menguntungkan posisi sastra- wan senior yang telah memiliki wilayah individualnya dalam berkarya. Kedua, dengan demikian napas sastra hanya berkutat di kolom media massa yang pada dasarnya lebih memberikan ruang aktualisasi personal sastrawan senior tersebut.

Kedua hal yang sekarang berkembang tentu saja secara ti- dak langsung telah menutup kemungkinan munculnya sastrawan muda untuk dapat mencicipi wilayah yang ada. Yang akhirnya kemunculan sastrawan baru bukan dari kelompok studi atau komunitas melainkan dari “personal proses”. Kemungkinan ini sangat berbeda keadaannya dengan masa-masa tahun 70 sampai 85-an. Dimana masa-masa itu sedang maraknya studi sastra yang dapat menghantarkan kemunculan sastrawan muda.

Personal proses bersastra merupakan manifestasi kejenuhan yang mengakibatkan hilangnya gairah bersastra secara kelompok dan ternyata telah berlangsung lama menyelimuti dinamika sastra Yogya.

Katup Refleksi

Dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan seperti ini ada beberapa kegiatan yang sempat menghentak kesadaran kita, yang sempat muncul sebagai katup refleksi. Bulan Desember tahun lalu muncul dua momen sastra yang penting untuk dicer- mati, yaitu kehadiran “Konser Puisi” dari beberapa kelompok sastra dan “Jerit Sastra Perempuan” yang diselenggarakan oleh Keluarga Peduli Budaya Indonesia (KPBI).

Kedua momen bisa jadi secara tidak langsung telah menjadi usaha proses pemanasan untuk menggairahkan kembali dina-

mika sastra agar tidak terus menerus bermukim di bawah atap establishmen. Atau bisa pula semacam geliat untuk menggetarkan gairah yang telah membantu. Menarik dicermati bukan saja ka- rena kemunculannya dalam suasana beku namun kehadirannya yang menarik. Konser Puisi menjadi menarik karena kehadiran- nya dipenuhi dengan warna-warni konsep dan bentuk yang mun- cul. Sedangkan Jerit Sastra Perempuan menggelitik dan kemun- culannya menyentakkan karena selama ini jarang momen sastra yang mengkhususkan diri menghadirkan penyair perempuan dengan tema besar persoalan perempuan.

Apabila kedua momen sastra sporadis tersebut dikatakan sebagai pemicu kemunculan gairah sastra yang lebih intens, cukuplah terbukti karena tidak beberapa lama kemudian muncul sebuah kelompok studi sastra. Wadah sastra terbuka tersebut hadir di hadapan sastrawan yang tengah asyik dengan kema- panannya. Dengan memberikan harapan yang cukup menyengat kesadaran pemula sastra yang tengah kebingungan mencari wa- hana guna menambatkan kegelisahannya dalam berkarya.

Tambatan kegelisahan yang dapat dimanfaatkan untuk me- naruh kepentingan bagi sastrawan muda yang belum betul-betul menjadi sastrawan cukuplah berarti untuk mengobati rasa dong- kol dengan wilayah sastra yang dibentengi hegemonitas angkuh dan individualistik.

Meskipun wahana sastra kaum muda ini lahir bukan dari rahim sastrawan besar (baca senior) tapi kehadirannya memasuki timing yang tepat. Artinya hadir murni dari kegairahan sastra- wan muda yang mencoba terus menerus aktif dalam pengkarya- an dan kegiatan sastra. Di samping itu bisa dikatakan tepat karena lahir pada saat para sastrawan pulas dengan kemapanan perso- nalnya.

Dengan bendera “Komunitas Study Sastra Yogyakarta (KSSY)” yang berdiri pada bulan Januari 1998, para sastrawan muda yang hadir membawa bermacam komitmen cukup menarik untuk menjadi bahan refleksi bagi kita. Ada berbagai keunikan

yang sengaja melandasi kelahirannya atas dasar kesadaran kolektivitas dalam memandang dinamika sastra Yogya, baik dari komitmen maupun dari bentuk kegiatan-kegiatannya.

Menjebol Kemacetan

Di sini ada beberapa hal yang perlu diungkapkan sehubung- an dengan keunikan di atas. Pertama, wahana ini hadir atas pra- karsa kaum muda karena mereka memandang sastra Yogya su- dah sedemikian parah. Dengan harapan dapat menjebol kema- cetan dan kebuntuan yang ada karena selama ini mereka me- mandang belum adanya wadah sebagai mediator, fasilitator dan pengembang potensi sastrawan yang belum jadi sastrawan.

Kedua, wahana tersebut terbuka pada siapa saja yang ingin berkiprah dalam dunia sastra untuk belajar bersama tanpa me- mandang keberadaan mereka selama ini. Tidak tertutup ke- mungkinan membuka diri untuk dihadiri sastrawan senior na- mun dalam wadah ini memiliki posisi yang sama. Artinya tidak ada yang dituakan maupun yang dimudakan, sehingga kepen- tingan yang muncul adalah kepentingan yang sehat. Kepentingan sederhana seperti halnya masyarakat dalam bersastra.

Ketiga, intensitas kegiatan yang hadir dalam satu bulan se- kali didasari dari komitmen kolektif untuk membangun tradisi sastra tanpa campur tangan langsung dari para sastrawan yang telah memiliki posisi dan dalam keadaan mapan.

Keempat, menjadikan wadah sastra sebagai wadah ideolo- gis manusia yang memiliki hasrat sendiri untuk tidak tergantung dengan kekuasaan yang akan membunuh kreativitas dan mem- posisikan dalam wilayah yang terkalahkan. Hal ini ditekankan pada kepercayaan bahwa sastra adalah sebuah aktivitas mandiri yang menepiskan ketergantungan dengan media massa resmi. Artinya media akan diciptakan sendiri untuk menggembleng karya mereka menuju kualitas seperti standar umum ukuran uni- versal.

Kelima, pola kegiatannya mengambil bentuk arisan dalam arti yang sebenarnya. Setiap kegiatan masing-masing menuliskan namanya sendiri kemudian diundi sehingga nama yang hadir akan membacakan puisi maupun cerpen dalam pertemuan men- datang. Sedangkan yang lainnya menjadi pengapresian yang siap mengkritisi setiap karya yang dibacakan.

Akhirnya KSSY ini mengingatkan kita pada masa-masa Um- bu Landu Paranggi ataupun Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) meskipun konsep dasarnya sangat berbeda. Mereka tidak meno- lak kehadiran siapa saja dan tak ada niatan untuk anti dengan media manapun. Hanya saja sastrawan senior tidak lagi sesuatu yang diposisikan sebagai sesuatu yang harus dihambai. Juga me- dia massa bukan satu-satunya wadah yang bisa menampung kar- ya mereka meskipun disadari mereka membutuhkannya. Tim Pengkajian

Guna menghadirkan kemandirian bersastra tersebut, dalam komunitas ini mereka membentuk tim pengkajian yang berperan sebagai kritikus, pengamat maupun pengapresian dari karya yang hadir. Juga setiap bulan menerbitkan bulletin “Sastro Muda” yang akan menampung karya-karya untuk dipublikasikan secara terbatas. Begitu juga antologi puisi dan cerpen yang siap dilun- curkan.

Pemisahan dan keterpisahan sastra Indonesia dan Jawa agaknya sudah menjadi kehendak sejarah. Secara epistemologis, tuntutan ilmu pengetahuan (sastra sebagai objek kajian dan penelitian di perguruan tinggi) memang mengharuskan demikian. Dalam perspektif negara dan ideologi kebangsaan, kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari lahirnya hegemoni keindone- siaan di setiap aspek kehidupan. Pada sisi historis, secara diakro- nis akan menjadi penanda identitas kultural, atau semacam “ba- yang-bayang kampung halaman” tempat mereka (khususnya ge- nerasi orang Jawa masa kini) tumbuh dan dibesarkan.

Kendati pemisahan dan keterpisahan itu sah dan mengeja- wantah secara formal (melembaga) di dunia penerbitan buku, media massa, perguruan tinggi, organisasi sosial budaya, instansi pemerintah, hingga ke profesi kepengarangan, namun dalam proses kreasi dan ekspresi sebenarnya sekat-sekat itu tak perlu diimani sebagai “surat talak” yang mempunyai kekuatan hukum dan harus dipatuhi. Bagi suami-istri yang telah bercerai saja, tidak ada norma-norma yang mengharuskan mereka saling me- misahkan diri di masyarakat. Tak ada ketentuan yang melarang mereka berkomunikasi, bekerja sama melakukan interaksi sosial demi kepentingan masing-masing.

Mungkinkah Mempersandingkan Sastra

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 93-98)