• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Yogya dan Antologi “Yogyakarta dalam Puisi Indonesia”

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 64-68)

sastra Rusia, sastra Cina, sastra Mesir, sastra Parsi, dan sebagai- nya masuk ke Indonesia sebagai bahan dialog yang tidak tabu. Itulah sebabnya, “sastra Yogya” tidak bersifat eksklusif melain- kan terbuka tanpa tergantung penuh pada kata “Yogya”.

Sesuatu yang mendukung istilah “sastra Yogya” tentunya menyangkut gejala-gejala yang ajeg dan ciri-ciri yang selalu mun- cul sejak perkembangan sastra Indonesia modern. Salah satu gejala yang mencolok adalah Yogya dianggap sebagai wadah persemaian yang subur bagi kesastrawan kaum muda usia. Se- mentara ciri yang melekat adalah kepedulian yang kuat terhadap tradisi yang hidup dalam masyarakat luas. Di sini gejala dan ciri demikian dapat menjadi mitos yang membanggakan meski- pun belum tentu selalu terbukti benar untuk setiap dasawarsa. Dalam konteks ke-Yogya-an sendiri tampak daya tampung media massa sulit dikatakan stabil dan berwibawa. Dahulu ada Pelopor Yogya dan Basis. Sekarang Basis punya orientasi yang necis sesuai dengan “tanda tanda zaman”. Maka “sastra Yogya” agak- nya dalam kondisi cerai berai bahkan tidak sesolid masa yang silam. Atau memang di sana terselip pandangan yang sempit karena lebih berkutat di kota sendiri.

Kalau Suripan Sadi Hutomo pernah menyusun buku Surabaya Puisi Indonesia sedang Ajip Rosidi lebih dulu dengan Jakarta dalam Puisi Indonesia lalu ada antologi Semarang Dalam Sajak maka sosok kota-kota tersebut sebagai dasar seleksi. Latar kota tertentu dalam penulisan sastra memang dapat mengungkapkan denyut kehidupan khas, sesuatu yang menandai identitas kota bersang- kutan, dan juga watak budaya yang hidup di kalangan warga kota. Sastra demikian difungsikan sebagai potret kota mungkin cukup sah mengingat realita imajiner toh berpijak pada peng- alaman-pengalaman yang relatif konkret.

Yogya dalam hal pengadaan antologi puisi menunjukkan frekuensi dan identitas yang tidak dapat dikatakan rendah. Se- jumlah antologi mengisyaratkan paling tidak dua gejala, yaitu pengelompokan penyair dan tuntutan “kreativitas” itu sendiri.

Pada sisi pengelompokan penyair lebih bersifat eksternal dimana dorongan utama pengadaan antologi menyangkut kepentingan sosial. Di sini mungkin sejenis dengan semangat berupacara tanpa terpaku pada kreteria estetis yang ketat. Suatu identitas kelom- pok menjadi patokan mutlak, sebutlah kalangan mahasiswa, kalangan penyair segenerasi, kalangan penyair sepergaulan, dan sebagainya.

Pada sisi tuntutan kreativitas terjadi suatu pembauran de- ngan memperhatikan nilai-nilai kesastraan secara jelas. Muncul- nya antologi didorong oleh suatu kehendak sejarah bahwa karya puisi sudah waktunya dihadapkan pada publik sastra. Tak pen- ting antologi itu dipersiapkan untuk dibawa naik panggung atau cukup terkemas sebagai buku. Di sini kepenyairan merupakan prestasi individual sehingga kelompokisme sedapat mungkin dihindari. Maka antologi memiliki ragam gaya, variasi tema, perbedaan konsep estetika, bahkan acuan kultural berlainan, dan sebagainya.

Tapi Yogyakarta dalam Puisi Indonesia Modern belum tampak tanda-tandanya bakal diwujudkan dalam bentuk buku antologi meskipun benih-benih sudah sering tumbuh di sana-sini. Selama ini antologi yang lahir di Yogyakarta terbatas pada domisili pe- nyair, bukan puisi-puisi yang menyuarakan eksistensi kota ke- budayaan Yogyakarta pada kurun waktu tertentu. Saya kira sas- tra Yogya tidak dapat ingkar dari kenyataan historis bahwa kota ini menjadi sumber inspirasi sekaligus legitimasi mistis bagi kepe- nyairan seseorang.

Memang hanya sebuah persepsi kalau “sastra Yogya” ter- utama dipahami sebagai aktualisasi kehidupan puisi. Sektor puisi menjadi sentrum kehidupan sastra. Apakah kekuatan “sastra Yogya” terletak di sana atau memang terjadi ketidakadilan dalam cara pandang. Yang jelas spesies berpredikat penyair itu berke- limpahan dengan identifikasi akademik, kewartawanan, gelan- dangan, birokratik, dan seterusnya. Adakah janggal menyebut “sastra Yogya” tanpa pertama kali menguak dunia kepenyairan?

Kalau berpaling pada kehidupan cerpen dan novel, sebenar- nya “sastra Yogya” tidak kurang menggairahkan. Secara kuanti- tas, cerpenis dan novelis yang memilih Yogya sebagai tempat tinggal tidak dapat dikatakan kecil. Dalam hal pengakuan na- sional, cerpenis dan novelis Yogya juga relatif menonjol meski- pun untuk sastrawan angkatan lama.

Barangkali sifat cerpen dan novel jauh kurang memungkin- kan untuk diteropong ciri-cirinya yang khas sebagai produk se- buah lingkungan kota tertentu. Kalau puisi mengungkapkan di- mensi individual maka cerpen dan novel berbicara tentang suatu jaringan sosial. Totalitas puisi adalah totalitas persepsi pribadi penyairnya, sementara totalitas cerpen dan novel adalah totalitas sistem nilai masyarakat. Itulah sebabnya, kecenderungan lo- kalitas tidak tampak dominan antara lain karena tuntutan teknik umum dalam cerpen dan novel, rasio lebih diperhatikan daripada emosi dan intuisi, dan suatu gaya percerpenan maupun perno- velan sulit terbentuk lewat sosialisasi kedaerahan.

Meskipun demikian, “sastra Yogya” di samping tampak pa- da domisili cerpenis dan novelis dapat juga diketahui lewat setting cerpen dan novel yang mengambil setting kota Yogya. Tapi jelas soalnya sangat rumit dan mungkin boleh ditanyakan: untuk apa semua itu? Sejauh ini toh belum ada buku sebutlah “Jakarta dalam Cerpen Indonesia”. Lagi pula, cerpen dan novel kalau diangkat ke panggung pertunjukan sebagai bagian budaya lisan dan bentuk tontonan publik agaknya cenderung melelahkan. Pembacaan cerpen di Yogya ternyata jauh kurang populer.

Demikianlah, istilah “sastra Yogya” sulit dirumuskan dengan dasar yang tepat. Tapi kalau bikin antologi “Yogyakarta dalam Puisi Indonesia Modern” mungkin gampang dilaksanakan. Dan pertanya- an seperti “untuk apa?” mungkin jawabnya “untuk apa sajalah”. Turis asing kek, turis domestik kek, kritikus sastra, atau tidak untuk siapa. Sementara itu, isu “sastra Yogya” boleh menggelin- ding terus.

Jagad puitika mengandung banyak komponen dan setiap penyair dituntut menguasai segala anasir puitika. Unikum selalu muncul, komponen selalu serba berpasangan dan penyair harus seksama mengurus seturut siklus. Misalnya komponen inovasi puitika, haruslah diurus penyair serba bergantian dengan kon- vensi puitika. Yang disebut inovasi ialah pembaharuan, perom- bakan, proses penyempurnaan. Yang disebut konvensi ialah kese- pakatan tertulis dan tiada tertulis, mufakat sejak lama, konsensus berdasarkan tradisi atau komitmen bersama. Maka penyair harus akurat mengurus dan menghayati putaran: konvensi, dilakukan, maka inovasi harus dibakukan jadi konvensi, niscaya muncul tuntutan baru agar konvensi jadi konvensi, dan seterusnya. Terja- dilah putaran siklus dalam hidup penyair: konvensi-inovasi- konvensi-inovasi-konvensi-inovasi tanpa henti.

Komponen lainnya adalah siklus aksi-kontemplasi-aksi- kontemplasi-aksi-kontemplasi. Penyair harus terlibat dalam aksi- aksi puitika yang meliputi gerak, kerja, kegiatan, program, acara, diskusi, pergaulan, dan lain-lain. Penyair pun haruslah melibati secara suntuk kontemplasi puitika yang mencakup: renungan, introspeksi, auto-evaluasi, berpikir mendalam, auto-kritik, menggali filosofi, kegiatan transendental, konsentrasi tinggi, dan lain-lain. Setiap aksi puitika haruslah membuahkan kontemplasi

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 64-68)