• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tangis Emha, Duka Yogya

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 184-188)

menjadi missal (banyak) atau massif (besar)-di segala bidang. Satu hal perlu dicatat, baik hasil (produk) maupun proses dari pemassalan tadi mesti mengikuti kaidah ekonomi (kalkulasi untung-rugi).

Dari sinilah industrialisasi menjadi ancaman terbesar bagi mereka yang ingin membangun pola hubungan berdasarkan nilai kemanusiaan. Sebab, pola ini mengajarkan bahwa manusia mesti menyediakan dalam dirinya sebuah ruang untuk hadirnya lian, atau the other (orang lain). Sebuah pola yang masih menyisakan dalam diri seseorang itu hadirnya lian, acap kali sering meleset (bahkan tak jarang bertentangan) jika diukur dengan mengguna- kan kalkulasi untung-rugi ekonomi.

Contoh sederhana, ketika jam tujuh pagi BMW Anda telah siap meluncur ke kantor, tiba-tiba di depan pintu gerbang rumah Anda ada tetangga yang mencegat minta diantar ke rumah sakit karena anaknya sakit kritis. Bagaimana sikap Anda? Jika Anda masih menyisakan hadirnya lian, tentu dengan senang hati Anda akan mengantar tetangga tersebut ke rumah sakit. Namun, jika Anda seorang “professional” (kata ini telah menjadi salah satu kunci bagi dunia industri), Anda akan menyuruh satpam me- nyingkirkan tetangga tadi. Lalu, dengan tenang Anda meluncur ke kantor karena di sana pekerjaan (yang bernilai miliaran ru- piah) telah menunggu.

Nah, dalam konteks inilah, kiranya menjadi menarik ketika beberapa waktu lalu Taman Budaya Yogyakarta (TBY) mengge- lar “Diskusi 50 Tahun Perpuisian Yogya”. Puisi (yang sering dise- but nucleus dari sastra) itu sendiri acap kali dipandang sebagai oase bagi kehidupan manusia. Jadi, mendiskusikan puisi Yogya adalah membincangkan “oase-nya oase”, apalagi dengan titik pijak tahun 1970-an, sebuah era yang oleh Faruk HT (pada dis- kusi itu) disebut “zaman terakhir ketika manusia menjadi manu- sia”—sebab era 1970-an ke sini (terutama di negeri kita) adalah zaman dimulainya pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan yang dimotori oleh gerak masif industrialisasi.

Diskusi itu sendiri berjalan menarik, melebar, dan mengge- tarkan. Mengapa menggetarkan? Karena salah satu narasumber- nya, yakni Emha Ainun Nadjib, menangis di forum itu. Tentu tangis Cak Nun yang membuat audiens sempat tertegun be- berapa saat itu bukan sekadar sebuah basa-basi belaka atau ke- berhasilan seorang aktor yang sedang berlaga di panggung san- diwara. Tangis Cak Nun mesti dimaknai sebagai duka Yogya sebagai ibu kota budaya ketika menyaksikan tragedi kemanusia- an yang sedang tergelar di seantero negeri kita tercinta, Indone- sia Raya. Sebuah negeri yang tak kunjung bisa mendewasakan dirinya.

Industrialisasi

Secara tersurat, barangkali tangis Cak Nun hanya merupa- kan refleksi dari robeknya persaudaraan antarsastrawan (dan lebih eksplisit lagi terenggutnya “kemesraan” hubungan antara dirinya dengan Linus Suryadi AG): bahwa para sastrawan gagal menghadapi kontaminasi aspek di luar sastra, seperti industri, politik, ekonomi, dan lainnya. Namun secara tersirat, tangis Cak Nun adalah sisa-sisa oase yang masih ada saat menyaksikan ba- ngunan nilai kemanusiaan berada pada titik nadir. Bukan tidak mungkin, tangis itu jadi air mata terakhir dari oase yang dimiliki bangsa ini.

Tentu persoalan pokoknya tak terletak pada diri seorang Cak Nun an sich. Cak Nun hanya merefleksikan dari oase yang hampir habis itu. Artinya, ketika pasca diskusi tersebut para sastrawan Yogya bersepakat membuat sebuah gerakan atau apa pun namanya (dengan TBY sebagai pusat berkumpul, misalnya) untuk merevitalisasi dan mengembalikan oase yang hampir ke- ring dan punah itu, ia bukannya sekadar “iba oleh tangis Cak Nun semata”. Ia juga bukan sebuah gerakan untuk mengembali- kan romantisme sastra Yogya tahun 1970-an. Ia adalah tugas mulia kemanusiaan yang sudah semestinya kita gelorakan.

Pertanyaan pertama yang perlu dikemukakan tentu: apakah generasi sastrawan masa kini mampu membuat oase baru di tengah himpitan arus deras industrialisasi? Sebab, bagaimanapun sastra sebagai salah satu aspek kehidupan manusia tak bisa lepas dari aspek lain—termasuk dunia industri. Sementara itu, indus- trialisasi adalah sebuah keniscayaan bagi kehidupan manusia sekarang. Mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka, indus- trialisasi mesti hadir di tengah-tengah kehidupan kita.

Ya, memang idealnya sastra harus bisa menjadi “ruh” (atau paling tidak mewarnai) aspek-aspek kehidupan manusia, terma- suk dalam kehidupan industri. Bukan sebaliknya, malah disetir dan larut dalam kaidah yang berlaku di dunia industri sehingga sastra menjadi tangan panjang industrialisasi dalam pengertian inferior dan negatif. Dari sini kemudian muncul pertanyaan ke- dua, mampukah para sastrawan mewujudkan idealisme sastra ketika berhadapan dengan dunia industri?

Saya agak pesimistis ketika kegiatan bersastra yang berlang- sung cuma menekankan pada perayaan membuat karya dengan acuan pencapaian standar estetis tertentu. Bahkan lebih naïf lagi, jika hanya berlomba-lomba agar karyanya dimuat media massa terkemuka. Padahal, seperti sering kita dengar dari mereka yang telah “katham” belajar sastra, kegiatan bersastra sejatinya adalah “olah batin” untuk mengasah ketajaman mata hati.

Novel, cerpen, dan puisi hanyalah output. Sebagai output, ia sekadar alat untuk menyapa masyarakat pembaca—dan bu- kannya tujuan kegiatan bersastra itu sendiri. Tujuan akhir (goal) dari kegiatan bersastra adalah ketika output tadi mampu me- nyapa sisi batin manusia sehingga menjadi bening nuraninya.

Marwanto,esais dan cerpenis, sesekali menulis puisi. Penggiat Sastra di komunitas “Lumbung Aksara”. (Kompas, 11 September 2007)

Wacana disentralisasi komunitas sastra kembali mengge- muruh awal tahun ini. Marwanto, Ketua Komunitas Lumbung Aksara Kulonprogo membeberkan gagasan ‘Temu Sastra Tiga Kota‘ (KR, 13/1). Sayang, cuatan pikiran Marwanto hanya sebatas paparan pemetaan sastrawan yang ada di tiga kota, yakni Yogya, Kulonprogo, dan Purworejo. Selebihnya, hanya menyinggung sedikit tentang kemungkinan potensi yang bisa dikembangkan dari kegairahan bersastra yang ada di kota-kota tersebut.

Dalam khazanah dinamika sastra Indonesia, wacana desen- traslisasi sudah terlalau sering muncul. Sekadar kilas-balik, fe- nomenal perbincangan revitalisasi sastra pedalaman yang ber- hasil menembus pasa isu nasional era pertengah 1990an. Polemik berkembang pada masa itu, sejumlah sastrawan dan karya- karyanya bernilai ‘lokal’ menjadi terdongkrak dan ikut mendo- minasi sirkulasi khazanah sastra nasional.

Dalam konteks ini, bagaimana seandainya dalam poros sas- tra tiga kota yang dibentuk mempertimbangkan kemungkinan kematangan komitmen untuk lebih menggali kekayaan khazanah estetika lokal, terutama yang bercorak Kulonprogo atau Purwo- rejo. Terus terang, upaya penggalian estetika warna lokal khas Kulonprogo atau Purworejo dalam karya berdomisili di Kulon- progo atau Purworejo.

Tanggapan ‘Temu Sastra Tiga Kota’

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 184-188)