• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memberdayakan Sastra Radio

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 102-107)

terhadap kenyataan yang berlangsung. Dari cara berpikir dan bertindak pragmatis muncul kesimpulan bahwa sastra tempatnya adalah di pinggir, bukan di tengah arus kehidupan masyarakat itu sendiri.

Demikian juga agaknya yang berlangsung di dunia radio. Ketika radio awalnya masih menjadi milik pemerintah dan eks- ponen kekuatan kritis pada awal Orde Baru—dipahami sebagai alat perjuangan, alat penyadaran dan alat pemersatu dan pendi- dikan masyarakat, maka siaran sastra sebagai bagian dari siaran kesenian masih aman-aman saja. Program siaran deklamasi atau pembacaan puisi berlangsung, plus apresiasinya dan mendapat penggemar. Bahkan siaran radio luar negeri, dari Australia misal- nya, menyajikan siaran pembacaan cerpen oleh Mohammad Di- ponegoro yang penggemarnya cukup luas.

Sebelum radio, terutama radio swasta, ‘dikejutkan’ atau ‘digoyang’ oleh televisi, siaran sastra sebagai menu masih cukup mewarnai. Hampir semua radio amatir, demikian waktu itu orang menyebutkan, menyediakan waktu untuk siaran sastra. Dan banyak para sastrawan pemula berguru di sana. Lalu mereka mulai mencoba mengirim karyanya ke koran dan dimuat. Saya masih ingat bagaimana Andrik Purwasita berhasil mengasuh ruang sastra di radio Retjo Buntung sehingga penggemarnya cukup banyak, dan sastra merupakan acara andalan.

Akan tetapi seiring dengan lajunya derap langkah perekono- mian, dan ketika penyelenggaraan siaran radio swasta dipahami sebagai industri, dimana untung rugi dihitung rumit, termasuk untung ruginya memasang acara siaran sastra, maka pelan-pelan, khususnya di Yogya, siaran sastra mulai kurang kedengaran. Kalah jauh dengan siaran lagu dangdut, kuis, lelucon, sandiwara radio silat atau siaran tentang hantu-hantu yang membuat buku kuduk berdiri. Hampir tak ada lagi anak remaja yang di malam yang sepi dengan harap-harap cemas mendengarkan puisinya dibacakan dalam siaran sastra yang diselingi lagu-lagu sendu.

Barangkali hanya tersisa acara pembacaan buku sastra, terutama sastra Jawa yang masih memiliki penggemar lumayan.

Dengan demikian, lengkap sudah mitos yang menandai ke- terpencilan sastra di tengah masyarakatnya. Dan di dunia pener- bitan, kondisinya juga paralel. Ketika buku tentang masak-me- masak, atau bagaimana menjadi sekretaris yang sukses, buku doa-doa atau buku fiksi hiburan dapat dicetak dalam puluhan eksemplar dan laku dalam setahun, buku-buku sastra yang di- terbitkan dengan tiras atau oplah 3.000 eksemplar sulit habis dalam waktu tiga tahun.

Diberdayakan

Yang menjadi pertanyaan dan terus mengganjal adalah, masih mungkinkah siaran sastra diberdayakan dan menjadi se- suatu yang diandalkan sehingga berjaya? Jawaban yang optimis tentu berbunyi mungkin. Hanya masalahnya mungkin “yang bagaimana”.

Dari penuturan seorang rekan sastrawan Solo, Sosiawan Leak, saya mendengar kabar bahwa sesungguhnya banyak ko- munitas sastra di daerah itu bermula dari sastra radio. Radio siaran swasta niaga di beberapa daerah mampu menjadikan siar- an sastra sebagai andalan yang banyak diminati. Pengasuhnya menjadi tokoh sastra setempat, menjadi idola dan banyak peng- ikut. Leak mencontohkan kasus Kudus, Banjarnegara, Purworejo dan Purwokerto sebagai kasus suksesnya acara sastra radio yang kemudian bertransformasi menjadi sastra tulis. Maksudnya, aca- ra tersebut kemudian mampu melahirkan sastrawan yang karya- nya dapat dimuat di media cetak.

Saya kurang tahu persis bagaimana teman-teman tersebut mampu mengemas acara sastra menjadi acara yang digemari. Tetapi yang jelas, belajar dari kasus radio Australia, radio Retjo Buntung, Rasia Lima, yang siarannya pernah mendapat banyak penggemar, paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pengasuhnya sangat serius dalam menangani siaran

sastra. Ada kesungguhan, komitmen, bahkan cinta terhadap sastra dan penggemarnya. Dan ini bergema di hati penggemar- nya, sehingga para penggemarnya pun mengikuti siaran tersebut dengan serius pula.

Kedua, dengan keseriusan pengasuhnya maka seleksi materi sastranya, kemasan dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra juga dilakukan dengan sungguh-sungguh memperhatikan kualitasnya. Ini yang menye- babkan siaran sastra di radio menjadi enak didengar, perlu dide- ngar dan layak didengar bersama-sama.

Ketiga, dalam pengelolaan siaran sastra di radio dimungkin- kan terjadinya komunikasi yang akrab antara pengasuh dan pen- dengarnya, baik lewat surat maupun lewat telepon. Ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan siaran sastra radio menjadi efektif dan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak kaku atau me- negangkan.

Dan belajar dari suksesnya siaran sastra di beberapa daerah tadi, terbentuknya komunitas masyarakat pendengar siaran sas- tra itu kemudian didukung oleh jumpa darat atau pertemuan tatap muka. Dari jumpa darat yang waktunya lebih longgar ini berbagai permasalah dapat dikemukakan dan dipecahkan. Juga berbagai kemungkinan lain untuk mempertinggi kualitas siaran sastra dapat ditempuh. Misalnya dengan mendengarkan usulan dari penggemar atau dari beberapa sastrawan senior dan para ahli yang diundang dalam pertemuan tersebut.

Alternatif

Selain itu ada alternatif pemberdayaan sastra radio lainnya, yaitu berupa kolaborasi antara sastrawan dan pemusik yang me- nampilkan karya sastra berbentuk puisi misalnya—dalam bentuk lagu yang asyik didengar. Ini perlu ditempuh dan jelas mungkin ditempuh mengingat bagaimana kontribusi atau sumbangan sas-

tra terhadap peningkatan kualitas lagu pop telah terbukti ada, misalnya dalam kasus Ebiet G Ade, Bimbo, Frankie dan Jane, Novia Kolopaking dan sebagainya.

Yang juga dapat ditempuh adalah kolaborasi antara dunia sastra radio dengan dunia sastra tulis di media cetak. Mungkin dengan cara saling memberitakan atau saling menyiarkan karya sastra yang dianggap layak. Dengan demikian khalayak sastra radio dapat menyatu dengan khalayak sastra media cetak. Inilah yang pernah dan sedang terjadi pada khalayak sastra di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Alternatif yang nyata untuk lebih memberdayakan sastra radio adalah dengan mengajak pengusaha untuk ikut terlibat. Misalnya, dengan menyelenggarakan lomba penulisan karya sas- tra berhadiah besar. Kemudian karya-karya yang menjadi juara ditampilkan, lewat pertunjukan sastra yang cukup representatif, dengan berkolaborasi bersama pemusik, teaterawan, perupa, dan sebagainya. Pertunjukkan sastra yang representatif itu ke- mudian ditayangkan ulang di radio dengan diberi komentar- komentar yang menambah tingginya cinta pendengar sastra radio terhadap sastra.

Dan untuk menuju itu semua, maka semua mitos yang meng- arah pada pendapat bahwa sastra adalah sesuatu yang terpencil selamanya harus dipatahkan dan dianggap tidak ada. Atau mitos itu dilawan dengan keyakinan, bahwa sastra sebagai bagian dari denyut kehidupan maka berhak hadir di mana-mana. Termasuk di radio.

Kendati kiprah penerbit buku memprihatinkan, tidak berarti di Yogya sepi terbitan buku sastra. Buku-buku yang telah terbit, terutama antologi, hingga kini mencapai puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus judul. Tetapi, buku-buku itu tidak diterbitkan penerbit profesional, tetapi oleh kelompok tertentu yang sifatnya temporer. Kelompok mahasiswa sastra UGM misalnya, bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, menerbitnya Nyidam (1994) dan Maling (1994). MPI bersama IKIP Muhammadiyah (UAD) mener- bitkan Seninjong (1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari (1990) Ahmadun Y Herfanda, Cahaya Maha Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair Cinta (1989) Suminto A Sayuti. IAIN Suka me- nerbitkan Sangkakala (1989) dan Kafilah Angin (1990). Ditambah terbitan Sarwi, USD, UNY, dsb.

Sementara itu, Taman Budaya (DKY), tiap tahun (sejak 1989), selain menerbitkan antologi cerpen, puisi, dan drama melalui FKY, juga menerbitkan Aku Angin (1986), Tugu (1986), dan Zamrud Katulistiwa (1997). Sejak 1995, Balai Bahasa menerbitkan antologi cerpen atau puisi karya peserta bengkel, antara lain Kalicode (1996) dan Noktah (1998), Pengarang yang sering terlibat dalam bengkel ini Suminto A Sayuti, Sri Harjanto, Agus Noor, Landung Simatupang, Iman Budhi Santosa, dan Joni Ariadinata.

Perlu Rekonstruksi Sistem Penerbitan:

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 102-107)