• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mungkinkah Mempersandingkan Sastra Indonesia dan Jawa?

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 98-102)

Celakanya, profesional-profesional sastra Indonesia dan Jawa cenderung tidak melakukan itu semua. Mereka manut dan miturut terhadap pola spesialisasi yang praktiknya semakin dikotomistik. Sastra Jawa (Nusantara) semata-mata dipahami sebagai warisan masa lampau yang harus “diuri-uri”, sementara sastra Indonesia (dengan tegar, penuh vitalitas dan non-coopera- tion) mencap dirinya sebagai “anak tunggal” yang patut dan berhak mewakili dan memiliki masa kini serta masa depan. Realita Yogya

Potret buram di atas bukannya dipungut dari keranjang sampah atau dari arsip peneliti di balik tembok perguruan tinggi. Ia tersusun lewat penampakan berbagai momentum yang poten- sial diterjemahkan sebagai indeks keterpecahan total sastra Indo- nesia dan Jawa. Dan yang mengenaskan, realitas itu terpanjang jelas di Yogyakarta. Yogya yang konon marak dengan segala macam kehidupan seni budaya itu, ternyata dihiasi pula dengan semacam “tembok berlin” yang kokoh, angkuh, serta mengisolasi sastra Indonesia dan Jawa (beserta kreatornya) untuk sibuk sen- diri-sendiri. Melakukan silaturahmi, tegur sapa, sebagaimana tradisi berlebaran yang setahun sekali itu.

Di kota yang tercatat sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa ini (di samping Solo), keminoritasan sastra Jawa bukan lagi isu atau isapan jempol belaka. Kecuali “hidup” di majalah Mekar Sari dan Djaka Lodang, sastra Jawa tinggal menjadi orang jompo yang disantuni oleh panti asuhannya, yaitu Balai Penelitian Bahasa dengan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta.

Sementara sastra Indonesia, puluhan bahkan ratusan orang (mulai anak-anak hingga yang dewasa) gemuruh berkiprah dari waktu ke waktu. Para sastrawannya pelan-pelan mulai menda- patkan prestasi, prestos, berkah ekonomis, dari profesi yang digeluti. Gemanya merayap ke lain kota, hingga ke mancanegara. Puisi, cerpen, novel, karya pengarang Yogya telah mengundang

decak kagum, ditelaah banyak mahasiswa dan tidak jarang men- jadi fenomena budaya di tingkat nasional.

“Kenjomplangan” prestasi, prestos, eksistensi, antara sastra Indonesia dan Jawa, memang tak bisa dipungkiri. Persis seperti kata Umar Kayam (Horison, Februari 1985). Konsekuensi mem- bangun suatu republik kesatuan dan modern memang jauh dan seringkali juga mahal bayarannya. Salah satu esensi dari negara kebangsaan yang berkesatuan dan modern adalah “penyederha- naan” dan “penyatuan”. Akan banyak kekhasan etnik kita hilang, akan banyak wilayah tradisi musnah.

Namun jika kita bercermin pada Manifes Kebudayaan tahun 1963, di mana terjadi peralihan dari paham kosmopolitanisme kebudayaan (versi surat Kepercayaan Gelanggang) kearah nasio- nalisme kebudayaan, berarti adanya pengakuan bahwa puncak- puncak kebudayaan daerah membentuk kebudayaan nasional sebagaimana tercantum dalam UUD 45. Persoalannya sekarang, adakah cara yang akseleratif (mungkin sedikit kompromistis) untuk memancing impuls-impuls kreatif dalam membangun kese- jajaran prestisional antara sastra Jawa dan Indonesia sebagai langkah awal mencari format “tamansari sastra” yang indah dan bermanfaat bagi kekinian dan proses ke depan.

Inspirasi FKY

Tak disangka-sangka proses kesejajaran posisi itu justru te- lah diberikan oleh FKY semenjak keikutsertaan sastra Indonesia dan Jawa di dalamnya. Sejak semula hingga FKY IX, dana, fasili- tas, perhatian, kesempatan, yang diperoleh sastra Indonesia dan Jawa persis sama. Kendati demikian kenyataannya hal itu tak membuahkan kebaruan bagi keduanya.

Mempersandingkan sastra Indonesia dan Jawa juga pernah ditulis Sri Widati dalam antologi esai sastra Jawa, Mempertim- bangkan Sastra Jawa, yang diterbitkan Seksi Sastra Jawa FKY VIII- 1996. Secara eksplisit, peneliti senior pada Balai Penelitian Bahasa

Yogya ini menyarankan adanya tegur sapa antara sastrawan Indonesia dan Jawa (lewat FKY).

Berdasarkan pengalaman mengelola Seksi Sastra Indonesia beberapa tahun belakangan ini, sebenarnya gagasan itu bukannya mustahil diwujudkan. Terutama karena panitia inti pada dasar- nya memberikan wewenang penuh pada seksi-seksi untuk mem- buat kegiatan, sejauh tidak bertentangan dengan aspirasi masya- rakatnya. Meskipun secara organisatoris seksi Sastra Indonesia dan Jawa berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya (kalau mau) dapat memprogramkan suatu terobosan demi mendekatkan sastra Indonesia dan Jawa secara simbolik dan kompromostis. Antara lain dengan: (1) menerbitkan antologi bersama (berisi karya sastra Indonesia dan Jawa yang terpilih), (2) diskusi dan pergelarannya pun bersama-sama. Dengan demikian, sedikit demi sedikit akan terbangun kedekatan dan pendekatan. Pem- baca sastra Indonesia juga membaca sastra Jawa. Pemerhati sas- tra Jawa juga mencoba menghayati sastra Indonesia.

Apabila terlaksana, kebijakan mempersandingkan sastra Indonesia dan Jawa ini memungkinkan sekali dijadikan strategi yang jitu di dalam politik “kesetiakawanan sosial”. Melalui sila- turahmi, tegur-sapa, sekat setinggi apapun pasti terlompati. Pelan-pelan akan tumbuh rasa persaudaraan, saling memerlukan, saling menghidupi, Bantu-membantu. Pada saatnya superioritas dan inferioritas akan teredusir. Mayoritas dan minoritas akan lebur, menyatu sebagaimana individu-individu yang tergabung dalam perkumpulan trah.

Dalam konteks menemukan kebersandingan dan kesejajaran sastra Indonesia dan Jawa, FKY merupakan media paling tepat. Jika sekarang sudah terlambat, mungkin tahun depan atau kapan saja hal itu sebaiknya musti segera diagendakan.

Sebenarnya agak ironis dan aneh juga jika pertanyaan se- macam di atas diluncurkan sekarang, ketika kemerdekaan telah berusia 52 tahun dan usia radio di masyarakat kita juga sekitar itu. Sebab seharusnya, paralel dengan kemajuan berbagai bidang, posisi sastra di radio pun juga makin kokoh dan nyata. Sebagai bagian dari ekspresi modern, sastra sesungguhnya dapat me- nempati posisi yang searah atau sejajar dengan ekspresi-ekspresi modern lainnya.

Hanya sayangnya, sastra terlanjur memiliki mitos sebagai sesuatu yang amat serius amat mendalam, amat rumit, sekaligus langka dan berjarak dengan masyarakat. Apalagi sastra juga me- miliki mitos lain, ia bermain di ruang yang amat individual, bukan bermain di ruang yang lebih luas di mana lingkungan kolektif dapat lebih mudah terlibat dan dilibatkan.

Selain itu, dalam proses sosial-ekonomi-budaya yang terjadi selama ini, ketika dimensi ekonomi menonjol sekali dan menjadi panglima kehidupan yang ditandai dengan makin sah dan berla- kunya pemikiran dan pendekatan yang pragmatis, sastra menjadi terkesampingkan karena dinilai sebagai sesuatu yang kurang berguna, sesuatu yang kurang menguntungkan, sesuatu yang justru mengganggu karena imaji-imaji yang ditawarkan sering berlebihan atau bahkan melawan dan menabrak secara kritis

Dalam dokumen MEMBACA SASTRA JOGJA Antologi Esai Artik (Halaman 98-102)