• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harga Komoditas Pertanian Berfluktuasi dan Terus Meningkat Komoditas Beras Komoditas Beras

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 39-54)

ISU-ISU PENTING/MASALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN

3.1. Harga Komoditas Pertanian Berfluktuasi dan Terus Meningkat Komoditas Beras Komoditas Beras

Harga rata-rata beras medium di tingkat eceran selama 2004-2012 naik 14,39%/tahun, sedangkan harga beras paritas internasional naik 13,90%/tahun (Gambar 3.1). Namun fluktuasi harga beras di dalam negeri cenderung lebih rendah dibandingkan harga beras di pasar internasional. Pada saat terjadi krisis global tahun 2007 dan 2008, harga rata-rata beras dalam negeri naik 5,29-7,38%, sedangkan harga beras paritas internasional (Thai broken 5%) berfluktuasi dengan lonjakan kenaikan mencapai 85,37% (Kementan, 2012).

Gambar 3.1. Perkembangan Harga Beras Dalam Negeri dan Internasional Tahun 2004-2012 (Sumber: Kementan, 2012)

Pada periode tahun yang sama (2004-2012), harga beras di tingkat grosir naik 14,85%/tahun untuk beras medium dan 11,57%/tahun untuk beras premium (Gambar 3.2). Pola pergerakan harga beras medium dan premium di tingkat grosir cenderung sama, namun harga beras medium lebih fluktuatif dibandingkan

dengan harga beras premium. Lonjakan harga tertinggi terjadi pada tahun 2006, baik untuk beras premium maupun medium, yang mencapai 28,94-31,58%.

Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah/beras dalam upaya mengendalikan stabilitas harga beras di dalam negeri cukup efektif. Selisih antara HPP dan harga gabah/beras aktual pasar pada musim raya relatif kecil sehingga Perum BULOG dapat melakukan pengadaan gabah/beras (Gambar 3.2). Selain mempertimbangkan pengadaan beras dalam negeri oleh Perum BULOG, penetapan HPP juga telah memperhitungkan insentif harga bagi Petani. Penetapan HPP secara bertahap disempurnakan, yang disesuaikan dengan perkembangan situasi perekonomian nasional dan internasional, perkembangan harga beras di tingkat nasional dan internasional, upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, dan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Gambar 3.2. Perkembangan Harga Beras Dalam Negeri Tingkat Grosir tahun 2004-2012 (Sumber: Kementan, 2012)

25 Gambar 3.3. Perkembangan Harga Pasar GKP dan HPP GKP Tahun 2004-2012

(Sumber: Kementan, 2012)

Fenomena lebih tingginya harga di dalam negeri tinggi daripada harga di pasar internasional disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah sebagai berikut:

1) Ada kebijakan HPP. Setiap tahun pemerintah menaikkan HPP (dahulu harga dasar). Sasaran kebijakan ini adalah untuk menjaga agar harga gabah di tingkat petani tidak jatuh, terutama ketika panen raya. Selain untuk mengkondisikan agar petani tidak merugi, kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan motivasi petani agar terus meningkatkan usahatani padi. 2) Struktur pasar gabah dan beras di Indonesia belum efisien. Hal ini

ditunjukkan oleh masih tingginya margin pemasaran, yang berkisar 19-28% untuk gabah. Tingginya margin pemasaran disebabkan oleh: (a) Tingginya biaya transportasi dari sentra produksi ke sentra konsumsi; dan (b) Struktur pasar gabah yang oligopsonistik, sedangkan struktur pasar beras cenderung oligopolistik. Struktur pasar demikian tidak terlepas dari kondisi berikut: (i) tingkat sebaran wilayah produksi beras yang cukup beragam dan jumlahnya kecil-kecil, (ii) wilayah Indonesia sangat luas dan berupa kepulauan yang menyebabkan biaya angkut produk mahal, dan (iii) tingkat penyebaran penduduk yang timpang antar pulau, dimana lebih dari dari 50% penduduk terdapat di Pulau Jawa, sementara hamparan lahan yang memungkinkan untuk perluasan areal persawahan berada di Luar Pulau Jawa.

Dalam rangka mendukung stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen, Indonesia memupuk cadangan beras pemerintah yang pelaksanaannya

dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Dalam melaksanakan tugasnya, BULOG melakukan pengadaan dalam negeri, dan impor jika pengadaan dalam negeri tidak mencapai target. Pada kurun waktu 1983-2011, rata-rata pengadaan beras dalam negeri mencapai 1,83 juta ton, dengan angka paling rendah terjadi pada tahun 1998 yaitu 250 ribu ton dan angka paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu 3,6 juta ton.

Sementara pengadaan beras dari luar negeri (impor) selama kurun waktu yang sama (1983-2011) mencapai rata-rata 744 ribu ton per tahun. Negara pemasok utama beras ke Indonesia adalah Thailand dan Vietnam. Pada kurun waktu tersebut, tercatat pada tahun 1985, 1986, 1988, 1993, dan 2009 Indonesia tidak mengimpor beras. Impor beras terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu 5,959 juta ton. Keadaan ini disebabkan produksi beras nasional pada tahun tersebut menurun drastis akibat fenomena El Nino (kekeringan) selama April 1997 sampai dengan Agustus 1998, dan akibat krisis ekonomi 1998. Terjadinya kekurangan pasokan beras dalam negeri menyebabkan harga beras melonjak dan untuk meredam gejolak harga maka dilakukan impor.

Komoditas Jagung

Meningkatnya harga-harga komoditas pertanian dunia menyebabkan harga jagung nasional juga meningkat. Peningkatan harga jagung selama periode tahun 2005-2011 di tingkat produsen, grosir (perdagangan besar) dan konsumen masing-masing adalah 10,13%, 11,56% dan 11,72% per tahun (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen, dan Grosir Jagung, 2005-2011 (Rp/kg). Tahun Harga Produsen Harga Grosir Harga Konsumen Selisih Harga Konsumen dan Produsen Grosir dan Produsen 2005 1.668 2.150 2.002 334 482 2006 1.802 2.333 2.221 419 531 2007 1.894 3.617 2.605 711 1.723 2008 1.986 4.000 3.123 1.137 2.014 2009 2.672 4.000 3.591 919 1.328 2010 2.153 4.000 3.732 1.579 1.847 2011 3.400 4.271 3.800 400 871 Trend (%/th) 10,13 11,56 11,72 12,32 14,31 Sumber: BPS (2005-2011), diolah.

27 Pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen atau pedagang dan di tingkat produsen (petani) umumnya bersifat asimetri. Selisih harga di tingkat konsumen dan tingkat produsen berkisar Rp 334–Rp 1.579 per kg dengan kecenderungan peningkatan sebesar 12,32%/tahun. Sementara selisih harga di tingkat grosir dan tingkat produsen berkisar Rp 482 – Rp 2.014 per kg dengan kecenderungan peningkatan sebesar 14,31%/tahun. Peningkatan harga jagung di tingkat konsumen atau grosir tidak ditransmisikan secara sempurna ke harga di tingkat petani. Sementara penurunan harga jagung di tingkat konsumen atau perdagangan besar ditransmisikan secara sempurna ke harga jagung di tingkat petani. Dengan demikian, fluktuasi harga jagung hanya menguntungkan pedagang serta merugikan petani dan konsumen.

Sementara itu, terjadinya anomali iklim yang berakibat pada kurang berhasilnya produksi pertanian, termasuk jagung, telah mendorong harga jagung misalnya di negara produsen jagung dunia USA (FOB US $/ton) meningkat dengan rata-rata 14,23%/tahun, yaitu dari US$ 98,41/ton pada tahun 2005 menjadi US$ 291,78 pada tahun 2011 (Tabel 3.2). Seiring dengan pergerakan harga FOB di negara produsen, maka harga jagung kuning asal impor juga meningkat signifikan yaitu 12,14%/tahun. Harga jagung impor tahun 2005 mencapai Rp 1.260/kg dan terus meningkat hingga mencapai Rp 3.213/kg pada tahun 2008. Pada tahun 2009-2010 harga jagung impor sedikit menurun pada kisaran harga Rp 2.031 – Rp 2.200/kg, kemudian meningkat kembali mulai tahun 2011 (Tabel 3.2).

Selanjutnya pola pergerakan harga domestik pada perdagangan besar hampir sama dengan harga jagung impor asal USA di Indonesia (Gambar 3.4). Secara umum, bahwa harga jagung di tingkat grosir lebih tinggi dibanding dengan harga jagung asal impor. Selanjutnya bila dibandingkan dengan harga di tingkat petani maka harga jagung impor tidak selalu lebih rendah. Selisih harga jagung asal impor dengan harga di tingkat pedagang besar sangat besar, dibandingkan dengan selisih harga dengan di tingkat petani. Hal demikian jelas mencerminkan bahwa sesungguhnya harga jagung di tingkat petani sangat rendah dan kecenderungannya secara umum rendah. Sementara fenomena harga jagung yang tinggi kerap terjadi di tingkat pedagang grosir atau bandar jagung. Rendahnya harga jagung di tingkat petani bukan semata-mata karena tingkat efisiensi usahatani yang tinggi, melainkan harga jual jagung di tingkat petani sering ditekan oleh para pedagang jagung.

Tabel 3.2. Perkembangan Harga Jagung Impor di Dalam Negeri, 2005-2011. Tahun Harga Jagung (US No.2 Yellow) (FOB US$/MT) Harga Jagung Kuning Impor di Dalam Negeri (Rp/Kg) Selisih Harga Jagung Impor dan Harga Petani (Rp/Kg) Selisih Harga Jagung Impor dan Harga Grosir (Rp/Kg) 2005 98,41 1.260 -408 -890 2006 121,59 1.454 -348 -880 2007 163,26 1.990 96 -1.627 2008 223,25 3.219 1.233 -781 2009 165,54 2.031 -640 -1.969 2010 186,01 2.200 47 -1.800 2011 291,78 3.242 -158 -1.029 Trend(%/th) 14,73 13,16 - -

Sumber: FAO (2011) dan Pink Sheet (2012), diolah.

Gambar 3.4. Perkembangan Harga Jagung Domestik di Berbagai Tingkatan dan Harga Jagung Asal Impor, 2005-2011 (Rp/Kg)

Lebih murahnya harga jagung asal impor dibandingkan dengan harga jagung domestik dapat disebabkan oleh beberapa keunggulan di negara produsen/eksportir dibanding di Indonesia (PSE-KP, 2012). Keunggulan tersebut diantaranya : (1) Tingkat efisiensi usahatani lebih tinggi; (2) Tingkat efisiensi sistem distribusi dan pemasaran lebih tinggi; (3) Skala usahatani lebih besar; (4) Manajemen pengelolaan usahatani jauh lebih modern; (5) Sistem permodalan dan

Tahun Harga Jagung (US No.2 Yellow) (FOB US$/MT) Harga Jagung Kuning Impor di Dalam Negeri (Rp/Kg) Selisih Harga Jagung Impor dan Harga Petani (Rp/Kg) Selisih Harga Jagung Impor dan Harga Grosir (Rp/Kg) 2005 98,41 1.260 -408 -890 2006 121,59 1.454 -348 -880 2007 163,26 1.990 96 -1.627 2008 223,25 3.219 1.233 -781 2009 165,54 2.031 -640 -1.969 2010 186,01 2.200 47 -1.800 2011 291,78 3.242 -158 -1.029 Trend(%/th) 14,73 13,16 - -

29

dukungan kelembagaan usaha jauh lebih memadai, dan (6) Dukungan pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan komoditas jagung lebih kuat dan saling bersinergi.

Komoditas Kedelai

Harga kedelai secara umum mengalami fluktuasi sebagai akibat dari pasokan yang tidak stabil. Harga kedelai di pasar internasional mengalami lonjakan pada tahun 2007 dan 2008 (Gambar 3.5 dan Tabel 3.3). Harga kedelai kuning AS pada 2007 dan 2008 meningkat drastis masing-masing 46% dan 43%. Meningkatnya harga kedelai di AS yang mencapai puncaknya US$ 461,7/MT pada tanggal 11 Januari 2008 menyebabkan harga kedelai di dalam negeri meningkat tajam sebesar 60%. Kenaikan ini adalah yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Peningkatan harga kedelai di AS sesungguhnya telah terjadi sejak Mei tahun 2007, dimana saat itu harga kedelai dunia mencapai US$ 283,3/MT.

Paling sedikit ada tiga alasan kuat yang menyebabkan harga kedelai pada perdagangan dunia meningkat tajam, yaitu sebagai berikut:

(1) Produksi kedelai dunia pada tahun 2007 menurun sekitar 14 juta ton dibandingkan dengan produksi tahun 2006 yang mencapai 221,6 juta ton. Pada tahun 2008, produksi kedelai dunia kembali turun sebesar 6,5%. Penurunan produksi ini dipicu oleh penurunan produktivitas dan areal tanam karena perluasan areal tanam jagung sebagai sumber energi alternatif yang sedang digalakkan oleh Pemerintah AS.

(2) Meningkatnya konsumsi kedelai dunia yang dipicu oleh naiknya konsumsi kedelai di Cina dan India.

(3) Program pengembangan sumber energi alternatif, seperti di AS, yang mengembangkan bahan bakar nabati, yaitu bioetanol berbasis bahan baku jagung. Kebijakan energi alternatif ini, khususnya di AS, menyebabkan harga jagung di perdagangan dunia meningkat. Hal ini memberikan harapan bagi petani jagung di negara tersebut. Selain itu, untuk mendorong pengembangan energi alternatif ini, pemerintah AS juga memberikan subsidi kepada petani jagung. Dua kebijakan ini menyebabkan petani AS beralih komoditas dari kedelai menjadi jagung karena jagung lebih menjanjikan (PSE-KP, 2012).

Pada tahun sebelumnya, yaitu 2000, produksi kedelai di AS melimpah sehingga pasar di negara ini sulit untuk menampung produksi domestiknya. Untuk menjaga insentif bagi petaninya, maka pemerintah AS memberikan kredit ekspor. Melalui fasilitas kredit ini, importir Indonesia banyak mendatangkan kedelai dari AS karena adanya selisih harga. Akibatnya, harga kedelai impor dari AS menjadi

lebih murah sekitar Rp 550/kg dibandingkan dengan harga kedelai produksi lokal. Selain faktor harga yang lebih murah, ada kecenderungan industri pengolahan tahu dan tempe di Indonesia lebih menyukai kedelai impor karena ukurannya yang lebih besar. Kondisi demikian menjadi salah satu faktor yang menghambat peningkatan produksi kedelai domestik (nasional) di Indonesia.

Makin tingginya impor kedelai, menyebabkan harga kedelai lokal sangat dipengaruhi oleh harga internasional. Meningkatnya harga kedelai impor dari AS menyebabkan harga produsen dan konsumen kedelai lokal meningkat. Pada tahun 2007 dan 2008, harga produsen kedelai Indonesia meningkat masing-masing 13% dan 35%, sedangkan harga konsumen kedelai meningkat 8% dan 61%. Peningkatan harga ini telah mampu mendorong peningkatan produksi kedelai domestik yang pada tahun 2007 hanya sebesar 592,6 ribu ton menjadi 775,7 ribu ton pada tahun 2008, dan kemudian meningkat lagi menjadi 974,5 ribu ton pada tahun 2009. Namun, setelah harga kedelai kembali menurun pada akhir 2009, maka produksi juga kembali menurun.

Menurut hasil kajian PSE-KP (2012), tataniaga kedelai domestik pada periode 2000-2012 dimulai dengan memasuki era reformasi. Sebagai konsekuensi penandatangan LoI dengan IMF, pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki institusi penyangga stok bagi komoditas pangan strategis. Monopoli impor, pemasaran dan pengendalian harga oleh BULOG hanya berlaku untuk komoditas beras. Dengan mengacu pada LoI tersebut, maka pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres Nomor 19 Tahun 1998 yang memberi tugas BULOG untuk mengendalikan harga hanya untuk beras. Tataniaga pangan makin merugikan petani karena pemerintah membebaskan tarif bea masuk (TBM) pangan, termasuk kedelai menjadi 0%. Padahal sebelumnya TBM sebesar 20%. Pada saat itu, peran swasta dan BULOG sederajat dalam importasi dan pemasaran. Kebijakan deregulasi tata niaga kedelai akhirnya melahirkan importir besar. Saat ini hanya ada 4 importir kedelai, yaitu PT Cargill Indonesia, PT Teluk Intan, PT Liong Seng dan PT Gunung Sewu. Struktur pasar kedelai yang dikuasai 4 importir besar ini terbentuk karena unit terkecil dalam penawaran lelang kedelai minimal 50.000 ton, sehingga hanya sedikit pengusaha yang sanggup menanggung biaya lelang, plus ongkos transportasi. Struktur pasar impor kedelai ini akhirnya menimbulkan penilaian bahwa kenaikan harga kedelai di Indonesia, selain dipicu faktor naiknya harga kedelai di perdagangan internasional, juga akibat praktek kartel yang dilakukan oleh empat importir tersebut.

Kebijakan kredit ekspor pemerintah AS juga memberikan kemudahan

kepada importir Indonesia melalui sistem pembiayaan penjaminan (collateral

31

perjanjian jual-beli komoditas melalui bank. Selanjutnya importir membayar uang muka yang disepakati, sekitar 10-20%. Kemudian bank menunjuk surveyor di gudang penerima melalui rekomendasi pemasok dari luar negeri. Pemasok kedelai dari luar negeri akan mengirim barang sebanyak yang dipesan dan dikirim ke gudang importir. Bank tersebut yang kemudian membayar 100% kepada eksportir/penyalur dengan jaminan komoditas yang ada di gudang. Selanjutnya, importir akan menjual secara bertahap sesuai dengan permintaan pasar domestik. Jumlah (nilai cicilan) yang dibayarkan ke bank adalah sesuai dengan volume kedelai yang ditebus (terjual) atau yang dikeluarkan dari gudang importir.

Gambar 3.5. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, Januari 2005 – April 2012 (Sumber: PSE-KP, 2012).

(US$/MT)

(Rp/kg)

Gambar 3.5. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, Januari 2005 – April 2012 (Sumber: PSE-KP, 2012).

(US$/MT)

Tabel 3.3. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen dan Internasional Kedelai, 2005-2012 (sampai April 2012).

Tahun Harga Produsen (Rp/kg) Harga Konsumen (Rp/kg) Harga Internasional (US$/MT)1) 2005 3.894 4.228 223 2006 4.036 4.472 217 2007 4.588 4.847 317 2008 6.212 7.788 453 2009 6.588 8.411 379 2010 6.664 8.683 385 2011 7.236 8.641 484 2012 7.262 8.631 478 Trend (%/thn) 10,07 12,04 11,61 Sumber : PSE-KP (2012).

Keterangan: 1) Jenis: Soybeans, U.S. soybeans, Chicago Soybean futures contract (first contract forward) No. 2 yellow and par, US Dollars per Metric Ton.

Komoditas Gula

Jenis gula yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP merupakan jenis gula yang hanya untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran, dan hotel, dan sebagai bahan penolong oleh perajin makanan dan minuman skala rumah tangga (home industri). Sementara GKR merupakan jenis gula yang hanya digunakan oleh industri makanan, minuman dan farmasi skala besar, dan dilarang masuk ke pasar gula GKP.

Harga domestik GKP direpresentasikan oleh harga GKP di tingkat konsumen di pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), harga GKP di pasar domestik meningkat tajam, yaitu dari Rp 6.539/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 13.212 pada tahun 2012 (sampai dengan Juli) (Tabel 3.4). Hal ini berarti harga domestik naik lebih dari 100% atau rata-rata hampir 20%/tahun.

33 Tabel 3.4. Perkembangan Harga Gula GKP di Pasar Domestik dan Internasional,

2008-2012

Uraian Satuan 2008 2009 2010 2011 2012*) 1. Harga Domestik Rp/kg 6,539 8,691 8,440 10,624 13,123

2. Harga Internasional:

a.Harga Impor (CIF Ind) US$/kg 0,379 0,502 0,690 0,840 0,841 b.Nilai Tukar Rp/US$ 9.772 10.356 9.078 8.773 9.255 c.Harga Impor (a*b) Rp/kg 3.704 5.199 6.264 7.369 7.783 d.Tarif bea masuk Rp/kg 790 750 490 400 790 e.Biaya pelabuhan & angkut Rp/kg 278 390 470 553 584 f.Harga paritas impor (c-d-e) Rp/kg 4.772 6.339 7.224 8.322 9.157 3. Selisih harga (1-2f) Rp/kg 1,767 2,352 1,216 2,302 3,066

% 27.02 27.07 14.41 21.67 33.48

*) Sampai dengan Juli 2012 Sumber: PSE-KP (2012)

Proses pembentukan harga domestik tidak terlepas dari Harga Patokan Petani (HPP) dan Harga Lelang gula GKP. HPP gula GKP selama 2008-2012 mengalami peningkatan yaitu dari Rp 5.000/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 8.100 pada tahun 2012, yang berarti meningkat rata-rata sekitar 13%/tahun. Besaran HPP tersebut sangat ditentukan oleh BPP (Biaya Pokok Produksi) per kg gula petani dan tuntutan petani melalui APTRI agar HPP gula petani tinggi. Dalam penghitungan BPP, nilai tetes tebu milik petani menjadi faktor koreksi terhadap BPP. Selama 2009-2012, BPP selalu meningkat tiap tahun, yaitu dari Rp 5.103/kg pada tahun 2009 menjadi Rp 7.902 pada tahun 2012 atau meningkat sekitar 15,8%/tahun (Tabel 3.5). Rasio HPP terhadap BPP hanya berkisar 1,016-1,048 atau rata-rata 1,034. Rasio ini menunjukkan bahwa rata-rata laba petani minimal adalah 3,4% dari BPP jika harga lelang tepat sebesar HPP, di luar nilai tetes yang menjadi bagian petani.

Dalam rentang waktu 2008-2012, harga lelang mengalami peningkatan 21,0%/tahun yaitu dari Rp 5.255/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 10.982 pada tahun 2012. Harga lelang ini berada pada rata-rata 21,4% di atas HPP. Perbedaan yang jauh antara HPP dan harga lelang tersebut disebabkan oleh keinginan pedagang besar peserta lelang yang hanya berjumlah 3 orang (disebut ‘samurai’) untuk memperoleh jumlah lelang yang besar agar stok gula di gudangnya cukup dalam kondisi produksi gula yang selalu terbatas setiap tahunnya. Harga eceran berada pada rata-rata sekitar 21,4% di atas harga lelang.

Tabel 3.5. Pekembangan BPP, HPP dan Harga Lelang Gula, 2008-2012

Tahun Harga (Rp/kg) Rasio Harga

BPP HPP HL HPP/BPP HL/HPP HE/HL 2008 *) 5,000 5,255 *) 1.051 1.244 2009 5,103 5,350 7,056 1.048 1.319 1.232 2010 6,246 6,530 7,723 1.045 1.183 1.093 2011 6,891 7,000 8,142 1.016 1.163 1.305 2012 7,902 8,100 10,982 1.025 1.356 1.195 Keterangan: BPP = Biaya Pokok Produksi gula petani; HPP = Harga Patokan Petani; dan

HL = Harga lelang gula; *) Tidak dipeperoleh data BPP tahun 2008 (Sumber: PSE-KP, 2012).

Pada kurun waktu 2008-2012, konsumsi GKP cenderung menurun karena menurunnya konsumsi per kapita, sementara konsumsi GKR terus meningkat karena berkembangnya industri makanan, minuman dan farmasi. Namun total konsumsi GKP dan GKR terus meningkat yaitu dari 4.218 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 4.557 ribu ton pada tahun 2012 atau meningkat sekitar 2%/tahun.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi GKP, sebenarnya produksi GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor. Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar, yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012, yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor. Selama 2008-2010 volume impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat 20,1%/tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai 181.60 ribu ton dan 1.150 ribu ton.

Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga paritas impor GKP terus meningkat, yaitu dari Rp 4.772/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 9.157 pada tahun 2012 (sampai dengan Juli). Hal ini berarti harga internasional gula GKP meningkat sekitar 18%/tahun. Meningkatnya harga paritas impor yang merepresentasikan harga internasional tersebut disebabkan terutama oleh meningkatnya harga impor dalam US$, dimana lonjakan harga terjadi pada tahun 2011. Nilai tukar US$ terhadap rupiah berfluktuasi dan tidak menunjukkan penguatan yang signifikan sehingga tidak berdampak meningkatkan harga impor dalam rupiah. Tarif bea

35 masuk (TBM) terus menurun selama kurun waktu 2008-2011 tetapi kemudian meningkat signifikan pada tahun 2012.

Perbedaan antara harga domestik dan harga internasional yang direpresentasikan oleh harga paritas impor selama kurun waktu 2008-2012 berfluktuasi yaitu sekitar Rp 1.216 sampai dengan Rp 3.066/kg atau rata-rata Rp 2.459/kg. Perbedaan harga tersebut secara rata-rata mencapai 31,7% dari harga paritas impor. Hasil kajian PSE-KP (2012), bahwa perbedaan harga tersebut disebabkan oleh: (1) Kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar dan cenderung meningkat; (2) HPP gula petani yang tinggi dan terus meningkat karena biaya pokok produksi (BPP) gula petani tinggi dan terus meningkat, serta tuntutan petani agar HPP tinggi; (3) Tarif bea masuk (TBM) yang cukup tinggi, walaupun harga domestik sudah tinggi; dan (4) Terbatasnya pasokan gula GKR yang menyebabkan industri makanan dan minuman menggunakan gula GKP.

Daging Sapi

Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) harga daging sapi cenderung stabil. Perkembangan harga rata-rata daging sapi bulanan pada periode tersebut di sentra produksi dan konsumsi menunjukkan adanya pergerakan harga yang seirama di sentra produksi dan konsumsi daging. Kenaikan atau penurunan harga daging di sentra produksi secara umum diikuti secara proporsional di sentra konsumsi. Dari perkembangan harga selama 3 tahun terakhir terlihat bahwa harga rata-rata umumnya akan tinggi di bulan-bulan pelaksanaan ibadah puasa hingga idul fitri (Agustus/September/Oktober). Permintaan akan daging di bulan tersebut cenderung meningkat sehingga mempengaruhi tingkat harga.

Hasil kajian PSE-KP (2012) menunjukkan bahwa perkembangan harga sapi (berat hidup) di tiga kota yaitu Bandung, Semarang, dan Mataram menunjukkan bahwa secara rata-rata selama tahun 2008-2010 harga daging sapi tertinggi adalah di kota Bandung yaitu Rp 22.929/kg, diikuti Mataram Rp 22.681/kg dan Semarang Rp 20.275/kg berat hidup (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7).

Harga sapi hidup mencapai puncak dengan harga Rp 28.000/kg pada bulan April-Mei 2009 di kota Bandung. Sementara harga terendah pernah terjadi di Semarang pada bulan Februari 2008 yaitu Rp 11.340/kg. Harga sapi hidup cenderung berfluktusi sepanjang tahun, kecuali di Mataram yang relatif stabil. Jika dibandingkan antara dua kota konsumen daging sapi yaitu Bandung dan Surabaya terlihat bahwa harga bulanan daging sapi di Bandung selalu lebih tinggi dibanding Surabaya (kecuali pada Februari 2011). Hal ini mudah dipahami karena Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat, merupakan daerah net consumer (defisit), sedangkan Surabaya berada di Jawa Timur adalah propinsi dengan jumlah

populasi ternak sapi terbesar di Indonesia (net supplier). Sebagai daerah net consumer, Bandung harus mendatangkan ternak/daging sapi dari daerah lain (impor) sehingga memerlukan biaya tataniaga yang lebih besar.

Gambar 3.6. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi, 2009-2011 (Sumber: PSE-KP, 2012)

Gambar 3.7. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi di Sentra Produksi dan Sentra Konsumsi, 2009-2011 (Sumber: PSE-KP, 2012)

37 3.2. Defisit Kedelai dan Daging Sapi Sangat Tinggi

Produksi kedelai dan daging sapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tingkat ketergantungan pada impor masih sangat tinggi. Tabel 3.6 memperlihatkan bahwa kedelai dan daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit produksi masing-masing 1.425.308 ton (69,31%) dan 78.329 ton (21,46%). Ke depan, konsumsi kedelai dan daging sapi akan terus meningkat

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 39-54)