• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Diversifikasi Pangan

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 34-39)

REVIEW RPJMN 2010-2014 BIDANG PANGAN DAN PERTANIAN

IV. Peningkatan Diversifikasi Pangan

Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada konsumen untuk melakukan variasi konsumsi pangan tidak hanya beras. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini pemerintah sedang menggalakkan pengurangan konsumsi beras yang bertujuan untuk mengurangi impor beras dan meningkatkan produksi beras nasional untuk ekspor.

Indikator keberhasilan peningkatan diversifikasi pangan dapat dilihat dari persentase penurunan konsumsi beras, meningkatnya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayuran dan buah-buahan serta meningkatnya Skor Pola Pangan Harapan (PPH). Skor PPH dapat merepresentasikan sejumlah kalori yang dikonsumsi dari berbagai variasi makanan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS atas rata-rata sejumlah kalori yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia perhari, dapat dihitung skor PPH atas kalori yang dikonsumsi. Pada Gambar 2.3 digambarkan perkembangan pola pangan dan capaian skor PPH dengan target yang diharapkan. Sesuai dengan gambar tersebut dapat dilihat bahwa selama tahun 2004-2011, skor PPH belum mampu menenuhi target yang ditetapkan. Akan tetapi, di tahun 2012 skor PPH hampir mendekati target, yaitu dicapai sebesar 88,82 sedangkan targetnya adalah 88,9. Hal ini mengindikasikan adanya harapan capaian skor PPH di tahun-tahun yang akan datang.

19

Gambar 2.3. Target dan Capaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH)

(Sumber: BPS diolah, dengan mengeluarkan bahan makanan beralkohol)

V. Peningkatan Kesejahteraan Petani

Petani merupakan ujung tombak dari sektor pertanian karena merekalah yang bekerja untuk menghasilkan sumber pangan bagi masyarakat Indonesia. Untuk melihat apakah petani kita pada umumnya telah sejahtera atau belum, ada dua indikator yang digunakan dalam menetapkan kesejahteraan petani, yaitu Nilai Tukar Petani (NTP) dan Pendapatan Perkapita Petani.

1. Capaian Nilai Tukar Petani

Nilai tukar petani menjadi salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Nilai tukar petani diukur dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani (misalnya untuk konsumsi rumah tangga ataupun biaya produksi). Berdasarkan data dari BPS, total nilai NTP tahun 2010-2012 mencapai 103,1, 105,75, dan 105,87. Capaian NTP pada tahun 2011-2012 mampu melampaui target NTP yang ditetapkan yaitu 105. Namun, capaian tertinggi yang pernah diterima petani berdasarkan data BPS tersebut adalah 108,63 yang dicapai pada tahun 2008. Capaian tersebut sampai sekarang belum mampu dilewati lagi bahkan sempat turun drastis di tahun 2009. Kemudian perlahan-lahan naik kembali dengan nilai di atas 100.

Berfluktuasinya NTP ini karena sangat tergantung dari peningkatan dan penurunan harga-harga produk pertanian, harga-harga barang konsumsi, dan biaya produksi. Naik turunnya harga-harga tersebut akan mengkoreksi NTP. Capaian NTP dari tahun 2004-2012 dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Nilai Tukar Petani dari Tahun 2004-2012

(Sumber: BPS pada berbagai tahun)

2. Capaian Pendapatan Perkapita Pertanian

Capaian berikutnya yang menjadi sasaran dalam peningkatan kesejahteraan petani adalah pendapatan perkapita petani. Pendapatan perkapita petani diukur dari pendapatan dari sektor pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha sektor pertanian. Di samping itu, untuk melihat apakah sektor pertanian telah mampu memberikan nilai tambah pendapatan bagi petaninya, dibandingkan dengan pendapatan perkapita dari sektor industri pengolahan.

21

Gambar 2.5. Pendapatan Perkapita Tenaga Kerja di Sektor Pertanian dan Industri

(Sumber: BPS pada berbagai tahun)

Hasil analisis dari data BPS menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan pada sektor pertanian walaupun tidak meningkat secara tajam. Akan tetapi, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini terjadi penurunan dari 41,2 juta orang menjadi 38,8 juta orang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan rata-rata per kapita dari pendapatan sektor pertanian.

2.3. Permasalahan Tidak Tercapainya Kinerja Tahun 2010-2011

Berdasarkan hasil analisis yang telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya, tidak tercapainya kinerja pembangunan bidang pangan dan pertanian dapat diidentifikasi berkaitan dengan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Sebaiknya dilakukan revisi target pada beberapa indikator yang capaiannya

belum mampu memenuhi target, seperti komoditas jagung, kedelai, dan gula. Tidak tercapainya target disebabkan hal-hal sebagai berikut:

a. Penurunan produksi jagung disebabkan oleh penurunan luas panen

yang berkurang cukup besar (dari 4,13 juta hektar tahun 2010 menjadi 3,87 juta hektar tahun 2011).

b. Penurunan produksi kedelai ini disebabkan antara lain faktor harga

terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan intensitas serangan OPT lebih tinggi dari tahun 2010 hingga berdampak nyata pada upaya pencapaian produksi kedelai.

c. Target produksi gula tahun 2011 sebesar 3,87 juta ton akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350.000 hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru, dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana. Permasalahan lainnya di tingkat on farm

adalah sulitnya pengembangan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada, keterbatasan infrastruktur terutama untuk wilayah pengembangan di luar Pulau Jawa, kurangnya sarana irigasi dan penyediaan agroinput yang belum tepat jumlah, waktu, harga dan mutu. Sedangkan di tingkat off farm meliputi tingkat efisiensi pabrik gula yang di bawah standar, biaya produksi yang masih relatif tinggi, kualitas gula yang relatif rendah dan belum berkembangnya diversifikasi produk berbasis tebu.

2. Rendahnya penanaman modal dalam negeri dan luar negeri pada sektor pertanian disebabkan adanya regulasi pengetatan perluasan lahan untuk perusahaan perkebunan, terutama sawit, karena sebagian besar perusahaan kelapa sawit yang mengelola CPO sebagian besar perusahaan asing bukan lokal.

3. Permasalahan berikutnya adalah tidak tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang disebabkan oleh menurunnya konsumsi padi-padian. Padahal, di satu sisi penurunan konsumsi padi menjadi salah satu target Kementerian Pertanian dan meningkatkan variasi pada sumber pangan lainnya.

4. Dilihat dari sisi kesejahteraan petani, walaupun ada peningkatan pertumbuhan dari sisi pendapatan perkapita pada sektor pertanian, namun pendapatan perkapita di sektor pertanian belum mampu mendekati pendapatan perkapita di sektor industri.

23 BAB III

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 34-39)