• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Perbenihan dan Perbibitan Ketersediaan Benih Unggul Ketersediaan Benih Unggul

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 88-93)

ISU-ISU PENTING/MASALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN

3.5. Sistem Perbenihan dan Perbibitan Ketersediaan Benih Unggul Ketersediaan Benih Unggul

Benih mempunyai arti penting dalam pengembangan agribisnis dan ketahanan pangan. Benih varietas unggul berperan tidak hanya sebagai salah satu komponen penting dan pengantar teknologi, tetapi juga menentukan potensi hasil yang bisa dicapai, kualitas produk yang akan dihasilkan, dan efisiensi biaya produksi. Ketersediaan berbagai alternatif pilihan benih varietas unggul spesifik lokasi pada suatu wilayah akan berdampak positif terhadap stabilitas produksi dan ketahanan pangan. Oleh karenanya, perbaikan sistem perbenihan dan perbibitan merupakan salah satu strategi pembangunan pertanian secara luas yang dilaksanakan Kementerian Pertanian selama periode 2010-2014 yang dijabarkan ke dalam TUJUH GEMA REVITALISASI, termasuk yaitu Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan.

Sistem Perbenihan Nasional diawali pada tahun 1971 dengan dibentuknya kelembagaan perbenihan terutama untuk tanaman pangan (padi) yang meliputi lembaga kebijakan dan regulasi oleh Balai Benih Nasional (BBN), lembaga penghasil varietas oleh Lembaga Penelitian Padi (LP3 Cabang Sukamandi), lembaga industri benih oleh PT. Sang Hyang Sri (SHS), dan lembaga penjamin mutu dan pengawas oleh Balai Pengawas dan Sertifikasi Benih (BPSB) melalui Keputusan Presiden No.27/1971. Badan Benih Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Pertanian.

Saat ini sistem Perbenihan Nasional merupakan bagian dari Pelaksanaan Strategi Umum Perbenihan Nasional. Sistem Perbenihan Nasional terdiri dari: (1)

73 Sub-sistem Litbang, yang yang terkait dengan penciptaan sumber daya genetik dan pemuliaan atau penciptaan varietas unggul baru (VUB); (2) Sub Sistem Produksi dan Distribusi Benih; (3) Sub Sistem Pengendalian Mutu; dan (4) Sub Sistem Informasi. Butir 2, 3 dan 4 menyangkut unit pengelola benih sumber untuk percepatan adopsi VUB. Saat ini di Indonesia terdapat 13 lembaga penyelenggara pemuliaan padi, yang terdiri dari dua lembaga publik, yaitu Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB-Padi) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan 11 lembaga swasta. Lembaga-lembaga tersebut telah menghasilkan varietas unggul padi yang kemudian dilepas oleh Menteri Pertanian untuk memenuhi persyaratan pemasarannya (Nugraha et al, 2012).

Sampai saat ini telah dilepas 263 varietas unggul baru (VUB) padi, tetapi hanya 10-15 varietas yang ditanam dalam skala luas (> 100.000 ha per tahun). VUB padi mendominasi 90% areal panen dari total areal 12 juta ha dengan peningkatan produktivitas 0,75 t gabah/ha; VUB jagung yang telah dilepas 62 varietas, mendominasi 45% dari total areal panen 4 juta ha dengan peningkatan produktivitas 1,0 t/ha; VUB kedelai yang telah dilepas 64 varietas, mendominasi 80% dari total areal panen 0,7 juta ha dengan peningkatan produktivitas 0,5 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2013). Saat ini adopsi VUB spesifik lokasi masih terkendala oleh alur penyediaan perbenihan yang ada dan fanatisme petani pada varietas tertentu. Orientasi usaha tani, tingkat teknologi, dan persepsi tentang benih juga masih sangat beragam. Namun demikian permintaan benih padi sangat fisibel secara komersial (> 200.000 t/tahun).

Sistem perbenihan saat ini dihadapkan pada kondisi Sistem Perbenihan formal vs non formal. Benih yang digunakan untuk menanam padi berasal dari dua sumber, yaitu benih yang diperoleh dari pasar (kios) atau pedagang dan produsen benih komersial disebut sektor perbenihan formal (formal seed sector), dan benih yang berasal dari hasil panen sendiri atau beli/barter dari petani lain, disebut sektor perbenihan informal atau (informal seed sector). Saat ini sebagian besar benih padi yang digunakan petani adalah benih hasil sendiri dari sektor informal. Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan memperkirakan bahwa pada tahun 2004 sektor formal mensuplai sekitar 38,83% dari kebutuhan potensial benih padi. Sebagian petani kurang tertarik dengan benih komersial (benih bersertifikat) yang harganya lebih mahal. Oleh karena itu, dalam pengembangan sistem perbenihan di Indonesia, penguatan juga harus diberikan tidak hanya terhadap sistem formal atau industri benih komersial, tetapi juga terhadap sistem perbenihan informal (Nugraha et al, 2012). Faktor penyebab petani membatasi membeli benih padi bersertifikat antara lain adalah sebagai berikut (Nugraha dan Sayaka, 2004):

(1) Secara tradisional, benih padi telah tersedia di petani dalam bentuk gabah dari hasil panen sebelumnya. Semua petani mengetahui harga gabah yang mereka gunakan sebagai pembanding dalam menilai harga benih. Bila harga gabah terlalu jauh berbeda dari harga benih, dan petani belum memperoleh bukti yang meyakinkan tentang keunggulan mutu benih dan varietas yang diwakilinya, maka petani akan sangat hati-hati untuk membeli benih tersebut.

(2) Benih padi termasuk ke dalam kelompok benih yang mudah untuk disimpan. Dengan penyimpanan secara tradisional para petani tidak mengalami kesulitan untuk menyimpan benih padi dari hasil panennya sampai musim tanam berikutnya.

(3) Potensi genetik dari benih yang dihasilkan petani selama beberapa musim tanam tidak jauh berbeda dari benih yang pertama kali mereka beli dari kios.

(4) Semua hasil panen berpotensi untuk digunakan sebagai benih.

Struktur Perbenihan

Struktur perbenihan nasional, khususnya untuk tanaman padi, dijabarkan pada Gambar 3.8 di bawah ini:

Gambar 3.8. Struktur Perbenihan Nasional di Indonesia

BBU, Penangkar/Produsen benih swasta /BUMN.

Nucleus Seed

Foundation Seed

Balai Penelitian Komoditas (UPBS), Lembaga penyelenggara pemuliaan

BBI (Balai Benih Induk), Penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari BPSB, Produsen benih swasta/BUMN.

BBU (Balai Benih Utama , Penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari BPSB, Produsen benih

Balai Penelitian Komoditas (UPBS), Lembaga penyelenggara pemuliaan Breeder Stock Seed Label Putih Label Ungu Extention Seed Label Biru

Gambar 3.8. Struktur Perbenihan Nasional di Indonesia

BBU, Penangkar/Produsen benih swasta /BUMN.

Nucleus Seed

Foundation Seed

Balai Penelitian Komoditas (UPBS), Lembaga penyelenggara pemuliaan

BBI (Balai Benih Induk), Penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari BPSB, Produsen benih swasta/BUMN.

BBU (Balai Benih Utama , Penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari BPSB, Produsen benih

Balai Penelitian Komoditas (UPBS), Lembaga penyelenggara pemuliaan Breeder Stock Seed Label Putih Label Ungu Extention Seed Label Biru

75 Balai Besar Penelitian Padi menciptakan varietas unggul baru, serta menyiapkan benih sumbernya. Sementara itu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) memproduksi benih sumber untuk memperkuat logistik benih, dan mempercepat adopsi varietas unggul benih oleh petani.

Kondisi Alur Penyediaan Benih Saat ini

Untuk benih komersial, Surat Edaran Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam rangka pembinaan BBI/BBU (Balai Benih Induk/Balai Benih Umum) memberi kewenangan kepada Penyelenggara Pemuliaan, BBI, BBU dan Produsen Benih berturut-turut untuk memproduksi benih BS (Benih Penjenis), FS (Benih Pokok), SS (Benih Dasar) dan ES (Benih Sebar).

Badan Litbang Pertanian mengambil kebijakan alur di atas untuk benih komersial. Sementara untuk benih yang belum dikenal, jenis benih BS, FS dan SS diproduksi Badan Litbang Pertanian, dan untuk benih hortikultura mengacu pada Permentan Nomor 38/2011 dan No. 5/2012. Alur perbenihan, khususnya perbenihan padi, dijabarkan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9.: Alur Penyediaan Benih Tanaman Padi

Kebijakan Terkait dengan Perbenihan

Secara umum, kebijakan perbenihan di Indonesia adalah mendorong partisipasi sektor swasta dalam industri benih. Pemerintah senantiasa berupaya

Balit/Balai Besar BBI BPTP BBU Produsen Benih Petani FS SS ES BS FS ES Keterangan: BS = Benih Penjenis FS = Benih Dasar SS = Benih Pokok ES = Benih Sebar

mewujudkan iklim yang kondusif untuk perkembangan peran sektor swasta, antara lain melalui (Direktorat Perbenihan, 2005):

(1) Penerapan kebijaksanaan yang fair, dengan memberikan perlakuan dan peluang yang sama kepada semua produsen benih.

(2) Penyempurnaan peraturan perundangan yang kurang relevan dengan kondisi yang ada.

(3) Mendorong dan memfasilitasi kegiatan pemuliaan sektor pemerintah dan swasta dalam menciptakan varietas-varietas baru yang lebih unggul sesuai dengan masing-masing agroekosistem dengan tetap memperhatikan preferensi konsumen.

(4) Rasionalisasi pengendalian mutu. Sertifikasi benih secara bertahap akan diterapkan hanya untuk benih-benih dari varietas yang memenuhi persyaratan, antara lain permintaan terhadap varietas tersebut tinggi, serta memiliki karakter yang unik, seragam dan mantap. Selain sertifikasi benih, untuk meningkatkan efisiensi dan tuntutan pasar global juga akan terus dikembangkan penerapan prinsip-prinsip manajemen mutu dalam industri benih melalui sistem standardisasi nasional, yang mencakup antara lain: penetapan standar produk, sertifikasi sistem mutu, sertifikasi produk, akreditasi laboratorium penguji benih, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu, dan akreditasi lembaga sertifikasi produk. Benih dengan jaminan mutu ini dipersiapkan untuk petani-petani maju yang memang telah peduli mutu.

(5) Promosi varietas unggul dan pemasyarakatan penggunaan benih bermutu. Kegiatan produksi benih akan meningkat apabila benih tersebut digunakan oleh petani dalam skala luas. Kegiatan promosi varietas unggul dan pemasyarakatan penggunaan benih bermutu perlu terus ditingkatkan untuk meyakinkan petani tentang keunggulan varietas baru dan manfaat penggunaan benih bermutu, sehingga permintaan benih menjadi feasible

untuk bisnis.

(6) Penentuan harga benih yang rasional. Untuk mendorong perkembangan industri benih, pemerintah perlu menetapkan kebijakan harga yang rasional, yang memperhatikan askesibiltas konsumen terhadap benih bermutu dan peluang produsen benih untuk mendapakan insentif finansial. Kebijakan ini penting terutama untuk benih-benih tanaman pangan.

(7) Peningkatan aksesibilitas permodalan bagi produsen dan penangkar benih, terutama swasta kecil. Keterbatasan para produsen dan penangkar benih untuk memanfaatkan jasa perbankan umumnya karena keterbatasan

77 mereka dalam menyediakan jaminan (collateral) sesuai dengan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking), dan karena suku bunga komersial yang terlalu tinggi. Mulai tahun 2006, Kementerian Pertanian melalui Pusat Pembiayaan Pertanian telah menyiapkan program untuk maksud tersebut.

Upaya Tindak Lanjut

Dalam rangka revitalisasi perbenihan dan perbibitan, dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: (1) Menata kembali kelembagaan perbenihan/perbibitan nasional mulai dari tingkat pusat sampai daerah; (2) Melindungi, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya genetik nasional untuk pengembangan varietas unggul lokal; (3) Memperkuat tenaga pemulia dan pengawas benih tanaman; (4) Memberdayakan penangkar dan produsen benih berbasis lokal; (5) Meningkatkan peran swasta dalam membangun industri perbenihan/ perbibitan; (6) Membangun industri perbenihan dengan arah kemandirian industri benih nasional yang mencakup kemandirian produksi benih; (7) Mengharuskan importir pedagang benih mengembangkan perbenihan di dalam negeri sehingga menjadi importir produsen benih dalam upaya untuk menahan laju benih impor dan mendorong berkembangnya industri benih di dalam negeri; (8) Menyediakan sumber bahan tanaman perkebunan melalui pembangunan dan pemeliharaan kebun induk/entres serta penguatan kelembagaan usaha perkebunan; dan (9) Membangun perbibitan ternak dengan mengarahkan peran swasta pada kelangsungan perbibitan ayam ras mulai dari keberadaan grand parent stock, parent stock sampai final stock.

Dalam dokumen rpjmn bidang pangan dan pertanian 2015 2019 (Halaman 88-93)