E. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Penataaan Ruang Pesisir Dan Laut
1. Harmonisasi Hukum
Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan
harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara
Pusat dan Daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai
perubahan yang telah terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama
setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang sangat menentukan
arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan
perundang-undangan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-perundang-undangan
Indonesia69.
L.M. Lapian Gandhi70, yang mengutip buku Tussen Eenheid en
Verscheidenheid: Opstellen over Harmonisatie In Staats-En Bestuursrech,
69 Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumberdya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir Penyusunan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89
70 L.M. Gandhi. 1995. Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk. 1996/1997. Hal 28-29.
sebagaimana dikutip oleh Moh. Hasan Wargakusumah, mengatakan bahwa:
”...harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice,
gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan
dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan karena
terdapat indikasi adanya konflik norma, seperti tumpang tindihnya
kewenangan dan benturan kepentingan diantara stakeholders, sehingga
akan memunculkan penafsiran yang berbeda-beda.
Berdasarkan data pada Bappenas, bahwa terjadi disharmonisasi
dalam kerangka hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia dimana begitu banyaknya
perangkat hukum yang mengatur hal tersebut. Database peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut berisi
sekitar tiga ribuan peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah serta contoh-contoh hukum adat yang berhasil
dikumpulkan selama setahun (November 2004 - November 2005).
Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara
bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula
yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang tindih kewenangan
dan benturan kepentingan71.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya disharmonisasi
hukum,72 adalah karena: 1. Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku dalam pengelolaan wilayah pesisir; 2.
Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan
wilayah pesisir; 3. Pluralisme dalam penegakan hukum di bidang
pengelolaan wilayah pesisir; 4. Perbedaan kepentingan dan perbedaan
penafsiran dari para stakeholder sumberdaya alam wilayah pesisir; 5.
Kesenjangan dalam pemahaman teknis dan pemahaman hukum dalam
pengelolaan pesisir; 6. Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan
peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan,
administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan
hukum; 7. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan
perundang-undangan yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan73.
Selanjutnya L.M. Gandhi74 mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di
Indonesia, yakni:
71 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai
Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjsama dengan Cosatal Resources Management Project/Mitra Pesisir. hal xvi.
72 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. ibid hal xxi -xvii. 73 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. op cit hal xxi -xxii
74 L.M. Gandhi dalam Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumberdya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenai semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula, ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif;
2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan; 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan
instansi pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, yaitu petunjuk pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan;
4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat Edaran Mahkamah Agung;
5. Kebijakan-kebijakan instansi Pusat yang saling bertentangan; 6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah;
7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu;
8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.
Harmonisasi memiliki fungsi pencegahan dan fungsi
penanggulangan terjadinya disharmoni hukum. Harmonisasi hukum untuk
mencegah terjadinya disharmoni hukum dilakukan melalui penemuan
hukum (penafsiran dan konstruksi hukum), penalaran hukum, dan
pemberian argumentasi yang rasional. Upaya ini dilakukan dengan arahan
untuk menegaskan kehendak hukum atau cita hukum (kepastian hukum),
kehendak masyarakat (keadilan), dan kehendak moral (kebenaran). Upaya
harmonisasi yang bersifat pencegahan dilakukan dalam rangka
mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensial yang
dapat menyebabkan terjadinya disharmoni hukum.
Penyusunan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89-90.
Harmonisasi hukum untuk menanggulangi disharmoni hukum yang
telah terjadi dilakukan melalui75: (a) Proses non-litigasi dengan mempergunakan perangkat alternative dispute resolution (ADR) untuk
menyelesaikan sengketa perdata di luar pengadilan; (b) Proses litigasi
dengan mempergunakan perangkat court-connected dispute resolution
(CCDR) untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di bidang
perdata sebelum dimulai pemeriksaan di pengadilan; (c) Proses litigasi
sebagai pemeriksaan perkara perdata di pengadilan; (d) Proses negosiasi
atau musyawarah, baik dengan maupun tanpa juru penengah, untuk
menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti
tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan antarinstansi
pemerintah; (e) Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili
pelanggaran atau tindak-kejahatan.
Dalam pengelolaan pesisir terpadu, harmonisasi harus dapat
mencerminkan adanya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir,
dan sebaliknya di dalam keterpaduan pengelolaan tersebut juga tercermin
harmonisasi hukum.