• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Berdasarkan Wilayah

Dalam dokumen Studi Ketidakhadiran Guru di Indonesia 2014 (Halaman 118-121)

Pemahaman terhadap Ketidakhadiran Guru

9.4 Hasil Berdasarkan Wilayah

Tipe Sekolah Tingkat Sekolah Sektor Negeri Swasta Dasar Menengah Umum Madrasah

Skor kepuasan kerja

Mengajar di sekolah(-sekolah) lain 7,398** 5,620** 9,910**

Catatan gaji total 0,611*

Jumlah pengamatan 3.161 769 3.205 725 3.405 525

Catatan: ** p<0,01, * p<0,05. Ukuran sampel pada masing-masing kelompok tidak memungkinkan dilakukannya analisis andal dengan menggunakan fixed effect kabupaten. Agar mudah dibaca, efek-efek yang secara statistik tidak signifikan tidak dimunculkan.

Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat berkorelasi negatif dengan ketidakhadiran guru pada sebagian besar kategori sekolah, dengan kadar yang sama. Hal ini perlu dicatat karena pengaruh dari sampel kepemimpinan kepala sekolah tersebut menunjukkan konsisten di seluruh wilayah Indonesia. Serupa dengan itu, arah hubungan antara keterlibatan komite sekolah, penggunaan mesin sidik jari, dan jenis kelamin guru dengan ketidakhadiran guru ternyata konsisten pada keseluruhan dari berbagai kategori sekolah dan juga konsisten dengan hasil-hasil di tingkat nasional.

9.4 Hasil Berdasarkan Wilayah

Rancangan studi ini juga memungkinkan dihasilkannya hasil-hasil untuk enam tingkat wilayah berbeda. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 46, hasil-hasil di tingkat wilayah mencerminkan perbedaan-perbedaan di antara wilayah-wilayah ini. Analisis ini juga dilakukan tanpa menggunakan fixed effect kabupaten. Faktor-faktor yang merupakan alat prediksi signifikan ketidakhadiran guru secara nasional umumnya konsisten di seluruh wilayah. Sebagai contoh, analisis mengindikasikan bahwa perilaku kepala sekolah yang menjadi teladan memiliki keterkaitan yang konsisten dengan ketidakhadiran guru pada beberapa wilayah yang berbeda–Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Di wilayah-wilayah ini, dengan semua faktor lainnya pada model dipertimbangkan, kepemimpinan kepala sekolah yang kuat berkaitan signifikan dengan tingkat ketidakhadiran guru yang lebih rendah. Keterlibatan komite sekolah berkorelasi negatif dengan ketidakhadiran guru secara konsisten di Sulawesi serta di Papua dan Maluku.

Guru yang lahir di provinsi berbeda secara substansial lebih kecil kemungkinannya untuk tidak hadir di sekolah di Sumatra serta di Maluku dan Papua. Pengaruh mengajar di lebih dari satu sekolah juga konsisten. Di tiga dari enam wilayah tersebut, guru yang bekerja di sekolah lain kemungkinannya tiga kali sampai tepat di bawah enam kali lebih besar untuk didapati tidak hadir di sekolah yang dikunjungi. Meskipun demikian, ada beberapa perbedaan di antara wilayah-wilayah. Guru madrasah di Sumatra jauh lebih kecil kemungkinannya untuk didapati tidak hadir, sedangkan di Jawa serta di Papua dan Maluku guru madrasah jauh lebih besar kemungkinannya untuk didapati tidak hadir. Menariknya, penggunaan mesin sidik jari berasosiasi kuat dengan kemungkinan ketidakhadiran guru yang jauh lebih rendah di Jawa (dengan tingkat penggunaan tertinggi: 9,2% sekolah menggunakan mesin ini untuk mencatat kehadiran), tetapi penggunaan mesin ini berasosiasi kuat dengan kemungkinan ketidakhadiran guru yang secara dramatis lebih tinggi di wilayah Papua dan Maluku (dengan tingkat penggunaan tertinggi kedua, yakni 5,1% sekolah). Penyebabnya tidak jelas. Pada studi ketidakhadiran guru tahun 2011 di Papua, penggunaan buku pemantau kehadiran berasosiasi dengan tingkat ketidakhadiran guru yang lebih rendah. Ini merupakan sebuah isu yang layak digali lebih jauh.

Faktor-faktor lain signifikan di satu atau lebih wilayah, tetapi tidak di tingkat nasional. Sebagai contoh, di Jawa dan Sulawesi, guru di sekolah swasta lebih kecil kemungkinannya untuk didapati tidak hadir bila dibandingkan dengan guru di sekolah negeri. Di Kalimantan, guru sekolah menengah jauh lebih besar kemungkinannya daripada guru sekolah dasar untuk didapati tidak hadir.

Tabel 46. Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakhadiran Guru Berdasarkan Wilayah

  Sumatra Jawa Bali & NT Kalimantan Sulawesi Papua & Maluku

Lokasi sekolah            

Status swasta 0,268*     0,134**  

Sektor madrasah 0,197* 4,819**     43,352**

Tingkat menengah     10,883**    

Rasio murid-guru FTE         0,668**

Indeks fasilitas         1,961*

Indeks kepala sekolah   0,529* 0.541**   0,582*  

Indeks komite sekolah       0,312** 0,197**

Baru-baru ini diinspeksi       0,089*    

Kehadiran dengan cara sidik jari   0,069**       16,864*

Gurunya laki-laki 2,162*          

Pengalaman mengajar           0,613**

Bergelar S1/diploma         2,142*  

Guru PNS            

Guru bersertifikasi          

Mempunyai anak balita            

Lahir di provinsi lain 0,000**         0,073**

Waktu tempuh rumah-sekolah        

Jam mengajar/minggu   1,059*   1,163*   1,154**

Skor kepuasan kerja            

Mengajar di sekolah(-sekolah) lain 3,087** 5,162**   5,851**  

Catatan gaji total          

Jumlah pengamatan 760 1.106 436 529 573 458

Catatan: ** p<0,01, * p<0,05. Ukuran sampel pada masing-masing kelompok tidak memungkinkan dilakukannya analisis andal dengan menggunakan fixed effect kabupaten. Agar mudah dibaca, efek-efek yang secara statistik tidak signifikan tidak dimunculkan.

9.5 Ringkasan

Analisis yang disajikan dalam bab ini mengidentifikasi sejumlah faktor pendorong utama yang ada pada tingkat sekolah dan sistem yang berjalan dan mungkin dapat digunakan sebagai usaha untuk menurunkan ketidakhadiran guru di sekolah di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah:

• penguatan praktik kebijakan di tingkat kabupaten, termasuk kunjungan yang lebih sering guna memberikan dukungan dan melakukan pengawasan terhadap praktik belajar-mengajar di sekolah, serta peningkatan fokus perhatian pada pemantauan tingkat kehadiran guru, di antaranya melalui pengenalan sistem biometrik (seperti penggunaan mesin sidik jari untuk secara mandiri mencatat dan memantau kehadiran);

• penguatan kepemimpinan kepala sekolah, khususnya dengan fokus pada cara bagaimana kepala sekolah menjadi teladan untuk perilaku-perilaku yang juga diharapkan dari para gurunya (misalnya, hadir di sekolah);

• penguatan keterlibatan komite sekolah, khususnya dalam mengawasi anggaran dan menjembatani orang tua siswa dengan sekolah;

• upaya untuk mengurangi kejadian adanya guru yang bekerja di lebih dari satu sekolah–sebuah isu yang tampaknya dipengaruhi kuat oleh tingkat gaji dan jenis kelamin guru; dan

• upaya untuk membuat sekolah menjadi tempat kerja yang lebih menarik berdasarkan pengalaman kabupaten-kabupaten yang berhasil mengundang minat guru dari provinsi lain.

Ketika data dianalisis dalam hal kategori-kategori tipe sekolah yang berbeda, faktor-faktor di atas umumnya tetap konsisten pada satu atau lebih tipe sekolah yang berbeda. Namun, ada dua perbedaan yang signifikan berdasarkan wilayah, hal mana menyoroti pentingnya mengetahui situasi kontekstual kompleks di dalam keberagaman Indonesia. Perbedaan khusus ini adalah:

• Guru madrasah di Sumatra jauh lebih kecil kemungkinannya untuk didapati tidak hadir bila dibandingkan dengan guru di sekolah-sekolah nonmadrasah, sedangkan di Jawa serta di Papua dan Maluku guru madrasah jauh lebih besar kemungkinannya untuk didapati tidak hadir.

• Penggunaan mesin sidik jari berasosiasi kuat dengan kemungkinan ketidakhadiran guru yang jauh lebih rendah di Jawa (wilayah dengan tingkat penggunaan tertinggi), tetapi penggunaan mesin ini justru berasosiasi kuat dengan kemungkinan ketidakhadiran guru yang tinggi di wilayah Papua dan Maluku (wilayah dengan tingkat penggunaan tertinggi kedua, dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain). Ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain di tingkat wilayah yang berpengaruh dalam hal tersebut, dengan pengaruh yang lebih kuat daripada–dan berada di atas–penggunaan mesin sidik jari.

Laporan ini mendokumentasikan studi-studi mengenai ketidakhadiran guru yang paling komprehensif dan berskala paling luas bila dibandingkan dengan studi-studi serupa yang dilakukan di mana pun di dunia. Fakta bahwa Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi ketidakhadiran guru sebagai isu dengan prioritas tinggi, dan mendukung penelitian substansial ini melalui ACDP, menggarisbawahi arti penting yang melekat pada kebutuhan untuk mengetahui lebih mendalam faktor-faktor yang terkait dengan ketidakhadiran guru dan bagaimana faktor-faktor tersebut dapat ditangani demi kepentingan semua pihak yang terkait dengan pendidikan di Indonesia, terutama para siswa yang belajar di sekolah.

Studi ini dilakukan dengan jumlah sampel sekolah dan guru yang jauh lebih besar daripada studi-studi sebelumnya tentang ketidakhadiran guru di Indonesia, atau sesungguhnya bahkan di kebanyakan negara lain di dunia. Sampel terakhir pada dua kunjungan terdiri atas 880 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di enam wilayah–Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, serta Papua dan Maluku–dan mencakup 120 dari 146 sekolah dasar yang diteliti pada studi ketidakhadiran guru tahun 2003. Secara keseluruhan, data dikumpulkan dari lebih dari 8.300 guru dan 8.200 siswa.

Studi ini dilakukan dalam dua kali kunjungan ke sekolah. Kunjungan pertama berlangsung pada akhir 2013, dan kunjungan kedua berlangsung pada awal 2014. Kedua kunjungan ini menyediakan kesempatan untuk meneliti stabilitas tingkat ketidakhadiran. Tim peneliti lapangan yang telah dilatih secara khusus melakukan dua kali kunjungan tanpa pemberitahuan sebelumnya ke setiap sekolah sampel untuk mengumpulkan informasi tentang ketidakhadiran guru, melakukan observasi terhadap kelas pelajaran, melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan guru, dan mengadakan uji penilaian singkat terhadap siswa sampel. Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan pejabat tingkat kabupaten. Salah satu kemajuan signifikan bila dibandingkan dengan studi-studi lainnya ialah bahwa riset ini mampu meneliti bukan hanya ketidakhadiran guru di sekolah, melainkan juga ketidakhadiran pada jam pelajaran dari guru bersangkutan yang, walaupun hadir di sekolah, tidak mengajar sebagaimana yang dijadwalkan.

Secara keseluruhan, sekitar satu dari sepuluh guru di Indonesia didapati tidak hadir di sekolah pada saat– menurut jadwal–mereka seharusnya mengajar. Selama kunjungan pertama, 9,7% guru didapati tidak hadir, dan pada kunjungan kedua 10,7%. Untuk sekolah dasar sampel dari tahun 2003 yang dikunjungi kembali pada studi kali ini, tingkat ketidakhadiran menurun drastis dari 19,0% menjadi 9,8% pada 2013. Hasil ini secara umum membesarkan hati bagi Indonesia. Tampaknya telah terjadi penurunan substansial dalam tingkat ketidakhadiran guru selama sepuluh tahun terakhir ini. Selain itu, perkiraan tingkat ketidakhadiran guru di sekolah untuk Indonesia pada 2013 secara umum lebih rendah bila dibandingkan dengan perkiraan tingkat ketidakhadiran guru di sekisaran negara berkembang lainnya.94

Penurunan tingkat ketidakhadiran guru selama satu dekade terakhir ini mencerminkan efek kumulatif dari sekisaran luas inisiatif kebijakan dan juga perubahan-perubahan dalam masyarakat yang lebih luas. 94 Diperlukan kehati-hatian dalam membandingkan studi-studi internasional mengingat adanya perbedaan-perbedaan dalam periode waktu, tingkat pendidikan, dan metodologi penelitian. Lihat tinjauan literatur pada Bab 1 dan daftar pustaka beranotasi pada Lampiran A.

Dalam dokumen Studi Ketidakhadiran Guru di Indonesia 2014 (Halaman 118-121)