• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Jam Mengajar

Dalam dokumen Studi Ketidakhadiran Guru di Indonesia 2014 (Halaman 79-82)

Pengaruh Kebijakan dan Penerapan di Tingkat Sistem

6.4 Ketentuan Jam Mengajar

Beban kerja atau jam mengajar guru di sekolah secara jelas diatur dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. PP ini menetapkan bahwa guru wajib paling sedikit 24 jam dan paling banyak 40 jam mengajar tatap muka dengan murid dalam seminggu. Guru dapat mengakumulasi jam mengajar di lebih dari satu sekolah atau unit pendidikan sesuai yang termaktup dalam SK Menteri Pendidikan Nasional No 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk pendidikan dasar yang menegaskan bahwa seorang guru tetap wajib bekerja selama 37,5 jam dalam seminggu, termasuk di dalamnya kegiatan persiapan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, kegiatan tes, dan pendampingan murid,80. Khusus bagi guru PNS yang mengajar di madrasah, Kemenag menetapkan peraturan tambahan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 1 Tahun 2013 tentang Disiplin Kehadiran Guru di Lingkungan Madrasah. Peraturan tersebut menetapkan bahwa akumulasi beban kerja bagi guru PNS di madrasah adalah 37,5 jam per minggu..

Sebagian besar guru dalam studi juga melaporkan bahwa jam mengajar rata-rata sudah mendekati standar minimum yang ditetapkan secara nasional – rata-rata lebih dari 24 jam per minggu. Selain itu, dilaporkan pula bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan para guru untuk tugas penilaian tes, kegiatan pertemuan, dan tugas-tugas administratif adalah 7,3 jam per minggu. Dengan demikian, secara keseluruhan, rata-rata waktu kerja di sekolah selama seminggu mencapai 31,7 jam. Jika dibandingkan dengan penetapan standar 24 jam minimum untuk kegiatan tatap muka di kelas dan kewajiban untuk bekerja 37,5 jam untuk keseluruhan kegiatan belajar mengajar di sekolah termasuk jam tatap muka, maka jumlah waktu kegiatan tugas lain di luar waktu jam tatap muka minimal di kelas adalah 13.5 jam per minggu. Hasil studi yang menunjukkan rata-rata guru hanya menghabiskan waktu 7,3 jam per minggu untuk tugas-tugas lain tampaknya memperlihatkan tidak terpenuhnya persyaratan seperti yang ditetapkan.

Tidak semua guru memenuhi jam kerja yang disyaratkan di satu sekolah. Satu dari lima guru melaporkan bila mereka mengajar di lebih dari satu sekolah. Guru-guru tersebut dilaporkan memiliki rata-rata 39,6 jam kerja per minggunya, dengan proporsi yang sedikit lebih kecil dari waktunya yang dipakai untuk kegiatan tatap muka di kelas (75%, dengan 25% waktunya untuk tugas lain), berkebalikan dengan guru yang hanya mengajar di satu sekolah (77% waktu untuk mengajar dan sisanya untuk tugas lain).

Guru-guru yang mengajar di lebih dari satu sekolah tersebut, empat kali lebih mungkin untuk tidak hadir ketika mereka dijadwalkan untuk mengajar daripada guru yang hanya mengajar di satu sekolah, seperti tampak pada Tabel 25. Sementara itu, meskipun hampir separuh dari seluruh guru memiliki pekerjaan bukan mengajar di luar sekolah (kebanyakan usaha tani, disusul les privat dan kepemilikan usaha ritel kecil), tetapi bukan merupakan faktor penyebab yang signifikan guru tidak hadir di sekolah.

Tabel 25. Ketidakhadiran Guru di Sekolah, berdasarkan Jam Kerja

Tingkat Ketidakhadiran Guru (%) SE Mengajar di sekolah lain

Mengajar hanya di satu sekolah/hanya di sekolah sampel

(n=6.,852) 6,4 0,7

Mengajar di lebih dari satu sekolah (n=1.448) 25,7 2,7

Lama mengajar tatap muka di sekolah sampel

Kurang dari 24 jam per minggu (n=1.817) 10,7 1,8

24 jam atau lebih per minggu (n=5.810) 6,7 0,8

Lama kegiatan di luar mengajar di sekolah sampel

Kurang dari 6 jam per minggu (n=3.638) 9,3 1,1

6 jam atau lebih per minggu (n=3.985) 6,2 1,0

Mengajar di lebih dari satu sekolah

Mengajar di hanya satu sekolah (n= 6825) 6,4 0,7

Mengajar di lebih dari satu sekolah (n =1.448) 25,7 2,7

Sumber: Survei Ketidakhadiran Guru, Kunjungan 1, 2013

Sehubungan dengan besarnya dampak mengajar di lebih dari satu sekolah terhadap tingkat ketidakhadiran guru, maka perlu dibahas lebih jauh guru mana yang lebih cenderung melakukannya, dan apakah ada faktor lain yang dapat memengaruhi keputusan ini. Satu dari tiga guru SMP/MTS mengajar di lebih dari satu sekolah, dibandingkan dengan hanya satu dari delapan guru SD/MI. Dampak mengajar di lebih dari satu sekolah terhadap ketidakhadiran juga lebih besar di kalangan guru SMP/MTs. Guru SMP/MTs yang mengajar di lebih dari satu sekolah delapan kali lebih mungkin tidak hadir di sekolah daripada guru yang hanya mengajar di satu sekolah.

Status pekerjaan dan sertifikasi dapat memengaruhi keputusan untuk mengajar di sekolah lain dalam dua arah. Gaji yang lebih tinggi berhubungan dengan status sebagai guru PNS/tetap dan tunjangan profesi berhubungan dengan status sertifikasi, keduanya dapat mengurangi keinginan guru untuk mencari sumber penghasilan tambahan. Namun, berdasarkan Undang-Undang tentang Guru & Dosen, guru PNS dan guru bersertifikat juga harus memenuhi jam mengajar minimal sebagai bagian dari ketentuan kerja dan penerima tunjangan. Beberapa organisasi guru, termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menolak ketentuan standar minimal mengajar 24 jam per minggu karena dinilai tidak masuk akal dan mengecilkan arti penting kegiatan guru di luar mengajar, serta cenderung mengarahkan mereka untuk bekerja dilebih dari satu sekolah guna memenuhi persyaratan tersebut.

Gambar 13. Proporsi Mengajar di Lebih Dari Satu Sekolah , menurut Beban Mengajar, Status, dan Sertifikasi

Sumber: Survei Ketidakhadiran Guru, Kunjungan 1, 2013

Status PNS atau guru tetap dan sertifikasi memengaruhi hubungan antara jam mengajar dan jumlah sekolah yang guru ajar, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 13. Di antara guru yang mengajar sedikitnya 24 jam seminggu, guru bukan PNS/tetap secara signifikan cenderung mengajar di lebih dari satu sekolah. Tampaknya, hal ini merupakan dampak dari rendahnya gaji guru bukan PNS sehingga mendorong mereka mencari sumber penghasilan tambahan. Berdasarkan status guru, tidak ada perbedaan antara kelompok guru PNS dengan bukan PNS yang bekerja kurang dari 24 jam per minggu.

Namun, di antara guru yang mengajar kurang dari 24 jam per minggu di sekolah sampel, guru yang bersertifikat cenderung mengajar paling tidak di satu sekolah lainnya. Hal ini terjadi mungkin sebagai pengaruh dari penerapan persyaratan yang ketat terkait jam mengajar dalam pembayaran tunjangan sertifikasi. Sebagian Dinas Pendidikan Kabupaten, misalnya, dilaporkan telah meminta para guru untuk mengembalikan tunjangan sertifikasi karena tidak memenuhi persyaratan jam kerja minimal. Hal ini mungkin yang mendorong para guru yang telah memiliki sertifikat untuk mencari pekerjaan tambahan di lebih dari satu sekolah untuk memenuhi persyaratan jumlah jam mengajar.

Gambar 14. Ketidakhadiran Guru di Sekolah, menurut Status Sertifikasi dan Jumlah Sekolah yang Diajar 40 0 10 20 30

Mengajar hanya di sekolah Mengajar di 2 sekolah atau lebih

Tidak bersertifikat Bersertifikat Sumber: Survei Ketidakhadiran Guru, Kunjungan 1, 2013

Hubungan antara sertifikasi dengan mengajar di lebih dari satu sekolah juga memengaruhi tingkat ketidakhadiran guru. Seperti telah dibahas sebelumnya, mengajar di lebih dari satu sekolah berdampak tingginya tingkat ketidakhadiran. Dampak tersebut lebih besar terjadi pada kelompok guru bersertifikat - yaitu delapan kali lebih mungkin tidak hadir di sekolah jika mereka mengajar di lebih dari satu sekolah - dibandingkan dengan kelompok guru yang tidak bersertifikat. Dengan kata lain, di kalangan guru yang hanya mengajar di satu sekolah, kemungkinannya kecil guru bersertifikat tidak hadir di sekolah, seperti tampak pada Gambar 14. Namun, bagi mereka yang mengajar di lebih atau dua sekolah, status sertifikasi tidak berdampak signifikan pada kemungkinan tidak hadir pada saat kunjungan sekolah.

Dalam dokumen Studi Ketidakhadiran Guru di Indonesia 2014 (Halaman 79-82)