• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

1. Hasil Observasi terhadap Krisis Lingkungan Hidup

Observasi dilakukan oleh penulis selama menjadi umat Paroki Santo Ignatius Loyola Danan terutama dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis, krisis lingkungan hidup di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan baik di tingkat wilayah maupun lingkungan sampai saat ini masih terjadi dan berdampak bagi kelangsungan hidup masyarakat dan makhluk hidup lainnya.

Penulis telah melaksanakan pengamatan atau observasi dalam 2 (dua) tahap.

Tahap pertama dilaksanakan pada Minggu, 21 Maret 2021 di wilayah yang berada di Kecamatan Giritontro dan Giriwoyo. Sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada Minggu, 25 April 2021 di wilayah yang berada di Kecamatan Paranggupito dan Pracimantoro. Berikut hasil observasi yang telah diperoleh penulis berkaitan dengan krisis lingkungan hidup dan dampaknya bagi umat maupun masyarakat khususnya yang berada di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan.

a. Kerusakan Lingkungan Hidup 1) Kerusakan Hutan dan Pegunungan

Wilayah dan lingkungan yang berada di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan merupakan daerah pegunungan dan hutan yang sangat luas. Banyak umat atau masyarakat sangat bergantung pada kekayaan alam di sekitar mereka sebagai

kebutuhan pangan dan pakan ternak. Kerusakan hutan dan pegunungan dipicu karena adanya kegiatan masyarakat yang menebang pohon secara liar dengan tujuan kepentingan ekonomis maupun untuk perbaikan rumah. Selain itu, beberapa daerah pegunungan harus dihancurkan dan digunakan demi pembuatan jalan baru untuk transportasi darat.

Beberapa daerah pegunungan juga mulai dialihfungsikan demi tempat wisata baru. Akibatnya, saat memasuki musim penghujan, beberapa daerah mengalami bencana misalnya banjir dan tanah longsor. Di samping itu, ketika musim kemarau, masyarakat sangat kesulitan dalam mencari pakan untuk ternaknya karena beberapa tumbuhan mati karena kekeringan. Hal ini juga mengakibatkan masyarakat mengalami krisis atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup khususnya air bersih.

2) Kerusakan Ekosistem di Laut

Masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Paranggupito sebagai besar memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Wilayah ini sangat dekat dengan pantai laut selatan yang tersebar di beberapa wilayah. Beberapa pantai yang ada di Kecamatan Paranggupito mengalami kerusakan akibat penggalian di daerah pesisir pantai, penggunaan minyak kapal yang mencemari air laut, penumpukan sampah di wilayah pantai dan kepentingan wisata serta disebabkan oleh gempa bumi.

Dampak kerusakan ekosistem di laut bagi masyarakat khususnya yang bekerja sebagai nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan. Artinya, jumlah ikan semakin sedikit, perubahan cuaca atau iklim tidak terduga, dan

adanya gempa bumi mengakibatkan mereka semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan melakukan aktivitas sebagai nelayan.

3) Kerusakan Lahan

Kerusakan lahan yang terjadi di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan hingga saat ini terjadi pada sektor pertanian. Lahan-lahan yang berada di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan selain digunakan untuk bertani, juga digunakan sebagai lahan tebu dan industri. Penyebabnya adalah adanya aktivitas masyarakat yang menggunakan bibit dan pupuk yang telah dicampur dengan bahan kimia. Di samping itu, bahan kimia juga digunakan para petani untuk membunuh rumput liar dan hama pertanian, misalnya pestisida dan insektisida.

b. Pencemaran Lingkungan Hidup 1) Pencemaran Udara

Pencemaran udara yang terjadi di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan dipicu oleh aktivitas transportasi darat yang sangat tinggi terutama di wilayah yang berada di Kecamatan Giribelah, Giritontro, Giriwoyo, dan Pracimantoro. Pemicu lainnya adalah aktivitas pembakaran lahan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya lahan yang digunakan untuk menanam tebu dan aktivitas yang dilakukan oleh pabrik indsutri.

2) Pencemaran Air

Pencemaran air yang terjadi di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan juga merupakan krisis lingkungan hidup yang harus dihadapi oleh umat. Selokan air maupun sungai-sungai yang ada di wilayah ini semakin mengalami kerusakan dan pencemaran akibat aktivitas masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Hal ini

disebabkan aktivitas masyarakat yang membuang limbah rumah tangga dan membuang sampah ke sungai. Padahal air sungai sangat dibutuhkan masyarakat untuk pengairan tanah pertanian. Dengan demikian, pencemaran air juga akan mengakibatkan pencemaran pada tanah.

3) Pencemaran Tanah

Berdasarkan penjelasan di atas, pencemaran tanah merupakan krisis lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan bagi umat maupun masyarakat yang ada di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan. Pencemaran tanah diakibatkan oleh limbah sungai yang kemudian dialirkan ke sawah-sawah mereka.

Di samping itu, adanya kebiasaan masyarakat yang sering menggunakan bahan kimia yang terkandung pada pupuk, bibit pertanian, dan pestisida pembasmi hama serta rumput liar.

c. Kepunahan Flora

Kepunahan flora di wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan merupakan krisis lingkungan hidup yang sangat sering dijumpai. Beberapa hewan, misalnya burung-burung, tupai, landak, babi hutan, belalang dan lain sebagainya semakin punah. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas masyarakat yang memburu hewan secara liar. Aktivitas tersebut digunakan untuk kepentingan bisnis, kebutuhan pangan, dan dianggap sebagai hama pertanian masyarakat. Cara yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut yaitu dengan membunuhnya atau menggunakan perangkap. Cara ini bertujuan supaya hewan yang dianggap sebagai hama tidak lagi merusak tanaman para petani. Demikian

pula, hewan yang masih hidup dapat digunakan untuk kepentingan ekonomis dalam menunjang kebutuhan pangan.

Punahnya beberapa fauna tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem lingkungan hidup dan sangat berdampak bagi masyarakat terutama para petani. Misalnya, para petani mengalami kesulitan menghadapi berbagai hama, contoh tikus yang jumlahnya semakin banyak dan merusak tanaman pertanian mereka bahkan mengakibatkan gagal panen. Kesulitan masyarakat dalam menghadapi hama tersebut masih tetap terjadi sampai saat ini.

Hasil obervasi yang telah diungkapkan oleh penulis merupakan hasil dari pengamatan pribadi terhadap persoalan lingkungan hidup dan dampaknya bagi umat maupun masyarakat di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan. Selain itu, hasil observasi juga diperoleh melalui wawancara dengan beberapa umat atau masyarakat setempat berkaitan dengan situasi mereka dalam mengatasi maupun menghadapi krisis lingkungan hidup. Para petani mengalami kesulitan memperoleh air bersih khususnya di musim kemarau, demikian pula umat atau masyarakat yang kesulitan memperoleh air bersih khususnya mereka yang bertempat tinggal di wilayah Paranggupito. Pembangunan jalan raya dan pabrik juga semakin mempersempit lahan pertanian mereka. Di samping itu, hasil observasi juga dikonfrontasikan dengan data yang telah diungkapkan oleh Gereja, misalnya wilayah Paroki Santo Ignatius Loyola Danan merupakan daerah perbukitan kapur di pegunungan seribu dengan curah hujan yang sangat rendah, aktivitas pertanian yang mengandalkan air tadah hujan, dan pekerjaan sambilan (membuat batu bata, genting, caping, beternak ayam, lembu/sapi,

kambing/domba, dan ikan yang dilakukan oleh umat maupun masyarakat (Mardi Santosa, 2021: 1).

2. Profil Responden dan Hasil Wawancara a. Profil Responden

Pada proses pengambilan data, penulis memilih responden umat paroki yang dikategorikan berdasarkan jenis kelamin, peran di lingkungan, dan asal lingkungan yang menjadi bagian Paroki Santo Ignatius Loyola Danan. Berikut penulis sampaikan data responden:

7 R7 L Lingkungan Danan Katekis Lingkungan

8 R8 L Lingkungan Jatiharjo Ketua Lingkungan

9 R9 L Lingkungan Pendem Ketua Lingkungan

10 R10 L

Lingkungan Jepurun Lor

Ketua Lingkungan

11 R11 P Lingkungan Jati Sawit Ketua Lingkungan

12 R12 L

14 R14 L Lingkungan Platarejo Katekis Lingkungan

15 R15 L

Lingkungan Tirtosworo

Ketua Lingkungan

16 R16 P Lingkungan Selorejo Ketua Lingkungan

17 R17 L

19 R19 L Lingkungan Sedayu Ketua Lingkungan

b. Laporan Hasil Wawancara

1) Pemahaman tentang Krisis Lingkungan Hidup

Ada beragam jawaban mengenai pemahaman tentang krisis lingkungan hidup yang telah diungkapkan oleh perwakilan di setiap lingkungan. Menurut R1, krisis lingkungan hidup merupakan sikap manusia yang merampas sumber kekayaan alam di bumi sehingga terjadi eksploitasi alam yang mengatasnamakan hak manusia (Lih. Lampiran 3, hal 3). Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh

R10 bahwa krisis lingkungan hidup merupakan sikap manusia yang menganggap bahwa seluruh alam mereka yang memiliki sehingga timbul adanya sikap serakah dan egois untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berlebihan dan tidak ada tindakan untuk melestarikannya. Hal ini mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup baik pencemaran udara, air, dan suara serta menimbulkan bencana alam seperti kekeringan, banjir, tanah longsor dan lainnya (Lih. Lampiran 3, hal. 3).

Sedangkan menurut R3, R12, dan R18, krisis lingkungan hidup dipahami sebagai kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup karena adanya aktivitas manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan atau manusia yang merusak, bahkan memanfaatkan alam maupun lingkungan hidup secara berlebihan. Tindakan tersebut mengakibatkan keseimbangan hubungan antara alam dan manusia terganggu (Lih. Lampiran 3, hal. 3 & 4).

Sedangkan menurut R2 dan R11, krisis lingkungan hidup merupakan kondisi di mana lingkungan sudah tidak lagi dalam kondisi normal atau tidak seperti sediakala. Artinya dalam berjalannya waktu dan perkembangan zaman banyak lingkungan yang seharusnya menjadi bagian dari paru-paru dunia mengalami pergeseran bahkan hilang akibat keserakahan manusia yang tidak menjaga, melindungi, dan melestarikannya (Lih. Lampiran 3, hal 3). Demikian pula dengan R4 dan R19 bahwa krisis lingkungan hidup merupakan keadaan alam yang memburuk akibat tindakan manusia yang kurang bijak dan bertangungjawab, jawaban tersebut sama dengan yang diungkapkan oleh R8 dan R14 (Lih.

Lampiran 3, hal. 3 & 4).

Menurut R5 dan R9, krisis lingkungan hidup merupakan terancamnya sumber daya alam yang ditandai oleh hilangnya sumber mata air, rusaknya lahan tanah, dan pencemaran lingkungan akibat pembangunan yang dilakukan oleh manusia maupun adanya peristiwa alam itu sendiri (Lih. Lampiran 3, hal. 3). R6, R13, dan R17 juga mengungkapkan bahwa krisis lingkungan hidup dipahami sebagai hilang atau rusaknya lingkungan hidup baik tumbuhan, hewan dan sumber daya alam lainnya (air, tanah dan lainnya) akibat perbuatan manusia yang merusak, membiarkan dan tidak ditanggulangi serta adanya faktor dari alam lebih-lebih adanya bencana alam yaitu gunung meletus, banjir, abrasi, tanah longsor, gempa bumi, angin puting beliung dan tsunami (Lih. Lampiran 3, hal. 3 & 4).

Sedangkan menurut R7 dan R15, krisis lingkungan hidup merupakan peristiwa alam atau ekosistem yang ada di bumi sudah tidak dihargai kelestariannya oleh manusia, sehingga sifat alamiah alam atau ekosistem berubah dan membahayakan bagi makhluk hidup, terutama manusia (Lih. Lampiran 3, hal.

3 & 4). Menurut R16, krisis lingkungan hidup merupakan penurunan kualitas lingkungan hidup yang menyebabkan menurunnya kesejahteraan hidup manusia.

Krisis lingkungan hidup dapat terjadi karena penurunan iklim secara global, global warming, kebakaran hutan dan ulah manusia seperti illegal logging,

membuang sampah sembarangan, serta pembuangan limbah ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu (Lih. Lampiran 3, hal. 4).

2) Kesadaran Umat terhadap Krisis Lingkungan Hidup

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, ada beragam jawaban dari umat atau perwakilan lingkungan saat mengutarakan kesadaran umat terhadap

krisis lingkungan hidup. Menurut R1-R6, terhadap krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini sebagian besar umat belum menyadarinya. Artinya, sebagian sudah ada yang sadar namun ada juga yang belum. Jawaban ini sama dengan yang disampaikan oleh R10 (Lih. Lampiran 3, hal. 4 & 5). Demikian pula R7 menyampaikan bahwa karakter umat berbeda-beda, ada yang sadar dan ada yang belum sadar maka perlu penyadaran bagi umat sebagai wujud tanggung jawab mereka terhadap pelestarian lingkungan hidup (Lih. Lampiran 3, hal. 5). Di samping itu, R12 dan R19 mengungkapkan jawaban yang berbeda dari yang lain bahwa belum adanya kesadaran dari umat terhadap krisis lingkungan hidup.

Kurangnya kesadaran itu ketika umat atau masyarakat masih kurang peduli dan tidak memperhatikan krisis lingkungan hidup (Lih. Lampiran 3, hal. 5).

Sedangkan R11 mengatakan bahwa umat sudah menyadari krisis lingkungan hidup yang dimulai dari rasa kepedulian mereka terutama di lingkungan, jawaban tersebut sama dengan R17 (Lih. Lampiran 3, hal. 5).

Menurut R8 dan R9, umat sudah sadar terhadap krisis lingkungan hidup karena adanya upaya dari beberapa tokoh masyarakat yang menggerakkan umat supaya kesadaran mereka sampai pada tindakan yang konkrit (Lih. Lampiran 3, hal. 5). Di samping itu, R13-R16, dan R18 mengatakan bahwa umat di lingkungan sungguh menyadari realitas krisis lingkungan melalui gerakan yang mendorong umat untuk mengatasi krisis lingkungan hidup dengan mengadakan kerjasama antarumat, dan kegiatan lain dalam perjumpaan serta kegiatan-kegiatan di lingkungan (Lih.

Lampiran 3, hal. 5).

3) Dampak Krisis Lingkungan Hidup bagi Umat atau Masyarakat di Lingkungan Berdasarkan data wawancara yang telah diperoleh, semua responden mengatakan dengan adanya krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini sangat berdampak pada umat atau masyarakat di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan.

Menurut R1, dampak krisis lingkungan hidup yaitu ketika musim penghujan dan curah hujan yang sangat tinggi mengakibatkan sungai meluap dan menutupi sumber mata air. Sumber air akan menjadi keruh dan kotor sehingga menyulitkan mereka untuk memperoleh air yang bersih, hal ini juga diungkapkan oleh R2 (Lih.

Lampiran 3, hal. 6).

Menurut R2, R3, R5, R7, R10, R11, R15, R17 dan R19 dampak krisis lingkungan hidup bagi umat antara lain tanah yang menjadi tandus dan sumber air yang semakin sedikit, berbagai daerah mengalami kekeringan akibat krisis air. Hal ini mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk mencari air bersih, harus membeli air, tanah yang semakin kering, lebih-lebih para petani sering mengalami gagal panen akibat kekurangan air untuk sawah ataupun ladang mereka (Lih. Lampiran 3, hal. 6 & 7). Hal ini juga disampaikan oleh R4 dan R18 bahwa dampak krisis lingkungan hidup dialami oleh umat dan masyarakat lebih-lebih para petani yang mengandalkan pemenuhan hidup dari bidang pertanian (Lih. Lampiran 3, hal. 6 &

7).

Menurut R6, dampak krisis lingkungan menimbulkan bencana alam yang mendatangkan penderitaan bagi umat maupun masyarakat. Mereka terkadang harus kehilangan harta benda, kehilangan sanak saudara, kehilangan sumber mata pencaharian dan kekurangan pangan. Di samping itu, dampak krisis lingkungan

hidup juga akan mempengaruhi psikis mereka, misalnya menimbulkan stres, rasa takut maupun cemas yang berlebihan (Lih. Lampiran 3, hal. 6). Demikian pula dengan pernyataan R8 bahwa krisis lingkungan hidup yang terjadi memberikan dampak bagi umat maupun masyarakat dengan munculnya penyakit yang menyerang mereka karena kualitas lingkungan yang semakin buruk atau rusak (Lih. Lampiran 3, hal. 6).

Sedangkan R9 mengatakan bahwa dampak krisis lingkungan hidup mengakibatkan adanya pencemaran air, udara, dan tanah yang akan mengganggu aktivitas ekosistem maupun masyarakat sendiri (Lih. Lampiran 3, hal. 6). Menurut R12, krisis lingkungan hidup sangat berdampak bagi umat maupun masyarakat di lingkungan lebih-lebih adanya musim kemarau yang panjang dan cuaca semakin panas akan menjadi faktor penghambat bagi umat dalam pertanian (Lih. Lampiran 3, hal. 6). Begitu pula dengan R13 yang mengatakan bahwa ada empat situasi akibat adanya krisis lingkungan hidup, yaitu: 1) hasil panen para petani menurun, 2) pemasukan perekonomian berkurang, 3) cuaca yang panas dan lahan yang gersang, dan 4) rusaknya jalan akibat tumbangnya pohon di wilayah bukit maupu pegunungan (Lih. Lampiran 3, hal. 7).

Menurut R14, dampak krisis lingkungan hidup bagi umat maupun masyarakat yaitu semakin kesulitan dalam mencari bahan makanan di alam sekitar. Umat kekurangan air bersih, suhu yang semakin panas, dan kesulitan mereka dalam merawat hewan ternak karena pakan yang sulit didapatkan (Lih.

Lampiran 3, hal. 7). Hal ini juga disampaikan oleh R16 bahwa krisis lingkungan hidup akan berdampak bagi keanekaragaman hayati yang rusak atau punah.

Artinya adanya beberapa jenis tanaman yang dulunya melimpah namun sekarang sangat sulit untuk dijumpai. Di sisi lain, hilangnya beberapa jenis hewan akibat krisis dari alam lebih-lebih karena ulah dari masyarakat sendiri (Lih. Lampiran 3, hal. 7).

4) Faktor-Faktor Krisis Lingkungan Hidup

Menurut R1, faktor krisis lingkungan hidup dipicu oleh aktivitas masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke daerah aliran sungai dan beberapa limbah yang merusak lingkungan perairan sungai (Lih. Lampiran 3, hal. 7). Hal ini juga diungkapkan oleh R8 bahwa krisis lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh faktor gaya hidup masyarakat yang mengikuti perkembangan zaman sehingga banyak limbah atau sampah yang merusak selokan atau sungai dan penggunaan sampah plastik yang berlebihan (Lih. Lampiran 3, hal. 8). R16 juga mengatakan bahwa adanya aktivitas masyarakat yang membuang limbah rumah tangga secara sembarangan terutama ke selokan ataupun sungai-sungai yang ada di wilayah mereka (Lih. Lampiran 3, hal. 8). Sedangkan R17 mengatakan bahwa adanya faktor curah hujan yang sangat rendah terutama di wilayah yang berdekatan dengan laut, pembakaran hutan dan budaya masyarakat yang membuang sampah sembarangan (Lih. Lampiran 3, hal. 9).

Menurut R2, R3, R11 faktor-faktor yang menjadi pemicu krisis lingkungan hidup diakibatkan oleh aktivitas masyarakat yang melakukan penebangan pohon secara berlebihan atau liar dan kurangnya kegiatan penghijauan di wilayah mereka. Penebangan pohon juga dipicu karena alasan ekonomis (Lih. Lampiran 3, hal. 7 & 8). Demikian pula yang telah diungkapkan oleh R6 bahwa krisis

lingkungan hidup dipicu karena ulah manusia itu sendiri, artinya mereka dengan sikap yang serakah memanfaatkan sumber daya alam demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun, perlu disadari bahwa krisis lingkungan hidup juga dipicu karena peristiwa alam, misalnya gempa bumi, perubahan cuaca atau iklim, gunung meletus, jawaban tersebut juga sama dengan yang disampaikan oleh R9 dan R18 (Lih. Lampiran 3, hal. 8 & 9).

Menurut R4, R5, R7, R12, R16 dan R19, krisis lingkungan hidup terjadi pada lahan pertanian masyarakat. Hal ini diakibatkan karena sebagian masyarakat sering menggunakan bibit dan pupuk yang mengandung bahan kimia. Di samping itu, untuk mengatasi hama yang merusak pertanian mereka, masyarakat menggunakan pestisida sebagai cara untuk mengatasinya. Dengan demikian, tindakan tersebut akan merusak ekosistem lingkungan hidup yang akan mempengaruhi aktivitas pertanian mereka, misalnya pencemaran pada tanah, hasil panen yang menurun dan munculnya hama-hama baru yang merusak wilayah pertanian mereka. Jawaban ini juga sama dengan yang disampaikan oleh R8 dan R16 (Lih. Lampiran 3, hal. 7, 8 dan 9).

Dalam memberikan jawaban tentang faktor krisis lingkungan hidup, R10 mengatakan bahwa kurangnya kesadaran dan cara pandang umat untuk menjaga dan melestarikan alam. Artinya jika semua umat mau dan mampu memahami kenyataan dam akibat krisis lingkungan hidup tentunya mereka akan melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis lingkungan hidup (Lih. Lampiran 3, hal. 8).

Menurut R13, faktor yang menjadi penyebab krisis lingkungan hidup karena adanya peralihan cuaca yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat, misalnya

kemarau panjang maupun curah hujan yang sangat tinggi. Hal ini juga akan mengakibatkan bencana bagi mereka. Selain itu, adanya aktivitas masyarakat maupun pemerintah yang mengalihfungsikan pegunungan sebagai lahan pemukiman atau pembangunan jalan raya sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem alam dan menjadi pemicu adanya bencana alam (Lih. Lampiran 3, hal.

8). Hal ini juga diungkapkan oleh R14 dan R15 bahwa adanya aktivitas masyarakat yang memanfaatkan lahan untuk bangunan baru dan kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem (Lih. Lampiran 3, hal. 8).

5) Upaya yang Dilakukan Umat dalam Mengatasi dan Menghadapi Krisis Lingkungan Hidup

Dalam menghadapi dan mengatasi krisis lingkungan hidup yang terjadi di wilayah maupun lingkungan yang berada di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan, umat telah melakukan berbagai ragam upaya ataupun kegiatan. Menurut R1, upaya yang telah dilakukan oleh umat terutama adanya program yang telah dibentuk oleh OMK bahwa setiap seminggu sekali mereka bersama umat lingkungan melakukan kegiatan untuk membersihkan sungai dan beberapa selokan dari sampah maupun limbah lainnya (Lih. Lampiran 3, hal. 9). Hal ini juga disampaikan oleh R9 bahwa upaya yang dilakukan oleh umat dalam mengatasi krisis lingkungan hidup yaitu mengikuti program OMK dengan recycling atau mendaur ulang sampah menjadi barang yang dapat digunakan.

Tujuannya adalah untuk mengurangi penumpukan sampah yang sulit terurai (Lih.

Lampiran 3, hal. 10). Menurut R2, R5, R6 bahwa di lingkungan juga diadakan upaya untuk membersihkan sumber mata air yang ada di wilayah. Kegiatan ini

mereka laksanakan sebagai bentuk kerja bakti bersama umat dan sekaligus merawat tanaman-tanaman yang ada di sekitar wilayah (Lih. Lampiran 3, hal. 9).

Sedangkan menurut R3 dan R12, upaya-upaya yang telah dilakukan yaitu mengadakan gerakan atau ajakan melalui pendampingan bagi umat untuk menyadari adanya krisis lingkungan melalui kegiatan doa lingkungan, kerja bakti lingkungan, mengurangi sampah plastik, memperbaiki beberapa wilayah yang sudah gersang dengan penanaman bibit pohon baru ataupun menerapkan sistem tebang pilih. Upaya ini juga sama dengan yang disampaikan oleh R17 (Lih.

Lampiran 3, hal. 9 & 10). Di samping itu, R10 dan R11, R13, dan R15 menyatakan upaya yang telah dilakukan bersama umat yaitu melakukan penghijauan di sekitar rumah mereka dan di wilayah-wilayah yang gersang karena adanya aktivitas penebangan pohon serta mengurangi sampah plastik (Lih.

Lampiran 3, hal. 10). Demikian pula dengan R16, upaya yang telah dilakukan bersama umat dalam mengatasi krisis lingkungan hidup adalah memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam tanaman hias, sayur mayur, dan tanaman obat-obatan. Selain itu, adanya gerakan 3R yaitu reduce (mengurangi penggunaan sampah), reuse (menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan), dan recycle (mendaur ulang sampah) yang bertujuan untuk mengurangi sampah plastik

dan memanfaatkan sampah rumah tangga sebagai bahan untuk membuat pupuk cair dan kompos (Lih. Lampiran 3, hal. 10).

Selain itu, adanya upaya untuk memaksimalkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan obat kimia terutama pestisida. Begitu pula dengan jawaban R8, bahwa sudah ada upaya yang telah dilakukan terutama para petani

untuk mengurangi pupuk kimia dan pestisida. Sebagian para petani sudah memulai dengan menggunakan pupuk alami, misalnya kotoran hewan ternak mereka, misalnya sapi, kambing, ayam (Lih. Lampiran 3 hal. 10).

Sedangkan menurut R14 dan R17, upaya yang dilakukan dalam mengatasi krisis lingkungan hidup yaitu saling memberikan bantuan bagi umat atau masyarakat yang benar-benar terdampak. Bantuan tersebut dikelola melalui program desa, Gereja, maupun pemerintah dan disalurkan bagi mereka yang sangat membutuhkan. Misalnya ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki bak penampung air maka bantuan yang diberikan berupa pembangunan bak penampung air. Adanya bantuan yang diberikan untuk masyarakat yang kesulitan memperoleh air bersih dengan membelikan air bersih, khususnya pada musim

Sedangkan menurut R14 dan R17, upaya yang dilakukan dalam mengatasi krisis lingkungan hidup yaitu saling memberikan bantuan bagi umat atau masyarakat yang benar-benar terdampak. Bantuan tersebut dikelola melalui program desa, Gereja, maupun pemerintah dan disalurkan bagi mereka yang sangat membutuhkan. Misalnya ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki bak penampung air maka bantuan yang diberikan berupa pembangunan bak penampung air. Adanya bantuan yang diberikan untuk masyarakat yang kesulitan memperoleh air bersih dengan membelikan air bersih, khususnya pada musim