• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai saat ini, berbagai bentuk kerusakan lingkungan hidup telah terjadi di berbagai belahan dunia. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi disebabkan oleh bencana alam dan bencana lingkungan hidup. Disebut bencana alam karena bencana tersebut adalah murni peristiwa alam. Sedangkan bencana lingkungan hidup dikarenakan sebagian atau seluruh peristiwa tersebut disebabkan oleh krisis lingkungan hidup, yaitu kehancuran, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang berasal dari aktivitas atau perilaku manusia. Berbagai wilayah di Indonesia telah mengalami berbagai bentuk permasalahan akibat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah manusia maupun alam ciptaan. Lingkungan hidup yang dianugerahkan Tuhan bagi umat manusia telah mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Hutan-hutan dibabat dan dibakar; sungai tercemar oleh berbagai limbah pabrik yang beracun dan limbah rumah tangga menimbuninya dengan sampah dan racun. Di samping itu, masih ada pertambangan secara liar;

pembuangan limbah industri yang tidak terkendalikan; serta udara yang kita hirup telah dicemari dan kotor sehingga berpengaruh amat negatif bagi kesehatan masyarakat. Berbagai bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain sebagainya) juga menjadi pemicu rusaknya lingkungan hidup dan berpengaruh bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya dan tidak dapat dihindari karena peristiwa tersebut murni dari peristiwa alam.

Di wilayah Kabupaten Wonogiri, khususnya penduduk yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan telah mengalami masalah rusaknya lingkungan hidup yang disebabkan oleh peristiwa alam maupun akibat ulah warga masyarakat sendiri. Sampai saat ini, beberapa daerah Wonogiri sedang menghadapi bencana alam (banjir, tanah longsor, pohon tumbang, jembatan amblas, dan lainnya) yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup di sekitar mereka. Meskipun dikatakan bencana alam, tentunya ada pemicu lain yang berasal dari campur tangan dan ulah masyarakat terhadap rusaknya lingkungan hidup. Pembuangan sampah sembarangan khususnya di sungai-sungai kecil maupun besar merupakan salah satu pemicu terjadinya bencana banjir, pembabatan hutan yang tidak bertanggungjawab juga mengakibatkan terjadinya tanah longsor di daerah tertentu. Kerusakan lingkungan yang terjadi juga mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat bahkan pemerintah harus turun tangan untuk menanggapi berbagai bencana alam tersebut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri menyampaikan informasi di Solopos.com tentang terjadinya bencana alam yang menimpa di beberapa wilayah atau kecamatan bagian dari Kabupaten Wonogiri. Informasi yang disampaikan pada Kamis, 21 Januari 2021 menjelaskan bahwa intensitas curah hujan yang sangat tinggi khususnya pada musim penghujan menjadi pemicu terjadinya bencana alam (tanah longsor dan banjir) di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Berikut informasi yang disampaikan oleh BPBD Wonogiri dalam Solopos. Com:

Hujan dengan intensitas tinggi pada Rabu (20/01/21) mengakibatkan bencana alam di beberapa wilayah Kabupaten Wonogiri. Dari sejumlah bencana yang terjadi, tidak ada korban jiwa maupun luka-luka. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri,

Bambang Haryanto, mengatakan pada Rabu terjadi beberapa kejadian bencana alam banjir dan tanah longsor di beberapa lokasi. Ia mengatakan bencana banjir terjadi di Kecamatan Jatipurno. Sedangkan bencana tanah longsor terjadi di Jalan Lingkar Kota (JLK) dan Dusun Geritan, Desa Jendi, Kecamatan Selogiri. “Longsor di JLK tidak sebesar sebelumnya. Longsoran tidak menutupi seluruh badan jalan. Saat ini sudah selesai dievakuasi dan dibersihkan,” kata dia kepada wartawan, Kamis (21/1/2021). Sementara itu, longsor di Desa Jendi menimpa rumah salah satu warga setempat, Sarwati.

Longsor yang menimpa rumah yang dihuni empat anggota keluarga itu mengenai dinding kamar rumah. Kerusakan cukup berat. Saat ini sukarelawan dan anggota BPBD sudah menuju ke lokasi. “Untuk saat ini belum bisa dipastikan berapa jumlah kerugian yang ditimbulkan. Dari seluruh kejadian, tidak ada korban jiwa. Kami imbau masyarakat tetap waspada dengan potensi bencana yang terjadi pada musim penghujan kali ini,” kata Bambang.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa warga yang tinggal di Wonogiri, serta informasi dari media sosial yang terkait, masih ada beberapa di daerah Kabupaten Wonogiri yang mengalami bencana alam dan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup khususnya di daerah pedesaan. Kebanyakan daerah sering terjadi banjir dan tanah longsor sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat misalnya beberapa rumah tergenang air, mengalami gagal panen, dan menghambat aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana lingkungan hidup semakin memprihatinkan bagi kelangsungan hidup masyarakat maupun makhluk hidup lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah bersama warga masyarakat dalam menghadapi krisis lingkungan hidup. Sebagai umat kristiani, Gereja telah memberikan kesadaran dan pemahaman melalui katekese (pendalaman iman) maupun kegiatan-kegiatan ekologi (penanaman pohon, perlindungan satwa di alam, dan lainnya) dalam

menghadapi krisis lingkungan hidup dan membangun kepedulian mereka akan kelestarian alam ciptaan. Diterbitkannya Ensiklik Laudato Si oleh Paus Fransiskus pada 24 Mei 2015, mengingatkan seluruh umat manusia akan pentingnya menjaga dan merawat bumi serta membangun persaudaraan dengan alam sebagai

‘rumah kita bersama’.

“Laudato Si’, Mi’ Signore”, - “Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam madah yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”.

(Laudato Si, 2015: 7).

Kutipan di atas mengingatkan umat Kristiani untuk menjalankan ajakan Santo Fransiskus Asisi bahwa manusia harus menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup sebagai rumah tempat tinggal bersama, seperti saudari dan ibu rupawan yang menyambut manusia dengan tangan terbuka. Santo Fransiskus telah memberikan dasar yang amat kuat mengenai kesadaran akan tali persaudaraan antara manusia dan ciptaan lainnya.

Diterbitkannya Laudato Si merupakan komitmen seluruh Gereja dalam menanggapi persoalan lingkungan hidup yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan keadilan sosial dan spiritual. Ensiklik ini membantu untuk menemukan akar situasinya, mempertimbangkan beberapa gagasan bukan hanya dari gejala-gejalanya saja namun sampai pada penyebab-penyebabnya yang terdalam mengenai krisis ekologi. Laudato Si mengajak seluruh umat untuk mempertimbangkan apa yang sedang terjadi dengan “rumah kita bersama” dari masalah-masalah yang saat ini mengganggu semua warga dan tidak dapat

disembunyikan. Paus Fransiskus telah menegaskan bahwa masalah-masalah yang terjadi di bumi yaitu mengenai persoalan polusi, baik polusi udara, tanah maupun air yang mengakibatkan berbagai masalah kesehatan bagi masyarakat, rusaknya ekosistem tanah (LS 20), serta kelangkaan air bersih (LS 27-31); pencemaran yang disebabkan oleh limbah terjadi di berbagai daerah dan setiap tahunnya dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak bisa teruraikan secara biologis (LS 21); perubahan iklim akibat pemanasan global maupun tingginya konsentrasi gas rumah kaca (LS 23-26); hilangnya keanekaragaman hayati akibat aktivitas manusia yang tidak bertanggungjawab (LS 32-42). Di samping itu, turunnya kualitas hidup dan kemerosotan sosial yang dipengaruhi oleh pertumbuhan yang berlebihan dan tidak terkendali dari beberapa kota semakin tidak nyaman lagi untuk dihuni, akibat kekacauan perkotaan, masalah transportasi maupun polusi menjadi pemicu munculnya kerusakan lingkungan hidup (LS 43-47). Paus Fransiskus juga mengatakan bahwa ketimpangan global antara lingkungan manusia dan alam mengalami kemerosotan secara bersamaan sehingga berdampak buruk bagi mereka yang paling lemah di bumi yaitu kaum miskin (LS 48-52) serta adanya tanggapan yang lemah dan keragaman pendapat dari kelompok-kelompok tertentu dalam menangani masalah ekologi atau kerusakan lingkungan hidup (LS 53-61).

Persoalan lingkungan hidup seringkali hanya terpikirkan oleh hal-hal yang berkaitan atau berhubungan dengan kehidupan manusia. Padahal ada faktor lain yang menjadi pemicu adanya kerusakan lingkungan hidup yang tidak hanya mengacu pada diri manusia saja namun juga dilihat dari ilmu dan teknologi yang

berkembang secara pesat dan mengubah lingkungan secara besar-besaran.

Perkembangan tekonologi komunikasi dan transportasi, pertanian, kesehatan, dan bidang lainnya merupakan kreativitas manusia yang berasal dari Tuhan. Pada kenyataannya, manusia membuat hidup semakin membaik melalui penemuan yang membantu mereka dalam mengatasi krisis lingkungan hidup. Namun, penemuan teknologi tersebut menyebabkan manusia semakin berkuasa atas segalanya. Ada banyak situasi krisis yang timbul akibat kegagalan manusia yaitu kurangnya mengenali dampak dari penggunaan teknologi yang membawa mereka pada persoalan yang lebih besar.

Dalam mengatasi berbagai krisis lingkungan hidup dan hilangnya keterlibatan manusia terhadap krisis ekologis, diperlukan suatu ekologi integral (ekologi dalam kehidupan sehari-hari) untuk menyatukan lingkungan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya sebagai kesatuan ekologi kehidupan manusia terhadap alam ciptaan. Ekologi dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan relasi antara organisme-organisme dengan lingkungannya dimana mereka berkembang dan menjadi kesatuan dalam ekosistem. Ekologi harus dijadikan sebagai dasar bagi program pendidikan dan semua profesi lainnya sehingga tidak hanya digunakan sebagai program yang harus dipelajari.

Pentingnya pendidikan ekologis dalam berbagai konteks (keluarga, sekolah, masyarakat) bagi semua warga supaya semakin bertanggungjawab atas kehidupannya, melakukan refleksi atas tindakannya, memecahkan masalah yang dihadapi dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Paus Fransiskus memberikan penegasan kepada seluruh umat manusia baik di kalangan

Gereja maupun di luar kalangan Gereja untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh manusia dan seluruh komunitas bumi. Gereja perlu mengupayakan suatu cara gerakan untuk membangkitkan kesadaran, mengajak umat untuk semangat terlibat dalam menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup.

Melalui katekese yang diartikan sebagai bentuk pembinaan iman dan usaha Gereja untuk membantu umat supaya semakin memahami, menghayati, dan mewujudnyatakan imannya dalam kehidupan sehari-hari serta membangun persaudaraan dengan seluruh alam ciptaan di bumi.

Melalui katekese ekologi, umat diajak untuk terlibat secara aktif dalam menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup atas keprihatinan-keprihatinan yang terjadi di lingkungan sekitar khususnya bencana lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh tindakan manusia sendiri. Katekese ekologi juga mendorong seluruh umat untuk memiliki spiritualitas ekologis. Spiritualitas ekologis membantu umat untuk memahami pentingnya merawat ciptaan sebagai tempat kehadiran Allah, menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan terhadap ciptaan, serta mendorong diwujudkannya cinta sosial (cinta pada politik, ekonomi, dan budaya) yang memampukan manusia untuk

“merancang strategi besar yang secara efektif dapat menghentikan perusakan lingkungan dan mendorong budaya perlindungan yang meresapi seluruh masyarakat” (LS 231).

Selain memiliki spiritualitas ekologis, katekese ekologi juga membantu umat untuk mewujudkan pertobatan ekologis dengan menunjukkan sikap yang secara bersama-sama menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan

penuh kelembutan terhadap ciptaan. Sikap-sikap tersebut dapat dilakukan dengan menunjukkan rasa syukur dan kemurahan hati bahwa dunia merupakan anugerah yang diterima dari kasih Bapa. Kesadaran penuh kasih menunjukkan bahwa manusia tidak terpisahkan dari makhluk lainnya serta mendorong semua orang beriman untuk mengembangkan semangat dan kreativitas dalam menghadapi permasalahan dunia.

Katekese ekologi perlu dilaksanakan di dalam lingkungan dan kehidupan sosial umat terutama saat menghadapi permasalahan hidup, menanggapi kebutuhan mereka, mengatasi krisis lingkungan hidup dan membantu mewujudkan kerinduan mereka sebagai peguyuban umat beriman. Katekese ekologi juga dipahami sebagai wujud dari katekese kontekstual yang berupaya membantu umat untuk menghayati dan memperkembangkan imannya di dalam kenyataan hidup sosial yang sungguh mereka gulati. Selain itu, katekese ekologi sebagai wujud katekese kontekstual, mendorong umat secara aktif mengambil bagian di dalam pembangunan hidup bersama yang berkaitan dengan penegakan keadilan, pemecahan terhadap masalah penyakit sosial, penghormatan terhadap warga yang berbeda agama, pemeliharaan lingkungan hidup, dan kepedulian kepada mereka yang lemah, kecil, miskin, tersingkir, serta difabel.

Berdasarkan uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa dalam memahami katekese ekologi perlu memperhatikan empat hal pokok, yaitu katekese ekologi dijadikan sebagai bentuk upaya pendidikan ekologis di dalam berbagai konteks; katekese ekologi mendorong seluruh umat beriman memiliki spiritualitas ekologis; katekese ekologi membantu umat mewujudkan pertobatan

ekologis; dan katekese ekologi sebagai wujud dari katekese yang sungguh kontekstual bagi kehidupan umat beriman di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan terhadap alam ciptaan maupun seluruh makhluk hidup di sekitar mereka.

Paroki Santo Ignatius Loyola Danan merupakan salah satu dari beberapa paroki yang berada di bawah naungan Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Sebagian besar umat yang berada di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan masih bergantung pada alam khususnya para petani dan peternak yang kebutuhan makanannya sangat bergantung pada alam juga. Keterlibatan umat dalam menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup menjadi kekuatan yang penting bagi kelangsungan hidup mereka lebih-lebih demi masa depan yang lebih baik.

Namun, akhir-akhir ini umat merasa prihatin akibat terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan hidup di beberapa daerah khususnya di tempat tinggal mereka. Sekitar tahun 2019 sampai 2021, berbagai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan, yang berupa tanah longsor, banjir, krisis air yang mengakibatkan sebagian umat atau masyarakat sekitar bergantung pada air hujan. Untuk mendapatkan air, masyarakat harus membuat bak penampungan air dengan tujuan supaya dapat dipergunakan dalam kurun waktu lebih lama demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat musim kemarau, khususnya untuk kebutuhan air bersih masyarakat sekitar harus membeli dari penyaringan air laut dan jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga.

Sebagai mahasiswa Pendidikan Keagamaan Katolik, penulis melihat perlunya suatu upaya yang harus dilakukan bersama demi menjaga dan merawat

lingkungan hidup melalui katekese ekologi. Oleh karena itu, melalui tulisan yang berjudul “Katekese Ekologi sebagai Upaya Meningkatkan Semangat Keterlibatan Umat dalam Menjaga dan Merawat Kelestarian Lingkungan Hidup di Paroki Santo Ignatius Loyola Danan Wonogiri”, penulis mengajak seluruh umat menyadari keberadaannya sebagai salah satu ciptaan yang saling terkoneksi atau terhubung dengan ciptaan lainnya, semakin peduli terhadap makhluk hidup (hewan, tumbuhan) maupun ciptaan lain, dan semangat dengan berpartisipasi dalam mendukung segala upaya untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup sebagai ‘rumah kita bersama’ baik untuk saat ini maupun di masa mendatang.