Penyesuaian mempunyai arti yang sangat luas, dalam hal penyesuaian diri ke dalam suatu lingkungan baru, tidak hanya mempersiapkan diri secara materil tetapi juga secara psikis atau mental. Dalam penyesuaian yang dilakukan membentuk pola rangkaian peristiwa yang dapat diamati dan dipelajari bahkan dibagikan kembali kepada orang yang akan menghadapi hal tersebut.
Hasil dari wawancara yang dilakukan, sepuluh narasumber mahasiswa rantau tersebut memang memiliki niat awalnya untuk berkuliah di luar daerah asalanya atau melakukan rantau. Namun tidak semua memiliki tujuan rencana yang mulus, beberapa ada yang dihadapkan dengan pilihan orang tua, sekolah, dll. Peneliti juga melakukan observasi namun tidak memuahkan hasil, dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang membuat kegiatan belajar dan mengajar berubah menjadi daring, dan banyak perantau yang pulang ke kampungnya masing-masing.
1. Hasil Observasi
Observasi dilakukan selama dua minggu dari tanggal 16 November 2021 – 30 November 2021, di sekitar kampus utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kampus PPG UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dari observasi yang dilakukan tidak memperoleh data yang diinginkan, baik itu dari beberapa aspek yang diamati tidak mebuahkan hasil apapun. Dikarenakan penelitian dilakukan pada masa pandemi Covid-19 dimana adanya pembatasan sosial secara langsung mengakibatkan pengalihan kegiatan kampus menjadi daring ( online). Beberapa mahasiswa yang masih di temukan di kampus merupakan mahasiswa domisili sekitar, bukan perantau, yang memiliki kegiatan di kampus, seperti organisasi, pratikum dan kegiatan lainnya. Adapun perantau yang masih ada di sekitar kampus, sangat jarang melakukan sosialisasi keluar, beberapa perantau lebih memilih untuk berdiam diri di kontrakan atau kosan dan
keluar jika ada keperluan, seperti membeli kebutuhan harian, ada perkumpulan di kampus, magang, dan lain-lain. Dikarenakan kegiatan belajar dan mengajar di kampus masih secara daring atau online.
2. Hasil Wawancara
A. Pola penyesuaian diri oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam penelitian yang dilakukan, setiap mahasiswa memiliki pola adaptasi yang hampir sama, yaitu mengawali adaptasi dengan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan asal domisili atau kesamaan nasib sebagai perantau. Seperti yang disampaikan oleh informan:
Informan 2: “Kalau membantu adaptasi temen sih, tapi bukan teman sekampung, teman berbeda-beda. Karena saya dari lampung sendiri gak ada kawan, tapi setelah di Jakarta kan saya masuk asrama nah ketemu juga tu teman sama sama lampung tapi kita beda daerah, tapi ya mayan membantu, tapi sama aja punya struggle nya ama saya.”14
Informan 5: “Kalau adaptasi sih pas udah asrama, dan kebetulan di asrama banyak anak daerah-daerah lain jadi lebih ke ngobrol-ngobrol gitu kak saling memahami, jadi adaptasi nya gak terlalu sulit untuk menurut Zahra pribadi”. “Awal-awal malah lebih banyak interaksi sama anak-anak sedaerah se pekanbaru, pas mulai pembelajaran baru membaur sama temen-temen lain tapi tetep aja deketnya sama anak sumtara dan juga ada anak jawa.
“15
Informan 6: “Kalau Julian dulu pas daftar ulang pertama kali, waktu itu ada kebetulan temen sama-sama KPI, nah kebetulan dia dari Riau juga. Nah jadi gitu jadi deket gitu,”16
Interaksi yang terjadi tidak hanya sesudah mereka sampai ke daerah perantauan namun sebelum mereka bermobilisasi, beberapa informan menjalin interaksi dengan orang-orang yang memiliki asal
14 Wawancara bersama Nur Azizah mahasiswi asal Lampung
15 Wawancara bersama Azzahra Lovely Andieany mahasiswi asal Riau
16 Wawancara bersama Julian Ilham Riansyah mahasiswa asal Kepulauan Riau
60
daerah yang sama namun sudah lebih dahulu merantau. Biasanya orang-orang tersebut merupakan keluarga, alumni yang berasal dari sekolah yang sama sebelumnya, atau kenalan yang tergabung dalam himpunan mahasiswa primordial kampus atau daerah tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh informan dalam wawancaranya di bawah ini:
Informan 1: “Sebelum berangkat ke Jakarta itu saya sudah coba tanya-tanya ke kakak yang pernah tinggal di Jakarta, terkait lingkungan di Jakarta seperti apa gitu, jadi pas nanti di Jakartanya tidak culture shock”17
Informan 2: “Ya sebelum ke Jakarta ya bingung banget ya terus ada kating (kakak tingkat), andelin kakak tingkat, pas daftar ulang juga hubungi kating (kakak tingkat) buat gimana daftar ulang tempatnya apanya gimana terus juga dia nawarin tentang asrama tu”18
Informan 4: “Kalau cari info tentu ada, cari infonya dari kating sebelumnya di sekolah dulu yang berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”19
Informan 6: “Kalau Julian ada, nanya ke beberapa kating atau kakak-kakak dari MAN 1 yang duluan kesana kan, terus kelurga Julian juga ada yang disinikan jadi nanya gitu Jakarta gimana terus ya pernah juga nanya hal tentang Jakarta tu macetnya gimana, gitu mau pergi ke kampus persiapan dari jam berapa gitu kan, terus nanaya-nanya tentang kegiatan kuliah apa aja, di asrama apa aja”20
Informan 7: “….paling kalau nanya-nanya kehidupan kampus kayak biasa-biasa aja, terus ke kampus gimana caranya, naik apa, ada juga nanya-nanya ke kakak-kakak yang di man 1 kuliah di Jakarta”21
Informan 8: “Tentuya ada, saya tanyakan ke senior saya kakak kelas di SMA saya dan tentunya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ada banyak. Iya seperti apa biaya hidup, lingkungan di Jakarta, kemudian bagaimana baiknya di asrama atau kos dulu.”22
17 Wawancara bersama Hanifah Maulidina mahasiswi asal Sumatra Barat
18 Wawancara bersama Nur Azizah mahasiswi asal Lampung
19 Wawancara bersama Riska Safitri mahasiswi asal Sumatra Utara
20 Wawancara bersama Julian Ilham Riansyah mahasiswa asal Kepulauan Riau
21 Wawancara bersama Zulfa Salsabilla mahasiswi asal Riau
22 Wawancara bersama Kamila Rahma mahasiswi asal Lampung
Informan 9: “Iya pernah, karena ada senior juga satu jurusan, aku nanya, gimana sih kampus UIN, gimana sih pergaulannya, diceritain gini gini kak”23
Setelah berinteraksi dengan individu yang memiliki kesamaan domisili atau pun nasib, para perantau baru mencoba melakukan interaksi dengan individu sekitar atau penduduk asli daerah perantauannya, Hal ini dibuktikan dengan beberapa pernyataan informan:
Informan 4: “Kalau interaksi awal ke temen-temen jurusan sendiri itu masih pada diem-diem semua, mungkin butuh waktu 3 hari baru bisa ngobrol-ngobrol gitu, nah untuk pertama kali Riska adaptasi tu jelas Riska saya mabin di asrama UIN, jadi permulaan penyesuaian itu dari pembimbingnya.”24
Informan 5: “Awal-awal malah lebih banyak interaksi sama anak-anak sedaerah se pekanbaru, pas mulai pembelajaran baru membaur sama temen-temen lain.”25
Informan 6: “Karna udah punya temen yang dari awal itu kan (sesama anak Riau), tapi dia perempuan gitu kan, jadi pas dikelas itu kan, dipisahkan duduknya cewek-cewek cowok-cowok, nah pada saat Julian pengenalan di dalam kelas, kayak temen-temen tu ha kan juga anak kelas tu kebanyakan anak Jakarta enggak sikit sih yang merantau, jadi orang itu kayak aneh gitu pas perkenalan diri, …… temen-temen Julian juga pengen dekat dan kenal ke Julian juga begitu sebaliknya”26 Dapat kita amati bahwasannya para perantau lebih nyaman untuk memulai adaptasi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan ciri budaya asal ataupun sesama perantau sehingga dapat melanjutkan adaptasi dengan orang-orang sekitar yang berdomisili asli.
Dari penelitian wawancara yang telah dilakukan, proses adaptasi para mahasiswa rantau cukup baik, tidak dapat dikatakan sangat baik dikarenakan masih ada beberapa perantau yang masih hanya
23 Wawancara bersama Rian Wulandari mahasiswi asal Nusa Tenggara Barat
24 Wawancara bersama Riska Safitri mahasiswi asal Sumatra Utara
25 Wawancara bersama Azzahra Lovely Andieany mahasiswi asal Riau
26 Wawancara bersama Julian Ilham Riansyah mahasiswa asal Kepulauan Riau
62
berinteraksi dengan lingkup kecil tanpa melibatkan individu lokal tempat ia merantau, seperti yang di ungkapkan oleh narasumber:
Informan 2: “Kalau membantu adaptasi temen sih, tapi bukan teman sekampung, teman berbeda-beda. Karena saya dari lampung sendiri gak ada kawan, tapi setelah di Jakarta kan saya masuk asrama nah ketemu juga tu teman sama sama lampung tapi kita beda daerah, tapi ya mayan membantu.”27
Informan 4: “Untuk yang membantu riska dalam beradaptasi itu mungkin temen-temen riska yang ada di asrama kak, karena sebelum masuk kuliah, seminggu kan udah di asrama dan disitu riska mulai mengenal.”28
Informan 5: “Awal-awal malah lebih banyak interaksi sama anak-anak sedaerah se pekanbaru, pas mulai pembelajaran baru membaur sama temen-temen lain tapi tetep aja deketnya sama anak sumtara dan juga ada anak jawa.” 29
Informan 10: “Karena aku jga patokannya ada temen ya jadi gak takut dan yaudah kayak biasa aja gitukan karena temen juga satu pondok……”30
Hal ini diamati oleh narasumber pendudukung yang tersirat mengatakan bahwasannya mahasiswa asli sekitar hanya bergaul dengan mahasiswa yang berasal di sekitar juga, hal itu juga mendorong para perantau memilih untuk melakukan adaptasi dengan para perantau juga baik yang memiliki kesamaan ciri budaya ataupun berbeda, sebelum mendekatkan diri beradaptasi dengan para mahasiswa asal Jabodetabek:
Informan pendukung 2: “Beda banget sih, beda banget, ya bedanya mereka kan mungkin merasa terasingkan gitu, yang kuliat ya, pasti tu awal-awalnya terasingkan, kadang ya, tapi lama-lama dia harus berbaur kan ya. Kalau orang Jabodetabek kan ya biasanya kan bergaul udah kayak orang Jakarta dah sering ngomong sama orang Jakarta.”31
27 Wawancara bersama Nur Azizah mahasiswi asal Lampung
28 Wawancara bersama Riska Safitri mahasiswi asal Sumatra Utara
29 Wawancara bersama Azzahra Lovely Andieany mahasiswi asal Riau
30 Wawancara bersama Allifa Nadya Amamta mahasiswi asal Bali
31 Wawancara bersama Raisa Azzahra mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta asal Tangerang Selatan
Proses adaptasi juga yang dilakukan beberapa narasumber berlangsung cepat dan ada yang lambat, berbeda tiap individunya.
Proses adaptasi dilakukan dengan cara membuka diri dengan mau berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya, seperti yang dikatakan oleh para narasumber di bawah ini, yaitu:
Informan 3: “…..kan rata-rata kalau di fakultas ekonomi itu anak Jabodetabek ya, jadi yang rantauan sedikit banget. Aku pas awal-awal banget itu waktu ada pbak jurusan itu aku diem banget diem, karna dijurusan itu rata-rata pas perkenalan ya orang-orang sini, dan masih ngerasa asing dan aneh. Dan lama-lama ya biasa aja menyesuaikan diri.”32
Informan 4: “Kalau interaksi awal ke temen-temen jurusan sendiri itu masih pada diem-diem semua, mungkin butuh waktu 3 hari baru bisa ngobrol-ngobrol gitu..”33
Informan 7: “Paling pas awal semester satu sih sulit berteman, soalnya zulfa kalau gak diajak ngomong masih malu-malu, terus gitu aja kali kak”34
Informan 8: “Tentunya berkenalan sama orang sekitar terus tanya asal domisilinya dari mana, setelah itu udah berteman aja”35
Informan 9: “….langsung rian kan orangnya humble aja kenalan sama orang, dari mana gitu.”36
Informan 10: ” Awalnya aku tu orang pas baru kenal atau belum kenal bisa cuek, kayak bodo amat, gak mau kenalan duluan aku orangnya, terus kayaknya awalnya tu susah gitu.”37
Dari hasil penuturan responden di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan mereka masih menjaga jarak dengan teman maupun lingkungan sekitarnya. Namun ada beberapa responden yang membuka diri terlebih dulu untuk berkomunikasi dengan orang di
32 Wawancara bersama Vivi Ariesta mahasiswi asal Lampung
33 Wawancara bersama Riska Safitri mahasiswi asal Sumatra Utara
34 Wawancara bersama Zulfa Salsabilla mahasiswi asal Riau
35 Wawancara bersama Kamila Rahma mahasiswi asal Lampung
36 Wawancara bersama Rian Wulandari mahasiswi asal Nusa Tenggara Barat
37 Wawancara bersama Allifa Nadya Amamta mahasiswi asal Bali
64
sekitarnya. Hal ini dikuatkan lagi dari hasil wawancara kepada informan pendukung. Menurut pengamatan informan pendukung:
Informan Pendukung 2: “Kalau menurut saya, beda-beda sih ya, ada yang langsung terbuka bergaul, memang tergantung sama sifat dan sikap mereka, tapi juga ada yang tertutup. Ada yang awalnya tertutup trus lama-lama karena udah deket jadinya terbuka dia cerita, cerota, ya gitu aja sih, tergantung sifat dan sikap dia, mungkin dia introvert atau exstrovert bisa langsung bergaul, bukan karena daerah asalnya, paling yang bedain logat asalnya aja sih”38
Informan Pendukung 5: “Ya macem-macem ya, ada yang cepet sosialisasinya ada juga susah, tapi pas dikasih solusinya mereka membaur juga rukun-rukun juga.”39
Proses Interaksi yang dilakukan juga ada yang langsung dan tidak langsung. Untuk dapat beradaptasi dengan baik, para perantau juga ada beberapa yang berinteraksi mencari teman terlebih dahulu sebelum perkuliahan di mulai atau bahkan sebelum mereka ke Jakarta.
Pencarian kenalan ini ditujukan agar para perantau bisa memulai adaptasi dengan baik di lingkungan rantauannya, tidak sendirian.
Biasanya hal ini dilakukan dengan bantuan teknologi dan informasi yang telah berkembang, seperti sosial media sehingga memudahkan para perantau untuk mencari teman, dan menekan rasa gegar budaya (cultural shock) atau kesulitan dalam mengenali daerah rantauannya, seperti yang diungkapkan oleh para narasumber:
Informan 3: “Kan awal-awal ya Allah bener bener gak ada temen bareng, jadi awal-awal memberanikan diri nge chat lewat line, di FEB pakai line, jadi aku liat di grup manajemen, yang kira kira perempuan, namanya perempuan profilnya perempuan aja aku chat, aku tanya, sekiranya yang responnya baik yaudah deh kami sering chatingan, terus akhirnya pas PBAK itu kita ketemuan, terus dia kayak bawa temen trus aku juga bawa temen kenal di jalan gitu jadi bareng yaudah ngalir begitu aja, jadi
38 Wawancara bersama Raisa Azzahra mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta asal Tangerang Selatan
39 Wawancara bersama Ibu Muslimah pemilik kontrakan sekitar PPG UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Sawangan
awalnya dari memberanikan diri nge chat sama temen-temen di semester satu kita sekelas, dan sampai sekarang masih kontakan walau udah beda kelas.”41
Informan 8: “Ada sih karna kan tergabung di grup Line dan Whastapp sebelum berangkat ke Jakarta jadi ada beberapa yang chat saya, tentang bakal gimana nanti tinggal dimana, dan juga bahkan ada juga yang ngajakin kos bersama padahal belum kenal.”42
Dari hasil penuturan responden di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi dapat membantu individu yang tertutup dan susah untuk memulai interaksi bertemu secara langsung. Dalam hal ini niat dan keinginan keterbukaan diri sangat diperlukan dalam memulai menjalin hubungan pertemanan. Dimulai dengan langkah sederhana bertanya terkait hal-hal sederhana dapat membantu langkah awal dalam menjalin hubunga sosial. Dan hal ini sesuai pernyataan informan pendukung yang mengalami pendekatan seperti yang dipaparkan diatas:
Informan pendukung 3: “Kalau dari penagalaman aku, temen-temen deket aku, mereka terbuka sih, mereka ceritain gimana kehidupan mereka di daerah rantaunya gitu juga tanya-tanya disini tu gimana sih, tempat makan di sini, ya saling terbuka sih sama temen-temen aku.”43
40 Wawancara bersama Vivi Ariesta mahasiswi asal Lampung
41 Wawancara bersama Zulfa Salsabilla mahasiswi asal Riau
42 Wawancara bersama Kamila Rahma mahasiswi asal Lampung
43 Wawancara bersama Hanifah Hasna mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta asal Tangerang Selatan
66
Selama masa pandemi Covid, sangat menghambat proses adaptasi para perantau baik itu adaptasi kepada lingkungan perantauan, masyarakat sekitar serta proses pembelajaran di kampus.
Situasi pandemi Covid membuat beberapa perantau memilih untuk pulang ke daerah asal dikarenakan proses pembelajaran yang berubah menjadi daring. Di sini para perantau kembali menyesuaikan diri dengan perubahan gaya belajar. Komunikasi dengan teman juga terhambat, di sana mereka sedikit sulit untuk beradaptasi kembali untuk mengikuti pembelajaran dikarenakan kondisi geografis, sarana dan prasarana, dll. Seperti yang diungkapkan oleh para narasumber:
Informan 1: “Kalau untuk hubungi temen mungkin lumayan sih karna online gini kan pas bagi tugas kelompok karna dia gak muncul, jadi harus di telfonin atau kita spam gitu kan.”
“Kalau offline kan kayak karna kita ketemu dosennya jadi langsung nyerap ke otak dan mengerti, kalau online gini sambil rebahan jadi kayak masuk telinga kanan keluar telinga kiri, jadi kayak dikasih tugas kadang masih bingung ngapain tugas, agak sulit. Untuk saya sebagai mahasiswa lebih senang tatap muka, kadang kuliah kalau online, ingin aktif on mic tetapi kondisi rumah tidak memungkinkan untuk on mic dan juga terkait sinyal juga”44
Informan 2: “Aku tu kayak dosen jelasin tentang A, tapi pengertian aku ini tu bener gak sih tentang A itu, itu yang bikin kayak oh aku ini bener gak ya, trus kadang nanya ama kawan juga kawan tu juga gak ngerti kayak ya kali, bikin tambah bingung…” “kalau offline kan membagi tapi bisa bertemu terus diskusi bareng, kalau online kan enggak bener-bener sendiri.”45 Informan 3: “Selama online gini tu bener-bener sedih, aduh pusing banget karna kuliah aku kan manajemennya bagian keuangan, jadi enaknya pas offline kemarin bisa diskusi bareng, ketemu temen, jalan sama temen, kerjain tugas bareng,dan kalau online gini kan bener-bener sendiri, cuman bisa nanya doing lewat chat.”46
44 Wawancara bersama Hanifah Maulidina mahasiswi asal Sumatra Barat
45 Wawancara bersama Nur Azizah mahasiswi asal Lampung
46 Wawancara bersama Vivi Ariesta mahasiswi asal Lampung
Informan 4: “Sebelum covid atau offline karena pembelajaran dosen lebih mudah diterima, mudah dicerna karna kadang pas pembelajaran online kita gak ngerti apa yang dimaksudkan karena cuman denger-dengerin di youtube aja kadang.”47
Informan 5: “Gak ada sih kesulitan, cuman enak lebih intens pas offline disbanding online kerasa aja bedanya terus kayak ketemen-temen juga. Komunikasi ke teman kurang intens, biasa ke kampus bareng ngobrol bercanda-canda semenjak online ini jadi kayak berkurang, mereka dirumah juga punya urusan, mau ngobrol juga susah, terus juga buat ke segi lingkungan pertemanan lebih enak offline sih kak. Ketika kuliah juga susah untuk mencari referensi karena perpus tutup dan belum ada buku-buku online nya.”48
Informan 8: “Kalau saya sendiri enak offline ketemu temen-temen langsung dan dosen langsung belajarnya, kalau online belajarnya by sosial media, zoom, meet. Untuk efektivitas lebih ke offline sih, pas sebelum pandemi.”49
Informan 9: “Offline sih, perbedaanya kita gak bisa interaksi langsung sama temen, untuk pembelajaran sih Alhamdulillah lancar.”50
Informan 10: “Lebih ke offline sebenarnya, jadi lebih kenal temen, bisa ngobrol, bisa sharing, bisa tukar pikiran, missal kalau ada presentasi, tugas kelompok bisa di diskusikan langsung, face to face gitu kan, kalau misalnya di hp bisa gitu kan cuman gak enak aja gitu kan kurang masuk gitu, terus lagi kan kalau telfon kadang gak diangkut gak nyambung jadi gak komunikatif, kalau misalnya kayak sebelum covid bisa kumpul abis kuliah langsung gitu kan jadi cepat kelar, kalau ini tu lama kelarnya.”51
Dari hasil pemaparan para narasumber diatas bahawasannya adanya pandemi Covid-19 menghambat para perantau dalam proses pembelajaran di kelas, para perantau lebih menginginkan luring dibandingkan daring dalam proses pembelajaran. Dikarenakan pandemi yang berkepanjangan juga membuat para perantau kembali
47 Wawancara bersama Riska Safitri mahasiswi asal Sumatra Utara
48 Wawancara bersama Azzahra Lovely Andieany mahasiswi asal Riau
49 Wawancara bersama Kamila Rahma mahasiswi asal Lampung
50 Wawancara bersama Rian Wulandari mahasiswi asal Nusa Tenggara Barat
51 Wawancara bersama Allifa Nadya Amamta mahasiswi asal Bali
68
ke daerah asalanya, sehingga menghambat proses adaptasi dan pengenalan lebih jauh terhadap daerah rantauannya.
B. Gegar budaya oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa Di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam teori yang dikemukakan oleh Oberg, yang menggambarkan proses gegar budaya melalu fase-fase. Fase-fase adaptasi budaya ini digambarkan dengan U-Curve Hypothesis yang secara umum terdapat empat fase yaitu, Fase Kedatangan (honeymoon), Fase Krisis atau stress (Frustation), Fase Penyesuaian (Readjustment), Fase Keputusan (Resolution).
a. Fase Kedatangan
Pada fase kedatangan ini merupakan masa dimana awal perantau baru memasuki lingkungan barunya. Dalam fase ini para perantau memiliki rasa senang, semanagat, keingintahuan yang tinggi terhadap lingkungan barunya. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara oleh para informan sebagai berikut:
Informan 4: “Pas pertama sampai rasanya oh ternyata begini ya, karna kan kita juga orang desa pasti gak tau kalau kampus tu se wow ini dan belum pernah lihat gedung-gedung setinggi ini di daerah kita.”52
Informan 5: “Exited sih”53
Informan 6: “Kalau Julian seneng kan ya, Alhamdulillah kuliah ditempat yang diinginkan dan itu pas di Jakarta, …..
Terus pas tinggal di asrama itu juga seneng ketemu temen baru juga temen-temen kamar juga dari perantau semua gak
Terus pas tinggal di asrama itu juga seneng ketemu temen baru juga temen-temen kamar juga dari perantau semua gak