Adapun batasan penelitian yang dilakukan adalah:
1. Hanya mahasiswa perantau yang berasal dari luar Pulau Jawa 2. Merupakan mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Mahasiswa yang sudah berkuliah minimal dua semester D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengajukan rumusan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pola penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswa rantau luar Pulau Jawa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta?
2. Bagaimana cara menghadapi gegar budaya oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa Di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana pola penyesuaian diri oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mengetahui cara menghadapi gegar budaya oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
F. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Untuk mahasiswa: mengetahui bagaimana proses adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa perantau, dan bagi mahasiswa perantau sendiri sebagai pengalaman pembelajaran bagaimana untuk bisa beradaptasi dengan baik dan cepat.
2. Untuk universitas: sebagai referensi kedepannya dalam melihat kesulitan mahasiswa perantau dalam melakukan adaptasi, dan kampus bisa memberikan wadah dan sarana untuk membantu adaptasi yang dilakukan mahasiswa perantau serta menekan tingkat gegar budaya oleh para perantau
3. Untuk orang tua: agar mengetahui apa saja kendala dan kesulitan dari mahasiswa yang melakukan perantauan dan menjadi pembelajaran serta peka terhdap apa saja langkah dan kebutuhan yang diperlukan anaknya ketika merantau, serta memberikan pendampingan walau jarak jauh.
8 BAB II
KAJIAN TEORI A. Kajian Teori
1. Teori Integratif Adaptasi Antar Budaya oleh Kim Young Yun (Integrative Communication Theory)
Integrative Communication Theory. Teori ini disampaikan oleh Kim Young Yun, beliau saat ini adalah pengajar di Oklahoma University. Kim dalam bukunya Becoming Intercultural: An Integrative Theory and Cross Cultural Adaptation (sebelumnya berjudul Cross Cultural Adaptation: An Integrative Theory) menyatakan bahwa sebagai makhluk sosial sudah selayaknya terjadi interaksi di antara masyarakat. Namun, bagaimana kecakapan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat dan norma-norma yang berlaku tergantung terhadap proses penyesuaian diri atau adaptasi oleh para pendatang.1
Menurut Kim Young Yun, presumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antar budaya adalah individu-individu yang mempunyai kesamaan budaya pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan tersebut dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada individu lain yang berasal dari budaya berbeda. Jadi komunikasi antar budaya melihat pada fenomena komunikasi dimana partisipan yang mempunyai latar belakang kultural yang berbeda menjalin kontak satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antar budaya menuntut berkaitan dengan perbedaan serta kesamaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat maka karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan focus kajiannya. Titik perhatian dari komunikasi antar budaya merupakan proses komunikasi antara individu
1 Lusia Savitri Setyo Utami, Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya, (Jurnal Komunikasi Vol. 7, No.
2, Desember 2015), h.183
dengan individu dan kelompok dengan kelompok.1 Berdasarkan teori Cross Cultural Adaptation oleh Kim Young Yun dalam jurnal komunikasi yang ditulis oleh Benjamin Harvey menyebutkan beberapa hal yang mendasari terjadinya adaptasi antar budaya, antara lain hal tersebut terjadi karena: 1) Adanya orang asing atau individu yang berpindah dari suatu tempat yang memiliki ciri budaya yang berbeda dan asing dari budaya yang dimiliknya atau individu lain, 2) Individu atau orang asing tersebut bermukim, bertempat tinggal dan bergantung pada lingkungan baru untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kelompok, 3) Orang asing atau individu atau pendatang tersebut memiliki pengalaman berkomunikasi dengan penduduk lokal.2
Dari penelitiannya kepada para pendatang yang menetap di Chicago, Amerika Serikat, khususnya yang berasal dari Korea untuk disertasi doktoralnya pada 1977. Kim mengidentifikasi lima faktor dalam melakukan adaptasi yaitu personal communication, host social communication, ethnic social communication, environment, dan predisposition. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh dengan transformasi antar budaya (intercultural transformation), yang merupakan proses dalam mencapai functional fitness, psychological health, dan intercultural identity. Maka, kelima faktor penting dalam proses adaptasi tersebut dijabarkan dalam model berikut:3
Personal Communication, atau komunikasi personal terjadi apabila seseorang merasakan adanya hal-hal yang terdapat dalam lingkungannya, kemudian memberi makna serta mengadakan reaksi terhadap obyek maupun orang lain yang terdapat dalam lingkungannya tersebut. Dalam tahapan ini terjadi proses penyesuaian yang menggunakan kompetensi komunikasi pribadi, lalu diturunkan menjadi tiga bagian yaitu kognitif, afektif, dan operasional. Hal ini
1 Wahidah Suryani, Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi Makna, (Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013), h.7
2 Juita Lorda La‟ia, Adaptasi Antarbudaya Mahasiswa Asing Uns (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asing dalam Beradaptasi di Solo Tahun 2015), https: atau atau www.jurnalkommas.com atau docs, h.6 ( diakses pada 14 Desember 2020 Pukul 2.20 PM)
3 Lusia Savitri Setyo Utami, op.cit., h. 184
10
terjadi di dalam diri pribadi individu. Aspek kognitif dari kompetensi komunikasi dipisahkan dalam pengetahuan individu tentang sistem komunikasi menjadi, pemahaman kultural, dan kompleksitas kognitif. Aspek afektif dalam kompetensi komunikasi merupakan konfigurasi dari motivasi adaptasi individu, fleksibilitas identitas, dan estetika orientasi bersama. Lalu, aspek operasional atau kemampuan untuk mengekspresikan kognitif dan pengalaman afektif individu secara terlihat atau nyata melalui aspek perilakunya atau secara spesifik memperlihatkan kompetensi komunikasinya itu. Pencapaian kompetensi komunikasi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan umum manusia, yaitu mengatasi lingkungannya terutama terhadap lingkungan baru. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan yang secara efektif berhubungan dengan orang-orang lain. 4
Selanjutnya, ada host social communication dan ethnic social communication. Keduanya sepadan, dimana terdiri dari dua macam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal menunjukkan pada interaksi antara individu yang satu dengan yang lain pada level interpersonal, namun, bedanya jika host social communication terjadi antara individu pendatang dengan individu local yang berasal dari budaya setempat maka ada perbedaan budaya diantara keduanya, sedangkan ethnic social communication terjadi diantara individu dengan latar belakang budaya yang sama, contohnya individu pendatang berinteraksi dengan individu yang mempunyai asal serta budaya yang sama.5 Adapun komunikasi massa yang di maksudkan dalam hal ini berhubungan dengan sarana-sarana yang dipakai dalam mendistribusikan dan mengabadikan budaya. Hal tersebut mencakup media seperti radio, televisi, surat kabar, dan internet; serta non media yang berbasis institusi seperti sekolah, agama, kantor, bioskop atau pun tempat umum apapun, yang dimana komunikasi terjadi dalam bentuk ritual budaya. Komunikasi massa ini berperan sebagai kemampuan dalam proses adaptasi dengan melakukan transmisi topik peristiwa-peristiwa, norma perilaku, nilai-nilai sosial, serta perspektif interpretasi lingkungan tradisional. Komunikasi massa ialah, terjadinya interaksi antara individu dengan
4 Ibid.
5 Ibid.
massa baik melalui media maupun non media, bedanya jika host social communication interaksi terjadi antara individu pendatang dengan individu lokal atau budaya setempat yang baru baginya, sedangkan ethnic social communication interaksi terjadi antara individu pendatang dengan individu yang mempunyai kesamaan budaya asalnya atau yang sudah dikenalnya.
Faktor berikutnya yaitu environment yang dibagi menjadi penerimaan tuan rumah, tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah, dan kekuatan kelompok etnis. Penerimaan individu asli atau lokal mengacu pada kesediaan dari budaya setempat untuk menerima dan membantu pendatang melalui kesempatan dalam berperan aktif berkomunikasi sosial. Dari perspektif pendatang, hal ini dapat dianggap akses untuk masuk, atau kesempatan untuk mendapatkan kontak. Tekanan akan penyelarasan dari tuan rumah merupakan kombinasi dari tekanan yang secara sadar atau tidak terhadap pendatang untuk mengadopsi praktek budaya setempat, dan toleransi dalam menghormati praktek-praktek budaya yang berbeda dari budaya setempat. Salah satu faktor penting ialah adanya perbedaan antara ideologi asimilatif atau pluralis. Ideologi asimilatif mendorong adanya kesesuaian, sedangkan ideologi pluralis mendorong adanya kekhasan etnis. Hal tersebut membawa kepada kekuatan kelompok etnis yang merujuk pada kekuatan kelompok dari budaya atau etnis yang sama dengan asal individu pendatang. 6
Terakhir, predisposition menunjukkan pada keadaan pribadi pendatang ketika mereka berada dalam kelompok budaya setempat, seperti jenis latar belakang yang mereka miliki, dan apa jenis pengalaman yang mereka punya sebelum bergabung dengan budaya setempat. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut memberi keseluruhan potensi adaptasi individu pendatang.7
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa faktor-faktor di atas membawa dampak pada proses transformasi antar budaya (intercultural transformation) yang meliputi tiga aspek yaitu, (1) Increased Functional Fitness, dalam aspek ini
6 Ibid., h.185
7 Ibid.
12
diterangkan bahwa melalui aktivitas yang berulang dan pembelajaran terhadap budaya baru, pendatang dapat mencapai sinkronisasi antara respon internal dalam dirinya dengan permintaan eksternal lingkungan barunya atau dapat juga disebut mencapai perceptual mutuality. (2) Psychological Health, aspek ini berfokus pada keadaan emosional individu pendatang. Sangatlah jelas bahwasannya kebahagiaan psikologis para pendatang akan bergantung pada bagaimana anggota masyarakat di lingkungan barunya. Dimaksudkan, jika pendatang merasa diterima oleh masyarakat setempat, maka secara cepat pendatang akan merasa lebih nyaman. Namun, jika masyarakat lokal atau asli terlihat seakan si pendatang kurang bisa diterima, maka penyesuaian diri si pendatang secara psikologis menjadi jauh lebih sulit. (3) Intercultural Identity, dalam aspek ini identitas budaya asli mulai kehilangan kekakuannya dan kekhasan, sementara itu definisi identitas lebih fleksibel dan yang lebih luas dari diri pendatang juga mulai muncul. Jika ketiga aspek tersebut tercapai maka terbentuklah hasil dari adaptasi antar budaya yang telah dibicarakan sebelumnya.8
2. Teori Adaptasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto adaptasi sosial merupakan hubungan antara suatu kelompok atau lembaga dengan lingkungan fisik yang mendukung eksistensi kelompok atau lembaga tersebut. Lingkungan fisik, lingkungan biologi maupun lingkungan sosial senantiasa mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan ini ada yang kearah positif dan juga perubahan negatif. Agar dapat menjaga hidupnya, manusia diharapkan mampu melakukan penyesuaian atau adaptasi. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya dapat mempengaruhi lingkungannya itu sendiri.9
Soerjono Soekanto menjelaskan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3) Proses
8 ibid
9 Habiba, Nurjihan, M. Fadhil Nurdin dan R.A. Tachya Muhamad, Adaptasi Sosial Masyarakat Kawasan Banjir di Desa Bojongloa Kecamatan Rancaekek, (Sosioglobal : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi 2, 2017), h.41
perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari beberapa batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan sebuah proses penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, maupun suatu kondisi yang diciptakan10
3. Teori Gegar Budaya (Culture shock)
Teori gegar budaya (culture shock) pertama kali dicetuskan oleh Hall (1959), sebagai sebuah gangguan pada semua hal yang biasa dihadapi di tempat asal menjadi sangat berbeda dengan hal yang dihadapi di tempat baru dan asing.
Kemudian, gegar budaya diteliti pertama kali oleh Oberg (1960), dengan menggambarkan respon yang mendalam dan menunjukkan adanya ketidakmampuan yang dialami oleh individu dalam lingkungan barunya, yang mana ketidakmampuan tersebut terjadi pada kognitif, yang mengakibatkan gangguan pada identitas. Gegar budaya adalah reaksi emosi terhadap perbedaan budaya yang tidak terkira dan terjadi kesalahpahaman pada pengalaman yang berbeda, sehingga menyebabkan munculnya perasaan tidak berdaya, mudah terpancing emosi, takut akan dibohongi, dan dilukai serta diacuhkan. Penelitian yang dilakukan oleh Oberg (1960), menjelasakan aspek gegar budaya, yaitu ; (1) Adanya ketegangan karena upaya untuk beradaptasi secara psikologis, (2) Rasa kehilangan terhadap teman, profesi, status, dan harta. (3) Ditolak atau menolak anggota budaya yang baru atau berbeda, (4) Kebingungan dalam peran, harapan dan nilai. (5) Cemas hingga merasa jijik dan marah saat menyadari adanya perbedaan budaya, (6) Adanya perasaan tidak berdaya oleh pendatang karena kurang atau bahkan tidak mampu dalam mengatasi lingkungan baru.11
10 Andi Winata, Adaptasi Sosial Mahasiswa Rantau Dalam Mencapai Prestasi Akademik, (Skripsi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,Universitas Bengkulu, 2014), h. 13
11 Sabrina Hasyyati Maizan, Khoiruddin Bashori, & Elli Nur Hayati, Analytical Theory : Gegar Budaya (Culture shock), (Jurnal Psycho Idea, 18. No.2, 2020), h.149-150
14
Oberg (1960) menggambarkan tahapan pada gegar budaya dengan bahasa yang berbeda yaitu dengan menggunakan kata “fase”, yangmana fase gegar budaya (culture shock) merupakan dampak yang disebabkan oleh tekanan saat memasuki budaya baru yang digabungkan dengan sensasi kebingungan, kerugian, dan ketidakberdayaan sebagai hasil dari kehilangan norma budaya dan ritual sosial. Fase gegar budaya digambarkan dengan U-Curve Hypothesis yaitu;
(1) Fase Optimistik, individu merasa gembira, memiliki rasa penuh harapan dan euphoria saat baru memasuki lingkungan baru. (2) Fase Krisis, individu atau pendatang mulai memiliki permasalahan dengan lingkungan barunya. (3) Fase recovery, dimana individu mulai mengerti tentang budaya barunya, pada tahap ini individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru. (4) Fase penyesuaian diri, individu mampu memahami budaya barunya, ketika individu mampu menyesuaikan diri dengan dua kebudayaan yang dimilikinya, individu tersebut akan merasa puas dan menikmati dua kebudayaan yang dimiliki.12
Namun sebagian hal menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam dua budaya tersebut, seseorang atau individu perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan hal tersebut memunculkan gagasan tentang W Curve, yaitu gabungan dari dua U Curve.13
Gambar 2.1 Kurva W
12 Ibid., h.151
13 Lusia Savitri Setyo Utami, op.cit., h.192
Ketika seorang individu atau pendatang kembali ke rumah setelah lama tinggal di budaya asing atau merantau, mereka akan mengalami putaran lain dari culture shock, yaitu terjadi dalam budaya asli mereka. Contohnya, seperti pelajar yang kembali dari belajar di luar negeri, mereka akan memiliki perpektif yang berbeda dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda pula sebelum merantau. Pelajar yang mengeluh, mengkomunikasikan pengalaman mereka tersebut yang di luar negeri kepada teman dan keluarga mereka sering sulit dilakukan. Inilah yang kemudian terjadi dalam tahapan Kurva W14
4. Penyesuaian Diri 1. Pengertian
Menurut Katkovsky dan Gorlow (1976) penyesuaian adalah kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara kebutuhannya dengan lingkungannya.
Lazarus (1969) mengatakan bahwasannya penyesuaian diri terdiri dari suatu proses psikologi dengan cara individu tersebut megatur atau mengatasi berbagai tuntutan dan tekanan. Haber dan Runyon (1984) menyatakan penyesuaian diri ialah suatu proses yang akan terus berlangsung selama hidup. Efektivitas dari penyesuaian diri dilihat dengan bagaimana cara individu mengatasi situasi yang terus berubah.15
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup.16
14 Ibid.
15 Arif Darmawan Mahmud, 2017, Pengaruh Religiusitas Dan Dukungan Sosial Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru Perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 14
16 Oki Tri Handono dan Khoiruddin Bashori, 2013, Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dan Dukungan Sosial Terhadap Stres Lingkungan Pada Santri Baru, (EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 1, No 2), h.80
16
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Menurut Schneiders (1960), menyatakan bahwa penyesuaian diri memiliki empat aspek, yaitu:
1. Adaptation, yaitu penyesuaian diri dilihat sebagai kemampuan seseorang dalam beradaptasi. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik, maka memiliki hubungan yang baik juga dengan lingkungannya. Penyesuaian diri dalam hal ini di maknai secara fisik.
2. Comformity, yaitu seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian yang diri yang baik apabila memenuhi kriteria sosial dalam hati nuraninya.
3. Mastery, yaitu orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik dalam hal kemampuan membuat rencana dan mengorganisasikan suatu respons diri sehingga dapat menyusun dan menanggapi berbagai masalah dengan efisien
4. Individual variation, yaitu adanya perbedaan individual pada perilaku dan respon dalam menanggapi masalah17
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Menurut Schneider (1960), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah:
1. Keadaan fisik dan determinannya
Kondisi fisik seseorang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri. Apabila seseorang mempunyai fisik dan sistem tubuh yang baik maka akan terciptanya penyesuaian yang baik, namun jika da halangan penyakit atau cacat fisik akan melatarbelakangi terjadinya hambatan dalam proses penyesuaian diri yang dilakukan.
2. Perkembangan kematangan
Adanya pertumbuhan dan perkembangan terutama dalam faktor intelektual, moral, kematangan sosial, dan emosional dapat
17 Nadyah Pramestari, 2020, Pengaruh Adversity Quotient, Dukungan Sosial, Dan Religiusitas Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru Perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 21
mempengaruhi dari proses penyesuaian diri yang dilakukan. Setiap individu memiliki tahap perkembangan yang berbeda, sejalan dengan perkembangannya, setiap individu akan memilah dan meinggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran saja namun karena individu tersebut mengalami kematangan sosial.
3. Determinan Psikologis
Mental yang sehat adalah salah satu syarat terciptanya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwasannya timbulnya frustasi, cemas, cacat mental akan menyebabkan hambatan dalam proses penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong seseorang untuk memberikan respon yang baik dan selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan dari lingkungan sekitarnya. Aspek yang termasuk dalam keadaakn psikologis dianataranya pengalaman, konsep diri, pendidikan dan keyakinan diri.
4. Kondisi lingkungan sekitar
Kondisi lingkungan yang baik, damai, pengertian, aman serta penuh penerimaan merupakan lingkungan yang sangat mendorong lanarnya proses penyesuaian diri. Sebaliknya jika lingkungan tersebut sangat terasa asing, tidak nyaman, tidak aman, tidak damai juga maka individu tersebut akan mengalami gangguang dalam proses penyesuaian diri yang dilakukan. Keadaan lingkungan yang dimaksud adalah keluarga, rumah juga sekolah.
5. Tingkat religiusitas dan kebudayaan
Adat istiadat (budaya) serta agama juga mempengaruhi proses penyesuaian yang dilakukan seseorang. Religiusitas mempunyai nilai dan keyakinan khusus bagi pemeluknya yang dapat mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis dalam penyesuaian diri.
Religiusitas memberikan nila dan keyakinan tersendiri sehingga
18
individu dapat memiiki arti, tujuan dan stabilitas hifup untuk menghadapt tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hdiup.18
4. Proses Penyesuaian Diri
Proses penyesuaian diri menurut Schneiders (1984) melibatkan tiga unsur, yaitu:19
1. Motivasi
Respon dari penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan untuk memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon, apakah itu sehat, efisien, merusak, atau patologis ditentukan oleh kekuatan motivasi. Selain itu, hubungan individu dengan lingkungan juga dapat menentukan kualitas yang baik atau buruk
2. Sikap terhadap realitas
Sikap yang sehat terhadap realitas dan kontak yang baik terhadap realitas itu sangat diperlukan terhadap proses penyesuaian diri yang sehat. Sebaliknya, jika sikap yang kurang sehat terhadap realitas maka akan menganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas
3. Pola dasar penyesuaian diri
Pola dasar penyesuaian diri akan menjelma sebagai tolak ukur dalam penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang akan mengalami ketegangan dan frustasi apabila gagal dalam memenuhi kebutuhannya atau keinginannya. Sebaliknya, jika seseorang dapat membebaskan diri dari ketegangan dan frustasi serta dapat
18 Arif Darmawan Mahmud, 2017, op.cit, h. 19
19 Sri lestari, 2013, Meningkatkan Penyesuaian Diri Terhadap Program Keahlian Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Purbalingga Tahun Ajaran 2012/2013, ( Skripsi Jurusan Bimbingan Dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang) h.32-33
mewujudkan keinginannya, maka individu tersebut dapat melakukan penyesuaian diri yang baik pula.
5. Merantau 1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia III (KBBI III), merantau mempunyai arti berlayar atau mencari penghidupan di tanah rantau atau pergi ke negeri lain. Merantau adalah perginya individu dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman. Dalam budaya Minangkabau, pergi merantau hampir merupakan suatu kewajiban bagi pria yang telah dewasa untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan untuk menunaikan tanggung jawab keluarga, karena jika tidak dilakukan, maka ia akan dijadikan bahan cemoohan oleh masyarakat sekitarnya. 20
Merantau merupakan istilah Melayu, Indonesia dan Minangkabau yang sama arti dan pemakaiannya dengan akar kata “rantau”. Rantau adalah kata benda yang berarti dataran rendah atau daerah aliran sungai yang biasanya terletak dekat atau bagian dari daerah pesisir. Tetapi dari sudut sosiologi, istilah ini sedikitnya mengandung enam unsur pokok yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu lama atau tidak, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman biasanya dengan maksud kembali pulang dan merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.21
2. Sejarah Merantau
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa tradisi merantau ini didasari
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa tradisi merantau ini didasari