Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, oleh karena itu hasil penelitian akan dianalisis dan dijabarkan secara rinci sesuai dengan teori yang digunakan. Dalam penelitian ini, teori yang digunakanan adalah Teori Adaptasi Budaya oleh Kim Young Yun dan Teori Gegar Budaya oleh Oberg. Data yang disajikan merupakan hasil dari wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Hasil pembahasan akan dianalisis sesuai dengan penelitian agar menjawab rumusan masalah yang peneliti temukan.
A. Analisis pola penyesuaian diri oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, para perantau mempunyai cara tersendiri dalam beradaptasi di lingkungan baru nya, hal tersebut juga tidak lepas kepada kepribadian individu tersebut, ada yang cepat dalam beradaptasi dan ada juga yang lambat.
Namun dari beragam cara adaptasi yang dilakukan sesuai dengan versi diri mereka sendiri, peneliti melihat suatu benang lurus kesamaan cara yang dilakukan perantau, walau urutan atau kecepatannya berbeda, namun kesamaan ini membentuk suatu pola adaptasi yang dapat kita lihat dan cermati.
1. Mahasiswa perantau menjalin komunikasi interaksi kepada orang-orang yang memiliki kesamaan identitas budaya atau kesamaan nasib sebagai perantau dalam membantu adaptasi.
Alih-alih para perantau beradaptasi langsung menghadapi lingkungan atau orang yang berdomisili asli di sekitar tempat barunya, namun para perantau lebih memilih untuk berinteraksi kepada orang yang memiliki kesamaan identitas budaya atau daerah asal yang sama, dan atau kepada sesama perantau yang berbeda asal dengannya. Hal ini
membantu para perantau untuk lebih nyaman beradaptasi dengan lingkungan rantauannya, dikarenakan memiliki teman yang sama-sama berjuang di daerah rantaunya untuk beradaptasi. Hal ini diungkapkan oleh informan 2,5,6,7 dan 10.
Lima dari sepuluh informan ini, menjalin hubungan pertemanan yang dekat dengan orang yang memiliki kesamaan identitas budaya atau kepada orang yang memiliki kesamaan nasib sebagai perantau juga. Seperti yang diungkapkan oleh informan 6, untuk mengeksplorasi mereka sering berjalan bersama anak perantau juga untuk mengenali Jakarta. Dalam teori Adaptasi Budaya Kim Young Yun menjelaskan bahwasannya terdapat lima faktor dalam adaptasi yaitu, personal communication, host social communication, ethnic sosial communication, environment dan predisposition. Salah satu faktor tersebut berhubungan dengan pola ini, yaitu ethnic sosial communication, dimana ethnic social communication terjadi antara individu-individu dengan latar belakang budaya yang sama, contohnya individu pendatang berinteraksi dengan individu yang mempunyai asal dan budaya yang sama dengannya atau yang sudah dikenalnya. Walaupun beberapa pendatang tidak berasal dari asal dan budaya yang sama, namun dikarenakan adanya kesamaan nasib sebagai pendatang dan orang baru menimbulkan tindakan sosial yang membuat mereka saling berinteraksi dan beradaptasi.
Interaksi yang terjadi tidak hanya sesudah mereka sampai ke daerah perantauan namun sebelum mereka bermobilisasi, beberapa informan menjalin interaksi dengan orang-orang yang memiliki asal daerah yang sama namun sudah lebih dahulu merantau. Biasanya orang-orang tersebut merupakan keluarga, alumni yang berasal dari sekolah yang sama sebelumnya, atau kenalan yang tergabung dalam
76
himpunan mahasiswa primordial kampus atau daerah tersebut, seperti yang dilakukan informan 1,2,4,6,7,8,9 mereka mencari informasi bukan kepada orang yang berdomisili asli tempat rantauannya, namun kepada orang yang berasal dari daerah asalnya dan merantau ke daerah yang sama dengan mereka, seperti yang diungkapkan oleh informan 8, ia menanyakan saran kepada senior sekolah nya dulu yang sama-sama merantau dan berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, apakah harus kos atau masuk ke asrama UIN. Informasi yang didapatkan dapat membantu mereka dalam menentukan langkah untuk beradaptasi dan mempersiapkan diri sebelum berangkat ke daerah rantauan harus membawa apa dan mempersiapkan apa saja, dikarenakan akan jauh dari rumah dan orang tua untuk membantu para perantau.
2. Menjalin interaksi dengan penduduk asli atau mahasiswa yang berdomisili sekitar tempat perantauan.
Setelah berinteraksi dengan individu yang memiliki kesamaan domisili atau pun sama-sama merantau, para perantau baru mencoba melakukan interaksi dengan individu sekitar atau penduduk asli daerah perantauannya, atau dalam teori Kim Young Yun disebut host social communication, yaitu dimana terjadi antara individu pendatang dengan individu dari budaya setempat sehingga ada perbedaan budaya antara keduanya. Beberapa perantau ada yang berkomunikasi langsung kepada orang-orang domisili sekitar, ada juga secara tidak langsung melalui media komunikasi, dengan adanya perkembangan teknologi informasi, dapat memudahkan perantau dalam menjalin interaksi tanpa harus bertemu terlebih dahulu. Hal ini bisa dimanfaatkan menjadi langkah awal dalam beradaptasi serta mendapatkan teman nantinya di tempat
perantauan. Seperti yang dilakukan oleh informan 3,7, dan 8 mereka memanfaatkan media sosial untuk dapat mempunyai kenalan orang sekitar perantauannya.
Dalam prosesnya, seperti yang peneliti ungkapkan di awal, bahwasannya proses adaptasi yang dilakukan para perantau cukup baik, dan juga kecepatan dalam proses adaptasi tersebut kembali kepada masing-masing invdividunya. Dalam proses adaptasi ini juga tidak lepas dengan gegar budaya (cultural shock) yang dialami para perantau, walau dalam wawancara yang dilakukan menujukkan para perantau sangat baik dalam menyikapi gegar budaya yang di alami, dan beberapa perantau juga merasa tidak mengalami gegar budaya ketika beradaptasi di lingkungan barunya.
Dalam prosesnya juga, mahasiswa perantau di bantu dengan adanya lingkungan yang mendukung, seperti yang diungkapkan oleh informan 2,4,5,6,7, dan 10. Enam dari sepuluh informan mengungkapkan bahwasannya mereka terbantu dikarenakan tinggal di asrama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana lingkungan asrama UIN, ditinggali oleh mahasiswa-mahasiswa perantau yang juga berasal dari berbagai macam latar belakang suku dan budaya di Indonesia, bahkan asrama UIN juga memiliki mahasiswa internasional yang tinggal di dalam asrama. Dikarenakan lingkungan asrama yang baik dan berisikan para perantau juga, membuat para perantau memiliki sikap integrasi dan toleransi yang tinggi terhadap sesamanya. Hal ini membantu para perantau dalam menghadapi adanya perbedaan lingkungan, kebiasaan, aturan yang ada di tempat perantauannya, di asrama tersebut juga mempunyai pembimbing per mahasiswanya yang sudah lebih lama tinggal disana, para pembimbing tidak hanya membantu dalam kegiatan asrama, namun juga menjadi orang tua atau saudara pengganti para perantau dalam
78
memecahkan masalah yang dihadapi ketika beradaptasi di kampus maupun di luar kampus. Hal ini berhubungan dengan lima faktor adaptasi budaya oleh Kim Young Yun yaitu environment, dimana dikatakan dalam faktor tersebut terdapat proses penerimaan tuan rumah, tekanan akan adanya penyesuaian dan kekuatan kelompok etnis.
Dalam wawancara yang dilakukan, penerimaan tuan rumah berjalan dengan baik, disampaikan dengan pernyataan para informan pendukung, yang terbuka menerima adanya pendatang dan tidak masalah untuk beradaptasi dan berinteraksi. Dalam tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah, teori Kim menjelaskan merupakan kombinasi dari tekanan yang sadar maupun tidak sadar terhadap pendatang untuk mengadopsi praktek-praktek budaya setempat, dan toleransi tuan rumah dalam menghormati praktek-praktek budaya yang berbeda dari budaya mereka. Para perantau sadar akan hal tersebut, dalam proses adaptasi yang dilakukan, para perantau menyesuaikan untuk mengikuti peranturan-peraturan daerah rantaunya, seperti yang diungkapkan oleh informan 4, yang mengatakan jika ada perbedaan kebiasaan atau budaya ia menyikapinya dengan mengikuti aturan setempat atau tempat ia merantau, karena dia harus menyesuaikan dengan masyarakat sekitar.
Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan bahasa dan kebiasaan, beberapa informan mengatakan dalam mengatasi perbedaan bahasa, dengan menyesuaikan bagaimana lawan bicaranya, beberapa informan juga belajar dan mengikuti gaya bicara penduduk setempat agar terlihat akrab dan nyaman dalam berinteraksi. informan pendukung juga mengatakan bahwasannya para perantau tidak kesulitan berkomunikasi, hanya saja kadang masih membawa logat atau beberapa kata asal daerahnya yang kurang dipahami.
Dalam proses adaptasi juga beberapa informan pendukung yang merupakan mahasiswa dan masyarakat asal sekitar mengamati bahwa para mahasiswa rantau justru terbuka dan beradaptasi dengan baik dengan mereka, seperti yang diungkapkan oleh informan pendukung 1, dimana para perantau tersebut lebih terbuka karena ingin mengeksplor tempat rantaunya, rasa ingin tau nya lebih besar, informan pendukung 4 juga mengatakannya bahwasannya para mahasiswa rantau yang ia kenal juga baik-baik saja, tergantung orangnya. Jika para perantau baik, mereka juga akan baik kepada mereka (para perantau).
Selama masa pandemi Covid-19 saat ini, sangat menghambat proses adaptasi para perantau baik itu adaptasi kepada lingkungan perantauan, masyarakat sekitar serta proses pembelajaran di kampus.
Situasi pandemi Covid-19 membuat beberapa perantau memilih untuk pulang ke kampung dikarenakan proses pembelajaran yang berubah menjadi daring. Disini para perantau kembali menyesuaikan diri dengan perubahan gaya belajar. Komunikasi dengan teman juga terhambat. Biasanya dalam perkuliahan sering kali dihadapkan dengan tugas kelompok, yang dimana kita harus berbaur, bertemu, berdiskusi, mempresentasikan bersama hasil tugas yang didapatkan. Namun dikarenakan situasi pandemi Covid-19, para perantau memilih untuk pulang ke rumah dikarenakan masa pandemi yang panjang. Disana mereka sedikit sulit untuk beradaptasi kembali untuk mengikuti pembelajaran dikarenakan kondisi geografis, sarana dan prasarana yang kurang memadai, seperti kesulitan akan sinyal, mencari referensi dalam perkuliahan, dan lain sebagainya. Peneliti juga melakukan observasi selama dua minggu mengamati sekitar kampus, dan sangat sepi sehingga tidak mendapatkan hasil apapun, dikarenakan kegiatan belajar mengajar menjadi daring, dan banyak mahasiswa rantau yang pulang kampung. Ada beberapa mahasiswa saja yang masih tinggal di sekitar kampus dikarenakan adanya kegiatan organisasi, dan dalam
80
kesehariannya sedikit berinteraksi dengan sekitar, dan karena pandemi juga menyebabkan mereka lebih sering di kosan. Namun beberapa mahasiswa rantau ketika di wawancarai sudah ada yang kembali ke Jakarta, bukan karena adanya kegiatan organisasi, pratikum, magang yang mengharuskan mereka untuk datang ke kampus namun dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana ketika melakukan pembelajaran jarak jauh di rumah atau di tempat asal. Seperti yang kita ketahui bahwasannya pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari dua tahun, hal ini membuat beberapa aspek dan tatanan sosial yang banyak berubah. Hampir seluruh mahasiswa rantau pada awal masa pandemi Covid-19 pulang kedaerah asalnya dikarenakan wabah virus yang masih baru dan asing, serta anjuran kampus untuk meminimalisir korban wabah virus ini. Bergantinya metode pembelajaran menjadi daring (online) juga membutuhkan penyesuaian dan adaptasi kembali agar bisa memulai perkuliahan yang efektif.
Namun dikarenakan perbedaan geografis di Indonesia yang sangat beragam, menimbulkan masalah-masalah baru dalam adaptasi perkuliahan secara daring (online), salah satunya adalah permasalahan sinyal yang merupakan unsur utama yang dibutuhkan dalam perkuliahan secara daring (online). Para mahasiswa rantau tidak semua berasal dari daerah yang memiliki sarana prasarana yang memadai, banyak mahasiswa rantau yang bertempat tinggal di pedalaman yang minim dalam sarana prasarana jaringan dan teknologi. Untuk itu beberapa mahasiswa perantau ketika semester baru lebih memilih untuk kembali merantau ke Jakarta dikarenakan sarana prasarana yang memadai untuk mengikuti perkuliahan secara daring (online). Namun mereka tetap berhati-hati, menjaga jarak dan meminimalisir interaksi secara langsung selama di Jakarta, dikarenakan pandemi Covid-19 yang terus ada bahkan bermutasi menjadi varian-varian virus baru yang dapat membahayakan tubuh.
B. Analisis gegar budaya oleh mahasiswa rantau luar Pulau Jawa Di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam penelitian ini, penulis mengkaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Oberg, yang menggambarkan proses gegar budaya melalu fase-fase. Fase-fase adaptasi budaya ini digambarkan dengan U-Curve Hypothesis yang secara umum terdapat empat fase yaitu, fase kedatangan (honeymoon), fase krisis atau stress (Frustation), fase penyesuaian (Readjustment), fase keputusan (Resolution).
Hasil wawancara menunjukkan bahwasannya para perantau tidak mengalami gegar budaya yang serius yang mengakibatkan stress yang tinggi, beberapa informan memang merasakan gegar budaya namun hanya sesaat dan dapat menerima perbedaan tersebut, dan beberapa informan lainnya tidak merasakan gegar budaya. Berikut penjabaran analisis gegar budaya para perantau yang melalui beberapa fase
1. Fase Kedatangan
Pada fase kedatangan ini merupakan masa dimana awal perantau baru memasuki lingkungan barunya. Dalam fase ini para perantau memiliki rasa senang, semanagat, keingintahuan yang tinggi terhadap lingkungan barunya. Mereka masih membawa ekspektasiāekspektasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya, yang mereka peroleh baik dari cerita-cerita yang mereka pernah dengar, atapun tayangan yang pernah mereka lihat, Seperti yang dirasakan informan 4,5, 6 dan 8 dimana mereka merasa senang dan takjub melihat Jakarta yang memiliki gedung yang tinggi. Pada masa ini para informan sudah berada di tanah perantauannya, mereka sudah merasakan perbedaan yang ada dibandingkan tempat asalnya, baik itu cuaca, sarana dan fasilitas publik, serta bahasa yang digunakan. Namun para perantau masih antusias karena ini
82
merupakan pengalaman pertama mereka merantau ke ibu kota.
Semua informan dalam penelitian ini memang memiliki niat untuk merantau dari tempat asalnya, hanya saja tujuan mereka yang berbeda-beda, ada yang memang tujuannya di Jakarta dan kota lainnya. Untuk itu ketika para perantau dinyatakan lulus berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mereka sangat antusias untuk memulai hal yang baru dalam hidup mereka.
Perasaan senang, deg-deg an serta penasaran meliputi para perantau. Para perantau masih menyimpan ekspektasi tinggi dan berbagai rencana untuk dilakukan di tanah rantauannya.
2. Fase Krisis
Dalam fase krisis ini atau bisa disebut dengan fase stress, dimana para perantau mulai menyadari bahwasannya beberapa ekspektasi mereka tidak sesuai dengan realita yang mereka rasakan, lalu muncul juga beberapa masalah dan kekhawatiran kepada para perantau setelah tinggal di lingkungan barunya. Dalam hal ini, gegar budaya dapat terjadi namun yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan kebudayaan, bisa dalam berbagai aspek seperti lingkungan, cuaca, gaya hidup, pertemanan dan lain-lain. Hasil wawancara menunjukkan, para mahasiswa rantau tidak mengalami gegar budaya yang serius, beberapa gegar budaya yang mereka rasakan, masih bisa mereka terima dan hadapi.
Pada informan 1, ia tidak merasakan culture shock yang begitu serius, dia hanya mengambil pelajaran atas perbedaan tersebut dan lebih menguatkan diri dengan kondisi yang ada
Pada informan 2, ia mengaku tidak merasakan gegar budaya, namun dalam proses wawancara ia mengatakan bahwa sering terjadi kesalahpahaman bahasa, dan dalam adaptasi
bahasa itu ia merasa sangat sulit dan membutuhkan waktu setahun untuk bisa beradaptasi dalam berinteraksi.
Pada informan 3, ia merasakan culture shock terutama dalam interaksi, dimana budaya Jakarta yang mempunyai bahasa slang atau yang kita kenal dengan bahasa gaul yang sulit dimengerti, serta intonasi dalam berbicara yang sering menimbulkan kesalahpahaman.
Pada informan 4, ia mengatakan bahwa ia tidak merasakan culture shock, namun dalam wawancara yang telah dilakukan, informan 4 merasakan perbedaan terhadap peraturan social-budaya, tata krama antar daerah asal dan rantauannya
Pada informan 5, tidak begitu merasakan gegar budaya, hanya saja keterkejutan terhadap penggunaan bahasa dengan lawan bicara, serta sopan santun terhadap berbicara, namun ia mengatakan bahwasannya beda daerah juga beda budaya dan kebiasaannya, jadi ia hanya memaklumi hal tersebut.
Pada informan 6, tidak merasakan gegar budaya, hanya merasakan adanya kesalahpahaman bahasa, dikarenakan logat atau dialek bahasa daerah yang masih kental, ia juga merasakan adanya perbedaan lingkungan secara geografis.
Pada informan 7, tidak begitu merasakan gegar budaya, ia hanya merasakan perbedaan geografis serta lingkungan dari tempat asalnya
Pada informan 8, tidak merasakan gegar budaya, dikarenakan ia merasa terbantu selama merantau, sehingga tekanan-tekanan yang berasal dari perbedaan lingkungan, budaya dan kebiasaan dapat ia atasi dengan baik, melalui saran dari pengalaman orang lain juga bantuan secara fisik dan psikis.
84
Pada informan 9, juga tidak merasakan gegar budaya, dikarenakan dalam berbahasa ia masih bisa beradaptasi dengan baik, serta dalam berkenalan dengan orang lain pun ia lakukan dengan baik dengan memulai interaksi kepada orang lain, hanya perbedaan cuaca, sarana dan prasarana yang ia rasakan.
Pada informan 10, ia mengaku tidak merasakan gegar budaya, namun dalam wawancara ia mendapati kesulitan dalam berkomunikasi dan sering kali dihadapkan dengan kesalahpahaman Bahasa. Ini disebabkan karena intonasi dan pembawaan bicara orang Jakarta yang berbeda. Sisanya ia hanya merasakan perbedaan lingkungan Jakarta yang terlalu padat dibandingkan tempart asalnya.
Dalam hal ini, gegar budaya dirasakan para mahasiswa rantau dipengaruhi dengan kepribadian individu tersebut, hampir semua perantau mengalami fase kritis yang sama dalam komunikasi terutama bahasa dan pembawaan dalam bicara.
Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memilki medan wilayah yang berbeda, perbedaan geografis setiap daerah membentuk suatu kebiasaan dan ciri khas masyarakatnya, seperti intonasi dalam berbicara, keras dan pelan semuanya tidak hanya berasal dari diri orang tersebut namun juga dipengaruhi dengan kondisi geografis tempat tinggal. Tata krama dan sopan santun juga tidak hanya berkaitan dengan sikap, namun dalam berbicara, penggunaan bahasa masuk kedalam hal tersebut. Beberapa mahasiswa perantau, acap kali merasakan kesalahpahaman interaksi, disebabkan pemilihan kata dalam berbicara juga pembawaan orang tersebut dalam berbicara. Ada beberapa kata yang di daerah tersebut di anggap biasa aja, namun bagi para perantau hal itu di anggap tidak sopan dan tidak baik untuk digunakan.
Namun dikarenakan para perantau harus berbaur dengan lingkungannya, membuat mereka harus memaklumi segala hal yang terjadi disekitarnya. Para mahasiswa rantau sebagian besar mengikuti dan memaklumi hal tersebut, namun ada juga yang tidak mengikuti dan membuat suatu kebiasaan baru dalam berkomunikasi, seperti yang diungkapkan informan 7, bahwasannya ia tidak menggunakan panggilan Jakarta seperti lo, gue namun menggunakan ente dalam interaksinya.
Hal ini juga di ungkapkan oleh para informan pendukung yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dengan para mahasiswa rantau, dikarenakan perbedaan bahasa serta logat daerah yang sering kali terjadi kesalahpahaman serta ketidaksampaian maksud tujuan dari apa yang dibicarakan.
3. Fase Penyesuaian
Dalam fase ini merupakan tahap penyesuaian setelah para perantau merasakan fase krisis stress sebelumnya dengan gegar budaya yang dialaminya. Dalam fase ini perantau akan belajar dan mencari cara untu mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini kembali dengan pribadi tiap individunya, sebagian informan mahasiswa rantau memilih menerima saja, namun beberapa mahasiswa ada yang berpegang dengan caranya sendiri, tidak mengikuti perubahan yang ada.
Dalam proses penyesuaian ini dilihat dari para mahasiswa rantau yang mulai belajar dan memahami perbedaan seperti informan 1 yang lebih menguatkan diri dan menerima perbedaan yang ada.
Informan 2 dan 4 yang membutuhkan waktu dalam penyesuian terlebih dalam berkomunikasi, informan 2 membutuhkan waktu setahun agar bisa terbiasa dengan bahasa
86
yang digunakan di Jakarta, sedangkan informan 4 hanya perlu beberapa hari dalam penyesuaian bahasanya. Hal ini terlihat bahwasannya penyesuaian yang terjadi tersebut kembali ke kemampuan individunya masing-masing ada yang cepat, bertahap dan lambat.
Hal tersebut juga di dukung dengan pengamatan informan pendukung 1 yang mengatakan bahwasannya baik mahasiswa rantau atau domilisi setempat ketika beradaptasi itu sama saja, yang membedakan hanya individu dan karakter orang tersebut. Informan 2 juga mengatakan memang semua kembali ke orangnya ada yang terbuka dan tertutup, namun lama kelamaan jika sudah saling mengenal ia juga akan terbuka. Maka dari itu dibutuhkan waktu dalam penyesuaiannya. Hal ini persis dengan yang dialami oleh informan 10 sebagai mahasiswa rantau, ia sering merasakan kesalahpahaman bahasa yang membuat ia sakit hati, hal itu berlarut-larut ia rasakan dan fikirkan, dan ia juga termasuk orang yang tertutup. Namun dengan seiring berjalannya waktu ia sudah terbiasa dengan hal itu dan sudah tidak terfikirkan lagi jika mengalami hal yang sama.
4. Fase Keputusan
Dalam fase Keputusan (Resolution) ini, para perantau akan memutuskan untuk bagaimana selanjutnya keberlangsungan hidupnya setelah melewati fase sebelumnya, dia akan memilih sikap dan cara yang gunakan selama tinggal di lingkungan rantauannya. Dalam hal ini perantau akan menetapkan identitas dirinya seperti apa yang dikenal oleh lingkungannya, identitas tersebut terbentuk setelah ia melalukan berbagai penyesuaian diri dan memutuskan untuk
bersikap seperti apa. Disini para perantau sudah jauh lebih baik dan bisa mengatasi berbagai perbedaan yang dirasakan sebelumnya.
Seperti yang diungkapkan oleh informan 1, 3, 5, 6, dan 7 yang mengikuti dan menyesuaikan situasi yang ada, mereka akan memutuskan apa feedback yang diberikan setelah mereka melihat situasi terjadi, baik itu dalam kebiasaan sikap dan komunikasi dalam berbicara.
Sedangkan informan 4, mengaku bahwa ia mengikuti bagaimana peraturan yang ada.
Untuk informan 7, ia tetap menjadi dirinya, dengan berbagai perbedaan dan keunikan yang ada ia tetap
Untuk informan 7, ia tetap menjadi dirinya, dengan berbagai perbedaan dan keunikan yang ada ia tetap