• Tidak ada hasil yang ditemukan

Heteronormativitas dalam Novel Lelaki Terindah Karya Andrei Aksana

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 164-169)

DALAM NOVEL LELAKI TERI NDAH KARYA ANDREI AKSANA

5. Heteronormativitas dalam Novel Lelaki Terindah Karya Andrei Aksana

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa novel Lelaki Terindah mengisahkan cerita cinta sepasang lelaki, Rafky dan Valent, serta tokoh Aku. Rafky adalah sosok lelaki tampan, tinggi, atletis, pintar, dan sukses dalam karier. Valent lelaki rupawan, tampan sekaligus cantik, gagah sekaligus anggun, keselarasan antara laki-laki dan perempuan. I a juga telah mapan dan gemilang dalam karier. “Valent adalah lelaki terindah yang pernah ditemuinya. Kecantikan seorang perempuan terperangkap dalam tubuh seorang lelaki Valent” (2010: 83).

Keduanya adalah lelaki idaman; calon istri dan menantu idaman. Namun, keduanya kemudian terlibat hubungan cinta. Tentu saja hubungan tersebut ditentang oleh orang sekitarnya, tetapi ada pula yang memberi dukungan terhadap hubungan mereka, atau paling tidak, tidak menyalahkan mereka.

Hal seperti ini merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat I ndonesia. Masyarakat yang menganut nilai heteronormativitas tentu saja menentang hubungan seperti ini. Heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya orientasi seksual yang sah, baik, mulia, dan normal serta normatif. Padahal, Saskia E. Wieringa mengatakan bahwa sesungguhnya seksualitas normatif maupun seksualitas non-normatif adalah hasil sebuah konstruksi sosial (dalam Sulistyowati, 2008: xi).

Di dalam novel diceritakan bahwa Rafky dan Valent mendapat banyak tentangan dari orang di sekitarnya, belum lagi ditambah dengan konflik dalam diri mereka yang menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan sebuah kesalahan yang menjijikkan. Namun, di sisi lain, mereka juga meyakinkan diri bahwa apa yang mereka lakukan tidak salah. Pertentangan dalam diri mereka inilah yang menambah rumit konflik hubungan mereka.

“Belum pernah Rafky merasa begitu jijik dengan dirinya sendiri. Bercinta dengan sesama lelaki! Gila! Gila sekali! Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikirannya!” (2010: 87).

“Aku rasa semua ini salah… yang terjadi di antara kita. Hubungan kita….” Rafky meracau tak jelas (2010: 113).

Mengapa aku terjerumus dalam hubungan cinta sejenis seperti ini? Aku lelaki normal! Yang masih terangsang melihat perempuan! (2010: 115).

“Kau tidak boleh melanjutkan kisah yang keliru ini! Tidak ada yang bisa kau harapkan dari cinta yang menyesatkan seperti ini!” (2010: 179).

“Berhentilah menganggap cinta kita ini salah!” (2010: 185).

Tokoh Aku sebagai pencerita dalam novel ini—yang juga homoseks—juga menentang homoseksual. Dia menganggap bahwa hal ini adalah sesuatu yang terlarang. Dia juga mencoba menepis alam bawah sadarnya bahwa dia bukan homoseks.

Tidak. Aku tidak akan menulis kisah cinta seperti ini. Tidak akan pernah. Cinta yang terlarang, seperti virus yang tidak pernah bisa dibasmi. Barangkali karena dosis pengobatannya tidak tepat. Terlalu banyak, atau terlalu sedikit malah membuat kebal. Berjangkit di mana-mana (2010: 16).

“Jangan coba-coba menggodaku! Aku tidak sakit! Aku tidak tidur dengan sesama lelaki!” (2010: 133).

Apa yang dialami oleh Rafky dan Valent dapat dikategorikan sebagai kekerasan emosional. Setelah mengaku atau ketahuan sebagai homoseks, mereka mendapat penolakan dari keluarga dan orang di sekitarnya. Selain kekerasan emosional seperti ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, penolakan, pembatasan pergaulan, dan pengusiran; kaum minoritas ini juga kadang mendapat kekerasan fisik bahkan seksual, serta citra negatif dari masyarakat, seperti yang dialami oleh Rafky. “’Seks dan cinta adalah dua hal yang berbeda!’ hardik Rafky berang. ‘Dan aku bercinta dengan Valent!’ Sekali lagi Rafky menegaskan kalimatnya, ‘Dengan cinta, bukan mengumbar nafsu!’” (2010: 165).

Selain kekerasan-kekerasan yang dialami tersebut, mereka juga mendapat diskriminasi dalam memilih pasangan. Rafky dan Valent tidak mendapatkan hak mereka untuk memilih pasangan. Orang tua mereka memaksa Rafky dan Valent untuk menikah dengan perempuan yang tidak mereka inginkan untuk menjadi pasangan hidup mereka. Bagi mereka, cinta dan memilih pasangan adalah hak setiap manusia tanpa kecuali. “Cinta… bukankah setiap orang berhak jatuh cinta? Seberapa pun nistanya, seberapa pun hinanya….” (2010: 17). Kinan, kekasih Valent juga mendukung hubungan Rafky dan Valent. “Siapa bilang cinta lelaki dengan lelaki tidak membahagiakan?” (2010: 189). Konflik batin dalam diri Rafky semakin memuncak karena dia merasa terkungkung oleh adanya nilai heteronormativitas dalam masyarakat. “’Apa cinta hanya milik laki-laki dan perempuan?’ seru Rafky geram. ‘Seharusnya cinta membebaskan semua batas!’” (2010: 193).

Semua yang dialami oleh Rafky dan Valent merupakan gambaran kehidupan kaum minoritas seksual di Indonesia. Mereka banyak mengalami kekerasan, diskriminasi, dan stigmatisasi dari masyarakat; dianggap kotor, immoral, non-normatif, dan tak layak berada di tengah masyarakat. Sebutan yang ditujukan kepada mereka, seperti “sakit/ sekong”, “belok”, “tidak normal”, “pendosa”, “banci”, “gadun”, “ binan” cukup

menyakitkan bagi mereka. Salah seorang gay30 pernah marah kepada saya ketika saya

bercanda dengan menyebutnya “Emang sakit, lo!” ketika ia menunjukkan kepada saya dan teman-teman ada seorang laki-laki tampan yang lewat di samping kami. Dia sangat tidak suka dianggap sebagai orang sakit karena homoseksual memang sudah ditetapkan bukan sebagai gangguan jiwa. Jadi, wajar jika dia tersinggung dianggap sebagai orang

30

sakit. Atau seorang responden31 yang sangat membenci sebutan “banci”, baik ditujukan kepadanya, maupun kepada orang lain.

Masyarakat masih menganggap kaum minoritas tersebut tidak normal, padahal

American Psychiatric Association (APA) telah menghapus kategori homoseksual sebagai

gangguan jiwa pada 1973. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga secara resmi mengeluarkan homoseksual dari kategori penyakit dalam daftar The I nternational

Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems revisi ke-10 (I CD-10)

pada 17 Mei 1990 sehingga 17 Mei dijadikan I nternational Day Against Homophobia (I DAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual. Di I ndonesia, orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, dan biseksual) juga bukan termasuk gangguan jiwa. Hal ini tercantum dalam poin F66 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis I I (1983) dan I I I (1993) Depkes RI yang merupakan pedoman profesi kesehatan jiwa dan akademisi di I ndonesia.

Diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka juga mendapat legitimasi dari para pemangku kepentingan. Hal ini terjadi karena perbedaan orientasi seksual mereka dianggap akan menyebabkan masalah ketertiban umum sehingga perlu diberantas. Sebagai contoh, belakangan terjadi kasus pembubaran diskusi buku Allah, Liberty, and

Love karya Irshad Manji di Komunitas Salihara, Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan

Sosial, Yogyakarta, serta pembatalan diskusi di Kampus UGM. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa buku tersebut membawa isu homoseksualitas karena ditulis oleh seorang lesbian. Aparat dan beberapa ormas akhirnya membubarkan diskusi tersebut. Hal ini sangat disesalkan berbagai pihak karena aparat cenderung tunduk kepada ormas. Seharusnya jika tidak setuju dengan buku tersebut, berdialoglah, bukan malah menutup diskusi karena kita tahu I ndonesia merupakan negara yang diklaim menjunjung kebebasan berpikir dan menghargai pemikiran.

Stigmatisasi terhadap kaum minoritas seksual juga terjadi ketika mereka melakukan tindak kriminal. Hal ini biasanya dilakukan oleh media massa. Dalam pemberitaan kriminalitas tersebut, yang menjadi sorotan utama bukan lagi tindak kriminal yang mereka lakukan, melainkan orientasi seksual mereka seolah-olah apa yang mereka lakukan berkaitan dengan orientasi seksualnya. Padahal, orang dengan orientasi seksual apa pun berpotensi melakukan tindak kriminal. Hal ini membuat masyarakat berpandangan bahwa kaum tersebut sering melakukan tindak kriminal. Pemberitaan tersebut juga menjadikan seksualitas seseorang—yang seharusnya menjadi privasi— berubah menjadi santapan publik.

Rafky, Valent, dan kaum minoritas seksual lainnya menjadi korban hegemoni. Masyarakat yang didukung oleh penguasa berpegang teguh pada nilai heteronormativitas. Seseorang yang berjenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) harus menyesuaikan diri dengan konstruksi sosial yang berlaku dan harus menyesuaikan diri dengan gender yang dinamis dalam masyarakat supaya tetap diakui sebagai laki-laki atau perempuan tulen. Selain itu, laki-laki dan perempuan diberi sifat saling melengkapi dan memiliki peran alamiah masing-masing dalam kehidupan. Nilai heteronormativitas yang terpatri dalam benak masyarakat Indonesia digambarkan pula dalam novel Lelaki Terindah, di antaranya dalam kutipan berikut ini.

Dinding yang telah dibangun di atas bongkahan norma dan nilai yang membatu. Di sanalah semua yang dianggap kekeliruan telah dibekukan menjadi fosil. Menunggu zaman berganti, hingga ditemukan lagi sejarah yang memaparkan kebenaran. (2010: 135).

Namun mengaku atau tidak mengaku, toh akhirnya tetap saja dihukum. Salah atau tidak bersalah. Begitu kan yang selalu terjadi? Kita hanyalah tumbal bagi orang yang lebih berkuasa. (2010: 144).

31

“Tapi,” bisik Valent pedih, “bukan cuma Mama yang menghalangi kita bersatu. Masyarakat, norma, dan hukum juga. Padahal apa salah kita? Kita tidak minta dilahirkan begini, bukan?” (2010: 194).

Menurut Vivi Widyawati dari Komite Nasional Perempuan Mahardhika,

homoseksual adalah gejala dan realitas yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sejak zaman dahulu, sehingga tidak dapat ditolak. “Penolakan terhadap homoseksual akan

berdampak pada diskriminasi karena menghambat kebebasan individu untuk

mengekspresikan diri. Berbicara tentang homoseksual harus dalam kerangka hak, bukan moral.” Oleh karena itu, menurut Vivi, sudah saatnya dilakukan upaya untuk menghilangkan homophobia dalam masyarakat, seperti membentuk organisasi atau kampanye untuk menggalang kekuatan guna merebut kembali kebebasan kaum tersebut.

6. Simpulan

Seperti digambarkan di dalam novel Lelaki Terindah, mayoritas masyarakat I ndonesia adalah para penganut nilai heteronormativitas yang tidak menerima homoseksual. Meskipun oleh WHO dan institusi lain homoseksual telah dihapus dari kategori gangguan jiwa, masyarakat masih melabeli mereka sebagai “orang sakit” dan semacamnya. Kekerasan seperti ini masih sering mereka terima di samping kekerasan fisik, seksual, dan emosional. Mereka juga masih harus menerima penolakan dan diskriminasi oleh masyarakat seperti diskriminasi untuk mendapat pekerjaan, akses terhadap keadilan, dan dalam memilih pasangan. Homoseksualitas adalah realita dalam masyarakat yang tidak dapat dimungkiri karena penolakan akan menyebabkan diskriminasi, kekerasan, dan berbagai ketidakadilan lainnya.

Cerita dalam novel ini mengandung bias heteronormativitas. Rafky yang sangat maskulin dengan perawakan atletis dan wajah tampan. Valent yang memesona karena keindahan dalam dirinya merupakan paduan keselarasan sosok lelaki rupawan, tampan sekaligus cantik, gagah sekaligus cantik. Rafky yang ingin selalu melindungi dan Valent

yang merasa nyaman terlindungi oleh Rafky merupakan adaptasi konsep

heteroseksualitas yang dipindahkan pada konteks homoseksualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Aksana, Andrei. 2010. Lelaki Terindah (cetakan ke-5). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ardhanary I nstitute. 2012. “Heteronormativitas Kontruksi kekuasaan yang membisukan seksualitas Perempuan & LGBT,” dalam http:/ / www.ardhanaryinstitute.org/ , 13 Agustus, diakses 26 September 2012.

Arianita, Annisa. 2012. “Heteronormativitas dalam Novel Gerhana Kembar sebagai Sastra Populer Karya Clara Ng: Tinjauan Sosiologi Sastra,” Skripsi. Depok: Fakultas I lmu Pengetahuan Budaya Universitas I ndonesia.

Ariyanto dan Rido Triawan. 2008. Jadi, Kau Tak Merasa Bersalah!?: Studi Kasus

Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBTI . Jakarta: Arus Pelangi dan Yayasan

Tifa.

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Demartoto, Argyo. (tak bertahun). “Seks, Gender, dan Seksualitas Lesbian.” (makalah lepas Jurusan Sosiologi, FI SI P UNS).

I chall, Fais. 2011. “Heteronormativitas sebagai Bentuk Ketidaksetaraan Gender,” dalam http:/ / komunitaslaki-lakibaruaceh.blogspot.com/ , diakses 26 September 2012.

Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra; Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.

Komnas Perempuan. (tak bertahun). “Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)–Jalan Lain Memahami Hak Minoritas.” (makalah lepas Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan RI).

Laning, Vina Dwi. 2009. Sosiologi: untuk SMA/ MA Kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar I lmu Sastra (diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra I ndonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing.

Mahayana, Maman S. 2008. “Novel Populer dan Novel Serius,” dalam http:/ / mahayana- mahadewa.com/ , 26 Desember, diakses 16 September 2012.

Perempuan Mahardika. 2010. “Heteronormativitas, Konstruksi atau Takdir?” dalam http:/ / perempuanmahardhika.blogspot.com/ , diakses 26 September 2012. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sulistyowati, Endah. 2008. Hegemoni Heteronormativitas: Membongkar Seksualitas

Perempuan yang Terbungkam. Jakarta: Kartini Network.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan I lmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra I ndonesia. Jakarta: Grasindo. Yusuf, A. Muri. 2007. Metodologi Penelitian. Padang: UNP Press.

Ziz. 2012. “Gay I tu Normal dan Wajar,” dalam http:/ / igama.or.id/ , diakses 26 September 2012.

http:/ / andreiaksana.blogdrive.com/ http:/ / www.goodreads.com/

SASTRA DAN DI NAMI KA SOSI AL: KODRAT DAN

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 164-169)