• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUNGKAP PERMASALAHAN MASYARAKAT SASAK

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 86-95)

Muhammad Shubhi, S.S

Kantor Bahasa Provinsi NTB shubhi.muhammad@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan dua buah karya sastra Sasak yang lahir pada zaman yang berbeda guna mengungkap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Sasak. Yang pertama dari dua buah karya Sasak itu adalah nyanyian rakyat Sasak yang mengandung tema berangkat mengaji. Sebagai nyanyian rakyat, karya lisan ini tidak diketahui siapa penciptanya. Nyanyian ini dapat ditemukan di sebagian besar wilayah pulau Lombok. Sedangkan nyanyian yang kedua adalah nyanyian yang diciptakan belakangan ini yang berjudul Lampak Ngaji. Kedua karya sastra ini memiliki tema yang sama, tetapi mengungkap nuansa yang berbeda. Pulau Lombok sebagai tempat tinggalnya suku Sasak dikenal dengan julukan Pulau Seribu Masjid. Nuansa tersebut terlihat juga dalam karya sastra lisan Sasak. Sastra sebagai bentuk ekspresi tentu tercipta tidak dengan sebuah kekosongan. Kedua karya sastra ini mengekspresikan dua hal yang berbeda walaupun memiliki tema yang sama. Terlihat ada sebuah perubahan yang terjadi. Perubahan yang menjadi masalah bagi masyarakat Sasak pada khususnya dan bangsa I ndonesia pada umumnya. Dari karya yang pertama terlihat sebuah keharmonisan kehidupan, sebuah keteraturan. Kakak dan adik dengan sebuah kesadaran sama-sama menjalani rutinitas yang luhur, adik pergi mengaji sedangkan kakak pergi membuka kitab. Kegiatan tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa ada sebuah paksaan atau kekerasan. Suasana kehidupan yang belum banyak bersinggungan dengan pengaruh luar. Karakter luhur masyarakat Sasak masih melekat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang berbeda dan berlawanan terlihat dari karya yang kedua yang tercipta belakangan ini ketika perkembangan media dengan pengaruh budaya luar yang sangat dominan sudah tidak dapat lagi terbendung. Aktifitas seperti mengaji tidak lagi berjalan dengan sebuah kesadaran, tetapi harus disertai dengan paksaan atau bahkan dengan kekerasan. Tentu semua itu tidak hilang begitu saja, tetapi bukan tidak mungkin semua itu akan menjadi hilang jika sedikit demi sedikit sudah mulai terkikis. I nilah yang menjadi masalah masyarakat Sasak. Karakter luhur yang sudah lama melekat semakin lama semakin terkikis karena lemahnya ketahanan budaya ketika berhadapan dengan pengaruh perkembangan media atau pengaruh budaya luar.

Kata kunci: Perbandingan, Sastra Sasak, Permasalahan Masyarakat

PENDAHULUAN

Pulau Lombok merupakan pulau yang dihuni oleh suku Sasak sebagai suku asli dan sekaligus sebagai suku mayoritas. Pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid. I stilah ini lahir karena banyaknya masjid di pulau Lombok. Masjid dapat dijumpai di setiap kampung, bahkan tidak sedikit kampung yang memiliki lebih dari satu masjid. Belum lagi ditambah dengan jumlah musala yang dapat berjumlah lebih dari dua di setiap kampung.

Selain digunakan sebagai tempat salat, masjid dan musala dijadikan juga sebagai tempat belajar agama dan mengaji terutama pada waktu magrib. Magrib menjadi waktu yang sakral bagi anak-anak, karena waktu tersebut di samping sebagai waktu salat, menjadi waktu mereka untuk pergi mengaji. Demikian juga bagi yang lain, waktu magrib sebagai lonceng penutup aktifitas seharian. Dapat dibayangkan, dengan banyaknya

masjid dan musala disertai dengan aktifitas yang dijalankan ditempat tersebut, waktu tersebut menjadi waktu yang sangat sibuk dengan aktifitas salat, mengaji, dan belajar agama. Tentu kondisi ini terjadi juga di tempat lain.

Nuansa yang disebutkan di atas terlihat juga dalam sebuah nyanyian rakyat yang dimiliki oleh masyarakat Sasak. Hampir di seluruh wilayah pulau Lombok nyanyian ini dapat ditemukan. Nyanyian yang berisi sebuah suasana yang memperlihatkan bagaimana adik dan kakak menjalankan aktifitas mengaji dan membuka kitab. Nyanyian ini beredar di masyarakat tanpa memiliki judul, untuk memudahkan dalam penyebutan, untuk selanjutnya penulis akan menggunakan judul Lampaq Ngaji sesuai dengan judul nyanyian belakangan ini yang berjudul Lampak Ngaji, dengan pertimbangan penyebutan tersebut sesuai dengan tema yang terkandung di dalam nyanyian.

Belakangan, khususnya nyanyian tersebut beserta nyanyian-nyanyian rakyat Sasak yang lain sudah mulai jarang didengar, untuk tidak mengatakan bahwa nyanyian tersebut sudah hilang dari masyarakat Sasak. Perkembangan teknologi informasi sudah pasti memiliki dampak terhadap apa yang selama ini mengakar kuat dan melekat pada masyarakat Sasak. Ada beberapa tradisi kesastraan menjadi ditinggalkan atau mulai tidak diperhatikan. Mewaran misalkan, yang beberapa puluh tahun yang lalu masih dapat didengar oleh anak-anak dari orang tuanya, sekarang tradisi seperti itu sudah susah ditemukan lagi. Anak-anak tidak lagi tertidur karena mendengarkan cerita dari orang tuanya, akan tetapi mereka akan terlelap di depan televisi karena sudah tidak mampu mengikuti acara televisi yang banyak tersebut.

Tentu perkembangan teknologi informasi tersebut memiliki dampak positif juga. Hal inilah yang patut disyukuri bahwa tradisi kesastraan Sasak yang lain dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi tersebut. Semakin banyaknya bermunculan televisi lokal, dijadikan oleh tradisi kesastraan yang lain, salah satunya adalah cilokaq, sebagai momentum untuk bangkit kembali dan lebih berkembang. Hal ini juga disebabkan oleh pergantian Pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi di I ndonesia yang membawa banyak perubahan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah munculnya kesadaran akan perlunya diperhatikan dan diberdayakan kembali kearifan- kearifan tradisional atau lokal yang dimiliki oleh berbagai komunitas dan suku bangsa di I ndonesia (Ahimsa-Putra, 2009).

Bentuk bangkit kembali dan perkembangan cilokaq yang dimaksud adalah semakin banyak terlihat grup cilokaq yang tampil dengan lebih banyak karya dan melalui proses rekaman. Artinya karya-karya tersebut menyebar luas ke masyarakat dan lebih mudah didapatkan atau disaksikan. Perkembangan serupa juga terjadi pada grup musik di kalangan anak muda atau grup band. Tidak sedikit grup band tersebut menciptakan karya mereka dalam bahasa Sasak. Merupakan sikap positif juga, bahwa rasa bangga terhadap kedaerahannya, khususnya mereka kaum muda, diperlihatkan dengan menciptakan karya-karya dalam bahasa Sasak.

Pada kondisi perkembangan ini pula, khususnya nyanyian rakyat lampaq ngaji tersebut, masih mendapat perhatian dari masyarakat pendukungnya termasuk dari kalangan muda. Dikatakan demikian karena nyanyian tersebut dinyanyikan lagi dalam bentuk modern dengan mendapatkan penambahan. Karena terlahir pada masa dan kondisi sosial yang berbeda, lagu lampak ngaji versi sekarang ini menampilkan nuansa yang berbeda. Pada kondisi ini terlihat bahwa sastra mengungkap kondisi masyarakat

tempat karya itu lahir. Sebagaimana dikatakan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, dalam Jabrohim, 2003). Dengan demikian, apakah nuansa kehidupan masyakat Sasak sudah berbeda karena lagu Lampaq Ngaji dalam versi sekarang menampilkan nuansa yang berbeda.

Beranjak dari pemaparan di atas, makalah ini ingin membahas dua rumusan masalah yakni bagaimana perbandingan lagu Lampak Ngaji dahulu dengan sekarang dan apa permasalahan masyarakat Sasak yang terungkap dari perbandingan lagu tersebut. Mengungkap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dari sebuah karya sastra merupakan hal yang sangat mungkin. Dikatakan demikian mengingat karya sastra tidak lalin merupakan ekspresi dari kenyataan.

Membandingkan dua karya sastra tidak lepas dari konsep sastra bandingan. Menurut Holman (dalam Mahayana, 2009) sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain serta ciri-ciri yang dimilikinya. Definisi yang lebih luas cakupannya diungkapkan oleh Remak. Menurutnya, sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain (Mahayana, 2009). Ringkasnya sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. (Damono,dalam Wajiran, 2008).

Jika mengacu kepada definisi-definisi di atas, tulisan ini tentu bukanlah perbandingan yang masuk dalam katagori kajian sastra bandingan yang menyaratkan adanya perbedaan bahasa dan asal negara atau hanya perbedaan bahasa walaupun masih dalam lingkup nasional. Hal itu karena perbandingan yang dilakukan dalam makalah ini adalah perbandingan antardua karya sastra yang sama-sama menggunakan bahasa Sasak dan terlahir di lingkungan yang sama, yakni pulau Lombok. Hanya saja yang menjadi perbedaan kedua karya ini adalah terlahir pada zaman yang berbeda.

Titik terpenting dalam sastra bandingan adalah menemukan hipogram yang dipahami sebagai unsur yang mirip dalam dua karya sastra atau lebih (Endraswara, 2011). Dari hipogram inilah dapat diketahui keterkaitan suatu teks dengan teks yang lain. Pada kasus dua karya yang akan dibandingkan ini, terlihat kuatnya hipogram yang terdapat pada karya yang kedua. Dikatakan kuat karena akan sulit disangkal kalau karya yang kedua ini tidak berakar dari karya yang pertama. Hipogram yang dimaksud berupa kalimat dan prasa. Walaupun demikian, karya yang kedua menampilkan nuansa yang berbeda dengan karya yang pertama. Mengingat bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan (Corstius, dalam Endraswara, 2011), penulis memandang bahwa nuansa yang berbeda yang ditampilkan oleh karya yang kedua ini merupakan sebuah kejujuran dalam mengungkap bagaimana kondisi sosial pada masanya.

Sebagaimana dikemukakan bahwa masalah sastra bandingan lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna yang penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogram sebuah karya (Endraswara, 2011). Perbedaan inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini untuk dapat menjawab dua permasalahan yang telah disebutkan di atas. Permasalahan pengaruh bagi penulis, khususnya pada dua karya ini, menjadi tidak

relevan atau tidak akan dibahas karena kedua karya ini sama-sama lahir pada masyarakat Sasak dan karya yang pertama merupakan karya nyanyian rakyat yang keberadaannya sudah sangat melekat pada masyarakat Sasak.

PEMBAHASAN

Lagu Lampaq Ngaji ( dahulu)

Lagu Lampaq Ngaji adalah salah satu dari sekian banyak nyanyian rakyat yang dimiliki oleh masyarakat Sasak. Sebagai nyanyian rakyat, lagu Lampaq Ngaji tersebut tidak dapat diketahui siapa yang pertama kali menyanyikannya atau siapa pengarangnya. Lagu ini dapat dijumpai di seluruh wilayah pulau Lombok dan memiliki redaksi yang berbeda di beberapa tempat. Akan tetapi secara garis besar lagu tersebut sama-sama mengandung aktifitas mengaji dan membuka kitab. Berikut adalah lagu Lampaq Ngaji dalam tiga versi yang dikumpulkan dari beberapa lokasi.

Versi I .

gorokgaji gorokgaji piringku belah empat menggergaji piring saya terbelah empat adiqku lalo ngaji kakaqku bukaq kitab adikku pergi mengaji kakakku membbuka kitab

Versi I I

gorokgaji gorokgaji piringku belah empat menggergaji piring saya terbelah empat adiqku lalo ngaji kakaqku bukaq kitab adikku pergi mengaji kakakku membuka kitab

kitab koroan kitab alquran

pade singkap topong tuan singkaplah songkok tuan

versi I I I

gorokgaji gorokgaji anak alu sigar empat menggergaji alu terbelah menjadi empat adiqku lalo ngaji kededeh siq berekat adikku pergi mengaji penuh dengan berkat

Lagu ini biasanya dinyanyikan pada saat bermain. Lagu ini dinyanyikan oleh dua orang anak secara berpasangan sambil berpegangan kedua tangan. Pada saat dinyanyikan, pasangan tersebut menirukan gerakan orang yang memakai gergaji balik, gergaji besar yang ditarik oleh dua orang untuk membuat papan dan sebagainya (KBBI ), ketika yang satu menarik, yang lainnya mendorong. Di samping dinyanyikan oleh dua orang sepermainan, lagu ini juga dinyanyikan oleh seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil. Dengan menarik dan mendorong tangan, si ibu dapat membuat anaknya tertawa.

Versi yang pertama adalah versi yang standar. Versi yang pertama inilah yang lebih banyak dijumpai di sebagian besar wilayah pulau Lombok. Versi ini hanya terdiri atas dua baris, yang pertama sebagai sampiran sedangkan yang kedua isi. Pola lagu lampaq ngaji versi yang pertama ini memang menggunakan pola pantun atau lelakaq Sasak, tetapi kebanyakan lelakaq Sasak dalam satu baris terdiri atas empat kata. Sedangkan lagu ini dalam satu baris terdiri atas lima kata.

Pada versi kedua, dua baris pertama sama seperti versi standar. Pada versi ketiga ini terdapat tambahan dua baris berima a-a. Pada tambahan tersebut, baris pertama dengan kedua berbeda dalam jumlah kata. Baris pertama terdiri atas dua kata saja sedangkan baris kedua terdiri atas empat kata. Versi yang ketiga merupakan versi yang sama sekali berbeda dengan versi pertama dan kedua. Namun demikian, versi yang ketiga ini tetap merupakan versi lain dari lagu Lampaq Ngaji karena masih terdapat

beberapa kata yang menjadi bagian utama atau ciri khas dari lagu Lampaq Ngaji. Kata- kata yang dimaksud adalah kata gorokgaji, empat, dan kalimat adikku lalo ngaji. Kata

sigar sebenarnya memiliki arti yang sama dengan kata belah sebagaimana pada versi

pertama dan kedua, yakni berarti belah.

Dari semua versi tersebut, ada beberapa kata yang menjadi perhatian penulis. Kata-kata tersebut adalah gorokgaji, lalo ngaji, bukaq kitab, kitab qoroan, topong tuan, dan berkat.

Semua kata tersebut merupakan kata-kata dalam bahasa Sasak. Akan tetapi kata- kata tersebut terlihat masih dekat dengan bahasa Melayu atau bahasa I ndonesia, sehingga memahami kata tersebut dengan pemahaman bahasa I ndonesia tidak akan menghasilkan makna yang menyimpang atau dengan kata lain dapat disepadankan dengan makna dalam kamus bahasa I ndonesia, kecuali kata tuan.

Dalam KBBI kata mengaji memiliki makna mendaras (membaca) Alquran; belajar membaca tulisan Arab; belajar; mempelajari. Kata kitab memiliki makna buku; wahyu Tuhan yang dibukukan; kitab suci. Kata qoroan atau Alquran memiliki makna kitab suci umat I slam. Kata berkat dalam konteks lagu tersebut memiliki makna makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri. Kata topong sepadan dengan kata ketopong dalam KBBI , yakni topi (kopiah) tinggi yang keras dan kaku yang dipakai sebagai perhiasan. Kata tuan tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa I ndonesia. Dalam bahasa Sasak kata tuan bermakna haji atau gelar kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Tidak sekadar telah melaksanakan ibadah haji, kata tersebut melekat kepada orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan memiliki pemahaman yang mendalam akan agama I slam.

Lagu ini sangat mencerminkan sosial budaya masyarakat Sasak sebagai masyarakat pemeluk agama Islam. Nuansa sosial religius masyarakat Sasak terlihat sangat kental dalam nyanyian tersebut. Kakak dan adik dengan sebuah kesadaran sama- sama menjalani rutinitas yang luhur, adik pergi mengaji sedangkan kakak pergi membuka kitab. Kegiatan tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa ada sebuah paksaan atau kekerasan. Lagu lampaq Ngaji berisi seorang anak yang melihat atau mengetahui aktifitas saudaranya, yakni adiknya pergi mengaji sedangkan kakaknya membuka kitab. Pada versi yang kedua dijelaskan bahwa adiknya pergi mengaji untuk membuka kitab

Sama halnya dengan versi pertama, versi kedua lagu Lampaq Ngaji ini mengungkapkan aktifitas mengaji dan membuka kitab. Akan tetapi pada versi kedua ini dipertegas lagi bahwa kitab yang dimaksud adalah kitab Alquran. Kemudian ditutup dengan sebuah perintah yakni menyingkap topong tuan. Yang dimaksudkan oleh perintah ini adalah agar si anak mempelajari apa yang diketahui oleh seorang tuan atau mempelajari ilmu agama yang dimiliki oleh si guru atau tuan tersebut.

Pada versi ketiga dari karya yang pertama diungkapkan sebuah keberkahan dari menjalani aktifitas mengaji tersebut. Keberkahan yang dimaksud adalah membawa banyak berkat dari pulang mengaji. Berkat bagi masyarakat Sasak bukan hanya sekadar makanan yang dibawa pulang, tetapi berkat juga mengandung nilai kebanggaan ketika dipersembahkan kepada keluarga. Di samping itu berkat yang dibawa merupakan rizki yang sangat halal dan didapat dari kegiatan mengaji. Memberikan makanan tersebut kepada keluarga, disertai dengan harapan atau doa semoga yang makan makanan tersebut menjadi orang yang rajin dan pintar mengaji.

Lagu Lampaq Ngaji ( sekarang)

Tidak seperti karya yang pertama yang tidak diketahui pencipta atau orang yang pertama kali menyanyikan lagu tersebut, karya yang kedua ini memiliki pencipta dan memiliki judul. Karya yang kedua ini berjudul Lampak Ngaji dan diciptakan oleh grup

Band Jumpring. Grup ini diisi oleh anak-anak muda dan banyak menciptakan lagu dalam

bahasa Sasak. Berikut adalah teks dari lagu tersebut.

Lampak Ngaji

Cing cingaq cingaq lelampok berisi tanaq Tengak-tengok lelampok berisi tanah Tesiliq isiq inaq tepantok isiq amaq Dimarahi oleh ibu dipukul oleh bapak Rog gorokgaji piringku belah empat Gergaji piringku terbelah menjadi empat Tesuruq lampaq ngaji bateq tipaq bungkak Disuruh berangkat mengaji parang ke punggungku

Talet jae leq selak puntiq Menanam jahe di sela pisang

Piran bae yaq engkah tesiliq Sampai kapan saya berhenti dimarahi

Jumpring keliang emasku bateq Jumpring elang emasku parang

Jaran udeq batu batang Kuda udek batu batang

Celake deqman araq Celaka belum ada

I ntan ale ale saling tunten dalem bale I ntan ale ale saling tekan di dalam rumah

Bale berandang due Rumah menghadap ke dua arah

Sopoq tipak tanjung Satu menghadap ke Tanjung

Tanjung gorokgaji Tanjung gorokgaji

Silaq batur lampaq ngaji Mari kawan kita berangkat mengaji

Sama halnya dengan karya yang pertama, karya yang kedua ini memiliki pola

seperti lelakaq atau cilokaq yang menggunakan pola seperti pantun yakni dalam setiap bait ada sampiran dan ada isi. Terkadang dalam satu bait terdiri atas dua baris dan kebanyakan terdiri atas empat baris. Khusus karya yang kedua ini menggunakan dua baris, baris pertama sebagai sampiran sedangkan baris kedua sebagai isi. Akan tetapi beberapa kalimat dalam karya yang kedua ini hanya merupakan sampiran tidak ada isi, hanya untuk melengkapi saja.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis dari nyanyian ini. Pertama, penulis lagu ini memosisikan dirinya sebagai orang pertama yang berperan sebagai seorang anak. Bait pertama berisi bahwa si anak dimarahi oleh ibu dan bapaknya. Kondisi ini bukan hanya didapatkan sekali oleh si anak, tetapi dimarahi oleh ibu dan bapaknya merupakan kondisi yang sering dia dapati. Kondisi tersebut terlihat pada bait ketiga. Si anak mengeluh dengan sebuah pertanyanaan entah sampai kapan ia akan berhenti dimarahai. Bagian nyanyian tersebut berbunyi “Piran bae yaq engkah tesiliq”.

Bait kedua berisi si anak disuruh berangkat mengaji, parang ke punggungnya. Jika dipahami secara lengkap dalam kalimat, bait ini dapat bermakna dua kemungkinan, pertama bahwa si anak disuruh berangkat mengaji oleh orang tuanya dengan kekerasan yakni parang melayang ke punggungnya. Kemungkinan yang kedua bahwa si anak disuruh berangkat mengaji, ia tidak mau kemudian orang tuanya melemparkan parang ke pundaknya. Yang jelas kedua kemungkinan tersebut sama-sama menunjukkan sebuah kekerasan. Hal itu juga terlihat pada bait kelima yang mengatakan saling tunten dalem

Walaupun nyanyian ini banyak mengungkap masalah-masalah yang dihadapi si anak, tetapi pada akhir bagian secara tegas menyampaikan sebuah pesan. Pesan yang dimaksud adalah ajakan kepada teman-temannya agar berangkat atau pergi mengaji. Jadi si penulis dengan sangat tepat memberikan judul nyanyian ini dengan judul Lampak Ngaji (berangkat mengaji) walaupun menampilkan nuansa yang berbeda dari karya yang pertama, yakni berupa paksaan dan kekerasan.

Permasalahan Masyarakat Sasak

Setelah melihat kedua karya di atas, dapat kita simpulkan hipogram yang terdapat pada karya yang kedua tersebut. Hipogram yang pertama terlihat pada judul karya yang kedua yakni Lampak Ngaji. Tema berangkat mengaji merupakan tema yang terkandung dalam karya yang pertama. Di samping pada judul, hipogram terdapat juga pada bait kedua. Hampir semua bagian pada bait kedua ini merupakan hipogram kecuali bagian terakhir yang mengungkapkan nuansa yang berbeda dengan karya yang pertama. Hipogram yang dimaksud yakni gorokgaji piringku belah empat dan lampaq ngaji. Kata

gorokgaji dan lampaq ngaji juga terlihat pada bait terakhir yang berisi ajakan untuk

berangkat mengaji. Bait tersebut berbunyi Tanjung goroqgaji silaq batur telampaq ngaji. Kedua karya ini memiliki tema yang sama, yakni sama-sama mengandung tema berangkat mengaji. Walaupun demikian, masing-masing karya mengekspresikan nuansa yang berbeda. Terlahir pada waktu yang berbeda membuat kedua karya ini menampilkan hal yang berbeda walaupun dengan maksud untuk mengungkap tema yang sama. Karya yang pertama ketika berbicara tentang berangkat mengaji menampilkan sebuah keharmonisan kehidupan, sebuah keteraturan. Sebuah aktifitas yang dijalankan dengan kesadaran tanpa ada kekerasan. Sedangkan kondisi yang yang berbeda atau bahkan sebaliknya diungkapkan pada karya yang kedua.

Perberbedaan yang diungkapkan oleh karya yang kedua, dari kondisi yang harmonis tanpa kekerasan ke kondisi yang penuh kekerasan, itulah yang menjadi permasalahan masyarakat Sasak. Mengingat bahwa sastra mengungkap kenyataan sosial,

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 86-95)