• Tidak ada hasil yang ditemukan

Visi dan Kritik tentang Masalah Lingkungan

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 78-82)

KUMPULAN CERPEN ONGKAK KARYA SPN FAKHRUNNAS MA JABBAR

3.1. Visi dan Kritik tentang Masalah Lingkungan

Dalam cerita Ongkak, pengarang bercerita tentang kehidupan para pembalak kayu di hutan Riau yang membalak kayu dan kemudian menjualnya kepada para tauke dengan harga yang murah. Kata Ongkak sendiri berarti ‘rel kayu tempat meluncurkan kayu balak’ (2010: 24); pembalakan hutan itu menjadi pekerjaan yang menguntungkan bagi masyarakat di desa tersebut. Namun kisah menjadi sebuah tragedi ketika Sudir, tokoh utama dalam cerita itu, kehilangan istrinya Kanah yang sedang mengandung enam bulan. Kanah saat itu mendesak untuk ikut Sudir membalak kayu di hutan. Semula Sudir melarang Kanah, namun karena wanita itu bersikeras untuk ikut, Sudirpun membiarkannya ikut dengannya. Ketika Sudir dan beberapa lelaki sedang mendorong kayu balak yang licin oleh gerimis hujan diatas ongkak, dan Kanahpun ikut mendorong, tiba-tiba wanita itu jatuh terjerembab, tubuhnya jatuh terbelintang ditengah ongkak dan kayu balak itu menggelinding diatas perut buntingnya. Tubuh Kanah hancur dan remuk. Sudirpun meraung-raung histeris menyesali kelalaian dirinya telah mengizinkan istrinya ikut dengannya sehingga istrinyapun kemudian tewas secara memilukan (2010: 18-19).

Dengan merujuk pada kategori yang dikemukakan oleh Suroso, dkk. bahwa relasi manusia dan alam seperti yang digambarkan dalam kisah tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: citra manusia yang bersatu dengan alam; citra manusia yang mendayagunakan alam; dan citra manusia yang bersahabat dengan alam (2008: 203). Namun dalam bahasan ini, penulis hanya merujuk pada dua aspek

yaitu manusia mendayagunakan alam dan manusia bersahabat dengan

alam. Kedua aspek ini sekaligus menunjukkan visi dan kritik pengarang terhadap

masalah-masalah lingkungan.

a. Manusia Mendayagunakan Alam

Dalam cerita Ongkak maupun dalam cerita-cerita yang lain seperti Kemarau

Airmata, Republik Banjir, Parit Dorba, dan Semokel, pengarang secara eksplisit

menggambarkan fenomena pembalakan dan perusakan hutan dalam praktik alih fungsi lahan untuk kepentingan perkebunan dan pemukiman. Dalam Ongkak, pendayagunaan alam itu digambarkan melalui pembalakan kayu hutan oleh tokoh Sudir dan beberapa warga masyarakat di kampung Melayu, Riau. Begitu pula dalam cerita Semokel yang berarti ‘penyelundupan kayu tradisional lintas batas’ (2010: 167) oleh warga masyarakat di Kampung Beranti. Sedangkan dalam cerita Kemarau Airmata, Republik

Banjir, dan Parit Dorba, pengalih-fungsian lahan tanah hutan ulayat milik warga

masyarakat Melayu adalah untuk kepentingan pembangunan PLTA (Kemarau Airmata, 2010: 36); pembangunan villa dan lapangan golf (Republik Banjir, 2010: 78-79); perluasan kebun kelapa sawit (Parit Dorba, 2010: 84). Dalam cerita Ongkak misalnya, upaya masyarakat Melayu dalam mendayagunakan alam terlihat melalui kegiatan mereka dalam mencari kayu hutan untuk dijual kepada para tauke. Namun Sudir telah diajarkan oleh kakek dan neneknya akan kearifan lokal bahwa menebang kayu di hutan harus dilakukan seperlunya –

Sedari kecil ia diajari Datuk dan Neneknya betapa alam yang terdedah begitu molek bagi penghidupan banyak orang. Pokok-pokok kayu yang berjajar ditengah rimba raya itu patutlah jadi mata pencaharian orang-orang sekampung. Tapi sejak dulu, tak ada rimba yang gundul. Pokok

kayu itu ditebang seperlunya. Diambil buat kebutuhan kayu menanak nasi, tiang rumah atau keperluan pagar (2010: 20).

Kearifan lokal yang terlihat, melalui kebiasaan dan perlakuan yang bijak dari masyarakat Melayu terhadap hutan ulayat mereka menunjukkan pandangan pengarang terhadap hubungan yang selaras antara manusia dengan alam. Namun keselarasan itu berubah menjadi ancaman dan petaka ketika para tauke kayu balak menyerbu hutan dan menebangi kayu-kayu hutan secara besar-besaran dengan bantuan tenaga orang-orang bagak di kampung. Bahkan banyak diantara pohon yang ditebang itu adalah pokok sialang yang menjadi tempat lebah madu bersarang dan mengucurkan madu setiap waktu (2010: 20). Sejak saat itu banyak orang di desa itu yang bekerja sebagai pembalak. Mereka menjual kayu balakan kepada para tauke dengan harga murah – “Kayunya dijual pada para tauke sehingga para taukelah yang ‘terima bersih’ mendapatkan laba yang luar biasa” (2010: 21). Gambaran tentang

perubahan perilaku masyarakat Melayu tersebut dan para tauke dalam

mendayagunakan alam menunjukkan kritik pengarang terhadap kecenderungan manusia untuk bertindak serakah terhadap alam dan lingkungannya. Dan perilaku yang kurang bijak tersebut akhirnya bias mendatangkan petaka bagi manusia – “Kawan-kawan, tak elok membabat rimba ini suka-suka kita. Bila rimba dirusaki maka banyak mudharat yang akan datang. Lebih baiklah kita menyesali diri sejak sekarang…” (2010: 22).

Dalam cerita Kemarau Airmata, pengarang menggunakan metafora untuk menggambarkan derita dan kesedihan yang dirasakan oleh masyarakat desa karena proyek PLTA pemerintah yang akan dibangun di desa mereka. Kesedihan mereka bukan saja karena cuaca kemarau panjang yang melanda desa mereka, mengeringkan sungai dan tanah-tanah pertanian mereka, melainkan juga ganti rugi yang terlalu rendah dari pemerintah untuk proyek PLTA tersebut. Namun karena kemarau yang panjang dan air sungai Turip yang dangkal, akan sangat sulit bagi pemerintah untuk membangun bendungan sebagai bagian dari proyek tersebut. Sehingga rencana proyek tersebut urung dilaksanakan. Tentu saja hal ini menggembirakan hati masyarakat desa meski di sisi lain mereka tetap menderita karena kemarau yang panjang tersebut (2010: 39).

Dalam cerita Republik Banjir, pengarang menyampaikan pandangannya tentang alam dalam hubungan manusia dan air sebagai sumber kehidupan. Air adalah berkah bagi manusia untuk menjalankan kehidupannya –

Sejak lama hubungan peradaban antara orang-orang dan air melengkapi sejarah kehidupan. Air memberikan berkah. Orang-orang di bumi yang menikmatinya. Apalagi saat dahaga. Air jadi sosok impian saat berada di hamparan padang pasir terbuka. Setetes air jadi rahmat dan penentu kesinambungan kehidupan (2010: 77-78).

Namun visi yang gembira terhadap manfaat air tersebut berubah menjadi pandangan skeptis ketika manusia mulai melakukan perusakan terhadap alam, deforestasi dan alih fungsi lahan yang mengikis sumber-sumber air tanah didalamnya –

Keseimbangan alam terusik termasuk keseimbangan air dengan pantai dan tebingnya. Keseimbangan alam mulai digoyang. Hutan dan tumbuhan yang hidup damai sejak lama mulai diluluh-lantakkan. Padahal, disitulah air bernaung agar bisa hidup damai. Agar bisa memberikan kehidupan pada orang-orang. Kawasan perbukitan yang asri dan hijau oleh

tetumbuhan hutan, kini dijarah dan dikelupas jadi villa dan lapangan golf. Air yang terbelenggu pada akar kayu hutan mulai bebas. Kebebasan ini bagaikan kuda yang terluka sehingga air mulai beringas (2010: 78-79).

Metafora yang digambarkan oleh pengarang tersebut menunjukkan bagaimana deforestasi dan alih fungsi lahan merupakan salah satu penyebab timbulnya bencana alam seperti banjir. Pengarang juga menyampaikan visi dan kritiknya tentang bencana banjir itu melalui personifikasi yang memanusiakan banjir seperti sebuah republik dengan armada manusia yang siap menyerbu –

Otonomi di Republik Banjir sangat luas dan terbuka. Masing-masing republik boleh beraksi apabila situasi tak bisa ditoleransi lagi. Pemantauan terhadap pengrusakan hutan pegunungan yang menjadi markas besar dan ibukota Republik Banjir dilakukan secara seksama (2010: 80).

Secara eksplisit, pengarang menyampaikan kritiknya terhadap kerusakan lingkungan dan alih-fungsi lahan dari area di kawasan Puncak, Bogor dengan menggambarkan kawasan yang semula berupa kawasan hijau dan hutan konservasi, namun kini telah dipenuhi oleh bangunan villa – serta lapangan golf. Merebaknya bangunan-bangunan villa tersebut telah membuat tanah-tanah di kawasan tersebut menjadi rawan longsor dan banjir (2010: 80-81).

Dalam cerita Parit Dorba, tindakan manusia dalam mendayagunakan alam khususnya digambarkan melalui ketidakberdayaan orang-orang Melayu Sakai di bumi Riau dalam memperjual-belikan tanah-tanah ulayat nenek moyang mereka kepada para tauke dengan harga murah untuk kepentingan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tokoh dalam cerita tersebut Dorba bersama para lelaki Sakai yang lain telah diperdaya oleh para tauke untuk menjual tanah ulayat mereka seluas seribu hektar dengan harga murah. Saat itu Dorba dan beberapa orang Sakai diajak oleh para tauke ke sebuah tempat; ternyata tempat itu adalah sebuah diskotik. Dorba dan kawan-kawannya disuguhi minuman arak dan anggur yang mungkin dicampur pil ekstasi, hingga mereka mabuk. Dalam keadaan mabuk itu, para tauke itu menyodori mereka beberapa lembar kertas agar dicap jari. Tanpa sadar mereka telah menyetujui untuk menjual lahan ulayat mereka kepada para tauke itu (2010: 90). Gambaran tentang alih fungsi lahan dari hutan ulayat menjadi parit-parit raksasa untuk perkebunan kelapa sawit disampaikan pengarang seperti yang dikutip berikut ini:

Persis di sempadan kiri, kanan dan belakang tanah perumahannya yang gundul kekuningan, Dorba menyaksikan alat berat becko menggali parit raksasa. Lebar parit itu mencapai tiga meter dan kedalamannya dua meter lebih. Parit-parit itu sengaja dibuat oleh beberapa perusahaan kehutanan yang menggarap kawasan itu untuk dibangun hutan tanaman atau perkebunan kelapa sawit. Tanah pemukiman Dorba dan suku Sakai lainnya memang sudah kian ciut. Irisannya pun tak petak lurus lagi melainkan bagai irisan kue talam yang mirip trapezium (2010: 84).

Gambaran alih-fungsi lahan dari hutan ulayat orang-orang Melayu Sakai tersebut sekaligus juga menyampaikan kritik pengarang tentang fenomena alih-fungsi lahan yang menjadi faktor berkurangnya kawasan hutan lindung untuk kepentingan konservasi alam dan lingkungan.

Dalam cerita Semokel, pengarang menggambarkan upaya manusia dalam mendayagunakan alam melalui praktik semokel atau penyelundupan tradisional kayu lintas batas (2010: 167). Dalam cerita ini, tokoh utama Umang yang sudah renta dan tinggal di Teluk Beranti, di seberang Semenanjung Kembar di Riau dilukiskan sedang menonton berita di TV yang sedang menayangkan konferensi internasional tentang lingkungan COP (Conference of Partnership) 15 di Copenhagen. Berita konferensi itu seketika mengingatkan Umang pada masa mudanya ketika dia dan kawan-kawannya membalak kayu di hutan dan menyelundupkan kayu-kayu itu melalui sungai. Praktik

semokel tersebut menjadi mata pencaharian orang-orang Melayu pada masa itu.

Namun pada masa kini, pembalakan liar masih berlangsung di kawasan hutan itu dengan menjual kayu-kayu hutan itu kepada para tauke di Malaysia atau bahkan menyelundupkan hingga ke negeri Jepang atau Cina (2010: 163).

Kawasan itu kini semakin gundul. Para pembalak sesudah zamannya berlalu masih terus saja melakukan penebangan kayu di kawasan hutan yang semestinya dilindungi itu. Pokok-pokok kayu semakin banyak yang meranggas (2010: 162).

Gambaran hutan yang porak-poranda oleh praktik pembalakan pada masa kini dalam kutipan tersebut menunjukkan kerisauan Umang sekaligus kritik pengarang terhadap kondisi hutan yang tidak lebih baik dari masa-masa ketika Umang muda dahulu. Dalam cerita itu upaya manusia dalam mendaya-gunakan alam melalui praktik semokel tidak

hanya mengambil kayu untuk memenuhi kebutuhan melainkan cenderung

mengeksploitasi sumber alam di hutan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang lebih – “Atau kayu balak itu langsung dijual lagi secara selundupan ke negeri Jepun atau Cina dengan nilai yang lebih besar” (2010: 163).

Pembalakan liar itu tetap menjadi problema yang tidak kunjung usai sepanjang penampung atau pembeli kayu-kayu selundupan itu masih melegitimasi dan melegalisasi pembelian kayu-kayu hasil pembalakan itu.

b. Manusia Bersahabat dengan Alam

Dengan merujuk pada dimensi hubungan manusia dengan alam seperti yang dikemukakan oleh Suroso, dkk. (2008: 215), beberapa cerita dalam kumpulan cerpen

Ongkak ini menunjukkan relasi tersebut yang bersumber pada kearifan lokal

masyarakat Melayu Riau. Suroso, dkk. mengemukakan bahwa persahabatan manusia dengan alam diwujudkan melalui perilaku manusia dalam memelihara kelestarian alam, menjaga lingkungan hidup, dan menyayangi makhluk hidup lainnya (2008: 215). Dalam cerita Ongkak, persahabatan manusia dengan alam ditunjukkan melalui kearifan lokal masyarakat setempat dalam mendayagunakan sumber alam di hutan dengan seperlunya – “Tapi sejak dulu, tak ada rimba yang gundul. Pokok kayu itu ditebang seperlunya. Diambil buat kebutuhan kayu menanak nasi, tiang rumah atau keperluan pagar” (2010: 20). Kearifan lokal juga diperlihatkan melalui kesadaran untuk tidak merusak hutan sesukanya karena hal tersebut akan menimbulkan bencana –

“Kawan-kawan, tak elok membabat rimba ini suka-suka kita. Bila rimba dirusaki maka banyak mudharat yang akan datang. Lebih baiklah kita menyesali diri sejak sekarang….” (2010: 22).

Dalam cerita Republik Banjir, persahabatan dengan alam direfleksikan dalam kesadaran manusia akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan. Sumber air yang berlimpah tersimpan di dalam tanah dibawah pepohonan, tumbuh-tumbuhan, dan akar-akar pepohonan. Namun air sebaliknya akan menjadi bencana ketika bukit-bukit sebagai wadah air dialih-fungsikan menjadi area bangunan villa atau lapangan golf. Begitu pula pepohohan yang ditebangi dapat mengurangi sumber mata air yang tersimpan dibawah akar-akar pohon sehingga air itu akan melimpah dan menyeruak keluar menjadi banjir. Hal itu digambarkan melalui kerisauan pengarang akan alih fungsi lahan di perbukitan di Puncak menjadi area villa yang menyebabkan terkikisnya sumber air tanah – “Sejak lama kawasan ini menjadi kawasan hijau dan hutan konservasi yang memungkinkan para air hidup dengan nyaman dan tenang” (2010: 80).

Dalam cerita Parit Dorba, persahabatan dengan alam ditunjukkan melalui kearifan lokal masyarakat Melayu Sakai yang hidup selaras dengan alam dan hutan ulayat mereka –

Orang-orang Sakai sangat bersebati dengan rimba. Oleh sebab itu, rimba bagi mereka laksana supermarket dan apotik hidup yang menyediakan segala keperluan. Sumber penghidupan sehari-hari dapat dipenuhi dari tanaman rimba yang amat beragam. Mulai dari damar, rotan, sakat dan ubi manggalo yang beracun namun bisa jadi tawar setelah dioleh dengan cara mereka yang khas (2010: 84-85).

Kata bersebati dari bahasa Melayu berarti ‘menyatu bagai tak terpisahkan’ menunjukkan relasi erat antara manusia dengan alam. Manusia menghormati alam sebagai tempat yang memberikan berbagai kebutuhan hidup. Rasa hormat dan cinta masyarakat Melayu terhadap alam ditunjukkan dalam tindakan memelihara dan melestarikan alam mereka dengan tidak menebangi pepohonan secara berlebihan, atau menyetujui tindakan para tauke atau pemerintah dalam mengalih-fungsikan hutan ulayat mereka menjadi lahan perkebunan atau proyek-proyek lainnya.

3.2. Relevansi Visi dan Kritik Pengarang dengan Prinsip- prinsip Kritik Sastra

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 78-82)