• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIBAH WASIAT (TESTAMENT)

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 55-65)

Seorang pemilik kekajaan sering mempunjai keinginan, supaja 'harta-ke- kajaannja dikemudian hari, setelah wafat, akan diperlakukan menurut tjara tertentu.

Lebih-lebih keinginan ini akan terasa, apabila hukum warisan jang akan dilaksanakan, menentukan suatu tjara pembagian harta-warisan, jang sama sekali tidak tjotjok dengan keinginannja.

Kalau dalam hal ini Hukum mengidzinkan si peninggal warisan untuk menentukan tjara pembagian harta-warisan jang menjimpang dari pada hukum warisan biasa, maka ini adalah lajak, kalau diingat, bahwa pada hakekatnja seorang pemilik barang-barang kekajaan adalah berhak penuh untuk memperlakukan miliknja menurut kehendaknja sendiri.

Dan lagi kemauan terachir dari seorang manusia adalah pantas di­ hormati dan seberapa boleh dipenuhi.

Djuga, dengan adanja kemauan terachir dari si wafat ini sering ter­ hindar pertjektjokan antara para ahliwaris dalam hal membagi harta- warisan, djustru oleh karena dengan sendirinja ada ketjenderungan dari para ahliwaris untuk menghormati kemauan terachir ini, terutama apabila kemauan terachir ini menghendaki suatu pembagian harta-warisan setjara praktis dan jang sesuai dengan rasa-keadilan, sekurang-kurangnja tidak banjak menjimpang dari rasa-keadilan.

Tetapi ada kemungkinan tentunja kemauan terachir ini menghendaki suatu pembagian harta-warisan jang tidak adil, dan mungkin sekali si wafat untuk melahirkan kemauan terachir ini didorong oleh paksaan atau tipu-muslihat dari lain orang jang menurut kemauan terachir itu akan sangat untung.

Maka tidak aneh, apabila Hukum membatasi kekuasaan untuk .menen­ tukan kemauan terachir ini.

Perbuatan menetapkan kemauan terachir ini di Indonesia biasanja di­ namakan hibah wasiat, diambil dari bahasa Arab dalam Hukum Agama Islam. Dalam bahasa Belanda orang menamakannja testament (lihat pasal 875 B .W .). Apabila testament itu menentukan pemberian barang ter­ tentu, maka dipakai nama „legaat” sedang nama „erfstelling” dipakai untuk pemberian seluruh harta-warisan atau bagian tertentu (seperberapa) dari harta-warisan itu kepada orang tertentu.

Pembatasan dalam hal membuat hibah-wasiat

Dalam Hukum Adat dapat dikatakan, bahwa tidak diperbolehkan se­ orang peninggal warisan dalam hibah-wasiat menjampingkan seorang anak sama sekali dari pembagian harta-warisan (onterfd).

HUKUM WARISAN D I INDONESIA

Diatas sudah dikemukakan, bahwa menurut penjelidikan jang dilaku­ kan oleh Mr Djojodiguno dan Mr Tirtawinata bagi Djawa-tengah larangan „onterving” ini harus diartikan sedemikian rupa, bahwa hibah-wasiat itu sekurang-kurangnja harus memberi kepada seorang anak sedjumlah barang jang tjukup untuk mendjadi bahan-hidup setjara pantas.

Djuga harus diperhatikan, bahwa meskipun ada hibah-wasiat, tetap berlaku penentuan bahwa dari harta-warisan harus dibajar dulu hutang- hutang dari si peninggal warisan, jang mungkin sekali demikian banjaknja, sehingga tidak ada sisa jang masih dapat dibagi-bagi menurut kehendak si peninggal warisan.

Menurut Hukum Islam sebanjak-banjaknja 1/3 bagian dari harta warisan, setelah dikurangi dengan hutang-hutangnja si peninggal warisan, dapat diberikan kepada orang lain dari pada ahliwaris menurut Hukum warisan dalam Hukum Agama Islam atau jang menjimpang dari pembagian harta-warisan menurut Hukum Warisan itu (ahliwaris ab intestato, arti- nja ahliwaris tanpa hibah-wasiat).

Dengan lain perkataan, 2/3 bagian dari harta-warisan harus tersedia untuk para ahliwaris. Malahan apabila para ahliwaris itu miskin, diandjur- kan (sunnah) supaja bagian harta-warisan jang diberikan kepada orang lain tadi, diperketjil sangat kurang dari 1/3 bagian.

Sering terdjadi seorang muslimin menjerahkan sebagian dari harta warisannja supaja dipergunakan untuk mendirikan suatu wakaf.

Kalau ini terdjadi, maka tudjuan dari wakaf ini harus sesuai dengan Hukum Islam, misalnja untuk mendirikan suatu mesdjid atau langgar, dan tidak diperbolehkan misalnja untuk keperluan ummat Keristen atau Jahudi.

Kalau orang sakit keras sehingga dichawatirkan akan meninggal dunia, maka pembatasan sampai 1/3 bagian ini harus dipergunakan dalam hal penghibahan biasa (schenking).

Dari penentuan-penentuan dalam Hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa larangan untuk memasukkan lebih dari 1/3 bagian dari harta warisan dalam suatu hibah wasiat untuk diserahkan kepada orang-orang bukan ahliwaris atau setjara menjimpang dari Hukum Islam tentang warisan, praktis dapat diterobos, apabila seorang pemilik barang-barang kekajaan pada waktu masih segar-bugar, djadi tidak dalam keadaan sakit keras,

menghibahkan setjara biasa barang-barangnja kepada siapa sadja jang di­ kehendaki. Artinja barang-barang jang dihibahkan itu seketika itu djuga sudah beralih mendjadi milik orang atau badan jang dihibahi.

Djadi larangan tersebut hanja meliputi hibah wasiat dan penghibahan biasa pada waktu ia sakit penghabisan jang menjebabkan wafatnja atau dalam keadaan sakit keras jang mengchawatirkan akan wafatnja.

Dengan demikian, dalam hal ini ada perbedaan besar antara Hukum Adat dan Hukum Islam.

Dalam Hukum Adat ada kalanja suatu penghibahan pada waktu seorang pemilik barang masih segar bugar, dianggap selaku permulaan

H IBA H W ASIAT

dari pembagian harta warisan si penghibah itu kelak pada waktu ia mening­ gal dunia.

Dalam hal ini harus diingati suatu perbedaan besar antara suatu peng­ hibahan biasa dan suatu hibah wasiat, jaitu, bahwa penghibahan biasa pada umumnja tidak dapat ditarik kembali, sedang suatu hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah.

Hal jang belakangan ini adalah lajak, oleh karena suatu hibah wasiat merupakan ke mauan terachir dari seorang manusia sebelum wafat. Maka hibah wasiat jang ditarik kembali itu, sebetulnja tidak merupakan kemauan terachir.

Perbedaan ini antara penghibahan biasa dan hibah wasiat dapat me- njulitkan si penghibah sendiri, apabila misalnja ia telah ketelandjur mem­ beri banjak barang-barang kepada seorang anak angkat, sedang kemudian ada muntjul tjektjok besar antara si penghibah dan si anak angkat tadi.

Pada waktu saja masih mendjadi Ketua Pengadilan Negeri di Purwo- redjo dalam tahun 1930 ada terdjadi disitu suatu penghibahan dari seorang perempuan kepada seorang anak angkat, jang meliputi hampir semua harta kekajaan si perempuan tadi, termasuk djuga rumah jang ia diami. Kemudian ada tjektjok antara dua orang tadi sedemikian hebatnja, sehingga si pe­ rempuan diusir oleh si anak angkat tadi dari rumah kediamannja.

Pengalaman saja ini memberi petundjuk kepada saja untuk memikir­ kan, apakah dalam kedjadian sematjam ini ada alasan tjukup untuk meng­ anggap penghibahan ini selaku suatu hibah wasiat, jang dapat ditarik kembali oleh si penghibah.

Djuga suatu penghibahan sematjam ini dapat ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa penghibahan itu dengan sendirinja harus dianggap disertai sjarat, bahwa si penghibah masih dapat menikmati sendiri barang-barang jang dihibahkan itu sekedar perlu untuk hidup tenis setjara pantas, ter­ masuk terus langsung mendiami rumah kediamannja.

Menurut Hukum Burgerlijk Wethoek

Pertama-tama perlu dinjatakan, bahwa bagi orang-orang warganegara Indonesia jang berbangsa Arab, India, Pakistan dan lain-lain Timur Asing, bukan Tionghoa, adalah berlaku titel 13 dari Burgerlijk Wetboek Buku II mengenai hibah wasiat, jaitu menurut Staatsblad 1924-556.

Tjara pembatasan menurut Burgerlijk Wetboek dalam hal membikin hibah wasiat jang mengenai besar ketjilnja bagian jang akan diperoleh para ahliwaris, adalah jang mengenai „legitieme portie” atau „wettelijk erfdeel” (djumlah jang ditentukan oleh undang-undang).

Soal ini diatur dalam pasal-pasal 913 s/d 929 B.W .

„Legitieme portie

Asser-Meyers dalam bukunja tentang Hukum Warisan di Negeri Be­ landa halaman 148 mengatakan, bahwa tudjuan dari Pembuat undang- undang dalam menentukan legitieme portie ini ialah untuk memperlindungi

HUKUM IVARISAN D I INDONESIA

anak si peninggal warisan terhadap ketjenderungan si wafat akan mengun­ tungkan orang lain.

Djadi sebetulnja sama dengan alasan dalam Hukum Adat dan Hukum Islam untuk mengadakan pembatasan dalam kekuasaan si peninggal warisan untuk membikin hibah wasiat.

Asser-Meyers mentjeriterakan djuga, bahwa tentang bagian legitiem ini ada dua sistim, jaitu ke-1 sistim Perantjis-Djerman dizaman dahulu kala jang seperti Hukum Islam melarang si peninggal warisan menentu­ kan hibah wasiat tentang bagian tertentu jaitu 4/5 bagian dari seluruh harta warisan, dan ke-2 sistim Romawi jang menentukan bagian seorang anak jang sekurang-kurangnja harus diberikan kepada seorang anak itu dari harta warisan ajahnja.

Sistim ke-2 ini diturut dalam Burgerlijk Wetboek di Negeri Belanda dan di Indonesia.

Pasal 913 B.W . mulai dengan mengatakan, jang berhak atas bagian legitiem ini ialah para ahliwaris dalam garis lurus, djadi anak-anak dan keturunannja, serta orang-tua dan leluhurnja keatas.

Ditentukan pula, bahwa bagian legitiem itu tidak boleh diserahkan kepada orang lain, baik setjara penghibahan selama hidup maupun setjara hibah wasiat.

Dengan demikian ternjata djanda tidak berhak atas suatu.bagian legitiem. Djadi dalam Burgerlijk Wetboek djanda tidak diperlakukan sebaik seperti dalam Hukum Islam, jang mengenal seperti bagian legitiem bagi djanda, dan djuga tidak sebaik seperti dalam Hukum Adat jang pada pokoknja mendjamin kepada si djanda agar dapat meneruskan hidupnja setjara pantas, berhak atas bagian dari harta warisan si peninggal warisan.

Bagian legitiem menurut pasal 914 B.W . untuk anak si peninggal warisan, apabila hanja ada seorang anak, adalah seperdua dari bagian si anak itu menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat (ab-intestato). Djadi apabila ada djanda, maka bagian tertentu dari anak jang tidak dapat dikurangi itu, ialah 1/4 bagian dari harta warisan.

Bagian ini adalah 2/3 apabila ada dua orang anak, dan 3/4 apabila ada tiga orang anak atau lebih.

Anak ini diganti oleh keturunannja, apabila ia wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan.

Bagi orang-tua dan leluhurnja keatas bagian tertentu ini adalah selalu

1/2 dari bagian masing-masing menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat (pasal 915 B .W .).

Demikian djuga bagi anak diluar perkawinan jang diakui, bagian tertentu ini adalah seperdua (pasal 916 B .W .).

Oleh pasal 917 B.W . ditegaskan lagi, apabila diantara para ahliwaris tidak ada anak, anak diluar perkawinan jang diakui atau orang-tua atau leluhurnja keatas, maka si peninggal warisan leluasa untuk menentukan kemauannja terachir terhadap seluruh barang-barang kekajaannja dengan menjimpang dari Hukum Warisan tanpa hibah wasiat, sedang ditegaskan lagi dalam pasal 919 B.W ., bahwa bagian harta warisan jang melebihi

H IBA H W ASIAT

bagian legitiem itu, dapat dihibah-wasiatkan kepada orang ketiga atau kepada anak-anaknja.

Sebetulnja dua-duanja pasal ini tidak perlu dimuat, oleh karena sangat nampak lajaknja. Jang agak perlu adalah pasal 920 B.V(^. jang menentu­ kan, bahwa memperbaiki hal meliwati batas bagian legitiem ini hanja dapat dilakukan oleh para ahliwaris jang berhak atas bagan legitiem itu atau oleh ahliwaris mereka atau oleh orang2 jang mendapat hak dari mereka.

Bagi orang-orang warganegara Indonesia berbangsa Arab, menurut pasal 3 dari Staatsblad 1924-556 Hukum Warisan jang menentukan bagian, apabila tiada hibah wasiat (ab-intestato) ialah Hukum Islam, bagi orang- orang Timur-Asing lain Hukum Adat mereka.

Ada kalanja diantara beberapa ahliwaris ada jang mendapat bagian legitiem ada jang tidak. Misalnja seorang anak disamping djanda, atau orang-tua disamping saudara sekandung dari si peninggal warisan.

Dalam tjontoh ke-1 jaitu si wafat meninggalkan seorang anak dan seorang djanda, maka bagian masing2, apabila tiada hibah wasiat, adalah

V2 bagian dari harta warisan. Bagian legitiem dari anak adalah *4 bagian. Dan sisanja, jaitu 1/4 bagian dapat diberikan kepada orang lain.

Tetapi kalau si djanda, jang menurut Hukum Warisan tanpa hibah wasiat harus mendapat 1/2 bagian, oleh si wafat dalam hibah wasiat sama sekali tidak diberi apa-apa (onterfd), maka jang dapat diberikan kepada seorang ketiga mendjadi 3/4 bagian. Ini adalah gandjil, oleh karena, kalau tidak ada djanda, maka si anak akan mendapat harta warisan seluruhnja dan bagian legitiem adalah 1/2 bagian, dan hanja 1/2 bagian dapat di­ berikan kepada orang lain.

Untuk menghilangkan kegandjilan ini, maka 9 l6 a B.W . menentukan, dalam hal ini bagian jang dalam hilbah wasiat dapat diberikan kepada se­ orang ketiga, adalah sama dengan apabila tidak ada djanda, djadi 1/2 'ba­ gian dan tidak 3/4 bagian.

Apabila peraturan ini dilanggar, djadi apabila seorang ketiga dalam hibah wasiat diberi lebih dari pada 1/2 bagian, maka seorang ahliwaris jang berhak atas bagian legitiem, djadi in casu si anak, atau keturunannja, dapat menuntut, supaja bagian jang diberikan kepada seorang ketiga itu, dikurangi mendjadi 1/2 bagian.

Kalau ada dua orang anak dan seorang djanda, maka, apabila tidak ada hibah wasiat, mereka masing-masing akan mendapat 1/3 bagian, dan bagian legitiem dari anak-anak masing-masing adalah 1/6 bagian, djadi untuk dua anak 1/3 bagian, maka jang dapat diberikan kepada orang ketiga ialah 2/3 bagian, kalau tidak ada pasal 9l6a B.W .

Dengan adanja pasal ini maka harus dipikirkan dulu, andaikata djanda tidak ada, artinja sudah wafat lebih dulu dari pada si' peninggal warisan. Maka dalam hal ini tiap-tiap anak akan mendapat 1/2 bagian, dan bagian legitiem adalah 1/4 bagian untuk masing-masing, djadi untuk dua anak

1/2 bagian. Maka jang boleh diberikan kepada orang ketiga dalam hibah wasiat adalah 1/2 bagian, tidak 2/3 bagian.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Seorang „ketiga” ini mungkin sekali salah seorang dari dua orang anak itu. Maka si peninggal warisan leluasa untuk dalam hibah wasiat memberi 1/4 + 1/2 mendjadi 3/4 bagian kepada seorang anak dan hanja 1/4 bagian kepada anak jang lain.

Djuga mungkin sekali si peninggal warisan ingin memberi kepada djanda lebih dari pada menurut Hukum Warisan ab-intestato. Dalam hal itu si djanda djadi seorang „ketiga”, maka dapat diberi sampai 1/2 bagian, dan dua orang anak masing-masing mendapat 1/4 bagian.

T jam menghitung bagian legitiem

Pengertian bagian legitiem tidak berarti, bahwa dari tiap barang terten­ tu tidak boleh bagian tertentu diberikan kepada orang lain dari pada jang berhak atas bagian legitiem (legitimaris), melainkan berarti, bahwa ahli- waris jang berhak atas bagian legitiem itu, adalah berhak atas sedjumlah barang-barang dari harta warisan, jang harga-nilainja merupakan bagian tertentu dari harga-nilai seluruh harta warisan.

Djadi mungkin sekali pemberian barang-barang tertentu kepada orang ketiga tidak perlu dikembalikan, apabila harga-nilai dari sisa harta warisan masih mentjukupi bagian legitiem.

Pasal 921 B.W . menentukan tjara menghitung bagian legitiem ini sebagai berikut.

Barang-barang dari harta warisan jang ditinggalkan oleh si peninggal warisan dihitung nilai harganja seluruhnja. Ini ditambah dengan nilai- harga dari barang-barang jang dihibahkan oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih hidup. Kemudian dikurangi dengan djumlah hutang-hutang dari si peninggal warisan. Dari sisanja dihitung bagian jang menurut B.W . masuk bagian legitiem.

Meskipun pasal 921 B.W . memakai istilah „giften” (penghibahan), para ahli-hukum di Negeri Belanda sependapat, bahwa istilah ini tidak hanja meliputi penghibahan biasa, melainkan meliputi segala perbuatan- hukum jang bermaksud menguntungkan orang lain.

Kalau tidak demikian, orang dapat mengakali setjara memindjamkan uang kepada seorang ketiga dan kemudian hutang itu dibebaskan.

Maka hal membebaskan hutang termasuk „penghibahan” ini. Begitu djuga lain-lain perbuatan jang bermaksud menguntungkan, seperti misalnja mendjual barang dengan harga jang sengadja ditetapkan sangat rendah.

Ada berlainan pendapat tentang suatu perdjandjian antara suami dan isteri, jang dikalangan para ahli-hukum Belanda dinamakan „verblijvens- beding”, jaitu bahwa dalam hal ada pertjampuran kekajaan antara suami dan isteri didjandjikan dalam „perdjandjian-perkawinan” (huwelijks- voorwaarden), bahwa apabila salah seorang dari suami-isteri meninggal dunia, maka milik-bersama atas 'barang-barang rumah-tangga seketika itu djuga beralih mendjadi milik-pribadi dari jang masih hidup.

Menurut Asser-Meyers halaman 167-168 perdjandjian ini masuk „peng­ hibahan” dari pasal 921 B.W ., oleh karena perdjandjian ini terang meng­ untungkan suami atau isteri jang masih hidup.

H IBA H WASIAT

Menurut Klaassen-Eggens dalam bukunja „Huwelijks-goederen- en erfrecht tjetakan ke-7 halaman 263, perdjandjian ini tidak masuk „peng­ hibahan dari pasal 921 B.W ., oleh karena perdjandjian ini dianggap suatu tjara membagi suatu tjampur-kaja (verdeling van een gemeenschap van goederen).

Terhadap Asser-Meyers dapat diakui, bahwa pada achimja suami atau isteri jang masih hidup, diuntungkan, tetapi apabila ia jang wafat lebih dulu, maka pihak jang lain jang diuntungkan. Djadi semula belum dapat dikatakan, apakah ada suatu keuntungan bagi masing-masing pihak.

Dalam hal ini, menurut hemat saja, harus dipertimbangkan kepen­ tingan djanda disatu pihak dan kepentingan anak dilain pihak.

Alasan terpenting dari „verblijvensbeding” ini ialah untuk menghin­ darkan, bahwa setelah suami atau isteri wafat, lekas-lekas si djanda disuruh serahkan barang-barang rumah-tangga kepada para ahliwaris untuk dibagi- bagi.

Kalau diingat, bahwa Hukum Adat di Indonesia menghendaki pada umumnja tetap pemakaian barang-barang rumahtangga itu oleh si djanda, maka sekiranja beralasan tjukup, apabila Burgerlijk Wetboek Indonesia ditafsirkan setjara jang lebih mendekati Hukum Adat. Dengan demikian, menurut hemat saja, pendapat Klaassen-Eggens bagi Indonesia lebih dapat disetudjui dari pada pendapat Asser-Meyers.

Tentang taksiran dari harga-nilai barang-barang jang dihibahkan itu, pasal 921 B.W . mengatakan, bahwa harus dilihat keadaan dari barang- barang ipada waktu penghibahan dilakukan, tetapi menurut harga-nilai pada waktu wafatnja si peninggal warisan. Harga-nilai ini mungkin sekali sangat berbeda dari pada harga-nilai pada waktu penghibahan dilakukan.

Menurut pasal 922 B.W . dianggap ada suatu penghibahan, apabila suatu barang diberikan kepada seorang ketiga dengan perdjandjian, bahwa kepada ahliwaris oleh seorang ketiga itu harus diberikan sedjumlah uang- bunga selama hidup si ahliwaris itu, atau dengan perdjandjian, bahwa si ahliwaris mendapat hak-memetik-hasil (vruchtgebruik) dari barang-barang jang diberikan itu.

Pasal 923 ajat 1 B.W . menundjuk pada keadaan barang-barang jang dihibahkan itu, kemudian hilang tanpa salah seorang ketiga jang diuntung­ kan itu. Dalam hal ini ditentukan, harga-nilai dari barang-barang itu tidak ditambahkan pada nilai-harga harta warisan.

Apabila barang-barang itu hanja tidak dapat dikembalikan, oleh karena seorang ketiga itu tidak mampu untuk itu, misalnja apabila barang jang dihibahkan itu berupa uang-tunai, maka harga-nilai dari barang itu, me­ nurut ajat 2 dari pasal 923 B.W ., harus ditambahkan guna menghitung bagian legitiem.

Kalau menurut perhitungan tersebut diatas ternjata si peninggal wa­ risan melanggar bagian legitiem ini, maka, menurut pasal 924 B.W ., jang harus diserang dulu ialah barang-barang jang dihibahkan dalam hibah wasiat, dan kemudian, apabila 'barang-barang itu belum mentjukupi, baru­

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

lah mendapat giliran barang-barang jang dihibahkan pada waktu si pening­ gal warisan masih hidup, mulai dengan barang-barang jang terbelakang dihibahkan dan begitu seterusnja diarahkan kepada barang-barang jang lebih dulu dihibahkan.

Bagaimanakah halnja apabila si peninggal warisan membajar hutang, jang menurut Hukum tidak dapat dituntut pembajarannja (natuurlijke ver- bintenis) seperti misalnja hutang sebagai akibat kalah dalam pendjudian. Jurisprudensi di Negeri Belanda menganggap pembajaran hutang se- matjam ini tidak sebagai penghibahan jang dapat diutik-utik. Demikian djuga pendapat Asser-Losecaat Vermeer bagian III halaman 39, Klaassen- Eggens halaman 2 6 1.

Suyling-Dubois halaman 465 memperluas hal tidak dapat diutik-utik ini sampai kepada segala perbuatan murah hati jang dapat diharapkan dari seorang jang sopan.

Tentang tjara menuntut supaja barang-barang jang telah dihibahkan, itu, dikembalikan, ada dua pendapat.

Asser-Meyers (halaman 149 dan 173) berpendapat, bahwa peng­ hibahan jang meliwati batas itu, harus dituntut supaja dibatalkan, sedang Suyling-Dubois (halaman 455 dan seterusnja) menghendaki tuntutan per­ seorangan (persoonlijke vordering) terhadap jang diberi hibah, supaja ia mengembalikan barang jang melebihi batas bagian legitiem itu.

Bagi saja perbedaan pendapat ini tidak begitu penting, dan saja me- njenderung untuk memperbolehkan dua-duanja tjara tuntutan ini.

Berhubung dengan ini, pasal 925 B.W . ajat 1 mengatakan, apabila jang harus dikembalikan itu adalah barang-barang jang tidak bergerak, djadi jang seluruhnja harus dikembalikan, seperti tanah, rumah dan sebagai- nja, maka barang ini dapat dituntut kembalinja „in natura”, artinja : tidak dapat diganti dengan uang.

Tetapi, menurut ajat 2 dari pasal tersebut, apabila barang-tak-bergerak itu hanja harus dikurangi sadja, maka pengembalian hal kelebihan jang meliwati batas itu, dapat dilakukan setjara pemberian uang-tunai.

Selandjutnja pasal 926 B.W . memberi kesempatan kepada si peng- hibah wasiat untuk menentukan, bahwa suatu barang tertentu mendapat prioriteit untuk diberikan kepada jang dihibahi, artinja bahwa lain barang dulu jang harus dikembalikan untuk memenuhi bagian legitiem. Baru apabila barang ini belum menjukupi, maka barang jang tersebut pertama itu, dapat pula dituntut pengembaliannja.

Pasal 918 B.W . menundjuk kepada suatu hibah wasiat atau suatu penghibahan biasa, jang meliputi suatu hak-memetik-hasil (recht van vruchtgebruik) atau suatu uang-bunga selama hidup (lijfrente). Kalau dengan demikian diliwati batas bagian legitiem, maka si berhak atas bagian legitiem itu dapat memilih antara dua, jaitu ke-1 melaksanakan penghibahan

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 55-65)