• Tidak ada hasil yang ditemukan

TJARA PENGHIBAHAN WASIAT

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 65-75)

Menurut Hukum Adat

Dalam Hukum Adat sama sekali tidak ditentukan tjara tertentu untuk mengadakan hibah wasiat.

Sering kemauan terachir ini diutjapkan pada waktu si peninggal warisan sudah sakit keras jang kemudian menjebabkan adjalnja. Biasanja kalau ini terdjadi, utjapan ini dihadiri oleh beberapa orang dari sanak- keluarga jang agak dekat tali-kekeluargaannja.

Menurut Van Vollenhoven dalam bukunja tentang Hukum Adat ba­ gian I halaman 342, diantara orang-orang muslim di Tondano kadang- kadang ada suatu utjapan kemauan terachir oleh orang jang tidak mem- punjai anak dengan cunadiri oleh Kepala Desa dan beberapa orang dari desa itu.

Dikota-kota besar tidak djarang utjapan kemauan terachir ini disaksi­ kan oleh seorang notaris, jang diundang untuk mendengarkan utjapan itu. Kalau ini terdjadi, notaris tentunja akan mentjatat utjapan itu sebaik-baiknja dengan disaksikan oleh dua orang saksi, ketjuali apabila si peninggal warisan ingin merahasiakan utjapan itu sehingga wafatnja. <■

Utjapan kemauan terachir ini di Djawa dinamakan wekas, di Minang­ kabau wnanat, di Atjeh peuneitsan, di Batak ngeudeskan.

Utjapan ini sering djuga hanja merupakan penegasan udjud dari ba­ rang-barang jang akan mendjadi harta warisan, dan disamping itu disebut­ kan barang-barang jang tidak merupakan harta warisan, melainkan milik orang lain, misalnja milik pribadi dari isterinja atau anaknja.

D jadi pada umumnja maksud dari utjapan-utjapan ini ialah usaha un­ tuk menghindarkan keributan dan tjek-tjok dalam membagi harta warisan dikemudian hari diantara para ahliwaris.

Sering djuga utjapan kemauan terachir ini mengandung andjuran be­ laka kepada para ahliwaris untuk dengan ichlas hati memberikan sebagian dari harta warisan kepada orang-orang sanak-keluarga jang agak djauh tali kekeluargaannja dan oleh karena itu tidak berhak atas suatu bagian dari harta warisan, tetapi ada tali persahabatan jang erat antara ia dan si peninggal warisan.

Ada mungkin pula seorang peninggal warisan itu mengeluarkan ke­ inginan akan menundjuk seorang tertentu untuk memelihara seterusnja anak-anak si peninggal warisan jang masih ketjil, terutama kalau anak-anak itu sudah tidak mempunjai orang-tua.

Sering seorang peninggal warisan menuliskan kemauan terachir dalam suatu surat, jang dibatjakan dimuka beberapa orang sanak-keluarga jang diminta turut menanda-tangani surat itu.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Menurut Hukum islam

Menurut Juynboll dalam bukunja halaman 263, d juga dalam Hukum Islam tidak ditentukan tjara tertentu untuk mentjiptakan kemauan terachir dari si peninggal warisan. Hanja ditentukan, bahwa utjapan itu harus tegas dan terang dengan dihadiri oleh orang-orang jang dikemudian hari, kalau perlu, dapat mendjadi saksi untuk membenarkan adanja utjapan itu.

Kalau kemauan terachir ini ditulis dalam suatu surat, maka surat hibah wasiat ini hanja sah, apabila isinja diberitahukan dengan lisan kepada orang-orang saksi.

Seperti dalam penghibahan biasa, penghibahan wasiat ini memper- lukan kabul, jaitu kesediaan orang jang dihibahi akan menerima barang jang dihibahkan itu.

Kabul ini dilakukan setelah si penghibah meninggal dunia, oleh karena sampai wafatnja si penghibah dapat menarik kembali penghibahan ini.

Menurut Hukum Burgerlijk W etboek

Burgerlijk Wetboek mengenal tiga matjam tjara membikin hibah wasiat, jaitu :

■ ke-1 testament rahasia (geheim), • -ke-2 testament tak-rahasia (openbaar),

ke-3 testament tertulis sendiri (olografis), jang biasanja bersifat ra­ hasia tetapi mungkin djuga tak-rahasia.

Dalam tiga-tiganja tjara membikin testament ini diperlukan tjampur tangan seorang notaris.

Pasal 931 B.W . hanja menjebutkan adanja tiga matjam testament tadi.

Testament olografis

Testament sematjam ini ‘jang mulai diatur oleh Burgerlijk Wetboek, jaitu dalam pasal 932 dan seterusnja.

Ditentukan, testament ini selurtthnja harus ditulis dan ditanda-tangani oleh si peninggal warisan dan kemudian disimpan oleh seorang notaris;

hal menjimpan ini harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pada waktu menjerahkan testament jang telah tertulis ini, kepada notaris untuk disimpan, testament mungkin sudah tertutup dalam suatu sampul jang disegel. Dalam hal ini si peninggal warisan harus dimuka notaris dan para saksi mentjatat pada sampul, bahwa sampul itu berisi testamentnja. Kemudian tjatatan itu harus ditanda-tangani olehnja.

Kemudian notaris bikin akte tersendiri dari hal menerima testament ini untuk disimpan, akte mana harus ditandatangani oleh notaris, saksi-saksi dan si peninggal warisan.

Mungkin testament diserahkan kepada notaris dengan tidak tertutup

dalam sampul, djadi tidak rahasia.

Kalau ini terdjadi, maka akte penerimaan untuk disimpan (akte van bewaargeving) tadi oleh notaris ditulis pada testamentnja sendiri, dibawah tulisan si peninggal warisan jang mengandung kemauan terachir. Kemudian akta itu harus ditanda-tangani oleh' notaris, saksi2 dan si peninggal warisan.

TJARA PEN GH IBAH AN W ASIAT

Ajat 2 dari pasal 932 BAV. memmdjuk kepada kemungkinan, bahwa setelah si peninggal warisan menulis dan menanda-tangani testamentnja, kemudian berhalangan untuk menanda-tangani sampulnja atau akta-peneri- maan.

Kalau ini terdjadi, maka notaris harus mentjatat hal ini serta sebabnja berhalangan ini.

Pasal 933 B.W . menentukan, kekuatan testament olografis ini sama

dengan kekuatan testament tak-rahasia jang dibikin dimuka notaris, dan

dianggap terbikin pada tanggal dari akta-penerimaan oleh notaris.

Djadi tidak dipedulikan tanggal jang ditulis dalam testamentnja sen­ diri.

Ajat 2 dari pasal tersebut mengandung suatu peraturan mengenai terbuktinja hal, bahwa testament itu betul-betul ditulis dan ditanda-tangani oleh si peninggal warisan, jaitu bahwa ini dianggap demikian sampai di­ buktikan sebaliknja.

Dengan ini dihindarkan tjek-tjok dimuka Hakim mengenai pembagian kewadjiban membuktikan hal sesuatu (bewijslast-verdeling).

Menurut pasal 934 B.W . si peninggal warisan dapat meminta kembali testamentnja. Untuk pertanggung-djawabnja notaris, maka permintaan kem­ bali ini harus dinjatakan dalam suatu akta authentiek, biasanja tentunja akta-notaris.

Ditegaskan oleh ajat 2 dari pasal tersebut, bahwa dengan menerima kembali testament olografis ini, hibah wasiat harus dianggap seperti di-tarik-kembali (herroepen).

Oleh pasal 937 B.W . ditentukan, apabila testament olografis ini di­ serahkan kepada notaris setjara tertentu dalam suatu sampul jang tersegel, maka notaris tidak berhak membuka segel ini, melainkan harus, setelah wafatnja si peninggal warisan, menjerahkannja kepada Balai Harta Pening­ galan (Weeskamer) untuk dibuka dan diperlakukan seperti halnja dengan testament rahasia (pasal 942 B .W .), jaitu dengan membikin procesverbaal dari (pembukaan ini dan dari keadaan testament jang diketemukan. Kemu­ dian testamentnja harus dikembalikan lagi kepada notaris.

Testament tak-rahasia (openbaar)

Ini diatur dalam pasal 938 dan seterusnja dari B.W .

Pasal 938 B.W . menentukan, testament tak-rahasia ini harus dibikin dimuka seorang notaris dengan dihadiri dua orang saksi.

Selandj'itnja seorang peninggal warisan menjatakan kemauannja ke­ pada notaris setjara setjukupnja („zakelijk”), maka notaris harus menulis atau menjuruh menulis pernjataan ini dalam kata-kata jang terang.

Ada berlainan pendapat tentang soal apakah pernjataan oleh si pening­ gal warisan ini harus setjara lisan atau dapat setjara tertulis atau setjara

menggerakkan badan (gebaren).

Asser-Meyers (halaman 198), Suyling-Dubois (Nomer 9 9 ), Ktaas- sen-Eggens (halaman 314 dan 315) dan Hoge Raad di Negeri Belanda (putusan tanggal 27-11-1908 W . 8773) berpendapat, bahwa pernjataan ini 65

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

harus setjara lisan, oleh karena hanja dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pernjataan ini dilakukan dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Dikatakan oleh Asser-Meyers, bahwa lazimnja testament tak-rahasia ini sedjak dahulu kala dinamakan testament lisan.

Dan lagi istilah pernjataan „zakelijk” ini dimuatkan dalam pasal B.W . ini untuk menegaskan, bahwa notaris tidak perlu menulis semua kata-kata jang dipakai oleh si peninggal warisan, melainkan dapat dipergunakan kata-kata jang dipilih oleh notaris agar jang ditulis itu mendjadi terang maksudnja.

Menurut Asser-Meyers pendapat jang lain, jaitu jang tidak meng­ anggap tjara lisan sebagai sjarat-mutlak, adalah dianut oleh penulis-penu­ lis Uierhuis, Opzoomer dan Land.

Menurut hemat saja, jang perlu dalam hal ini ialah, bahwa si nota­ ris mengerti apa jang dinjatakan oleh si peninggal warisan.

Tentunja lazim tjara menjatakan ini adalah tjara lisan, tetapi ada kalanja seorang peninggal warisan itu sakit tenggorokannja sehingga tidak dapat bitjara, dan ia lantas menulis kemauannja diatas kertas. Kemudian tulisan dibatja oleh notaris dengan suara keras. Kalau si peninggal warisan setelah mendengarkan pembatjaan ini, menganggukkan kepalanja, maka tjara pernjataan ini tidak kurang terangnja dari pada dengan tjara lisan.

Maka saja dapat menjetudjui pendapat Diephuis, Opzoomer dan Land. Ajat 2 dari pasal 939 B.W . membuka kemungkinan, bahwa pernja­ taan si peninggal warisan tentang kemauan terachir ini dilakukan kepada notaris diluar hadir saksi-saksi dan kemudian oleh notaris ditulis pula.

Kalau ini terdjadi, maka sebelum tulisan notaris ini dibatjakan, lebih dulu si peninggal warisan harus menjatakan lagi kemauannja setjara pen- dek-pokok (zakelijk) dimuka saksi-saksi.

Kemudian, menurut ajat 3, barulah tulisan notaris dapat dibatjakan dan ditanjakan kepada si peninggal warisan, apakah betul jang dibatjakan itu adalah kemauannja terachir.

Pembatjaan dan tanja-djawab ini djuga harus dilakukan, apabila per­ njataan si peninggal warisan semula sudah dilakukan dimuka saksi-saksi. Kemudian akta-notaris harus ditandatangani oleh notaris, si pening­ gal warisan dan saksi-saksi.

Kalau si peninggal warisan menjatakan tidak dapat menanda-tangani atau berhalangan untuk itu, maka satu sama lain harus disebutkan setjara terang dalam akta-notaris.

Djuga harus disebutkan dalam akta-notaris ini, bahwa atjara seleng- kapnja jang diperlukan ini telah dilakukan semuanja.

Testament rahasia

Sjarat-sjarat untuk testament rahasia ini ditentukan dalam pasal 940 dan pasal 941 B.W .

Ditentukan, si peninggal warisan harus menulis sendiri atau menjuruh ditulis oleh orang lain kemauannja terachir itu. Kemudian ia harus me­ nandatangani tulisan itu.

T J ARA PEN GH IBAH AN W ASIAT

Kemudian tulisan dapat ditutup dalam sampul dan sampulnja disegel, dan kemudian baru diserahkan kepada notaris, tetapi djuga diperbolehkan penutupan dan penjegelan itu dilakukan dimuka notaris dan 4 orang saksi.

Kemudian si peninggal warisan harus membikin suatu keterangan dimuka notaris dan saksi-saksi itu, bahwa jang termuat dalam sampul itu, adalah testamentnja dan bahwa ia sendiri jang menulisnja serta menanda- tanganinja, atau bahwa ia menjuruh orang lain untuk menulisnja, dan ia telah menanda-tangani.

Kemudian notaris membikin akta „superscriptie”, jaitu untuk mem­ benarkan keterangan itu, akta mana dapat ditulis dalam surat jang memuat keterangan itu sendiri, atau pada sampulnja.

Akta „superscriptie” ini harus ditanda-tangani oleh notaris, pening­ gal warisan dan saksi-saksi.

Kalau si peninggal warisan tidak dapat menanda-tangani atau ber­ halangan untuk itu, maka satu dan lain harus disebutkan dalam akta super­ scriptie itu.

Pada achirnja ditentukan pada ajat penghabisan dari pasal 940 B.W ., bahwa testament rahasia ini harus disimpan oleh notaris bersama-sama dengan orisinil-orisinil dari akta-akta notaris lain.

Pasal 941 B.W . menundjuk kepada kemungkinan si peninggal warisan tidak dapat bitjara (bisu), tetapi dapat menulis. Dalam hal ini testament tetap harus ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh si peninggal warisan.

Kemudian testament itu harus diserahkan kepada notaris, dan diatas akta superscriptie harus ditulis oleh si peninggal warisan dimuka notaris dan para saksi, bahwa surat tulisan jang ia serahkan itu, adalah testament­ nja.

Kemudian notaris bikin akta superscriptie dan menjebutkan didalam- nja, bahwa keterangan si peninggal warisan itu ditulis dihadapan notaris dan saksi-saksi.

Djuga kini ditetapkan, harus dianggap terbukti penulisan dan penan- da-tanganan oleh peninggal warisan ini, sehingga terbukti jang sebaliknja.

Pasal 943 B.W . menjebutkan kewadjiban notaris untuk memberita­ hukan adanja testament-testament ini kepada orang-orang jang berkepen­ tingan, apabila si penghibah wasiat meninggal dunia.

Menurut pasal 935 B.W . si peninggal warisan diperbolehkan menulis kemauan terachir dalam surat dibawah tangan, djadi tidak dengan tjampur tangan seorang notaris, tetapi hanja tentang pengangkatan orang-orang jang diwadjibkan melaksanakan testament (executeur testamentair), ten­ tang pemesanan hal penguburan dan tentang penghibahan pakaian, barang perhiasan dan mebel-mebel.

Penarikan kembali dari kemauan terachir ini dapat dilakukan dengan akta dibawah tangan djuga.

Ada dua pasal dari B.W . jang berlaku bagi semua matjam testament tersebut, jaitu pasal 930 dan pasal 944.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Menurut pasal 930 B.W . tidak boleh satu testament dibikin oleh dua orang, baik untuk seorang ketiga maupun untuk saling menguntungkan.

Alasan dari adanja larangan ini terletak pada hakekat, bahwa testa­ ment dapat ditarik kembali. Penarikan kembali ini akan dipersukar 'dengan adanja testament jang dibikin bersama-sama ini.

Pasal 944 B.W . menentukan sjarat-sjarat bagi orang-orang jang akan mendjadi saksi dalam hal pembikinan testament.

Mereka harus dewasa, djadi harus berumur 21 tahun keatas atau sudah kawin, dan harus penduduk di Indonesia. Djuga mereka harus mengecti bahasa jang dipakai dalam pembikinan testament ini.

Ajat 2 dari pasal 944 itu menambahkan sjarat-sjarat bagi saksi-saksi dalam pembikinan testament tak-rahasia (openbaar testament), jaitu tidak diperbolehkan mendjadi saksi :

a. para ahliwaris atau orang-orang jang dihibahi barang-barang atau sa- nak-sanak-keluarga mereka sampai tingkat ke-4,

b. anak-anak, tjutju-tjutju serta anak-anak-menantu atau tjutju-tjutju me­ nantu dari notaris,

c. pelajan-pelajan dari notaris.

Pembikinan testament diluar Negeri

Pasal 945 B.W . mengatakan, seorang warganegara Indonesia jang takluk pada Burgerlijk Wetboek diluar Negeri dapat membikin testament, tetapi hanja dengan suatu akta-authentiek dan dengan memperhatikan atjara-atjara jang lazim ditempat tertentu diluar Negeri itu.

Tetapi pasal 935 B.W . tentang kemungkinan pembikinan testament tertentu dengan akta dibawah tangan, berlaku djuga bagi orang-orang jang

berada diluar Negeri itu.

Dimana diluar Negeri ada konsul dari Republik Indonesia, maka kon­ sul itu dapat melakukan tindakan-tindakan jang lazim masuk kekuasaan seorang notaris di Indonesia.

Pembikinan testament dalam keadaan luar biasa

Ini diatur dalam pasal-pasal 946, 947 dan 948 B.W .

Menurut pasal 946 B.W . dalam keadaan perang seorang pradjurit atau seorang jang bekerdja pada ketentaraan, dapat membikin testament dimuka seorang perwira dengan pangkat letnan ke atas, atau, apabila ti­ dak ada perwira, dimuka seorang pedjabat tertinggi ditempat itu, satu sama lain dengan dihadiri dua orang saksi.

Menurut pasal 947 B.W . seorang jang baru berlajar ditengah-tengah lautan, dapat membikin testament dimuka Kapten kapal dengan dihadiri dua orang saksi.

Menurut pasal 948 B.W ., disuatu tempat terpentjil, dengan terputus- nja hubungan lalu lintas dengan lain daerah oleh karena penjakit pes atau dimana ada pemberontakan atau bentjana alam, orang dapat mem­ bikin testament dimuka seorang pegawai Pamong-Pradja.

Ditentukan dalam pasal 949 B.W ., bahwa testament sematjam jang

TJARA PEN GH IBAH AN WASIAT

dimaksudkan dalam pasal-pasal 946, 947 dan 948 B.W . ini, harus ditan- da-tangani oleh si peninggal warisan dan sekurang-kurangnja seorang saksi.

Kalau mereka tidak dapat menulis, maka ini harus disebutkan dalam testament itu.

Dalam hal ini perlu ditundjuk pada pasal 4 dari Staatsblad 1924-556 jang menentukan, bahwa bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur-Asing, jang bukan Tionghoa, pembikinan testament dalam keadaan luar biasa tersebut, harus selalu dilakukan dengan akta „openbaar” (tak- rahasia) menurut pasal-pasal 938 dan 939 B.W .

Ratio dari pasal 4 ini bagi saja tidak terang.

Mengingat sifat luar biasa dari keadaan jang dimaksudkan, maka pasal 950 B.W . menentukan, bahwa testament jang dibikin dalam keadaan luar biasa menurut pasal-pasal 946, 947 dan 948 ajat 1 tadi, mendjadi tidak berharga lagi (krachteloos) setelah lampau 6 bulan sesudah hal jang menjebabkan sifat luar biasa tadi, terhenti.

Mengenai keadaan luar biasa jang dimaksudkan dalam pasal 948 ajat

2 (pemberontakan atau bentjana alam) tenggang 6 bulan ini dihitung dari tanggal pembikinan akta.

Pasal 951 B.W . membuka kemungkinan, dalam keadaan luar biasa tersebut diatas, testament dapat dibikin dengan akta dibawah tangan, asal sadja ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh si peninggal warisan sendiri.

Akta sematjam ini hanja berlaku selama 3 bulan terhitung dari waktu hal jang menjebabkan sifat luar biasa dari keadaan itu, terhenti, ketjuali apabila akta itu diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan setjara jang ditentukan bagi suatu testament olografis (pasal 952 B .W .).

Pada achirnja pasal 953 B.W . menentukan, suatu testament jang tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut diatas, adalah batal (nietig).

Menurut Asser-Meyers (halaman 217) hal batal ini adalah dengan sendirinja, dengan tidak perlu diminta pembatalannja oleh siapa pun djuga.

Djadi Hakim harus menganggap testament ini batal, kalau diketahui dengan djalan apapun djuga, bahwa tidak dipenuhi sjarat-sjarat jang di­ tentukan oleh pasal-pasal B.W . tersebut diatas.

Pendapat Asser-Meyers ini, menurut hemat saja, sukar untuk disetu- djui, oleh karena bersifat sangat kaku dan menutup pintu bagi Hakim untuk mendjalankan kebidjaksatiaan dimana perlu.

,,Ordonnantie Noodtestamenten”

Staatsblad 1947-75 memuat suatu ordonnantie (undang-undang) tangal 3 Mei 1947 jang mulai berlaku pada tanggal 14 Mei 1947 dan jang setjara singkat dinamakan „Ordonnantie Noodtestamenten” (Peratur­ an tentang hibah wasiat dalam keadaan luar biasa).

Mengingat keadaan luar biasa di Indonesia sedjak tanggal 8 Desem­ ber 1941 sebagai akibat antara Hindia-Belanda dan Djepang, maka diang­ gap tidak mustahil, bahwa pada masa sedjak tanggal tersebut di Indonesia

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

sering dibikin testament setjara jang menjimpang dari peraturan dalam Burgerlijk W etboek.

Dianggap perlu untuk-mengesahkan testament-testament itu.

Pasal 1 menundjuk pada keadaan suatu hibah wasiat jang setelah tanggal 8 Desember 1941 sampai tanggal jang akan ditentukan oleh Gu- bernur-Djenderal, pembikinan dan penjimpanannja sama sekali diluar tjampur tangan seorang notaris atau pedjabat lain.

Ditentukan oleh pasal tersebut, bahwa hibah wasiat ini toh sah dan berharga, asal sadja selunthnja ditulis sendiri oleh si peninggal warisan serta diberi tanggal dan ditanda-tangani olehnja.

Pasal 2 menundjuk pada keadaan suatu hibah wasiat jang dalam tenggang tersebut diatas, dibikin oleh atau dimuka beberapa pedjabat tertentu, jaitu seorang Kepala kamp, seorang Kepala rumah-sakit, atau jang ditundjuk oleh mereka, seorang perwira dari Negara-negara Sekutu, seorang pedjabat umum, seorang notaris atau seorang tabib.

Ditentukan oleh pasal tersebut, bahwa hibah wasiat ini adalah sah dan berharga, asal sadja ditanda-tangani oleh si peninggal warisan dan salah seorang dari pedjabat-pedjabat tadi, atau oleh pedjabat itu sadja dengan diterangkan sebabnja si peninggal warisan tidak turut menanda­ tangani.

Pasal-pasal ini d juga berlaku bagi orang-orang jang diantara tanggal

10 Mei 1940 dan 8 Maret 1942 berdiam di Indonesia dan pada waktu membikin testament itu berada diluar Indonesia.

Tanggal jang akan ditetapkan oleh Gubernur-Djenderal ini, kemudian telah ditetapkan, jaitu :

a. tanggal 1 Desember 1946 untuk daerah-daerah Riau, Bangka, Biliton dan Borneo, untuk Negara Indonesia-Timur, untuk keresidenan Irian- Barat, dan untuk daerah-daerah Djawa dan Sumatera, dimana pada tanggal 30 Nopember 1946 Pemerintah Belanda dapat berdjalan

(Staatsblad 1947-81),

b. tanggal 1 Oktober 1948 untuk daerah-daerah diluar Indonesia dan untuk daerah Djawa dan Sumatera, dimana antara 1 Desember 1946 dan 5 Agustus 1947 Pemerintahan Belanda mulai lagi bekerdja. Menurut pasal 4, kalau surat-asli (origineel) dari testament itu hilang, maka adanja testament dapat dibuktikan dengan suatu turunan jang dibikin oleh pedjabat jang pernah menjimpan testament itu.

Kalau si peninggal warisan kemudian pada suatu waktu sudah berdaja untuk membikin atau menjuruh bikin testament dengan akta-authentiek, maka sedjak waktu itu harus dihitung suatu tenggang selama enam bulan.

Apabila si peninggal warisan baru setelah lampau tenggang itu me­ ninggal dunia, maka menurut pasal 5, testament jang dimaksudkan oleh pasal 1 dan pasal 2 itu, tidak mempunjai kekuatan (krachteloos).

Pasal 6 membuka kemungkinan suatu testament jang pembikinannja tidak menurut pasal 1 dan pasal 2 tadi, dapat disahkan oleh Hakim, apa­

TJARA PEN GH IBAH AN WASIAT

bila menurut pendapat Hakim tjukup terang, bahwa testament itu betul memuat kemauan terachir dari si peninggal warisan.

Hakimnja adalah Pengadilan Negeri setempat kediaman si pemohon atau, apabila pemohon itu tidak mempunjai rumah kediaman di Indonesia, Pengadilan Negeri di Djakarta.

Menurut pasal 7, dalam hal ini pasal 936 B.W . adalah berlaku, djadi testament itu pembukaannja harus diserahkan kepada Balai Harta Pening­ galan (Weeskamer).

Perlu kini ditundjuk pula pada ordonnantie 22 Des. 1949, termuat dalam Staatsblad 1949-448 dan mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 1949, jang memberi peraturan dalam hal suatu testament adalah hilang.

Dalam pasal 1 ditentukan, seorang jang berkepentingan dapat mohon kepada Pengadilan Negeri ditempat kediaman terachir dari si peninggal warisan, supaja ditentukan siapa jang harus mewaris harta-tinggalan se­ orang wafat, jaitu apabila agak dapat dibuktikan (aannemelijk gemaakt), bahwa tidak dapat ditundjukkan suatu testament atau turunannja resmi oleh karena hilang.

Dalam hal ini Hakim hanja dapat menjimpang dari Hukum Warisan tanpa testament, apabila dan sekedar dibuktikan dengan surat-surat jang dapat dipertjaja, bahwa dengan suatu testament atau dengan suatu peng­ hibahan biasa oleh si peninggal warisan dikehendaki penjimpangan dari

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 65-75)