• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN AHLIWARIS MENURUT BURGERL1JK WETBOEK

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 96-106)

Diatas dalam Bagian IV tentang udjud harta warisan telah dinjatakan perbedaan antara Hukum Adat serta Hukum Islam disatu pihak dan Hu­ kum B.W . dilain pihak mengenai sifat harta warisan jang beralih dari si peninggal warisan kepada ahliwaris.

Menurut Hukum Adat serta Hukum Islam, jang beralih ini pada ha-kekatnja hanja sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan hutang- hutang dari si peninggal warisan.

Menurut Hukum B.W ., jang beralih ini pada hakekatnja semua harta warisan, jang meliputi djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Dengan demikian adalah lajak, bahwa B.W . mengenal tiga matjam sikap dari ahliwaris terhadap harta warisan, artinja : ia dapat memilih diantara tiga sikap jaitu :

ke-1 : ia dapat menerima harta warisan seluruhnja menurut hakekat ter­ sebut dari B.W ., djadi jang meliputi djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan (zuivere aanvaarding),

ke-2 : ia dapat menerima harta warisan dengan sjarat, bahwa harus di-perintjj barang-barangnja dengan pengertian, bahwa hutang-hutang hanja dapat ditagih sekedar harta warisan mentjukupi untuk itu

(aanvaarding onder voorrecht van boedelbeschrijving),

ke-3 : ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama se­ kali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu. Dalam hal ini harus diingat semula pada suatu hakekat, jang dianut oleh B.W . mengenai warisan dan jang termuat dalam pasal 833 ajat l dan pasal 955 ajat 1.

Hakekat ini ialah bahwa hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban si pe­ ninggal warisan mengenai kekajaannja sedjak wafatnja dengan sendirinja

(van rechtswege) beralih pada para ahliwaris.

Maka apabila ahliwaris mengambil sikap ke-1 atau ke-2, djadi tidak menolak harta warisan, maka penerimaan harta warisan, baik untuk selu­ ruhnja maupun- dengan sjarat, selalu berlaku surut sampai detik wafatnja si peninggal warisan (lihat pasal 1047 B .W .).

Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap itu dapat berpengaruh besar terhadap ahliwaris, maka oleh B.W . kepada mereka setjara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dulu (beraad) sebelum memilih salah suatu sikap itu.

Hak berpikir

Hal hak berpikir ini .(recht van beraad) diatur dalam pasal-pasal 1023 s/d 1029 B.W .

Untuk berpikir ini si ahliwaris harus membikin suatu keterangan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri agar dimasukkan dalam daftar.

Tenggang berpikir ini oleh pasal 1024 ditetapkan 4 bulan terhitung dari saat membikin keterangan tadi. Tenggang ini kalau perlu dapat di- perpandjang oleh Pengadilan Negeri.

Tenggang 4 bulan dapat dipergunakan oleh si ahliwaris untuk mem­ bikin suatu perintjian dari barang-barang warisan.

Menurut pasal 1025 B.W ., selama tenggang ini si ahliwaris tidak dapat dipaksakan untuk menerima kedudukannja selaku ahliwaris, dan pula terhadap ahliwaris itu tidak mungkin didapatkan suatu keputusan Hakim, jang memuat suatu penghukuman perihal harta warisan ini, sedang putusan Hakim jang sudah diutjapkan terhadap si peninggal warisan, dipertang- guhkan pelaksanaannja.

Tetapi si ahliwaris diwadjibkan memelihara harta warisan sebaik- baiknja („als een goed huisvader”).

Berhubung dengan ini, maka pasal 1026 B .W. menentukan, si ahli­ waris dapat minta idzin dari Pengadilan Negeri untuk mendjual barang- barang dari harta warisan jang tidak perlu atau jang tidak mungkin dapat disimpan, atau untuk melakukan perbuatan terhadap barang-barang itu jang tidak dapat dipertangguhkan lagi. Dan Hakim dapat memerintah­ kan supaja diambil tindakan-tindakan jang perlu untuk menjelamatkan harta warisan (pasal 1027 B .W .).

Kalau tenggang 4 bulan tadi sudah lampau, maka si ahliwaris dapat dipaksakan untuk mengambil salah satu dari tiga matjam sikap tersebut diatas (pasal 1029 B .W .).

Penerimaan hari a warisan tanpa sjarat

Penerimaan harta warisan tanpa sjarat ini, menurut pasal 1048 B.W . dapat terdjadi a. setjara tegas dengan membikin suatu surat resmi (authen- tiek) atau surat dibawah tangan, atau b. setjara diam-diam, jaitu apabila ahliwaris melakukan perbuatan, dari mana dapat disimpulkan maksudnia untuk menerima warisan tanpa sjarat.

Oleh pasal 1049 B.W . disebutkan beberapa perbuatan jang tidak me­ rupakan penerimaan warisan tanpa sjarat, jaitu ke-1 segala apa jang ber­ hubungan dengan hal mengubur majat, ke-2 perbuatan jang hanja ber­ maksud menjimpan atau mengawasi atau mengurus sementara barang-barang tertentu dari harta warisan.

Ini hanja merupakan tjontoh, maka dalam praktek masih ada banjak kesulitan serta keragu-raguan, apa suatu perbuatan tertentu merupakan penerimaan warisan setjara diam-diam atau tidak.

Tidak ada kewadjiban untuk menerima harta warisan. Ini ditegaskan dalam pasal 1045 B.W .

Kalau barangkali seorang peninggal warisan dalam testament menen­ tukan, bahwa ahliwaris dilarang mempergunakan hak untuk berpikir-pikir atau untuk menerima warisan dengan sjarat, maka, menurut pasal 1043 B.W ., penentuan si peninggal warisan itu adalah batal dan tidak berharga.

KEDUDUKAN AHLIW ARIS MENURUT BU RGERLIJK W ETBO EK

H U K U M W A R ISA N D I IN D O N ESIA

Apabila si ahliwaris adalah seorang perempuan jang bersuami atau seorang jang belum dewasa atau 'seorang dibawah pengawasan curatele, maka berlaku peraturan mengenai kemampuan mereka untuk melakukan perbuatan-hukum, jaitu seorang jang bersuami dalam hal memilih salah suatu sikap terhadap harta warisan, harus dibantu atau dikuasakan oleh suaminja, seorang belum dewasa harus diwakili oleh orang-tua atau wali, seorang curandus harus diwakili oleh curatornja. Demikian ditegaskan lagi oleh pasal 1046 ajat 1 B .W .

Kalau seorang ahliwaris meninggal dunia sebelum menjatakan mene­ rima atau menolak warisan, maka, menurut pasal 1051 B .W ., ahliw'aris dari ahliwaris itu masih dapat memilih salah satu sikap itu.

Ada kemungkinan seorang ahliwaris dengan paksaan atau dengan penipuan didorong untuk menerima suatu warisan. Dalam hal ini si ahliwaris itu dapat menuntut pembatalan dari penerimaan itu (pasal 1053 ajat 1 B .W .).

Djuga mungkin seorang ahliwaris mengira, bahwa tidak ada testament dan oleh karena itu menerima harta warisan. Kemudian tem jata ada testa­ ment jang mengakibatkan- bagian dari ahliw'aris itu mendjadi sangat kurang sehingga ia ada rugi dengan kewadjiban membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Kalau ini terdjadi, maka, menurut pasal 1053 ajat 2 B .W ., ahliwaris itu hanja boleh menarik kembali penerimaan warisan itu, apabila selaku akibat dari testament itu harta warisan dikurangi sampai separoh.

Diluar hal paksaan, penipuan atau kekeliruan ini, seorang ahliwaris jang sudah memilih salah suatu sikap terhadap harta warisan, pada umum-

nja tidak dapat mengubah sikap itu.

Ada keketjualian termuat dalam pasal 1056 B .W . jang menentukan bahwa seorang ahliwaris jang telah menolak warisan, kemudian masih dapat menerima warisan itu, tetapi hanja selama harta warisan itu belum dite­ rima oleh ahliwaris lain.

Pasal 1055 B. W . mengenai lampau waktu (verjaring) selama 30 tahun dihitung fdari .wafatnja si peninggal wai'isan, jaitu apabila waktu itu sudah

lampau, seorang ahliwaris tidak dapat menerima lagi harta warisan, ke- tjuali apabila dalam waktu itu lain-lain ahliwaris djuga tidak menerima

harta warisan itu.

Kalau selaku akibat dari penolakan warisan oleh seorang ahliwaris ahliwaris lain mendapat tambahan bagian dengan bagian ahliwaris jang menolak itu, maka ahliwaris lain itu harus menerima tambahan itu, ketjuali apabila tambahan itu disebabkan oleh penarikan kembali suatu penerimaan selaku akibat dari paksaan atau penipuan atau kekeliruan. Demikianlah di­ tentukan oleh pasal 1052 dan pasal 1054 B.W .

Mevers (halaman 28 2 ) menganggap keketjualian jang tersebut bela­ kangan itu tidak beralasan. Saja pun tidak dapat menemukan suatu ratio dari pembentuk B .W . untuk menentukan keketjualian itu

A kibat dari penerimaan warisan tanpa sjarat ialah, bahwa harta wa­ risan dan harta-kekajaan pribadi dari ahliwaris ditjampin mendjadi satu.

Ini berarti terutama, bahwa semua hutang-hutang dari si peninggal warisan

diambil oper oleh ahliwaris. Dan lagi ia tidak dapat kemudian menolak warisan itu.

Penerimaan warisan dengan sjarat perintjian barang-barang warisan

Sifat pokok dari penerimaan bersjarat ini ialah bahwa dengan demi­ kian tiada pertjampuran harta warisan dan kekajaan pribadi si ahliwaris.

Ini berarti, bahwa hutang-hutang dari si peninggal warisan tidak di ambil oper oleh ahliwaris, melainkan hutang-hutang itu hanja dapat diba- jar sepandjang barang-barang dan pihutang-pihutang jang ditinggalkan oleh peninggal warisan, tjuknp untuk itu (lihat pasal 1032 B .W .).

Ini berarti djuga, bahwa kalau hutang-hutang itu melebihi nilai-harga barang-barang warisan, sebetulnja tidak ada harta warisan jang beralih dari si peninggal warisan kepada ahliwaris.

Apabila dari beberapa ahliwaris ada jang menerima warisan dengan bersjarat dan ada jang menerima tanpa bersjarat, maka, menurut pasal 1050 iat 2 B.W ., harta warisan seluruhnja dianggap diterima dengan sjarat.

Dengan demikian hak memilih diantara tiga sikap terhadap warisan, / niaP bagi seorang ahliwaris, apabila ada ahliwaris lain menerima warisan jtu dengan sjarat. Artinja : ia terpaksa djuga menerima warisan itu dengan sjarat^ia^n j apat timbul kesulitan, apabila seorang ahliwaris A dah menerima warisan tanpa sjarat dan baru kemudian ada ahliwaris fU-n si B jang menerima dengan sjarat.

Setelah A menerima tanpa sjarat, para berpihutang dan para legataris . penuntut haknja terhadap kekajaan pribadi dari si A.

pjak ini akan lenjap, apabila sebagai akibat dari penerimaan bersjatat dari B, penerimaan tanpa sjarat dari A sekaligus rnendjelma mendjadi penerimaan bersjarat.

pelenjapan hak para créditeur dan para legataris ini oleh semua enulis-ahli-hukum di Negeri Belanda dianggap tidak adil, maka dari itu

k o n s e k w e n s i ini tidak ditarik oleh mereka, melainkan dianggap si A tetap

diperlakukan sebagai ahliwaris jang menerima warisan tanpa-sjarat, tetapi hanja sekedar mengenai bagiannja dalam harta warisan.

Artinja : créditeur dan legataris dapat menuntut haknja terhadap ba- rang-barang milik pribadi si A, tetapi hanja sebagian sadja. Kalau misalnja

s - a hanja berhak atas separoh bagian dari harta warisan, maka hanja separoh dari hutang-hutang si peninggal warisan dapat dituntut pembajar- annja kembali dari si A.

Asser-Meyers (halaman 244) dan Klaassen-Eggens (halaman 4 4 l dan 4 4 2 ) malahan berpendapat, bahwa hal ini djuga berlaku, apabila si B lebih dulu sudah menerima warisan itu dengan sjarat dan baru kemudian si A

jrienerima tanpa sjaiat.

Demikian djuga Suyling (halaman 258 No. 206) jang menegaskan, bahwa selajaknja tidak ada halangan si A dengan menerima warisan tanpa

KED U D U K A N A H LIW A R IS M EN U RU T B U R G E R L IJ K W E T B O E K

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

sjarat, sebetulnja dengan suka-rela mengizinkan créditeur dan legataris menuntut haknja terhadap barang-barang milik pribadi dari si A itu.

Pandangan Suyling ini dapat saja setudjui dan sebetulnja sesuai de­ ngan Hukum ;Adat di Indonesia, jang meskipun tidak mengenal pertjam- puran dari harta warisan dengan kekajaan pribadi si ahliwaris, memandang selaku hal jang baik, apabila ahliwaris itu membajar segala hutang dari si peninggal warisan, meskipun barang-barang warisan tidak mentjukupi un­ tuk itu.

Tjara menerima warisan dengan sjarat

Menurut pasal 1029 B.W . jang menundjuk pada pasal 1023 B .W ., tjara ini ialah memberi suat» keterangan dikepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk kemudian didaftarkan disitu.

Dari pasal 1042 B.W . dapat disimpulkan, bahwa keterangan ini dapat diberikan setelah atau dengan tidak mempergunakan hak-berpikir-pikir selama empat bulan.

„Sjarat”nja dinamakan : perintjian barang-barang harta warisan. Te­ tapi ahliwaris dapat melakukan perintjian atau inventarisasi ini sebelum

atau sesudah ia memberi keterangan menerima warisan dengan sjarat.

Tjara perintjian barang-barang ini tidak ditentukan oleh B.W ., maka dapat dengan akta-notaris atau dengan akta dibaivah tangan.

Djuga tidak ditentukan tenggang tertentu, dalam mana perintjian itu harus dilakukan.

Hanja dalam pasal 1031 B.W . ditentukan, bahwa seorang ahliwaris kehilangan hak untuk menerima warisan dengan sjarat dan dianggap menerimanja tanpa sjarat :

ke-1 apabila ia sengadja dan dengan itikad-djelek (te kwader trouw)

tidak menjebutkan beberapa barang warisan dalam inventarisasi itu ke-2 apabila ia menggelapkan barang harta warisan. Istilah „mengge­ lapkan” ini lebih luas artinja dari pada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (K .U .H .P.) dan meliputi djuga hal menghilangkan

atau menjembunjikan ¡barang itu.

Akibat penerimaan warisan dengan sjarat

Akibat ini, seperti diatas telah disinggung, dalam pasal 1032 B .W . ditegaskan seperti berikut :

ke-1 : ahliwaris ini berwadjib membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan dan memenuhi beban-beban lain, hanja sampai nilai-harga dari barang-barang warisan; bebanjbeban ini meliputi djuga legaat- legaat, jaitu pemberian barang-barang tertentu dalam testament ke­ pada orang-orang tertentu.

ke-2 : barang-barang kekajaan pribadi dari ahliwaris tidak ditjampur de­ ngan barang-barang warisan, dan apabila si peninggal warisan mempunjai hutang kepada si ahliwaris, hutang ini dapat ditagih setjara diambilkan dari barang-barang warisan.

Dari akibat-akibat ini Asser-Meyers (halaman 260) menarik kesim­ 98

pulan bahwa si ahliwaris tidak mendjadi debiteur dari para crediteurnja si peninggal warisan. Créditeur ini hanja dapat menuntut supaja hutangnja dibajar dari barang-barang warisan.

Klaassen-Eggens (halaman 447 dan 448) berpendapat lain dan me­ ngatakan, bahwa biasanja si ahliwaris jang menerima warisan dengan ber- sjarat ini dipandang selaku debiteur untuk djumlah sepenuhnja, tetapi ia hanja berwadjib membajar hutang itu sampai barang-barang warisan men- tjukupi.

Saja dapat menjetudjui pendapat Meyers, oleh karena lebih mudah dapat dimengerti dan tjotjok pula dengan Hukum Adat di Indonesia, menurut mana jang diwaris oleh ahliwaris ialah hanja sisa dari barang warisan setelah dikurangi dengan hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Oleh karena ahliwaris jang menerima warisan setjara bersjarat ini, bukan debiteur dari crediteurnja si peninggal warisan (si A ), maka apabila créditeur si A itu adalah debiteur dari ahliwaris-pribadi, si A tidak dapat menghindarkan diri dari pembajaran hutangnja kepada si ahliwaris setjara kompensasi atau perdjumpahan-hutang, jaitu memperhitungkan pihutang- nja terhadap si peninggal warisan.

Kalau si ahliwaris membajar hutangnja si peninggal warisan kepada si A itu, maka ahliwaris itu menggantikan si A sebagai créditeur dari si peninggal warisan. Ini ditegaskan dalam pasal 1402 ke-4 B.W . tentang

subrogatie.

Dengan penerimaan warisan setjara bersjarat ini, ahliwaris tetap me­ rupakan ahliwaris, maka ia berwadjib untuk mengurus pembajaran hutang- hutang dari si peninggal warisan dan untuk mengurus djuga penjerahan barang-barang jang setjara legaat diberikan kepada orang-orang tertentu.

Tetapi ia dapat melepaskan diri dari kewadjiban mengurus ini, apa­ bila ia menjerahkan semua barang-barang dari harta warisan kepada para créditeur dan para legataris, agar mereka sendiri dapat mengurus hal sesuatu.

Ini ditentukan dalam pasal 1032 ke-1 bagian penghabisan.

Pemberesan harta warisan (vereffening)

Kalau penjerahan barang-barang warisan kepada para créditeur dan legataris ini tidak terdjadi, maka berlakulah pasal 1033 dst B.W . menge­ nai kewadjiban-kewadjiban si ahliwaris jang semua ditudjukan untuk

membereskan harta warisan.

Menurut pasal 1033 B .W . si ahliwaris harus mengurus barang-barang warisan sebaik-baiknja („als een goed huisvader ) dan ia tentang hal ini harus memberi pertanggungan djawab kepada para créditeur dan legataris.

Dalam membereskan harta warisan ini mungkin sekali si ahliwaris harus mendjual barang warisan, agar dengan uang-pendjualan itu dapat dibajar hutang-hutang dari si peninggal warisan. Menurut pasal ,1034 B.W . pendjualan ini harus dilakukan dunuka umum menurut adat-kebiasaan ditempat.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Kalau jang didjual itu tanah atau rumah dan atas barang itu ada hypotheek, maka si ahliwaris harus melunasi pula créditeur jang mempu- njai hypotheek itu setjara mengalihkan pihutang itu kepada jang membeli barang itu.

Apabila para créditeur atau lain-lain orang jang berkepentingan menganggap perlu, mereka dapat menuntut, supaja si ahliwaris memberi djaminan (zekerheidsstelling) sampai nilai-harga dari barang-barang ber­ gerak dari harta warisan dan nilai-harga barang-barang tak-bergerak dari harta ^warisan jang tidak diserahkan kepada créditeur jang mempunjai

Ini ditentukan dalam pasal 1035 ajat 1 B.W .

? menentukan selandjutnja, apabila djaminan ini tidak diberi, ma a Hakim dapat diminta tjampur-tangan sedemikian rupa, bahwa semua arang-barang bergerak itu didjual dan kemudian uang-pendjualan ini ersama-sama dengan barang-barang tak-bergerak jang termaksud harus iserahkan kepada seorang jang ditundjuk oleh Hakim, agar seorang itu apat melunasi hutang-hutang dari si peninggal warisan dan memenuhi egaat- egaat sampai barang-barang dari harta warisan itu mentjukupi.

Pemberian pertanggungan d jawab

Pasai 1036 B.W ., dalam 3 bulan sesudah lampau 4 bulan 1111, ■er^T-lr"P'kir> djadi 7 bulan sesudah wafat si peninggal warisan, m a-a si a iwaris diwadjibkan memanggil para berpihutang jang tidak ena se jara memasukkan iklan dalam Berita Negara, agar kepada mereka an epa a para berpihutang jang dikenal serta kepada para legataris di- eri an pertanggungan djawab dari hal mengurus harta warisan.

er anSSunSan djawab ini dapat diberikan kepada mereka bersama- sama, atau -epada masing-masing tersendiri, andaikata ada jang minta pertanggungan djawab lebih dulu.

pertanggungan djawab ini dilakukan, maka, menurut pasal ni a i ’ j , a Para berpihutang jang dikenal, harus dibajar hutang- an epa a egataris diserahkan barang-barang legaat sekedar ini se- muanja dapat dipenuhi dari barang-barang warisan.

ri'k • ken™dian ada 'muntjul seorang berpihutang, maka hutangnja ajar ari sisa barang-barang warisan, sekedar sisa itu mentjukupi. , , Pa , 1 ,a arang-barang warisan tidak mentjukupi, maka jang didahu­ lukan untuk dibajar ialah para berpihutang. Kalau masih ada sisa, baru kepada para-legataris diberikan legaat-legaatnja.

Kalau diantara para berpihutang ada jang mempunjai hypotheek atau pand, maka mereka didahulukan.

Apabila sisanja tidak tjukup untuk membajar semua hutang, dan hu­ tang-hutang ini tidak dikuatkan dengan hypotheek atau pand, maka masing- masing hanja mendapat bajaran sebagian dari hutangnja. diperhitungkan menurut besar ketjilnja hutang.

Kalau dalam hal ini ada diantara para berpihutang jang tidak setudju dengan tjara pembajaran hutang, maka, menurut pasal 1038 B .W ., harus

diminta tjampur tangan dari Hakim, jang akan menentukan tjara pemba- jaran.

Ada kalanja legataris sudah dipenuhi, dan kemudian ada muntjul beberapa berpihutang, sedang tidak ada atau tidak ada tjukup sisa dari harta warisan untuk membajar hutang-hutang ini.

Kalau ini terdjadi, maka, menurut pasal 1039 ajat 2 B.W ., si ber­ pihutang hanja dapat menuntut pembajaran dari legataris jang sudah di­ penuhi.

Tuntutan ini tidak dapat dilakukan lagi setelah lampau 3 tahun, di­ hitung dari saat si legataris dipenuhi oleh ahliwaris.

Kalau masih ada sisa barang ditangan ahliwaris, maka para berpihu­ tang tentunja dapat menuntut pembajaran hutang dari si ahliwaris itu. Dan tuntutan ini dapat dilakukan dalam djangka 30 tahun seperti biasa.

Pasal 1040 B.W . menentukan, apabila seorang ahliwaris jang meneri­ ma warisan dengan bersjarat, tidak sadja melakukan pertanggungan djawab, meskipun sudah ditegor, maka sebagai hukuman ahliwaris itu harus mem­ bajar hutang-hutang itu dengan kekajaan sendiri („eigen goederen”).

Apabila pertanggungan djawab sudah diberikan tetapi hutangnja tidak sadja dibajar oleh si ahliwaris, maka atas tuntutan si berpihutang si ahli­ waris hanja wadjib membajar hutang itu dari uang-uang tunai jang berasal dari harta warisan dan beralih ketangannja.

Pada achirnja dalam pasal 1041 B.W . ditentukan, bahwa biaja-biaja jang diperlukan untuk penjegelan (verzegeling), untuk inventarisasi, untuk membikin surat pertanggungan djawab dan lain-lain sebagainja, harus dibajar dari barang-barang warisan, sebelum hutang-hutang dibajar dan legaat-legaat diserahkan kepada para legataris.

FaUlisement dari harta warisan

Pasal 197 Faillisementsverordening membuka kemungkinan bagi para berpihutang untuk minta failitnja suatu harta warisan, jaitu menurut pasal

200, kalau sudah lampau 3 bulan sesudah harta warisan diterima, oleh ahliwaris, dan lagi kalau sudah lampau 6 bulan sesudah wafat si peninggal warisan.

Alasan untuk minta pailitnja harta warisan ialah apabila si ipemohon dapat membuktikan setjara singkat (summier), bahwa si peninggal warisan pada waktu masih hidup, sudah berada dalam keadaan berhenti membajar hutang-hutangnja, atau bahwa barang-barang warisan tidak tjukup untuk membajar semua hutang dari si peninggal warisan.

Sebetulnja, kalau harta warisan diterima dengan sjarat .perintjian barang-barang warisan, keadaannja sudah sama dengan keadaan pailit, melihat kewadjiban si ahliwaris untuk memberi pertanggungan djawab kepada para berpihutang.

Tetapi ada bedanja, jaitu bahwa kedudukan si ahliwaris terhadap harta warisan adalah lain dari kedudukan curator dalam pailit.

Si ahliwaris sendiri ada hak atas barang-barang warisan, maka dapat dimengerti, apabila dari pihak para berpihutang ada kechawatiran,

djangan-KED UD UKAN A H LIW A RIS MENURUT BU R G ER LIJK W ETBO EK

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

djangan si ahliwaris kurang djudjur dalam memperhatikan kepentingan para créditeur.

Penolakan harta warisan (verwerpen)

Pasal 1057 B.W . mulai dengan mengatakan, bahwa penolakan warisan harus dilakukan setjara tegas (uitdrukkelijk) dengan memberi suatu kete­ rangan dikepaniteraan Pengadilan Negeri, jang didalam wilajahnja harta warisan itu berada.

Oleh karena tidak dilarang, maka keterangan penolakan warisan ini dapat dilakukan oleh seorang kuasa dari si ahliwaris.

Akibat penolakan warisan ialah, menurut pasal 1058 B.W ., bahwa seorang itu dianggap tidak pernah mendjadi ahliwaris, djadi penolakan ini

berlaku surut sampai wafatnja si peninggal warisan.

Pasal 1059 B.W . menegaskan lagi akibat penolakan ini dengan me­ ngatakan, bahwa bagian si penolak dalam harta warisan akan djatuh pada seorang jang akan mendjadi ahliwaris, andaikata si penolak tidak hidup

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 96-106)