• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENARIKAN KEMBALI DAN GUGURNJA HIBAH WASIAT

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 84-96)

Diatas sudah pernah dikatakan, bahwa suatu hibah wasiat pada umumnja, djadi dilingkungan Hukum Adat maupun dilingkungan Hukum Islam dan dilingkungan Hukum Burgerlijk Wetboek, dapat ditarik kembali oleh penghibah.

Ini sesuai dengan sifat hibah wasiat gelaku kemauan terachir. Kalau hibah wasiat ditarik kembali 'oleh penghibah, maka jang ditarik kembali itu, sudah terang benderang tidak merupakan lagi kemauan terachir.

Djuga dapat dikatakan, bahwa dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum tadi penarikan kembali ini dapat dilakukan setjara tegas (uitdrukkelijk) atau setjara diam-diam (stilzwijgend).

Penarikan kembali setjara diam-diam ini terdjadi, apabila hal itu

dapat disimpulkan dari perbuatan si penghibah jang dilakukan setelah hibah wasiat itu dibikin. Artinja : dari perbuatan itu dapat disimpulkan adanja maksud dari si penghibah untuk menarik kembali hibah wasiat itu, seluruhnja atau sebagian.

Perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum,Islam disatu pihak, dan Hukum B.W . dilain pihak, ialah bahwa Burgerlijk Wetboek dalam bebe­ rapa pasal (994 dan 996) menundjuk setjara tegas kepada beberapa tindak­ an tertentu, dari mana dapat disimpulkan maksud si penghibah untuk

menarik kembali hibah wasiatnja.

pc-rbuaU n-piA uu,, , e [ t o tu ¡ « g

disebutkan oleh Wetboek Uuli, hanja merupakan M o h - t j o » ! *

sad/a dan pac/a pen m km kembali sc-tjm diam-d iam. _ ,

Dan pula, tidak ada keberatan untuk mengambil pasal-pasal dari B-

tadi selaku/pedoman dalam melaksanakan Hukum Adat,dan Hukum Marilah kita sekarang menindjau pasal-pasal dari B .W . tadi, djug jang mengenai penarikan kembali setjara tegas.

Penarikan kem bali'setjara tegas

Ini diatur dalam pasal 992 dan pasal 993 B.W .

^ enurut pasal 992 B.W ., penarikan kembali setjara tegas ini dapa i akukan a. dalam suatu hibah wasiat haru, jang diadakan menurut Pas^ pasal dari B.W . atau b. dalam suatu akta notaris chusus (bijzondere no

tvele a k te ^

.

'“ kil r ' “ ‘t i

^ ‘ktJnbjzJ/ ( f f t t e a n s u a t u n o t a r i s b i a s a , / S

M m / / penarikan kembali ini sadja.

letapi dalam hal ada suatu hibaH ■wasiat baru jang tulak mcinenuhi sjarat-sjarat atjara jang ditentukan oleh B.W . sehingga testament jang

baru itu batal selaku testament, tetapi sah selaku akta-notaris, pasal 993

B.W . menundjuk kepada suatu kemungkinan, bahwa akta-notaris tidak hanja memuat suatu penarikan kembali, melainkan djuga mengulangi be­ berapa penetapan dalam testament jang lama. Dan dalam hal ini, menurut pasal 993 itu, penetapan-penetapan jang diulangi itu, tetap 'berlaku.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa istilah „chusus” ini harus diartikan lebih luas, jaitu bahwa suatu testament dapat ditarik kembali djuga dengan suatu akta-notaris biasa, jang tidak hanja melulu memuat penarikan sadja, melainkan djuga memuat penetapan-penetapan lain me­ ngenai kemauan terachir dari si peninggal warisan.

(Lihat Asser-Meyers halaman 221 dan 222, dan Klaassen-Eggens ha­ laman 385).

Penarikan kembali setjara diam-diam

Dalam Burgerlijk Wetboek ada termuat tiga tjontoh dari penarikan kembali testament setjara diam-diam jaitu :

Ke-1 Mungkin seorang peninggal warisan membikin dua testament ber­ turut-turut, jang isinja tidak tjotjok satu sama jang lain.

Dalam hubungan ini oleh pasal 994 B.W . ditentukan, bahwa pene­ tapan-penetapan dari testament pertama, jang bertentangan dengan penetapan-penetapan testament kedua, dianggap ditarik kembali.

Ajat 2 dari pasal tersebut mengatakan selandjutnja, bahwa penarik­ an kembali setjara diam-diam ini tidak dianggap ada, apabila testa­ ment jang baru itu batal oleh karena tidak dipenuhi atjara-atjara jang ditentukan dalam B.W . Dalam hal ini tidak dipedulikan, apa­ kah testament jang baru itu selaku akta-notaris sah atau tidak. Adanja pertentangan antara dua testament, mungkin terang ben­ derang. Misalnja dalam testament pertama seorang A diberi sebuah rumah tertentu, dan dalam testament kedua rumah itu diberikan kepada seorang B. Tetapi djuga mungkin adanja pertentangan ini tidak begitu terang. Dalam hal ini harus diteliti maksud sebenarnja

dari si peninggal warisan.

Kalau misalnja dalam testament pertama suatu rumah diberikan kepada seorang A dan dalam testament kedua hak-memetik-hasil atas rumah itu diberikan kepada seorang B, maka ada pertentangan, apabila maksudnja ialah bahwa si A hanja mendapat hak-milik sadja atas rumah dengan tidak mempunjai hak memakai dan me­ metik hasil dari rumah itu.

Ke-2 Apabila suatu barang jang dalam suatu testament sudah diberikan kepada seorang A, kemudian oleh si penghibah, sebelum wafat, di- djual atau ditukarkan kepada seorang B, maka penghibahan kepada si A harus dianggap ditarik kembali. Demikian dikatakan oleh pasal 996 B.W .

Ke-3 Apabila suatu testament olografis diminta kembali dari notaris oleh si pembikin testament itu, maka testament ini dianggap ditarik kem­ bali. Demikian dikatakan oleh pasal 934 B.W .

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Pasal 995 B.W . memuat suatu peraturan mengenai baik penarikan kembali setjara tegas maupun penarikan kembali setjara diam-diam, jaitu bahwa penarikan kembali dua-duanja itu tetap berlaku meskipun kemudian ternjata, bahwa seorang jang selaku akibat penarikan kembali itu, akan mendapat warisan, tidak akan mendapat warisan itu, oleh karena dilarang oleh undang-undang atau ia kemudian menolak penerimaan warisan itu.

Dalam tjontoh jang menurut testament kesatu si A mendapat suatu barang dan menurut testament kedua si B-lah mendapat barang itu, dan kemudian ternjata si B itu menurut undang-undang dilarang mendjadi ahliwaris atau menolak warisan itu, maka tetap si A tidak mendapat barang itu.

Djadi tentang barang itu dianggap sama sekali tidak ada testament, dan barang itu harus diwaris menurut Hukum Warisan tanpa testament.

Gugurnja suatu testament

Menurut pasal 997 B.W ., apabila suatu pemberian barang dalam testament disertai suatu sjarat, jang pemenuhannja tergantung dari suatu keadaan jang belum tentu akan terdjadi, dan ahliwaris jang diberi barang itu kemudian wafat sebelum keadaan itu terdjadi, maka penghibahan itu adalah gugur (vervallen), artinja : tidak berlaku.

Ini ada berlainan dengan peraturan B.W . tentang perdjandjian ber- sjarat, jang dalam pasal 1261 menentukan, bahwa dalam perdjandjian bersjarat itu hak bersjarat (voorwaardelijk recht), kalau si pemilik hak itu wafat, beralih kepada ahlhvarisnja.

Pasal 998 B.W . menundjuk pada suatu pemberian dalam testament jang hanja pelaksanaannja sadja dipemngguhkan. Dalam hal ini hak dari orang jang mendapat pemberian barang itu, beralih kepada ahliwarisnja, apabila ia wafat sebelum pemberian itu dapat dilaksanakan.

Pasal ini ditafsirkan oleh kebanjakan ahli-hukum (Asser-M^eyers ha­ laman 109, Klaassen-Eggens halaman 392, Suyling-Dubois No. 142) se­ demikian rupa, bahwa jang dimaksudkan dalam pasal 998 B.W . itu ialah suatu pemberian jang pelaksanaannja tergantung dari suatu keadaan jang pada wafatnja si peninggal warisan belum terdjadi tetapi sudah tentu akan terdjadi, seperti misalnja wafatnja seorang tertentu.

Pemberian barang dalam testament gugur djuga, apabila a barangnja lenjap pada waktu penghibah masih hidup (pasal 999 ajat 1 B .W .), atau

b. barang 'itu kemudian, setelah wafatnja si penghibah, baru lenjap diluar salahnja seorang ahliwaris jang harus melaksanakan testament itu (pasal 999 ajat 2 B .W .).

Pasal 1000 B.W . menundjuk pada penghibahan suatu pihutang, jang djuga dianggap gugur, apabila hutang itu kemudian dibajar kepada si penghibah pada waktu ia belum wafat.

Djuga oleh pasal 1001 ajat 1 B.W . suatu hibah wasiat adalah diang­ gap gugur, apabila ahliwaris jang diberi barang warisan itu, menolak akan menerima barang itu atau oleh B.W . dilarang mendjadi ahliwaris.

pasal tersebut, jang mengatakan, apabila dengan penghibahan ini dimaksud­ kan akan memberi keuntungan kepada seorang ketiga, maka penghibahan ini Jidak gugur, artinja : kewadjiban menguntungkan seorang ketiga ini

tetap melekat pada ahliwaris jang akan menggantikan jang menolak itu menurut Hukum Warisan tanpa testament.

Misalnja orang ketiga itu adalah si A dan ahliwaris jang mendapat penghibahan itu adalah si B, maka, meskipun si B itu menolak penerimaan warisan ini atau dilarang oleh undang-undang untuk mendjadi ahliwaris, si C selaku ahliwaris tanpa testament sebagai pengganti dari si B, tetap berkewadjiban menguntungkan si A.

Si C dapat melepaskan diri dari kewadjiban ini, apabila ia melepaskan sama sekali haknja selaku ahliwaris, untuk keuntungan si A itu.

Pasal 1004 B.W . menundjuk pada kemungkinan ada penuntutan su- paja suatu penghibahan dalam testament oleh Hakim dinjatakan gugur, jaitu apabila jang dihibahi itu tidak memenuhi sjarat-sjarat jang ditentukan oleh si penghibah.

Dalam hal ini barang jang sudah diserahkan kepada orang jang men­ dapat hibah itu, dapat diminta kembali, bebas dari hypotheek atau lain- lain ikatan.

Permintaan kembali ini dapat dilakukan djuga terhadap seorang ke­ tiga, kepada siapa barangkali barang itu kemudian sudah diserahkan oleh si penerima hibah tadi.

,,Aamvas” (penambahan)

Kalau harta warisan diberikan bersama-sama kepada beberapa orang ahliwaris, misalnja si A, B dan C, dan penghibahan ini tidak dapat dilak­ sanakan terhadap salah seorang dari mereka, misalnja si A, maka bagiannja

ditambahkan pada bagian si B dan si C.

Demikian dikatakan oleh pasal 1002 ajat 1 B.W .

„Pemberian bersama” ini, menurut ajat 2, tidak dianggap ada, apabila kepada masing-masing A, B dan C tadi ditetapkan berapa bagiannja se­ perti seperdua, sepertiga dan sebagainja. _

Selandjutnja oleh ajat 3 ditentukan, bahwa pemberian bersama ini dianggap ada, apabila harta warisan tadi diberikan kepada si A, si an si C untuk bagian-bagian jang sama.

Bagi saja tidak nampak, karena alasan apa diadakan perbedaan antara dua peristiwa jang dikatakan oleh ajat 2 dan ajat 3 dari pasa 1002

Pada achirnja pasal 1003 B.W . menganggap ada pemberian bersama apabila kepada beberapa orang diberikan suatu barang, jang su ar apa dibagi-bagi tanpa merugikan, seperti misalnja satu rumah, satu u, sa lemari dan lain-lain sebagainja.

BA G IA N X I II

SJARAT-SJARAT UMUM TENTANG ORANGNJA PENINGGAL }}r/ ARISAN DAN AHLI W'ARI S

Sjarat-sjarat bagi si peninggal warisan

Kalau kini akan dibentangkan hal sjarat-sjarat umum tentang orang pribadi si peninggal warisan, maka jang dimaksud ialah hanja si peninggal warisan dalam hal membikin suatu hibah W’asiat. Bukankah bagi seorang jang meninggal dunia tanpa hibah wasiat .tidak lajak adanja sjarat-sjarat untuk dapat mendjadi peninggal warisan, oleh karena tiap-tiap orang jang me­ ninggal dunia, dengan sendirinja merupakan peninggal warisan bagi ba­ rang-barang miliknja jang ditinggalkan.

Sjarat-pokok bagi seorang untuk dapat membikin hibah wasiat pada umumnja adalah sama dengan sjarat-pokok bagi orang untuk melakukan perbuatan-hukum pada umumnja, jaitu bahwa orang itu harus mampu menentukan kemauann j a setjara bebas dan merdeka.

Sekiranja dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini tiada perbedaan antara Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek.

Pikiran sehat

Sekadar selaku penegasan adalah penentuan dalam pasal 895 B.W ., bahwa untuk dapat membikin suatu hibah wasiat, orang harus mempunjai

daja berpikir setjara sehat.

Berdaja berpikir setjara sehat ini tidak ada terutama pada seorang jang sakit gila, dan djuga tidak ada pada seorang jang dalam keadaan sakit demam jang sangat, mengatakan hal matjam-matjam (ijlende koorts), atau pada seorang jang baru mabok setelah minum minuman keras.

Djadi, kalau orang dalam keadaan demikian membikin suatu hibah wasiat maka sahnja hibah wasiat itu dapat ditentang oleh orang-orang jang berkepentingan, jaitu para ahliwaris dan para berpihutang dari si pening­ gal warisan.

Dari pasal 446 ajat 3 B.W ., jang menentukan, bahwa seorang jang berada dibawah pengawasan curatele oleh karena pemborosan, adalah berkuasa untuk bikin hibah wasiat, dapat disimpulkan, bahwa seorang curandus jang diawasi berhubung dengan sakit gila, sama sekali tidak dapat membikin hibah wasiat, djuga tidak dalam saat ia kadang-kadang dapat berpikir setjara agak sehat.

Djuga tidak berkuasa untuk bikin hibah wasiat adalah seorang jang dirawat dalam rumah-sakit-gila. Ini dapat disimpulkan dari pasal-pasal 37, 41 dan 43 dari Staatsblad 1897-54 (Reglement Krankzinnigen Wezen atau Peraturan mengenai hal orang gila).

SJARAT-SJARAT UMUM TEN TAN G ORANGNJA PEN IN GG AL W ARISAN

Umur

Ada suatu ketentuan umum dalam B.W ., bahwa hanja seorang dewasa sadja adalah berdaja untuk melakukan perbuatan-hukum. Menjimpang dari ketentuan umum ini, pasal 897 B.W . menentukan, bahwa djuga seorang jang belum dewasa, dapat bikin testament, asal ia sudah berumur 18 tahun atau lebih.

Menurut pasal 898 B.W\, untuk menentukan, apa seorang adalah berdaja membikin testament, harus dilihat pada keadaan pada waktu tes­ tament itu dibikin. Tetapi dapat dikatakan, bahwa mana kala terang se­ orang itu sebelum atau sesudah bikin testament adalah sakit gila, maka mudaih dapat disimpulkan, bahwa seorang djuga sakit gila pada waktu testament dibikin. Tetapi ini mengenai pembuktian suatu keadaan, jang takluk pada peraturan umum tentang pembuktian.

Tiada kekeliruan

Pasal 890 B.W . memungkinkan suatu testament dianggap tidak sah atau batal, apabila didalamnja disebutkan suatu sebab jang mendorong si peninggal warisan untuk memberi sesuatu kepada seorang, sedang kemu­ dian ternjata bahwa ada kekeliruan dalam hal sebab itu, dan lagi kalau ternjata, bahwa penghibahan tidak akan dilakukan, andai kata si pening­ gal warisan tahu tentang kekeliruan itu.

Pada umumnja ,bagi suatu testament tidak dipedulikan, sebab apa jang mendorong si peninggal warisan untuk memberi hibah itu. Tetapi kini sebab itu perlu dengan sjarat tersebut diatas.

Misalnja seorang peninggal warisan dalam testament memberi suatu barang kepada seorang A, oleh karena A itu adalah anak-angkatnja. Tetapi kemudian ternjata, bahwa jang diangkat itu bukan si A melainkan si B, maka dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ada kekeliruan jang me­ nurut pasal 890 B.W . dapat mengakibatkan batalnja penghibahan itu.

Tiada paksaaan atau penipuan

Tentang hal ini pasal 893 B.W . mengatakan suatu testament bata , apabila dibikin setjara paksaan atau penipuan. Tetapi hal ini harus di­

buktikan. . , .

Sampai dimana dianggap ada paksaan, Hakim harus setjara ana ogi memperhatikan hal jang tentang ini berlaku bagi perdjandjian pada umum- nja (lihat pasal-pasal 1324, 1325 dan 1326 B.W . dan buku saja „Azas- azas Hukum Perdjandjian" tjetakan kedua halaman 27 dan 28).

Djuga pasal 1327 B.W . dapat diperlakukan,,jang menentukan bahwa pembatalan tidak dapat dituntut, apabila hal paksaaan suda er en i dan kemudian si peninggal warisan menjetudjui penghibahan itu, setjara tegas atau setjara diam-diam.

Sjarat-sjarat bagi ahlitvaris . . .

Para ahliwaris ini harus sudah ada pada waktu wafatnja si peninggal warisan.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Hal ini ditentukan bagi ahliwaris tanpa testament dalam pasal 836

B.W . dan bagi ahliwaris setjara testament dalam pasal 899 ajat 1 B.W . „Harus ada” ini berarti tidak hanja „sudah dilahirkan”, tetapi tjukup, apabila sudah ada dalam gua-garba ibu, oleh karena dua pasal tersebut menundjuk pada pasal 2 B.W ., jang berbunji :

(1) Seorang anak jang dikandung oleh seorang perempuan jang hamil, dianggap sudah lahir, apabila kepentingan si anak itu menuntutnja. (2) Apabila seorang anak itu, pada waktu kemudian dilahirkan, ternjata

sudah mati, maka anak itu dianggap tidak pernah ada.

Tentang hal ini djuga penting pasal 831 B.W ., jang menentukan, apabila si peninggal warisan dan si ahliwaris meninggal dunia dalam satu ketjelakaan, atau dalam satu hari, dengan tidak dapat ditentukan, siapa dari mereka wafat lebih dulu, maka mereka dianggap meninggal dunia pada satu saat jang sama.

Dengan demikian tidak mungkin ada peralihan barang warisan dari satu pihak kepada pihak jang lain.

Menurut Juynboll (halaman 247), peraturan sematjam ini tentang ahliwaris jang masih berada dalam kandungan ibu dan tentang keragu- raguan siapa jang lebih dulu meninggal dunia, djuga terdapat dalam Hukum Islam.

Tidak pantas mendjadi ahliwaris (onwaardig)

Hal tidak pantas ini dalam Burgerlijk Webboek diatur a. dalam pasal- pasal 838, 839 dan 840 untuk ahliwaris tanpa testament, dan b. dalam pasal 912 untuk ahliwaris setjara testament.

Dari dua peraturan ini ada jang sama, ada jang berbeda.

Jang sama ialah, bahwa seorang dianggap tidak pantas mendjadi dua matjam ahliwaris itu :

ke-1 apabila ia dihukum oleh Hakim, oleh karena membunuh si pening­ gal warisan, djadi harus ada putusan Hakim, jang menghukumnja, ke-2 apabila ia dengan paksaaan menghalang-halangi si peninggal warisan

akan membikin, mengubah atau mentjabut testament,

ke-3 apabila ia menghilangkan, membinasakan atau memalsu testament dari si peninggal warisan.

Hal jang berbeda ialah, bahwa disamping tiga hal ini ahliwaris tanpa testament djuga dianggap tidak pantas,

ke-1 apabila ia dihukum oleh Hakim, oleh karena ia mentjoba membunuh

si peninggal warisan,

ke-2 apabila ia oleh Hakim dianggap bersalah mendakwa si peninggal warisan setjara palsu, bahwa ia melakukan kedjahatan jang dapat didjatuhi hukuman pendjara selama lima tahun atau lebih.

Alasan dari perbedaan ini ialah, bahwa kalau setelah seorang men­ tjoba membunuh si peninggal warisan atau setelah menghinanja, kemudian si peninggal warisan tetap menghibahkan sesuatu kepada seorang itu, ma­ ka si peninggal warisan dapat dianggap memberi ampun kepada orang itu. Timbul pertanjaan apakah hal tidak pantas ini harus ditetapkan dalam

putusan Hakim atau sudah dapat dianggap ada /tanpa putusan Hakim itu (van rechtswege). Kebanjakan dari para penulis ahli-hukum, diantaranja Meyers dalam bukunja tentang Hukum Warisan (halaman 23) berpenda­ pat, bahwa tidak perlu ada putusan Hakim untuk menetapkan seorang ahliwaris adalah tidak pantas.

Akibat dari pendapat ini ialah, bahwa semua perbuatan dari ahliwaris jang tidak pantas itu jang mengenai barang-warisan, adalah batal dan bahwa seorang Hakim dapat menjatakan „tidak pantas” ini dalam djabatannja dengan tidak perlu menunggu penuntutan dari pihak apapun djuga.

Lihatlah djuga pasal 839 B.W ., jang mewadjibkan seorang ahliwaris jang tidak pantas itu untuk mengembalikan hasil jang ia telah petik dari baraog-barang-warisan.

Menurut pasal 840 B.W ., anak-anak dari ahliwaris jang tidak pantas itu, tidak boleh dirugikan oleh salahnja orang-tua, apabila anak-anak itu mendjadi ahliwaris atas kekuatan sendiri („uit eigen hoofde”) , artinja, apabila menurut Hukum Warisan anak-anak itu tanpa perantaraan orang- tuanja mendapat hak selaku ahliwaris.

Menurut Asser-Meyers (halaman 24) penentuan ini djuga berlaku, apabila anak-anak itu setjara penggantian-warisan (plaatsvervulling) men­ djadi ahliwaris, oleh karena pada hakekatnja tidak ada perbedaan antara dua tjara mendjadi ahliwaris ini.

Klaassen-Eggens (halaman 160) berpendapat lain, oleh karena tidak lajak seorang anak menggantikan seorang ahliwaris jang dipetjat dari hak- nja selaku ahliwaris.

Saja lebih menjetudjui pendapat Meyers dengan alasan, bahwa se­ orang anak tidak lajak boleh dirugikan oleh perbuatan-salah dari orang- tua.

Pada achirnja pasal 840 B.W . menentukan, apabila seorang anak itu mendjadi ahliwaris, maka orang-tuanja jang tidak pantas tadi, tidak men­ dapat hak-memungut-hasil (vruchtgenot) dari barang-warisan itu dalam hal anak itu masih belum dewasa. Seperti diketahui, barang-barang milik orang jang belum dewasa, harus diurus oleh orang-tuanja.

Perihal ahliwaris setjara testament, pasal 912 B.W . menentukan, anak- anak dan suami atau isteri dari ahliwaris jang tidak pantas itu, djuga tidak boleh mendapat manfaat dari testament itu.

Menurut Juynboll dalam bukunja halaman 248, Hukum Islam menge­ nal tiga matjam ahliwaris >jang tidak pantas, jaitu :

ke-1 jang mengakibatkan wafatnja si peninggal warisan,

ke-2 jang murtad, jaitu jang meninggalkan Agama Islam masuk Agama lain,

ke-3 jang sudah sedjak semula tidak menganut Agama Islam.

Sekiranja dapat dikatakan, bahwa Hukum Adat dimana pun djuga di Indonesia tidak mengetial alasan ke-2 dan ke-3 ini untuk menjampingkan seorang selaku ahliwaris, sedang alasan ke-1 untuk Indonesia sekiranja ha- nja dapat dianggap berlaku dalam hal pembunuhan, djadi dalam hal ada

kesengadjaan untuk mengakibatkan wafatnja si peninggal warisan.

HUKUM WARISAN D I INDONESIA

Hibah wasiat antara suami dan isteri

Kalau perkawinan antara suami dan isteri pada waktu suami atau isteri wafat, masih dapat dibatalkan oleh karena untuk perkawinan itu tidak ada idzin jang diperlukan, seperti misalnja dari orang-tua untuk orang jang belum dewasa, atau dari curator dalam hal seorang berada dibawah pengawasan curatele, maka isteri atau suami jang ditinggalkan, tidak dapat menerima warisan setjara testament dari si peninggal warisan. Ini diten­ tukan dalam pasal 901 B.W .

Pasal 902 B.W . mengenai hal seorang djanda mempunjai anak, ke­ mudian kawin lagi. Dalam hal ini suami atau isteri jang kedua tidak dapat diberi setjara testament suatu hak-eigendom atas barang-barang jang meli­ puti lebih dari pada bagiannja dalam hal tidak ada testament. Djadi tidak lebih dari pada bagian tiap-tiap anak.

Kalau jang diberikan setjara testament ini merupakan hak-memetik- hasil (recht van vruchtgebruik) atas barang-warisan, maka hak-memetik- hasil ini dapat meliputi sampai separoh dari semua harta warisan.

Kalau melebihi bagian separoh ini, maka harus dihitung nileu-harga

dari hak-memetik-hasil ini dan ini tidak boleh melebihi bagian suami atau isteri itu, andai-kata tidak ada testament.

Apabila kepada suami atau isteri jang ditinggalkan itu, diberi setjara

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 84-96)