• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM WARISAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM WARISAN DI INDONESIA"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

H U K U M WARISAN

DI

INDONESIA

O leh

Mr Wirjono Prodjodik’oro

K etu a M ahkam ah A gung

di Indonesia

K A A N Ml U »l»

5

.

PEN ER B ITA N VORKINK — VAN HOEVE

BANDUNG — ’s-GRAVENHAGE

(2)

m Ut

200

d

is

2

6

í * l ü

2004

^

í • i Ç- £

26 »"to ÜU05

f r . ^ . f t

2 7 Ah< 2005

~ > p / -s 0 j

2 1 FF8 ™ñfr“ A

28

lc

(3)

-t*1* -i

* 1 t U M J U ^

2 9 ,—

H UKUM W ARISAN D I INDONESIA \

E C

Q3&8

■% j * # *

V

4 6 . o r r - s * ?

h

(4)

ï , *•„/» *-• » £ =} ':i J « J * *

(5)

HUKUM WARISAN

DI

INDONESIA

Oleh

Mr W irjono Prodjodikoro

Ketua Mahkamah Agung di Indonesia

Dikeluarkan dari koleksi 'erpustakaan UI

9 JUW 2012

P E N E R B IT A N V O R K IN K -V A ® T iH © E ^ i > C T A & •*' * 'N BANDUNG, — ’B GRAVENHAGH’ ’ - 1 * ' ^ ’ “ 1 M i j . l . • *NC<a/.L •'JOMOfl '" k . 0 . 0 - 1 0 ' 2 ; 0 0 0 ! ?>. ( \ o h f a C & o o p

(6)
(7)

KA TA PEMBUKAAN

Dalam tahun 1924 pernah saja ikuti suatu college dari Prof. Mr. E. M. Meyers di Perguruan Tinggi di Leiden, dalam mana guru-besar ini menga­ takan, bahwa manakala ia dalam udjian doktoral dalam ilmu Hukum menanjakan kepada seorang candidaat hal sesuatu tentang Hukum Warisan, maka tidak pernah ada jang lulus dalam udjian itu.

Ini menandakan betapa sulit Hukum Warisan untuk dipeladjari. Djuga Dr. Th. W . Juynboll dalam bukunja „Handleiding tot de kennis van de Mohammedaanse W et volgens de leer der Sjafi’itische School”, tjetakan ke-4 (19 3 0 ) halaman 249 menundjukkan pada amat sukarnja hal mempeladjari Hukum Warisan diantara orang-orang Islam ditanah Arab sedjak dahulu kala, sehingga Nabi Mohammad s.a.w. pernah berkata :

„Hukum Warisan meliputi separoh dari seluruh ilmu-pengetahuan”. Kalau saja sekarang mentjoba memberi gambaran dari Hukum W a­ risan, jang berlaku di Indonesia, maka saja melakukan pekerdjaan ini dengan keinsjafan bahwa berhubung dengan sulit persoalannja, hasil pe­ kerdjaan saja ini akan djauh dari pada sempurna.

Meskipun demikian, sekiranja ada baik dan faedahnja, apabila ada suatu buku dalam bahasa Indonesia diterbitkan tentang Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia.

Mudah-mudahan pentjurahan tenaga saja dengan menulis buku ini ada sekadar manfaatnja bagi masjarakat Indonesia.

(8)
(9)

BA G IA N I

PENGERTIAN WARISAN

Berbitjara tentang warisan menjalurkan pikiran dan perhatian orang kearah suatu kedjadian penting dalam suatu masjarakat tertentu, jaitu ada seorang anggota dari masjarakat itu meninggal dunia.

Seorang manusia selaku anggota masjarakat, selama masih hidup,. mempunjai tempat dalam masjarakat dengan disertai pelbagai hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban terhadap orang-orang anggota lain dari ma­ sjarakat itu dan terhadap barang-barang jang berada dalam masjarakat itu. Dengan lain perkataan : ada pelbagai perhubungan-hukum antara seorang manusia itu disatu pihak dan dunia luar disekitarnja dilain pihak sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban jang dirasakan oleh masing2 pihak.

Apabila seorang manusia tadi pada suatu waktu meninggal dunia, djadi apabila pihak satu dari dua pihak itu lenjap, maka dengan sendirinja timbul pertanjaan, apakah jang akan terdjadi dengan perhubungan-per- hubungan-hukum tadi, jang mungkin sekali sangat erat sifatnja pada waktu si manusia itu masih hidup.

Tidak tjukup dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan-hukum itu d juga lenjap seketika itu, oleh karena biasanja pihak jang ditinggal­ kan oleh pihak jang lenjap itu, tidak merupakan seorang manusia sadja atau sebuah barang sadja, dan djuga oleh karena hidupnja seorang manusia jang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-kepen- tingan beraneka warna dari pelbagai orang anggota lain dari masjarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seorang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penjelesaian oleh orang itu, kalau tidak dikehendaki kegontjangan dalam masjarakat.

Maka dari itu, ditiap-tiap masjarakat dibutuhkan suatu peraturan- hukum jang mengatur bagaimana tjara kepentingan-kepentingan dalam masjarakat itu diselamatkan, agar masjarakat sendiri selamat djuga selaku tudjuan dari segala Hukum.

Kinilah timbul pengertian „warisan”, jaitu suatu tjara penjelesaian perhubungan-perhubungan-hukum dalam masjarakat, jang melahirkan sedi­ kit banjak kesulitan sebagai akibat dari wafatnja seorang manusia.

Dimana perhubungan-hukum ini mengenai kerochanian seorang jang wafat itu, seperti misalnja hal ketjjntaan atau persahabatan, sudah barang tentu hal-hal ini tidak diliputi oleh pengertian „warisan”, oleh karena rnelu'u mengenai kepribadian seorang, jang tidak mungkin diatur dari luar perihal beralihnja kepada seorang lain.

Tinggal hal-hal kedimiawian sadja dari seorang wafat, jang oleh masjarakat dapat diharapkan adanja suatu peraturan tentang warisan.

(10)

Dan njatanja dari hal-hal keduniawian ini, jang dapat dianggap de­ ngan sendirinja beralih kepada orang lain jang ditinggalkan oleh seorang wafat, ialah hanja hal-hal mengenai kekajaan (vermogen) sadja dari se­

orang jang wafat itu.

Pada zaman dahulu di Indonesia seperti misalnja di Djawa dan Atjeh, ada kemungkinan suatu pangkat beralih dari ajah keanak pada waktu si ajah meninggal dunia.

Sekarang dapat dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan-hukum jang berhubung dengan wafatnja seorang dibutuhkan diatur, adalah hanja jang mengenai kekajaan seoratig itu. (vermogensrechtelijke betrek- kingen).

Bahkan dari perhubungan-perhubungan-hukum sematjam ini tidak semua dapat diperalihkan, melainkan ada jang harus dianggap lenjap

seketika wafatnja seorang itu, djadi tidak beralih kepada orang lain jang masih hidup.

Misalnja dapat disebutkan : perhubungan-hukum jang berdasar atas suatu perdjandjian buruh-madjikan jang terhenti dengan wafatnja si buruh; hak-hak dari Burgerlijk Wetboek mengenai perbendaan jang terhenti pada waktu wafatnja seorang, .seperti hak-memetik hasil dari suatu barang (vruchtgebruik), hak-memakai suatu barang (gebruik), dan hak mendiami sebuah rumah (bewoning). Lihat pasal-pasal 807 dan 818 B .W .

Maka dapat ditegaskan selaku pengertian „warisan” ialah, bahwa

warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban tentang kekajaan seorang pada waktu ia m ening­ gal dunia akan beralih kepada orang lain jang masih hidup.

(11)

SIFA T W A RISA N

B A G IA N II

Pengertian warisan, seperti jang telah dikatakan diatas, memperlihatkan tiga unsur, jaitu :

ke-1 : seorang peninggal warisan (erflater), jang pada wafatnja me­ ninggalkan kekajaan,

ke-2 : seorang atau beberapa orang ahli-waris (erfgenaam), jang ber­ hak menerima kekajaan jang ditinggalkan itu,

ke-3 : harta-warisan (nalatenschap), jaitu udjud kekajaan jang di-tinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli-waris itu. Unsur ke-1 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekajaannja dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana si peninggal warisan berada.

Unsur ke-2 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana

harus ada tali-kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli-waris, agar kekajaan si peninggal-warisan dapat beralih kepada si ahli-waris.

Unsur ke-3 menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana udjud kekajaan jang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan keke­ luargaan, dimana si peninggal-warisan dan si ahli-waris bersama-sama berada.

Hubungan erat dengan sifat kekeluargaan

Maka dengan demikian, oleh karena tiap-tiap masjarakat didunia ini mempunjai matjam-matjam sifat-kekeluargaan, dapatlah dikatakan, bahwa sifat warisan dalam suatu masjarakat tertentu adalah berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta pengaruhnja pada kekajaan dalam masja­ rakat itu.

Dalam buku Asser-Meyers tentang Hukum Perdata di Negeri Belanda bagian IV mengenai Hukum Warisan tjetakan ke-4 (tahun 1941) halaman 3 dan 4 ditjeriterakan, bahwa kebanjakan bangsa-bangsa didunia ini mula- mula tidak mengenal hak-milik perseorangan (individueel eigendom) atas barang-barang kekajaan, melainkan hanja mengenal milik-bersama dari suatu bangsa atau suatu suku-bangsa atau suatu keluarga (stam- of familie- eigendom).

Pada keadaan semula itu, menurut Meyers, tiada tempat bagi suatu peraturan Hukum-Warisan dalam arti jang sebenarnja (eigenlijk erfrecht), oleh karena dengan wafat seorang bukan m ilik atas barang jang beralih, melainkan hanja hal mengurus barang itu sadja jang harus dilandjutkan oleh orang lain jang masih hidup.

Pendapat Meyers ini adalah benar, apabila Hukum-Warisan hanja dianggap mengenai beralihnja hak-milik atas barang.

(12)

HUKUM W ARISAN D I IN DO NESIA

Tetapi pengertian warisan, seperti jang saja kemukakan diatas, me­ liputi djuga lain-lain hak dan kewadjiban dari pada jang melekat pada hak-milik atas barang.

Maka dapat dikatakan, bahwa dengan pengertian warisan jang luas ini, djuga pada zaman purbakala, jang tidak mengenal hak-milik perse­ orangan atas barang, ada tempat bagi suatu peraturan Hukum-Warisan.

Tjerita Meyers tentang zaman purbakala ini memperkuat apa jang saja katakan diatas, bahwa ada hubungan erat antara sifat kekeluargaan dan sifat warisan, artinja : sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, jang berada dalam tiga unsur dari soal warisan tersebut diatas.

Maka, kalau saja dalam buku ini akan membitjarakan hal Hukum- Warisan di Indonesia, perlulah diketahui sifat kekeluargaan jang terdapat di Indonesia.

D i Indonesia diantara orang-orang lndonesia-asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan dipelbagai daerah ada pelbagai sifat kekeluar­ gaan, jang dapat dimasukkan dalam tiga matjam golongan, jaitu :

ke-1 ; sifat kebapakan (patriarchaat, vaderrechtelijk), ke-2 : sifat keibuan (matriarchaat, moederrechtelijk), ke-3 : sifat kebapak-ibuan (parenteel, ouderrechtelijk).

Dalam kekeluargaan jang bersifat kebapakan seorang isteri oleh ka­ rena perkawinannja adalah dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanja, nenek-mojangnja, saudaranja sekandung, saudaranja sepupu dan lain-lain sanak-keluarganja.

Sedjak .perkawinannja si isteri itu masuk sama sekali dalam lin g­ kungan kekeluargaan suaminja. Begitu djuga anak-anak keturunan- dari

perkawinan itu, ketjuali dalam hal seorang anak-perempuan sudah kawin, jaitu ia masuk dalam lingkungan kekeluargaan suaminja pula.

Maka tjorak jang utama'A&n perkawinan dalam kekeluargaan jang bersifat kebapakan, ialah perkawinan dengan djudjuran, dimana si isteri

dibeli oleh keluarga suaminja dari keluarga si isteri itu dengan sedjumlah uang harga pembelian,, jang ditanah Batak dinamakan djudjuran atau per- undjuk atau antaran atau tuhor boli, dan ditanah G ajo dinamakan ondjog.

Kekeluargaan, jang bersifat kebapakan ini di Indonesia terdapat di­ tanah Gajo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor dan Bali.

Kekeluargaan jang bersifat keibuan di Indonesia hanja terdapat di satu daerah sadja, jaitu ditanah Minangkabau.

Setelah suatu perkawinan didaerah itu terdjadi, maka si suami turut berdiam dirumah si isteri atau keluarganja. Si suami sendiri tidak masuk keluarga si isteri, tetapi anak-anak keturunannja dianggap kepunjaan ibunja sadja, bukan kepunjaan ajahnja. Dan si ajah pada hakekatnja tidak mem- punjai kekuasaan terhadap anak-anaknja.

Pengertian pembelian si isteri oleh si suami atau oleh keluarga si suami, sama sekali tidak dikenal di Minangkabau. Sebaliknja si suamilah jang mendapat penghibahan dari isterinja berwudjud uang atau barang.

Kekajaan jang dipergunakan untuk keperluan rumahtangga suami- isteri dan anak-anak keturunannja biasanja diambil dari milik keluarga si

(13)

SIFA T W ARISAN

isteri. Dan milik ini dikuasai oleh seorang jang dinamakan mamak-kepala- waris, jaitu seorang lelaki jang tertua pantjer laki-laki dari keluarga si isteri.

Kekeluargaan jang bersifat kebapak-ibuan adalah jang paling merata terdapat di Indonesia, jaitu di Djawa, Madura,. Sumatera-Timur, Riau, Atjeh, Sumatera-Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok.

Dalam kekeluargaan sematjam ini pada hakekatnja tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannja dalam keluarga masing- masing. Si suami sebagai akibat dari perkawinan mendjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri djuga mendjadi anggota keluarga si suami.

Dengan demikian, sebagai akibat suatu perkawinan, seorang suami dan seorang isteri masing-masing mempunjai dua kekeluargaan, sedang dalam kekeluargaan orang-orang tuanja mereka masing-masing djuga mempunjai dua kekeluargaan, jaitu dari ajahnja dan dari ibunja.

Begitu seterusnja untuk anak-anak keturunannja tiada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara tjutju laki-laki dan tjutju pe­ rempuan.

Djuga disini tiada pengertian pembelian si isteri oleh suami atau oleh keluarga si suami. Kalau disini dalam permulaan perkawinan si suami memberi atau menjanggupkan akan memberi sedjumlah uang kepada si isteri, maka uang ini tidaklah berarti suatu uang-harga pembelian, melain­ kan berarti matjam-matjam, seperti misalnja uang untuk keperluan rumah- tangga dari suami-isteri, atau penghibahan belaka.

Mudah dapat dimengerti, bahwa melihat perbedaan dari tiga matjam sifat kekeluargaan tadi, ada perbedaan pula dalam sifat warisan dalam tiga matjam kekeluargaan itu.

Tetapi apabila tiga matjam sifat kekeluargaan jang terdapat diantara orang-orang Indonesia-asli ini, dilihat pada keseluruhannja dan diban­ dingkan dengan sifat kekeluargaan jang terdapat diantara orang-orang warganegara Indonesia jang bukan Indonesia-asli, misalnja mereka jang dalam hal ini takluk pada Hukum Burgerlijk Wetboek, jaitu orang-orang Tionghoa dan Eropah, maka nampak ada persamaan sifat dari kekeluargaan dan warisan diantara orang-orang Indonesia-asli itu, jang memperbeda-kannja dari sifat kekeluargaan dan warisan diantara orang-orang Tionghoa dan Eropah tadi.

Perbedaan jang terpenting ialah terletak pada adanja pasal 1066 B .W ., jang tidak terdapat didalam Hukum Adat diantara orang-orang

Indonesia.-asli.

Pasal 1066 B .W . ini menentukan adanja bak-mutlak dari para ahli' waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta-warisan, sedang dalam Hukum Adat diantara orang-orang Indonesia-asli agak banjak kalanja harta-warisan itu tidak diubah-ubah dan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahliwaris.

Bagi orang-orang Indonesia-asli jang takluk pada Hukum Adat, harus diingat semula, bahwa bagian sangat terbesar dari mereka adalah beragama

(14)

HUKUM WARISAN D I INDONESIA

Islam, maka bagi golongan terbesar ini tidak dapat diabaikan pengaruh dari Peraturan Warisan jang terdapat dalam Hukum Agama Islam.

Pengaruh ini tidak begitu dapat dikatakan dari Agama Hindu dan Agama Keristen terhadap Hukum Adat perihal Hukum Warisan.

Bagi satu golongan warganegara Indonesia, jaitu orang-orang Arab,

dapat dikatakan, bahwa bagi mereka pada umumnja berlakulah Peraturan Warisan dari Hukum Agama Islam, oleh karena Hukum Adat mereka boleh dibilang pada umumnja sama dengan Hukum jang berlaku di Negara Arab, dimana sekiranja Hukum Agama Islam berlaku penuh atau hampir penuh.

Maka dari itu, apa jang nampak dari Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia untuk para warganegara Indonesia, ialah bahwa :

a. bagi orang-orang Indcmesia-asli pada pokoknja berlakulah Hukum Adat, jang seperti telah saja katakan, berbeda dalam pelbagai daerah dan jang ada hubungan rapat dengan tiga matjam sifat kekeluargaan tersebut diatas, jaitu sifat kebapakan, sifat keibuan dan sifat kebapak- ibuan;

b. bagi orang-orang Indonesia-asli jajjg beragama Islam dipelbagai daerah ada pengaruh jang njata dari Peraturan Warisan dari Hukum Agama Islam;

c. bagi orang-orang Arab sekiranja pada umumnja berlaku seluruh Hukum Warisan dari Agama Islam;

d. bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah berlaku Hukum Warisan dari Burgerlijk Wetboek (Buku II titel 12 s/d 18, pasal-pasal 830 s/d 1 1 3 0 ). Mengingat hal ini, maka dapat dimengerti, bahwa dalam uraian selan-djutnja dalam buku ini tentang Hukum Warisan jang berlaku di Indonesia, terutama tiga matjam Peraturan Hukum Warisan jang akan ditindjau, jaitu ke-1 Hukum Adat, ke-2 Hukum Agama Islam dan ke-3 Hukum Burgerlijk Wetboek.

(15)

B A G IA N I II

H A L PEMBAGIAN H ARTA-W ARISAN ATAU D IPERTAH AN KAN UDJUD KESELURUHANNJA

Soal seperti jang saja sebutkan dalam kepala Bagian ini, saja dahulukan dalam mengupas hal Hukum Warisan, oleh karena sangat penting. Bahkan menurut Meyers tiada Hukum Warisan dalam arti jang sebenarnja, apabila Harta-Warisan tidak dapat atau tidak boleh dibagi-bagi.

Diatas sudah disinggung sebentar adanja pasal 1066 B .W ., jang dapat dikata merupakan salah suatu „soko-guru” atau suatu sendi-pokok dari pada Hukum Warisan menurut Burgerlijk Wetboek.

Pasal itu berbunji demikian :

(1 ) Dalam hal seorang mempunjai hak atas sebagian dari sekumpulan Harta-Benda, seorang itu tidak dapat dipaksa membiarkan Harta- Benda itu tetap tidak dibagi-bagi diantara orang-orang jang bersama- sama berhak atasnja.

(2 ) Pembagian Harta-Benda ini selalu dapat dituntut, meskipun ada suatu perdjandjian jang bertentangan dengan itu.

(3 ) Dapat diperdjandjikan, bahwa pembagian Harta-Benda itu dipertang- guhkan selama waktu tertentu.

( 4 ) Perdjandjian sematjam ini hanja dapat berlaku selama lima tahun, tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lalu. Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah (warga-negara) di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala Harta-Warisan pada umumnja harus selekas mungkin dibagi-bagi. Dan membiarkan Harta- Warisan tidak dibagi-bagi hanja dapat terdjadi dengan persetudjuan bulat

dari para jang berhak atas Harta-Warisan itu.

Ini berarti, bahwa apabila seorang ahliwaris menuntut pembagian Harta-Warisan dimuka Pengadilan, maka tuntutan ini pada hakekatnja tidak dapat ditolak.

Hakekat ini djuga dianut dalam Hukum Agama Islam (lihat Juynboll halaman 251) djadi tegasnja pada: umumnja bagi orang-orang Arab di In­ donesia.

Lain halnja dalam Hukum Adat bagi orang-orang Iridonesia-asli. Kini ada kemungkinan pada hakekatnja bagi Pengadilan untuk menolak pem­ bagian suatu Harta-Warisan, jaitu apabila menurut Hukum Adat disuatu tempat, Harta-Warisan tertentu tidak dapat dibagi-bagi atau belum tiba saatnja untuk pembagian itu.

H al Harta-Warisan jang tidak dapat dibagi-bagi

Mr. T e r Haar dalam bukunja „Beginselen en stelsel van het Adat- recht” halaman 196-197 menjebutkari dua tjontoh, jaitu :

(16)

HU KUM W A RISA N D I IN DO NESIA

ke-1 : Harta-Pusaka di Minangkabau,

ke-2 : Tanah-Dati di Ambon. Harta-Pusaka d i Minangkabau

Sifat keibuan dari kekeluargaan di Minangkabau memperlihatkan ada- nja sekumpulan barang-barang jang merupakan Harta-Pusaka kepunjaan suatu Keluarga, jang hanja dapat dipakai oleh segenap anggota dari K e ­ luarga itu, tidak dim iliki oleh mereka masing-masing.

Akibatnja ialah bahwa hal wafatnja seorang anggota dari Keluarga itu sama sekali tidak berpengaruh atas hubungan-hukum tentang Harta- Pusaka itu dengan anggota-anggota lain jang masih hidup dari Keluarga tadi.

Malahan dengan wafatnja seorang anggota suatu Keluarga tadi, Harta- Pusaka dari Keluarga itu ditambah dengan barang-barang jang diperoleh seorang jang wafat tadi (harta-pentjaharian), jaitu setelah dikurangi de­ ngan pembajaran. hutang-hutang si wafat itu.

Perlu sekiranja dikatakan, bahwa barang-barang pentjarian dari seorang suami jang, seperti diketahui, tidak mendjadi anggota Keluarga isterinja, pada waktu wafat seorang suami itu, masuk Harta-Pusaka dari Keluarga si suami itu, djadi tegasnja mendjadi harta-pusaka dari suadara-saudaranja sekandung dan anak-anak turunannja dari saudara-saudara perempuan.

Ada kalanja suatu Keluarga mendjadi amat besar djumlah anggota- nja. Dalam hal ini ada kemungkinan Keluarga itu dipetjah mendjadi dua, dan Harta-Pusaka dipetjah djuga mendjadi dua. Kedjadian ini dinamakan

gadang manjimpang.

Ada kalanja djuga suatu Keluarga punah atau habis, oleh karena tiada orang-orang keturunan, maka Harta-Pusaka d jatuh ketangan keluarga jang terdekat pada Keluarga jang punah tadi.

Maka dengan demikian dapat dikatakan, bahwa di Minangkabau tidak ada Hukum Warisan antara orang-orang perseorangan (erfrecht tussen individúen), melainkan Hukum Warisan antara beberapa Keluarga.

Perlu dikatakan djuga, bahwa kini pengertian Keluarga adalah ber­ tingkat-tingkat, mulai dengan Keluarga jang terdiri dari suami-isteri dengan anak-anaknja. Kalau si isteri ini meninggal dunia dengan meninggalkan sebidang sawah misalnja, maka sawah ini mendjadi harta-pusaka dari anak- anaknja, dengan dinamakan harta pusaka rendah.

Disamping ini ada barang-barang jang sebagai harta pusaka Unggi

adalah milik Keluarga jang lebih besar, dibawah pimpinan seorang mamak-kepala-waris.

Prof. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunja „H et Adatrecht van Nederlandsch-Indié” djilid I halaman 263, mentjeriterakan, bahwa rupa- rupanja dibeberapa daerah di Minangkabau ada mulai timbul Hukum W a ­ risan perseorangan terhadap barang-barang pentjarian. Dan sekiranja ini terutama dapat dikatakan diantara orang-orang Minangkabau jang sudah lama merantau diluar daerah Minangkabau.

(17)

H A L . PEM BA G IA N H A R TA -W ARISA N

Tim¿7h-Dati di Ambon ' . ~

Sifat kebapakan dari kekeluargaan di Ambon memperlihatkan suatu adat kebiasaan disana, bahwa tanah-tanah jang didapat seorang setjara membeli atau setjara membuka hutan, sepeninggalnja seorang itu tidak dibagi-bagi diantara para ahliwaris, melainkan tetap tersedia untuk dipakai oleh segenap anggota dari „dati” atau Keluarga seorang jang wafat tadi, dibawah pimpinan atau pengurusan seorang „Kepala-Dati”, jang se­ rupa dengan „Mamak-Kepala-Waris” di Minangkabau.

Seperti halnja di Minangkabau, oleh Ter Haar ditjeriterakan, bahwa apabila Dati jang menguasai tanah itu „linnjap” (habis), maka tanah itu djatuh ketangan Keluarga jang terdekat.

Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunja tersebut halaman 413 ada ragu-ragu, apakah tanah-dati ini merupakan tanah-milik dari Keluarga Dati itu seperti halnja dengan Harta-Pusaka di Minangkabau, ataukah kini hanja terdjadi pertangguhnja agak lama dari pembagian tanah-dati itu diantara para ahliwaris.

Kalau memang hanja terdjadi pertangguhan sadja dari pembagian tanah, maka sekiranja akan mudahlah timbulnja di Ambon pula Hukum Warisan perseorangan terhadap tanah djuga.

Harta-Warisan jang hanja dapat dibagi-bagi dengan persetudjuan semua ahliwaris

Ter Haar dalam bukunja tersebut diatas halaman 199 hanja menje- butkan satu tjontoh, jaitu barang kalakeran di Minahasa.

Hukum Adat tentang barang kalakeran ini adalah sebaliknja dari pada peraturan pasal 1066 B .W .

Pasal 1066 B .W . menentukan selaku hakekat-pokok, bahwa Harta Warisan biasanja harus dibagi-bagi, ketjuaLi apabila semua ahliwaris me- njetudjui tidak diadakan pembagian, sedang barang kalakeran di Minahasa biasanja tidak dibagi-bagi, ketjuali apabila semua ahliwaris menghendaki pembagian.

Harta Warisan jang pembagiannja biasanja dipertangguhkan dan oleh kare­ na itu sementara dapat ditolak oleh Hakim

Keadaan ini dapat dilihat didaerah-daerah dengan sifat kebapak-ibuan

dari kekeluargaan, seperti misalnja di Djawa.

Pertangguhan pembagian Harta Warisan kini pada pokoknja berdasar atas kebutuhan menegakkan langsung hidupnja suatu Keluarga jang ter- ketjil, jaitu suatu somah jang terdiri dari suami-isteri dan anak-anak (gezin, household).

Kalau suami atau isteri meninggal dunia, maka dirasakan keinginan agar Keluarga sesomah ini dapat hidup terus dari harta kekajaan jang ada seperti sebelum peristiwa kematian itu terdjadi.

Mungkin sekali hidup terus seperti dulu itu akan terganggu, apabila harta-kekajaan jang ditinggalkan oleh jang wafat tadi, seketika dibagi-bagi diantara para ahliwaris.

(18)

Bagi djanda, baik perempuan maupun lelaki, dianggap lajak, d jika ia dari harta kekajaan jang ditinggalkan itu, dapat terus hidup setjara pantas sampai wafatnja.

Bagi anak-anaknja dianggap lajak, d jika mereka tetap memperguna­ kan harta kekajaan itu sampai mereka mampu mentjari sendiri bekal untuk hidup setjara pantas.

Menurut Ter Haar dalam bukunja tadi halaman 198 dulu di Lampong dan sekarang masih di Bali biasanja Harta Warisan tetap dipegang oleh anak laki-laki jang tertua, jang sebaliknja berkewadjiban untuk memeli­ hara adik-adiknja jang tetap bernaung didalam rumah orang tuanja.

Tjara hidup jang pantas ini harus diartikan setjara djudjur dan tidak boleh disalah-gunakan untuk menghalang-halangi suatu pembagian harta warisan, jang dibutuhkan oleh seorang atau lebih ahliwaris tertentu.

Kalau misalnja Keluarga jang ditinggalkan oleh wafatnja seorang suami atau isteri, adalah tjukup kaja, maka pembagian harta warisan tidak akan mengganggu si djanda untuk hidup setjara pantas dari bagian kekajaan jang ditinggalkan oleh jang wafat itu, sedang dilain keadaan mungkin sekali seorang ahliwaris amat membutuhkan menerima bagian kekajaan itu untuk memperbaiki perekonomiannja, jang barangkali kebetulan sangat buruk.

Didaerah-daerah, dimana pengaruh Agama Islam ada agak besar, sekiranja orang lebih didorong untuk menerima pembagian harta warisan, oleh karena seperti diatas telah dikatakan, Hukum Islam tidak mengenal pertangguhan harta warisan seperti jang dikenal dalam Hukum Adat.

(19)

UDJUD HARTA W'ARISAN

BA G IA N IV

Tentang udjud Harta Warisan ini nampak suatu perbedaan antara Hukum Adat serta Hukum Islam disatu pihak dan Hukum Burgerlijk Wetboek dilain pihak, jaitu perihal hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Menurut Hukum Adat serta Hukum Islam, apa jang pada hakekatnja beralih dari tangan jang wafat kepada para ahliwaris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinja : setelah dikurangi dengan pem- bajaran hutang-hutang dari si peninggal warisan dan dengan pembajaran- pembajaran lain jang diakibatkan oleh wafatnja si peninggal warisan.

Sebaliknja Hukum Burgerlijk Wetboek memandang selaku hakekat,

bahwa jang diwaris oleh para ahliwaris itu, tidaklah hanja hal-hal jang bermanfaat sadja bagi mereka, melainkan djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan, dalam arti bahwa kewadjiban membajar hutang-hutang itu pada hakekatnja beralih djuga kepada para ahliwaris.

Seperti dikatakan diatas, dua-duanja ini mengenai hakekat. Dalam Hukum Adat pembagian Harta Warisan tidak selalu dipertangguhkan sampai semua hutang-hutang dari si peninggal warisan dibajar.

Djuga apabila para ahliwaris sudah menerima bagiannja dari Harta- Warisan, dapatlah mereka ditegor oleh para berpihutang (créditeur) untuk membajar hutangnja si peninggal warisan.

Tentang hal ini Mr. Ter Haar dalam bukunja halaman 215 meng- adjarkan, bahwa dikebanjakan daerah-daerah di Indonesia, terutama di Djawa, hutang-hutang ini harus dibajar oleh para ahliwaris sekadar barang- barang warisan jang mereka terima, adalah mentjukupi untuk membajai hutang-hutang itu.

Tentang daerah Gianjar dipulau Bali oleh Dr. V. E. Korn dalam bukunja „Het Adatrecht van Bali halaman 519 ditjeriterakan, bahwa

r u p a - r u p a n j a hutang-hutang si peninggal warisan hanja beralih dari orang-

orang tua kepada anak-anaknja dan dari suami kepada isteri atau sebaliknja, dan tidak kepada lain-lain sanak-keluarganja.

Bagi Bali pada umumnja dikatakan oleh Korn, bahwa penagihan hutang si wafat terhadap para ahliwaris hatfus diadjukan dalam waktu 40 hari sesudah wafat si peninggal warisan, atau pada waktu diadakan slamatan bagi si wafat.

Dalam praktek dilingkungan Hukum Adat diseluruh Indonesia sering ierdjadi, bahwa hutang-hutang dari si peninggal warisan dibajar semuanja oleh para ahliwaris tanpa memandang udjud harta benda jang ditinggalkan

oleh si peninggal warisan.

(20)

H U K U M W A R ISA N D I IN D O N ESIA

gal warisan dan para ahliwaris, dan djuga tergantung dari kemampuan para ahliwaris.

Menurut Hukum Agama Islam, jang dalam hal ini kadang-kadang diturut dibeberapa daerah di Indonesia, misalnja di Djawa, dari Harta- Warisan harus disampingkan sedjumlah uang untuk menebus kelalaian si wafat dalam hal melakukan salat dan hadji ke Mekkah. Uang ini lantas dimaksudkan akan diberikan kepada orang-orang, baik ahliwaris maupun orang luar, untuk melakukan salat-salat dan/atau hadji atas nama si wafat.

Djuga ada penafsiran Hukum Agama Islam, jang menghendaki, bahwa sedjumlah uang jang dikesampingkan itu, tidak perlu selalu diperguna­ kan untuk menebus kelalaian tentang salat dan hadji tadi, melainkan djuga dapat diberikan selaku pitrah kepada orang-orang miskin.

Perlakuan uang setjara jang tersebut belakangan ini, menurut hemat saja, adalah lebih memuaskan, oleh karena sukar untuk mengawasi, bahwa orang jang diberi uang untuk melakukan salat dan hadji itu, akan benar- benar melakukannja atas nama si wafat.

Hakekat dalam Burgerlijk Wetboek, bahwa djuga hutang-hutang dari si peninggal warisan beralih kepada para ahliwaris, diterobos oleh penen­ tuan dalam B .W . sendiri, bahwa para ahliwaris dapat menghindarkan peralihan itu dengan dua djalan, jaitu ke-1 menolak harta-warisan, dan ke-2 menerima harta-warisan dengan sjarat diadakan perintjian udjud ba­ rang-barang warisan, hal mana berarti, bahwa hutang-hutang si peninggal warisan hanja dibajar sekadar dapat dipenuhi dengan mempergunakan barang-barang-warisan itu (lihat B .W . pasal 1023 dst., pasal 1044 dst.,

pasal 1057 dst.).

Biaja mengkuburkan majat

Tentang pembajaran biaja mengkuburkan majat ada persamaan antara Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum B .W ., jaitu, bahwa Harta-Warisan pertama-tama harus dipergunakan untuk membajar biaja mengkuburkan

majat itu.

Hal ini dalam Hukum Adat dimengertikan demikian rupa, bahwa salah seorang ahliwaris dapat mendjual suatu bagian dari Harta-Warisan untuk membiajai penguburan itu. (Lihat Ter Haar halaman 213 dan putusan Landraad Purworedjo tanggal 15 Nopember 1934 dan putusan Raad van Justitie Semarang tanggal 5 April 1935, termuat dalam madjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht” bagian 143 halaman 2 6 9 ).

Untuk Hukum Agama Islam lihatlah Juynboll halaman 246. H al ini dalam Burgerlijk Wetboek tidak termuat dalam Bagian W a ­ risan, melainkan dalam pasal 1149 ke-2, jang menundjuk biaja meng­ kuburkan majat itu selaku hutang jang „preferent” jaitu dapat didahulu­ kan pembajarannja dari harta-warisan sebelum lain-lain hutang dibajar.

Hanja satu matjam hutang jang dapat didahulukan pembajarannja sebelum biaja mengkuburkan tadi, jaitu biaja untuk mensita barang-barang jang bersangkutan guna kemudian mendjual barang-barang itu dimuka umum untuk membajar semua hutang-hutang dari si peninggal warisan.

(21)

UD JU D H ARTA-W'ARI SAN

Kalau biaja mengubur ini terlalu tinggi, maka Hakim leluasa untuk menguranginja mengenai „preferensi” ini. Djadi djuga harus dibajar, tetapi bersama-sama dengan hutang-hutang lain, dengan kemungkinan hanja sebagian dapat dibajar, jaitu apabila harta-warisan tidak mentjukupi untuk membajar semua hutang-hutang.

Bagi daerah Bali istilah „mengkuburkan majat” harus dibatja „menga- beni majat” (membakar m ajat). Berhubung biaja pengabenan ini ada sangat tinggi, maka disitu terutama nampak pentingnja memperlakukan majat menurut adat kebiasaan.

Tiada kesatuan pada Harta-Warisan

Tentang hal ini Hukum Adat berbeda dari pada Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek.

Dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum B .W . Harta-Warisan dari siapa pun djuga merupakan kesatuan, jang dalam keseluruhannja ber­ alih dari tangan si peninggal warisan kepada para ahliwaris.

Artinja : tiada perbedaan peraturan berdasar atas matjam atau asal

barang-barang jang ditinggalkan itu. Hal ini ditegaskan dalam pasal 849 B .W ., jang mengatakan, bahwa Hukum dalam mengatur hal warisan tidak

memperhatikan sifat (matjam) dan asal dari barang-barang jang ditinggal­ kan oleh si peninggal warisan.

Bahkan ada pasal 833 B .W . jang menentukan, bahwa para ahliwaris dengan sendirinja („van rechtswege”) sedjak waktu wafatnja si peninggal warisan dianggap memiliki „segala barang-barang, hak-hak dan pihutang” milik si wafat. Djadi seolah-olah para ahliwaris melandjutkan kedudukan si wafat dalam masjarakat terhadap harta kekajaannja.

Ini dalam Hukum Adat adalah berlainan. K ini tergantung dari matjam

dan asal dari barang jang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah kekuasaan atas barang itu akan beralih kepada para ahliwaris atau beberapa orang dari mereka.

Tentang tanah sawah didesa misalnja sering ada peraturan Hukum Adat, jang memberi kuasa kepada Desa untuk tjampur tangan dalam hal menguasai tanah itu, apabila jang berhak meninggal dunia. Ada kalanja tanah itu tidak beralih sama sekali kepada salah seorang ahliwaris dari si wafat, melainkan diserahkan kepada orang lain, jaitu menurut peraturan Hukum Adat jang berlaku ditempat itu.

Menurut Ter Haar dalam bukunja halaman 211, di Atjeh pekarangan jang mendjadi tempat kediaman orang tua, pada waktu mereka meninggal dunia, seberapa boleh („bij voorkeur”) beralih kepada anak perempuan jang tertua, ditanah Batak kepada anak laki-laki jang tertua atau jang termuda.

Kalau orang jang wafat itu, tidak meninggalkan anak, tetapi lain sanak keluarga selaku ahliwaris, maka didaerah-daerah dengan sifat ke- bapak-ibuan seperti di Djawa, mungkin ada adat-kebiasaan jang mem- perbedaan pewarisan a. barang-barang jang asal dari famili si suami, atau

(22)

HU KU M W ARISAN D I INDONESIA

beralih kembali kepada famili si suami dan barang-barang sub b beralih kembali kepada famili si isteri.

Hanja barang-barang tinggalan jang diperoleh si suami atau si isteri itu sendiri selaku hasil pekerdjaannja sendiri, beralih kepada ahliwaris- ahliwaris mereka.

Diantara barang-barang sematjam ada djuga perbedaan antara barang- barang milik-bersama dari suami dan isteri (gono-gini) disatu pihak dan barang-barang milik si suami atau si isteri masing-masing dilain pihak. D i Djawa misalnja barang gono-gini itu, apabila tidak ada anak, seh/ruhnja

beralih kepada d j anda.

Djuga sering diperlakukan setjara istimewa barang-barang seperti keris atau tumbak pusaka, jang ada kalanja hanja beralih kepada anak lelaki jang tertua atau kepada anak jang menggantikan ajah (jang wafat) dalam suatu djabatan Negeri.

Sikap Hakim Perdata terhadap persoalan ini harus sangat berhati- hati. Ia harus mulai dengan 'menjelami sampai dimana peraturan Hukum Adat itu masih hidup ditempat tertentu.

Mungkin sekali alam pikiran dan alam perasaan orang-orang disitu sudah berubah selaku akibat perubahan zaman. Tekanan ekonomi pun dari para ahliwaris dapat merupakan alasan untuk menindjau sedalam-dalamnja arti jang sebenarnja dari pelbagai adat-kebiasaan tadi.

(23)

B A G IA N V

PARA AH LIW ARIS

Salah satu dari tiga unsur dari pengertian Warisan ialah „ahliwaris” selaku orang-orang manusia jang berkepentingan atas peristiwa wafatnja seorang berhubung dengan adanja suatu harta kekajaan jang tersedia untuk dipergunakan akan keperluan keselamatan masjarakat.

W afat seorang selalu mengakibatkan gangguan keseimbangan pada alam kerochanian dalam masjarakat (verstoring van magisch evenwicht in de maatschappij).

Melihat atau mendengar chabar seorang manusia meninggal dunia, selalu mendorong pikiran dan perasaan mereka jang masih hidup kealam keadjaiban.

Orang dapat bilang, bahwa keadjaiban ini hanja dapat dimengerti serta dirasakan, apabila dihubungkan dengan kemauan Tuhan Jang Maha Esa, tetapi wafat seorang manusia tetap merupakan suatu keadjaiban.

Djustru oleh karena keadjaiban ini maka wafat seorang manusia se­ lalu mengakibatkan sekedar kegontjangan dalam suasana hidup diantara anggota-anggota suatu masjarakat, lebih-lebih diantara anggota-anggota suatu Keluarga, jang merasa dirinja masih „waris” dari si wafat itu.

Kegontjangan suasana ini mula-mula melulu berupa rasa sedih diantara para „waris”. Kemudian taraf penuh perasaan belaka ini diikuti oleh taraf ketenangan’ pikiran, jang berkisar pada hal memperlakukan majat sebaik- baiknja. Maka hal mengkuburkan majat itulah menuntut perhatian penuh, djuga selaku penghormatan terachir terhadap si wafat.

Setelah taraf penguburan ini lampau, dan kita menjampingkan ke­ gontjangan kerochanian jang tentunja masih ada diantara para waris, maka muntjullah suatu kegontjangan diantara para waris itu mengenai keduniawian. Kebutuhan akan menghilangkan kegontjangan ini menim­ bulkan dalam tiap-tiap masjarakat suatu peraturan Hukum Warisan.

Dan dalam hal ini persoalan jang sangat penting ialah : siapa dari manusia-manusia jang masih hidup dianggap berhak atas harta-warisan jang ditinggalkan oleh si wafat.

Diatas, dalam Bagian II, telah saja katakan, bahwa unsur „ahliwaris” dari pengertian Warisan menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali-kekeluargaan antara si peninggal warisan disatu pihak dan para ahliwaris dilain pihak, agar harta-kekajaan si peninggal warisan dapat beralih kepada para ahliwaris.

Tentang soal ini ternjata ada perbedaan antara Hukum Adat, Hukum Agama Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek, maka soal ini saja kupas setjara selalu memperbandingkan tiga lingkungan Hukum tadi.

(24)

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Anak i

Dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum tadi (Hukum Adat, Hukum Agama Islam dan Hukum B .W .) anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahliwaris jang terpenting, oleh karena mereka pada hakekatnja merupakan satu-satunja golongan ahliwaris; artinja lain-lain sanak-keluarga tidak mendjadi ahliwaris, apabila si peninggal warisan me­ ninggalkan anak-anak.

Dilingkungan Hukum Adat tiada persamaan berhubung dengan ber­ lainan sifat kekeluargaan dipelbagai daerah.

D i Minangkabau dengan sifat keibuan dari kekeluargaannja, apabila jang wafat itu seorang lelaki, maka anak-anaknja tidak merupakan ahli­ waris dari harta pentjariannja, oleh karena anak-anak itu merupakan se­ bagian dari Keluarga ibunja, sedang ajahnja tidak, melainkan tetap me­ rupakan sebagian dari kekeluargaannja sendiri.

Maka harta pentjarian dari seorang lelaki jang meninggal dunia, diwaris oleh saudara-saudaranja sekandung. Mungkin sekali pada zaman sekarang keadaan ini sudah berubah, terutama dikalangan keluarga-keluar­ ga Minangkabau jang merantau diluar daerah aslinja.

Dimana perubahan keadaan ini belum terdjadi, Ter Haar dalam bukunja halaman 206 mentjeriterakan, bahwa dalam praktek seorang lelaki jang mempunjai harta pentjarian jang agak Iumajan, memperbaiki sendiri hukum warisan di Minangkabau ini dengan sebelum meninggal, sudah

menghibahkan barang-barang dari harta-pentjariannja kepada anak-anaknja. Di Lampong dan di Batak dengan sifat kebapakan dari kekeluargaan­ nja, seorang perempuan jang sudah kawin setjara djudjuran dan oleh karena itu masuk Keluarga suaminja dan dilepaskan dari Keluarganja sendiri, tidak merupakan ahliwaris dari orang-tuanja, jang meninggal dunia. Kinipun ada praktek penghibahan sebelum wafat.

Di Bali jang kekeluargaannja djuga bersifat kebapakan, hanja anak lelaki jan g tertua sering mewarisi seluruh harta-warisan, tetapi dengan kewadjiban memelihara adik-adiknja serta mengawinkan mereka.

Di Batak ada terdjadi anak lelaki jang termuda mewarisi seluruh harta-warisan, jaitu seorang ahliwaris jang paling lama berdiam bersama

dengan orang-tua (lihat Ter Haar halaman 198).

Di Savu dengan sifat kebapak-tbuan dari kekeluargaannja, harta- warisan dari seorang ibu hanja diwaris oleh anak-anak perempuan dan harta-warisan dari seorang ajah hanja diwaris oleh anak-anak lelaki, (lihat Ter Haar halaman 2 0 7 ). Kini pun ada praktek penghibahan sebelum wafat.

Diiain-Iain daerah dengan sifat kebapak-tbuan, anak-anak, baik lelaki maupun perempuan, bersama-sama merupakan ahliwaris dari segala barang- barang warisan orang-orang-tuanja, baik ajah maupun ibu.

Dilingkungan Hukum Islam ada perbedaan prinsipiil antara anak lelaki dan anak perempuan. Sekedar selaku landjutan dari keadaan pada waktu sediakala ditanah Arab dengan sangat kuat sifat kebapakan dalam kekeluargaannja, maka dalam Hukum Islam pada hakekatnja hanja

(25)

anak-PARA AHLI-W'ARIS

anak lelaki dianggap sebagai ahliwaris jang berhak atas harta-warisan si wafat.

Sekedar selaku tambahan atau keketjualian dari Hukum Warisan jang berasal dari keadaan sediakala ditanah Arab ini, maka dalam kitab Sutji Qur'an dalam hal tiada anak lelaki, seolah-olah setjara belas kasihan, di­ tentukan harus diberikan kepada anak perempuan bagian tertentu dari harta- warisan, jaitu bagian separoh dari segenap barang-barang warisan, apabila hanja ada seorang anak perempuan, dan bagian dua pertiga, apabila ada lebih dari seorang anak perempuan.

Sekedar selaku tambahan lagi dari peraturan ini, ditetapkan dalam Qur'an, bahwa apabila ada anak-anak lelaki dan perempuan, maka anak- anak perempuan akan bersama-sama dengan anak-anak lelaki mewarisi harta-warisan ajahnja, tetapi bagian setiap anak perempuan adalah hanja

separoh dari bagian setiap anak lelaki.

Maka, menurut Hukum Islam, apabila si peninggal warisan hanja meninggalkan anak-anak perempuan sadja dan tiada anak lelaki, maka saudara-saudara sekandung dari si peninggal warisan merupakan ahli-waris

disamping anak-anak perempuan, sedemikian rupa, bahwa, dengan adanja hanja seorang anak perempuan, ia mewarisi separoh, dan dengan adanja lebih dari seorang anak perempuan, mereka mewarisi dua-pertiga dari se­ luruh harta-warisan, sedang sisanja djatuh ditangan saudara-saudara sekan­ dung dari si peninggal warisan.

Mr. Djojodiguno dan Mr. Tirtawinata dalam penjelidikannja di Djawa-Tengah menjatakan, bahwa diseluruh Djawa-Tengah penentuan dari Hukum Islam ini tidak dianut dalam praktek Hukum Adat, dengan akibat, bahwa di Djawa-Tengah djuga dengan adanja hanja anak-anak perempuan, saudara-sudara sekandung dari si peninggal warisan tidak turut mewarisi harta-warisan si wafat.

Pengaruh Hukum Agama Islam tentang hal ini ternjata terlihat hanja perihal pembagian harta-warisan antara anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan, jaitu bahwa anak lelaki mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan, dan kebiasaan ini di Djawa-Tengah hanja diketemukan dibeberapa desa sadja oleh Mr. Djojodiguno dan Mr. Tirtawinata (lihat bukunja halaman 330).

Dilingkungan Hukum Burgerlijk W etboek tentang hal ini terdapat

persamaan dengan Hukum Adat, djadi berlainan dengan Hukum Islam. (lihat pasal 852 B .W ., jang menjebutkan : „Kinderen ... zonder onder-scheid van kunne”, anak2 dengan tidak diperbedakan perihal kelaminnja).

Anak angkat

Anak angkat adalah seorang bukan turunan dua orang suami-'isteri, jang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak-turun- annja sendiri.

Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak itu, maka didaerah- daerah jang ada tebal pengaruh Hukum Agama Islam dalam masjarakat, ada kemungkinan tidak dikenal pula anak angkat.

(26)

Di Minangkabau misalnja rupa-rupanja tidak dikenal anak-angkat, tetapi tidak terang apakah ini disebabkan oleh pengaruh Hukum Agama Islam atau disebabkan oleh adanja sifat keibuan dari kekeluargaan disitu.

Didaerah-daerah lain jang mengenal adanja anak-angkat, anak-angkat itu pada hakekatnja mempunjai kedudukan-hukum sebagai anak-turunan, djuga mengenai harta-warisan.

„Pada hakekatnja” saja katakan, oleh karena dibeberapa daerah nam­ pak kedudukan anak-angkat perihal warisan tidak tepat sama dengan ke­ dudukan anak turunan.

Pengadilan Negeri Purworedjo dalam putusannja tanggal 25 Agustus 1937, dimuat dalam madjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht" bagian 148 halaman 299, menetapkan, bahwa barang pentjarian dan barang gono- gini djatuh pada djanda dan anak-angkat, sedang barang asal kembali pada saudara-saudara si peninggal warisan, djikalau jang wafat itu tidak mempunjai anak keturunannja sendiri.

Djustru berhubung dengan disamakan atau hampir disamakan anak- angkat dengan anak-kandung ini, maka para Hakim harus awas-awas dalam menentukan, apakah betul-betul ada terdjadi suatu pengangkatan anak atau hanja pemeliharaan belaka dari seorang anak orang lain.

Pada hakekatnja seorang baru dapat dianggap anak-angkat, apabila orang jang mengangkat itu, memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannja sendiri.

Di Minahasa ada suatu adat-kebiasaan jang kelihatannja mirip dengan pengangkatan anak, tetapi sebetulnja bersifat lain sekali.

Adat-kebiasaan itu ialah, bahwa sering terdjadi suatu perdjandjian, bahwa si A berdjandji akan memelihara si B jang sudah agak tua, sampai si B itu meninggal dunia, dan djuga akan mengurus penguburan si B itu, sedang sebaliknja si B berdjandji, bahwa si A akan mewarisi barang-barang kepunjaan si B, jang akan ditinggalkan, apabila ia, si B, meninggal dunia.

Burgerlijk W etboek tidak kenal anak-angkat. Berhubung dengan ini bagi orang-orang Tionghoa jang pada umumnja takluk pada Burgerlijk Wetboek, diadakan peraturan tersendiri dalam Staatsblad 1917-129 bagian II mengenai pengangkatan anak (adopsi).

Menurut pasal 12 dari peraturan itu, anak-angkat itu disamakan sama sekali dengan seorang anak kandung.

Ada perbedaan antara adopsi diantara orang-orang Tionghoa ini dan pengangkatan anak menurut Hukum Adat bagi orang2 Indonesia-asli, jaitu perihal perhubungan-hukum antara anak-angkat dan orang-tuanja sendiri.

Pada adopsi bagi orang-orang Tionghoa perihal warisan terputuslah hubungan-hukum itu (pasal 14), sedang dilingkungan Hukum Adat sudah pernah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Purworedjo tanggal 6-10-1937 (T . 148 halaman 3 0 7 ), bahwa seorang anak-angkat menurut Hukum Adat tetap berhak atas harta-warisan jang ditinggalkan oleh orang-tuanja sendiri.

Tentang pengangkatan anak dan adopsi ini saja menulis lebih pandjang dalam buku saja jang berkepala „Hukum Perkawinan di Indonesia halaman 78 s/d 82.

(27)

PARA A H LI-W ARIS

D j mula perempuan

Kedudukan djanda perempuan dari seorang lelaki jang meninggal dunia, pantas mendapat perhatian dan ternjata diperlakukan setjara istimewa dalam tiga-tiganja lingkungan Hukum, jaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Burgerlijk Wetboek.

Dalam hubungan dengan si wafat, sudah terang ada perbedaan antara djanda-perempuan disatu pihak dan anak-anak si wafat dilain pihak, jaitu dilihat dari sudut tali-kekeluargaan berdasar atas persamaan-darah (bloed- verwantschap).

Tali-kekeluargaan semat jam ini pada hakekatnja dan pada umumnja sama sekali tidak ada antara si wafat dan djanda-perempuan.

Kalau pengertian ahliwaris melulu dihubungkan dengan persamaan darah-asal ini, maka sudah terang, bahwa djanda-perempuan pada hakekat­ nja tidak mungkin merupakan ahliwaris dari si wafat.

Tetapi sebaliknja ada kenjataan djuga, bahwa pada umumnja dalam suatu perkawinan hubungan lahir dan batin antara oknum suami dan oknum isteri dapat dikatakan sedemikian eratnja, sehingga m elebihi hu­ bungan antara si wafat dan para sesama darah-asal.

Kenjataan ini menimbulkan suatu rasa-keadilan, jang perihal warisan si wafat harus memberi kepada djanda-perempuan suatu kedudukan jang pantas disamping kedudukan anak-anak keturunan si wafat.

Menurut Hukum Adat

Di Minangkabau dengan sifat keibuan kekeluargaan, sebetulnja ke­ dudukan djanda perempuan terhadap harta-warisan suaminja jang wafat, tidak merupakan soal, oleh karena harta-pentjarian jang ditinggalkan oleh suami itu, beralih kepada saudara-saudara sekandung dari suami itu, djadi

kembali kepada Keluarganja sendiri.

Terhadap Harta-Pusaka si suami sudah sedjak semula tidak mempunjai hak, maka sudah semestinja Harta-Pusaka itu, sekedar dipakai oleh suami itu selama masih hidup, pada waktu wafatnja kembali kepada kekuasaan mamak-kepala-waris dari Keluarga si isteri.

Didaerah-daerah dengan sifat kebapakan kekeluargaan seperti di Batak dan Bali, sekedar masih kuat anggapan bahwa setjara djudjuran seolah-olah si isteri oleh Keluarga si suami dibeli dari Keluarga si isteri, maka mungkin djuga seorang djanda-perempuan dianggap selaku bagia)! dari Harta-W arisan, jang beralih djuga kepada para ahliwaris dari suaminja, dengan akibat, bahwa tidak djarang djanda-perempuan mendjadi isteri dari saudara lelaki dari almarhum suaminja (leviraatshuwelijken).

Kalau perkawinan dengan saudara lelaki dari suami ini tidak ter- djadi, maka di Batak dan Bali dan dilain-lain daerah dengan sifat kebapakan kekeluargaan, seperti di Lampong, djanda-perempuan tetap merupakan se­

bagian dari Keluarga si suami, dan dengan demikian pada umumnja djanda- perempuan itu tidak akan terlantar dan akan tetap menikmati barang- barang jang ditinggalkan oleh suami jang wafat itu.

(28)

H U KU M W A R ISA N D I IN D O N ESIA

Oleh Korn dikatakan dalam bukunja halaman 521, bahwa di Bug-bug djanda-perempuan bukanlah ahliwaris dari suaminja, tetapi harus tetap mendapat nafkah jang diambil dari harta-warisan almarhum suaminja.

Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dengan putusannja tang­ gal 30-11-1955 No. 90 K/Sip/1952, selaku hasil dari suatu penjelidikan Hukum Adat di Lom bok-Barat, menganggap, bahwa menurut Hukum Adat di Lombok-Barat, apabila seorang peninggal warisan hanja meninggalkan djanda-djanda dan seorang saudara kakak-perempuan, maka kakak-perem- puan itu adalah satu-satunja ahliwaris, tentang barang-aslinja, tetapi ber­ hubung ada wadjib djanda untuk memelihara dan membereskan lwrta- warisan seluruhnja, termasuk pengabenan djenazah, maka kepada djanda- djanda itu harus diberi pesangon, jang meliputi hasil dari sepertiga bagian dari Harta-Warisan.

Bagaimanakah halnja didaerah-daerah bagian terbesar di Indonesia, dimana ada sifat kebapak-ibuan kekeluargaan ?

Sekedar didaerah itu pengaruh Hukum Islam ada kuat, maka mungkin sekali didaerah itu peraturan Hukum Islamlah jang diturut, jaitu seperti halnja dengan seorang anak perempuan, dalam Qur’an kepada si djanda- perempuan diberi bagian tertentu jang tetap dari harta-warisan; bagian ini adalah seperdelapan dari segenap harta-warisan, apabila ada anak-anak keturunan dari si wafat, dan seperempat, apabila tidak ada anak-anak ke­ turunan itu.

Didaerah jang pengaruh Hukum Islam dalam hal warisan tidaklah kuat, dan djuga diantara orang-orang Indonesia-asli jang beragama Keristen, maka keadaannja adalah sebagai berikut.

Pada pokoknja dianggap lajak, bahwa seorang djanda-perempuan se­ telah ditinggalkan oleh suaminja, seberapa boleh dapat meneruskan peng- hidupannja setjara jang pantas sampai ia meninggal dunia.

Untuk keperluan hidup ini dianggap lajak pula, bahwa harta-warisan almarhum suaminja dipergunakan untuk itu, dimana dan sekedar perlu.

Kalau disamping djanda-perempuan ada ditinggalkan anak-anak ke­ turunan suami-isteri berdua, maka biasanja tidak mendjadi soal, apakah djanda-perempuan itu mendapat bagian dari harta-warisan atau tidak, oleh karena biasanja suasana kerumah-tanggaan diantara ibu dan anak-anaknja sendiri itu tetap berlangsung seperti pada waktu suami/ajah belum wafat.

Dengan dilandjutkannja suasana kerumah-tanggaan ini maka harta- benda jang sebelum wafat suami/ajah dipergunakan untuk hidup keluarga sesomah sehari-hari itu, tetap dipergunakan untuk itu, dengan tidak begitu dihiraukan, siapa jang mengurus harta-benda itu. Mungkin si djanda, mungkin djuga salah seorang anak, biasanja jang tertua.

Dengan demikian djuga, harta-warisan itu biasanja tidak dibagi-bagi antara ibu dan anak-anaknja itu.

Tetapi ada kalanja tentunja diantara anak-anak itu ada jang kemudian minta, supaja diadakan pembagian harta-warisan itu, mungkin terdorong oleh tekanan ekonomi.

(29)

dihalang-PARA AHLI-W'ARIS

halangi oleh si djanda, asal sadja tetap diingat, bahwa si djanda itu mene­ rima bagian sekian banjaknja, sehingga ia dengan mempergunakan bagian itu dapat melandjutkan penghidupannja setjara pantas.

Oleh karena untuk hidup itu sjarat pertama adalah tempat kediaman jang lajak, maka biasanja rumah dan pekarangan kediaman keluarga tetap diserahkan kepada djanda untuk terus didiami dan dipergunakan seperlunja. Disamping rumah dan pekarangan ini biasanja djuga diserahkan sebidang sawah, jang hasilnja tjukup untuk makan sehari-hari.

Kalau harta-warisan hanja berupa rumah dan pekarangan dan sebidang sawah itu sadja, maka konsekwensinja ialah bahwa permo­ honan anak jang minta pembagian harta-warisan itu pantas ditolak, djuga oleh Hakim, apabila soalnja dihadapkan dimuka Pengadilan.

Lain halnja, apabila disamping rumah, pekarangan dan sebidang sawah itu masih ada sisa barang-barang lain jang tjukup berharga. Dalam hal jang sedemikian ini, adalah lajak, apabila pembagian sisa dari harta-warisan itu dilakukan.

Dalam hal ini harus diperlakukan setjara istimewa barang-barang milik bersama dari suami isteri, jaitu jang dinamakan misalnja : barang- barang perpantangan di Kalimantan, barang-barang tjakkara di Sulawesi- Selatan, barang-barang gono-gini di Djawa Tengah, barang-barang guna- kaja atau tjampur-kaja di Djawa Barat.

Separoh atau dibeberapa tempat sepertiga dari barang-barang milik bersama ini adalah bagian djanda perempuan dan sisanja dibagi diantara anak-anak, seperti halnja dengan barang-barang milik suami sendiri, baik jang asal dari leluhurnja, maupun jang ia peroleh dengan pekerdjaannja sendiri.

Pembagian harta-warisan ini akan lebih terdorong terdjadinja, apabila diantara anak-anak itu ada jang bukan anaknja si djanda, melainkan anak tirinja, jaitu anak keturunan dari almarhum suami dengan isteri lain.

Masih mendjadi pertanjaan, apakah setelah harta-warisan dikurangi dengan bagian jang lajak bagi penghidupan si djanda dan bagiannja dari barang-barang milik-bersama tadi, dalam membagi sisa dari harta-warisan tadi si djanda masih mendapat bagian atau tidak.

Jurisprudensi dari Kamar ke-III Raad Djustisi di Djakarta dulu di- zaman Belanda jaitu dari Pengadilan jang pada zaman Belanda ditugaskan selaku Pengadilan Tunggal untuk membanding putusan-putusan Pengadilan Negeri jang mengenai Hukum Adat, tjenderung pada pendapat, bahwa

pada hakekatnja seorang djanda perempuan bukanlah seorang ahli-ivaris terhadap harta-warisan almarhum suaminja. (lihat misalnja putusan-putusan Pengadilan „adatkamer” tadi :

tanggal 17 Nopember 1939 (T . 153 halaman 148), tanggal 24 Nopember 1939 (T . 152 halaman 140), tanggal 26 Nopember 1939 (T . 151 halaman 193). Kalau memang demikianlah halnja, maka pada hakekatnja si djanda

tidak berhak menerima bagian lagi dari „sisa” harta-warisan tadi. 27

(30)

H U KU M W A RISA N D I IN D O N ESIA

Saja sedjak dulu sampai sekarang djuga belum dapat menjatakan ke­ benaran pendapat „Adatkamer” tadi setjara kaku dengan konsekwensi, bahwa si djanda tidak berhak menerima bagian lagi dari „sisa” harta - warisan tadi.

Dalam penjelidikan jang saja sendiri pernah lakukan didaerah Kabu­ paten Sidoardjo (Djaw a-Tim ur) dalam tahun 1937, jang hasilnja dimuat dalam karangan saja dimadjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht" Ba­ gian 149 halaman 148, saja ketemukan disitu keadaan, bahwa dalam ke- banjakan hal-hal jang in concreto terdjadi dalam pembagian harta-warisan seorang suami, si djanda-perempuan mendapat bagian dari harta-warisan tadi sedjumlah sama dengan bagiannja anak keturunan si wafat.

Ter Haar dalam salah satu tjatatannja dibawah putusan-putusan Penga­ dilan dimadjalah „Indisch Tijdschrift van het Recht” djuga mengatakan, bahwa masih harus diselidiki lebih mendalam, apakah si djanda-perempuan tidak berhak menerima bagian dari „sisa” harta-warisan tadi, apabila „sisa” itu merupakan kekajaan jang amat besar nilai-harganja.

Tjatatan Ter Haar ini memang tepat, oleh karena dalam hal seorang suami jang amat kaja, meninggal dunia, konsekwensi pendapat „adatkamer” tadi ialah bahwa anak-anak keturunan si wafat tetap kaja-raja, sedang si djanda-perempuan hanja mendapat harta-benda jang sekedar tjukup untuk hidup sehari-hari sadja.

Bahwa hal ini merupakan hal jang sangat gandjil, sekiranja dapat dimengerti oleh siapapun djuga.

Kegandjilan ini lebih-lebih nampak, apabila disamping djanda-pe­ rempuan itu tidak ada ditinggalkan seorang anak, djadi apabila selaku ahli- waris tampil kemuka saudara-saudara atau anak-anak saudara dari si wafat tadi.

Sekiranja djuga kegandjilan inilah jang menjebabkan adanja kebiasaan, bahwa apabila tidak ada anak-anak dari si wafat itu, barang-barang milik bersama dari suami-isteri seluruhnja dianggap djatuh ketangan si djanda- perempuan selaku milik-pribadi, sehingga para ahliwaris dari si wafat sama sekali tidak dapat mengutik-ngutik barang-barang gono-gini tadi dari tangannja si djanda-perempuan.

D janda lelaki

Kedudukan djanda lelaki terhadap harta-warisan almarhum isterinja didaerah-daerah dengan kekeluargaan kebapak-ibuan, djadi dibagian ter­ besar dari wilajah Indonesia, pada hakekatnja adalah satna dengan kedu­ dukan djanda perempuan.

Tetapi jang njata terdjadi didalam praktek, adalah berlainan, oleh karena biasanja djanda lelaki tidak akan terlantar perihal kehidupannja selaku akibat dari wafatnja si isteri.

Maka biasanja tidak ternjata perlulah untuk memikirkan bagi si djanda lelaki bagaimana ia dapat melandjutkan penghidupannja sampai wafat. Dengan sendirinja si djanda lelaki dengan hasil pekerdjaannja sehari-hari dapat melandjutkan penghidupannja itu.

(31)

PARA A H LI-W A R IS

Dan lagi patut diingat, bahwa disegala lingkungan Hukum, baik di- lingkungan Hukum Adat maupun ailingkungan Hukum Islam serta di- lingkungan Hukum Burgerlijk Wetboek, selama suami dan isteri masih hidup berdampingan, si suami berkewadjiban memperlindungi si isteri dan memberi nafkah kepadanja menurut kedudukan dan kekajaan si suami (lihat pasal 45 ajat 2 dari Staatsblad 1933-74 tentang orang-orang Indonesia-asli jang beragama Keristen, dan pasal 107 ajat 2 Burgerlijk W etboek).

Dengan demikian pula adalah sudah selajaknja, apabila dengan wafat- nja si suami, dari harta-warisannja diambil sebagian jang tjukup untuk melandjutkan pemberian nafkah kepada si isteri jang mendjadi djanda.

Didaerah Minangkabau dengan kekeluargaan jang bersifat keibuan, keadaannja adalah berlainan, oleh karena sudah pada hakekatnja si suami tidak masuk Keluarga si isteri, dengan akibat, bahwa pada hakekatnja djanda lelaki tidak berhak menerima apa-apa dari harta-warisan si isteri.

Didaerah-daerah dengan kekeluargaan jang bersifat kebapakan, keada­ annja adalah berlainan lagi.

Di Bali misalnja oleh Korn dalam bukunja halaman 519 dinjatakan dengan tegas, bahwa djanda lelaki mendapat bagian dari harta-warisan jang ditinggalkan oleh almarhum isterinja, jaitu barang-barang jang dulu oleh isteri pada waktu nikah dibawa dari rumah-aslinja, barang-barang jang diperoleh si isteri selaku hasil pekerdjaannja sendiri, dan barang-ba­ rang bagian si isteri dari harta-milik-bersama suami-isteri.

Dikatakan pula oleh Korn, bahwa selaku keketjualian di Buleleng dan Djembrana barang-barang asal dari famili si isteri kembali kepada famili si isteri itu, apabila si isteri wafat sebelum lampau lima tahun setelah per­ nikahan, sedang di Giwang dikatakan, bahwa djanda lelaki hanja mewarisi barang-barang harta-warisan dari almarhum isterinja, apabila ada anak- keturunan dari mereka berdua.

Menurut Hukum Islam kedudukan djanda lelaki ada sedikit berlainan dari pada kedudukan djanda perempuan. Diatas telah dikatakan, bahwa djanda perempuan mendapat seperdelapan bagian dari harta-warisan al­ marhum suaminja, apabila ada anak-keturunan, dan seperempat bagian, apabila tiada anak-keturunan. Bagian-bagian ini bagi djanda lelaki adalah seperempat dan separoh, d jadi pokoknja bagian djanda lelaki adalah ber­ lipat dua kali dari bagian djanda perempuan (lihat Juynboll halaman 2 4 4 ).

Dilingkungan Hukum Burgerlijk W etboek, djadi 'bagi orang-orang Tionghoa dan Eropah, warganegara Indonesia, diseluruh wilajah Indonesia, sama sekali tiada perbedaan- antara kedudukan djanda perempuan dan kedudukan djanda lelaki.

Untuk dua-duanja diadakan peraturan jang pada hakekatnja lain sifat- nja dari pada peraturan di Hukum Adat jang telah diuraikan diatas.

Burgerlijk Wetboek memandang djanda, baik perempuan maupun lelaki, selaku ahliwaris belaka dengan tiada perbedaan dari ahliwaris lain seperti anak-anak keturunan atau saudara-saudara sekandung dari si wafat.

Pasal 852a B .W . menentukan, bahwa seorang djanda mendapat bagian dari harta-warisan almarhum suami atau isteri, seperti halnja dengan se­

(32)

H U K U M W A R ISA N D I IN D O N E SIA

orang anak. Djadi apabila misalnja ada dua orang anak atau keturunan dari anak itu, maka djanda mendapat sepertiga bagian dari harta-warisan (lihat pasal 852 B .W .).

Pasal 852a B .W . ini baru ditambahkan oleh Staatsblad 1935-486. Sebelum Staatsblad ini ada, pasal 832 ajat 1 B .W . menentukan, seorang djanda baru mendapat bagian dari harta-warisan almarhum suami atau isteri, apabila tidak ada ditinggalkan sanak-sanak-keluarga dari si wafat sampai tingkat ke-12, jang tentunja djarang sekali terdjadi.

Djadi dulu praktis seorang djanda menurut B .W . bukanlah ahliwaris. Peraturan jang dulu itu, jang sesuai dengan Burgerlijk W etboek di Negeri Belanda dulu, adalah tiruan dari Hukum Romawi dan Code Civil dari Radja Napoleon di Perantjis.

D i Perantjis sendiri sistim ini sudah dalam tahun 1891 diubah sede­ mikian rupa, bahwa djanda mendapat hak-menarik-hasil (recht van vrucht- gebruik) jang meliputi seperempat bagian dari seluruh harta-warisan, apabila ada anak-anak keturunan dari si wafat, dan separoh bagian, apabila tiada anak-anak keturunan. Peraturan ini hampir sama dengan peraturan dalam Hukum Islam tentang hal ini.

Dalam hal seorang dua kali kawin dan dari perkawinan jang pertama ada anak, maka, dalam B .W . hak dari seorang djanda selaku suami atau isteri kedua terhadap harta-warisan si wafat, diatur dalam pasal 852a dan pasal 181 setjara agak terbelit-belit.

Pasal 852a B .W . mengatakan, bahwa bagian-warisan dari djanda tidak boleh melebihi bagian terketjil dari seorang anak-tiri tadi, dan setidak2nja tidak boleh lebih dari seperempat bagian dari seluruh harta-warisan.

Pasal 181 B .W . mengatakan, bahwa selaku akibat dari tjampur-ke- kajaan antara suami dan isteri kedua atau antara isteri dan suami kedua sedang ada anak dari perkawinan pertama, maka orang-tua tiri tidak boleh mendapat keuntungan jang melebihi bagian terketjil dari seorang anak- tiri itu dalam harta-warisan orang-tuanja sendiri, sedang keuntungan itu d juga tidak boleh lebih dari pada seperempat bagian dari seluruh harta- warisan orang-tua sendiri itu.

Apabila misalnja harta-warisan berdjumlah Rp. 36.000,— dan oleh si wafat ditinggalkan djanda dan dua anak dari perkawinan pertama, djadi anak-tiri dari si djanda tadi, maka dua anak dan djanda seharusnja masing-masing mendapat sepertiga dari Rp. 36.000,— , djadi Rp. 12.000,— , tetapi si djanda menurut pasal 852a B .W . tidak boleh menerima lebih dari pada seperempat dari Rp. 36.000,-— , djadi Rp. 9.000,— .

Kalau dalam hal ini Rp. 36.000,— itu adalah harta-tjampur-kekajaan (goederen in huwelijksgemeenschap), dan terdiri dari Rp. 30.000,— asal dari si wafat dan Rp. 6.000,— asal dari si djanda, maka menurut pasal 181 B .W . harus diperhitungkan sebagai berikut.

Dari milik-bersama ini djanda berhak:atas separoh, djadi Rp. 18.000,— dan dengan demikian keuntungannja adalah Rp. 12.000,— . Dari harta- warisan jang berasal dari si wafat sedjumlah Rp. 30.000,— itu, dua anak

Referensi

Dokumen terkait

Namun, masih ditemukan kendala dalam beberapa tahapan seperti perbedaan informasi terkait tindakan pasca kegagalan pada penilaian akreditasi sebelumnya antara tim

Berdasarkan hal tersebut, kami menyarankan bahwa Kepada pihak rumah sakit agar meningkatkan dimensi iklim kerja rumah sakit baik dari segi kesesuaian, tanggung

Yaitu kehilangan tegangan yang terjadi pada saat gaya prategang dialihkan ke angkur. Perlengkapan didalam angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan cenderung

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagai seorang yang berpendidikan, dan beragama, seseorang haruslah bisa menjaga sikap dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi dan berat ragi terhadap kadar alkohol pada pembuatan bioetanol limbah padat tapioka (onggok)..

Pemilu 1955, telah mengajarkan pada kita akan kehidupan demokrasi, kebebasan berpartai /multi partai yang sangat subur, pelaksanaan yang sangat jurdil, sehingga menjadi model

Pergerakan imbal hasil Surat Utang Negara yang masih mengalami penurunan pada perdagangan kemarin didukung oleh hasil positif dari pelaksanaan lelang penjualan

Laba atau rugi kurtailmen diakui apabila terdapat komitmen untuk melakukan pengurangan jumlah karyawan dalam jumlah yang material yang ditanggung oleh suatu program atau