• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAMENT

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 75-84)

¡.Erfstelling” dan „legaal”

Perbedaan antara erfstelling dan legaat ialah bahwa erfstelling adalah pe­ nentuan dalam testament, jang maksudnja bahwa seorang tertentu ditun- djuk oleh si peninggal warisan untuk menerima seluruh harta warisan atau sebagian tertentu, misalnja seperdua, sepertiga dan sebagainja (pasal 954 B .W .), sedang dengan legaat seorang peninggal warisan dalam testament menundjuk seorang tertentu untuk mewaris barang tertentu atau sekum­ pulan barang tertentu, seperti misalnja suatu rumah tertentu, atau suatu mobil tertentu atau semua barang-barang bergerak milik si peninggal warisan, atau hak-memetik-hasil atas seluruh harta warisan atau sebagian (pasal 957 B .W .).

Dari pasal 955 dan pasal 958 B.W . dapat disimpulkan perbedaan lain antara erfstelling dan legaat. Orang jang mendapat erfstelling mempunjai kedudukan sebagai seorang ahliwaris ab-intestato, dalam arti bahwa dua- duanja ahliwaris itu tidak hanja menerima hak-hak jang melekat pada harta warisan, melainkan djuga kewadjiban-kewadjiban, antara lain .untuk

membajar hutang dari si peninggal warisan.

Seorang jang mendapat legaat, tidak berkedudukan sebagai ahliwaris ab-intestato dalam arti, bahwa seorang legataris oleh si peninggal warisan diberi hak untuk menerima barang tertentu dari harta warisan. Bahkan legataris itu dapat menuntut dari ahliwaris supaja barang tertentu itu

diserahkan kepadanja (lihat pasal 959 ajat 1 B .W .).

Kedudukan seorang legataris adalah seperti kedudukan seorang ber-pihutang (créditeur) dari si peninggal warisan. Dengan demikian ia tidak bertanggung djawab atas liutang-hutang si peninggal warisan.

Ada berlainan pendapat tentang persoalan apakah seorang legataris dengan adanja testament itu, semendjak wafatnja si peninggal warisan, mendjadi pemilik barang jang diberikan, ataukah ia hanja berhak untuk menuntut penjerahan barang itu kepadanja, dan baru dengan penjerahan ini ia mendjadi pemilik.

Pendapat pertama dianut oleh jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda (putusan 4 Maret 181 W . 4622), sedang kebanjakan penulis- penulis ahlihukum Belanda menganut pendapat ke-II, misalnja Asser- Meyers (halaman 391 dst.), Suyling-Dubois No. 328, Klaassen-Eggens (halaman 318). Djuga Hooggerechtshof dari Hindia-Belanda dulu pernah memutuskan demikian pada tanggal 5 Maret 1936 T. bagian 143 halaman 453, dan djuga ibeberapa Hakim rendahan di Negeri Belanda.

Pendapat jang ke-II ini memang lebih tjotjok dengan sistim B.W . jang misalnja dalam hal djual-beli menghendaki peralihan hak-milik baru 73

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

terdjadi setelah barangnja diserahkan (geleverd) kepada jang membeli sebagai pihak jang berhak untuk menerima barang itu.

Apabila barang jang diberikan setjara legaat mengeluarkan hasil (vruchten), maka, menurut pasal 959 ajat 2 B.W ., si legataris dapat me­ nuntut penjerahan hasil itu jang dipetik sedjak wafatnja si peninggal wa­ risan, apabila barangnja dituntut penjerahannja dalam satu tahun, atau diserahkan setjara suka rela dalam satu tahun.

Apabila tuntutannja dilakukan setelah lampau tenggang satu tahun tadi, maka hanja dapat dituntut hasil jang dipetik sedjak waktu tuntutan dimadjukan dimuka Pengadilan.

Pasal 960 B.W . menentukan, si penerima legaat dapat menerima se­ mua hasil sedjak wafatnja si peninggal warisan, dengan tidak dipedulikan, kapan barangnja diserahkan, dalam dua hal, jaitu :

ke-1 apabila hal itu ditentukan oleh si peninggal warisan dalam testa- mentnja,

ke-2 apabila jang diberikan sebagai legaat adalah suatu bunga selama h i­ dup (lijfrente) atau suatu gadji tahunan, bulanan atau mingguan, dengan dinamakan nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari.

Staatsblad 1926-253 memuat firman Radja Belanda tanggal 23 April

1926 No. 17, jang memungkinkan Hooggerechtshof dulu, djadi sekarang Mahkamah Agung, untuk kepentingan umum, mengubah atau menghapus­ kan suatu perdjandjian jang ditetapkan dalam suatu testament, apabila sudah lampau 40 tahun setelah wafat si peninggal warisan, jaitu mengenai :

a. tempat dan tjara hasil kesenian atau barang atau surat ilmu pengeta­ huan harus disimpan dalam suatu pengumpulan barang-barang jang terbuka untuk umum,

b. sampai dimana dan dengan sjarat-sjarat apa umum diberi kesempatan untuk melihat dan memakai hasil kesenian dan barang-barang tadi,

c. tudjuan jang harus diberikan kepada sedjumlah uang untuk keperluan kesenian atau ilmu pengetahuan.

Permohonan untuk perubahan perdjandjian ini harus dimadjukan oleh pihak jang diwadjibkan menepati perdjandjian itu, setjara tulisan dengan disertai alasan-alasan.

Sebelum memberi putusan, Mahkamah Agung harus mendengar ketu­ runan-keturunan jang sah serta djanda dari peninggal warisan, dan ber­ kuasa pula untuk mendengar saksi-saksi dan 'ahli-ahli.

Putusan Mahkamah Agung baru mendapat kekuatan, apabila sudah disahkan oleh „Gubernur-Djenderal” djadi sekarang menurut hemat saja, Menteri Kehakiman.

Perdjandjian jang sudah diubah ini, dapat kemudian diubah lagi se­ tjara jang sama, kalau sudah lampau 10 tahun sesudah putusan jang dulu itu mendapat kekuatan.

Perdjandjian jang sudah diubah tadi, dapat dituntut penghapusannja, apabila perdjandjian itu ternjata tidak dipenuhi.

PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAM ENT

Keiuadjiban (last)

Suatu legaat dapat disertai suatu k e wmIjibán, jang dibebankan ikepada si legataris.

Burgerlijk Wetboek sendiri dalam pasal 961 membebani seorang le­ gataris dengan kewadjiban membajar padjak-padjak jang dengan nama apa pun djuga melekat pada legaatnja untuk dibajar kepada Kas Negeri.

Selandjutnja pasal 962 B.W . menentukan, apabila kepada beberapa legataris oleh si peninggal warisan dibebani pelbagai kewadjiban, maka para legataris harus memenuhi kewadjiban itu, masing-masing seimbang dengan djumlah barang-barang legaat jang mereka akan menerima. Ketju- ali apabila si peninggal warisan menentukan lain dan membebankan kewa­ djiban itu misalnja hanja kepada sailah seorang legataris sadja.

Kewadjiban ini jang dibebankan kepada legataris, dapat bermatjam- matjam isinja. Malahan oleh pasal 967 B.W . diperbolehkan seorang lega­ taris diwadjibkan melakukan pembajaran uang kepada seorang ketiga, atau untuk membajar hutang-hutang dengan uang kepunjaan si legataris sendiri.

Dalam hal ini seorang ketiga itu bukan legataris, melainkan seorang jang hanja ada hubungan dengan legataris tadi dan jang hanja dapat menegor si legataris itu untuk memenuhi kewadjiban membajar uang tadi.

Akan ada persoalan, apablia seorang legataris A diwadjibkan mem­ beri sebagian dari barang-barang legaat kepada seorang ketiga B, jaitu apakah si B ini djuga merupakan seorang legataris jang dapat menuntut langsung penjerahan sebagian dari barang-barang 'legaat tadi, ataukah ia hanja dapat menuntut itu dari si legataris A.

Menurut Klaassen-Eggens (halaman 344), ini tergantung dari kata- kata jang dipakai oleh si peninggal warisan dalam testamentnja. Kalau misalnja legaat itu merupakan suatu kumpulan buku-buku (bibliotheek) dan ditentukan pula, bahwa salah suatu buku dari kumpulan itu harus diberikan kepada si B tadi, maka kini ada kewadjiban Ibelaka dan B bu­ kanlah merupakan legataris.

Sebaliknja apabila dalam testament ditentukan, bahwa jang diberi selaku legaat itu suatu kumpulan buku, ketjuali satu buku tertentu, buku mana harus diberikan kepada si B, maka kini si B merupakan legataris tersendiri.

Saja lebih setudju, apabila ukuran tidak ditjari pada kata-kata, jang dipakai dalam testament, melainkan pada maksud sebenarnja dari si pe- ninggal warisan. Dalam tjontoh ke-2 dari Klaassen-Eggens adalah terang

maksud dari si peninggal warisan untuk memberi buku tertentu seorang legataris tersendiri.

Dalam kewadjiban jang dibebankan kepada seorang legataris, tidak selalu tersangkut seorang ketiga. Misalnja si /legataris dibebani untuk memelihara kuburan dari si peninggal warisan. Bahkan mungkin sekali si legataris diwadjibkan membajar sed jumlah uang tunai untuk dimasukkan dalam harta warisan, agar dapat dibagi-bagi antara para ahliwaris lain.

Kalau sedjumlah uang tunai ini sama dengan harga-nilai dari barang 75

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

legaat, maka sebetulnja si legataris disuruh membeli belaka barang legaat itu.

Udjud barang legaat

Pasal 968 B.W . memungkinkan barang legaat tidak berwudjud barang tertentu, melainkan sedjumlah barang-barang dari d jenis tertentu, seperti uang tunai, atau buah-buahan dan sebagainja. Kalau ini terdjadi, maka tidak dipedulikan, apakah diantara harta warisan ada benar-benar sedjum- lah uang tunai atau sedjumlah buah-buahan itu.

Ini berarti, bahwa apabila sedjumlah uang atau buah-buahan itu tidak ada, maka ahliwaris jang harus melaksanakan testament itu, harus meng­ ambil uang atau buah-buahan itu dari sumber lain dari pada harta warisan, misalnja dari uangnja sendiri dulu.

Ini sesuai dengan 'sifat legataris seperti seorang berpihutang lainnja. Dalam hal ini oleh pasal 969 B.W . ditentukan, kepada legataris tidak perlu diberi barang jang terbaik dari djenis jang ditentukan itu, tetapi djuga tidak seharusnja diberi barang jang terdjelek dari djenis itu. Ini sesuai dengan pasal 1391 B.W . mengenai perdjandjian pada umumnja.

Pasal 966 B.W ., jang melarang menghibahkan barang jang bukan milik si peninggal warisan, dengan menjatakan batal penghibahan itu, !se- betulnja tidak perlu dimuat, oleh karena sudah semestinja.

Pasal 963 B.W . menentukan, barang legaat harus diserahkan kepada legataris dengan disertai segala sesuatu jang dapat dikatakan merupakan bagian dari barang legaat itu, seperti m’isalnja alat-alat suatu pabrik, apa­ bila pabriknja diberikan sebagai legaat.

Djuga ditentukan dalam pasal tersebut, barang legaat harus diserahkan dalam keadaan sewaktu si peninggal warisan wafat.

Ini berarti, bahwa apabila 'setelah testament dibikin, kemudian barang legaat itu diperbaiki atau diperbesar dan sebagainja, maka perbaikan dan perbesaran ini masuk keuntungan si legataris. Ini ditegaskan lagi dalam pasal 964 ajat 2 B.W .

Ajat 1 dari pasal 964 B.W . menundjuk pada keadaan si peninggal warisan setelah bikin legaat berupa sebidang tanah, kemudian membeli sebidang tanah lagi berbatasan dengan tanah jang pertama itu.

Kalau ini terdjadi, maka tanah jang kemudian dibeli itu, tidak masuk legaat, ketjuali tentunja si peninggal warisan menentukan lain.

Tetapi ajat 2 dari pasal tersebut menentukan, apabila pembelian tanah ini hanja merupakan memperbesar luasnja sadja dari sebidang tanah jang dulu sudah terkurung (ingesloten), maka tanah jang kemudian dibeli ini, masuk legaat jang diberikan.

Penentuan ini bagi saja tidak begitu terang. Saja rasa, penafsiran dari penentuan ini harus berkisar pada maksud jang sebenarnja dari si pening­ gal warisan. Dan maksud ini dapat disimpulkan dari pelbagai hal, jang tidak mungkin ditentukan semula.

Pasal 965 B .W . menundjuk pada keadaan si peninggal warisan setelah menghibahkan dalam testament sebidang tanah kepada seorang, kemudian

membebani tanah itu dengan liypoihcck. Dalam hal ini ditentukan,

hy-potheek tetap ,ada, ketjuali si peninggal warisan menentukan lain.

Dikatakan dalam ajat 2, bahwa apabila ¿i iegataris melunasi 'hutang jang dikuatkan oleh hypotheek itu, ia dapat menuntut pembajaran kembali dari ahliwaris jang berwadjib melaksanakan testament.

Pasal 970 B.W . hanja menegaskan, bahwa apabila jang dihibahkan itu hanja hasil dari 'barang rtertentu tidak disebittkcui kata-kata „vruchtge- bruik” (memetik hasil) atau „gebruik” (memakai), maka ini berarti, bah­ wa barangnja sendiri harus tetap ditangan ahliwaris, dan ahliwaris hanja berwadjib memberi hasil itu kepada si Iegataris.

Lain halnja apabila kepada Iegataris diberi hak-memetik-hasil (recht van vruchtgebruik) atau hak-memakai (recht van gebruik) jang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, dalam hal mana barangnja harus diserahkan kepada Iegataris, agar ia dapat sendiri memetik hasil atau memakai barang itu.

Kalau suatu legaat diberikan kepada seorang jang mempunjai pihu- tang terhadap si peninggal warisan, atau kepada pelajan-buruh dari si peninggal warisan, maka ini Fidak ‘berarti, .bahwa pemberian itu diperuntuk­ kan membajar hutang itu atau membajar upah si pelajan itu. Demikian di­ katakan oleh pasal 971 B .W ., jang sebetulnja tidak perlu dimuat, oleh karena sudah amat lajak.

Pada achirnja pasal 972 B.W . menundjuk pada keadaan harta warisan tidak atau hanja sebagian diterima baik (aanvaard) oleh para ahliwaris, atau diterima baik dengan sjarat perintjian barang-barang harta warisan (aanvaard met recht van boedelbeschrijving) 'dengan akibat, bahwa dari harta warisan harus diambil 'dulu seberapa ,bag'ian jang tjukup untuk melunasi hutang2 dari si peninggal warisan, dengan kemungkinan, bahwa sisanja adalah tidak tjukup untuk memberikan legaat2 sepenuhnja kepada para Iegataris. Kalau ini terdjadi, maka barang2 jang setjara legaat akan diserahkan, harus dikurangi, seimbang dengan djumlah nilai masing2 legaat.

.¡Tidei-Commis"

Pasal 879 ajat 1 B.W . melarang „erfstelling over de hand” atau ,,fidei-commissaire substitutien”.

Dari ajat 2 dapat (diketahui arti dari istilah-istilah ini. Disitu ditegas­ kan, bahwa adalah batal setiap penetapan oleh si peninggal warisan, bahwa seorang ahliwaris dibebani kewadjiban untuk menjimpan harta warisan atau barang tertentu dari harta warisan itu, dan kemudian untuk menje­ rahkan barang-barang itu kepada iseorang ketiga.

Menurut pasal 880 B.W ., dari larangan ini diketjualikan apa jang diperbolehkan dalam afdeling 7 dan 8 titel 13 Buku II B. W .

Dalam fidei-commis 'ini sebetulnja ada dua orang penerima wausan,

jang berturut-turut akan mendjadi pemilik dari barang-barang warisan. Misalnja s1! A adalah ahliwaris jan g pertama, jang dibebani untuk kemu­ dian memberikan barang warisan- kepada si B, jang selaku ahliwaris ke-2 mempunjai harapan akan mendapat barang warisan itu.

PENENTUAN-PENENTUAN TERTENTU DALAM TESTAM ENT

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Penjerahan oleh si A kepada si B ini dapat digantungkan pada waktu tertentu, atau pada suatu peristiwa tertentu, misalnja apabila si B sudah dewasa atau sudah kawin.

Maka kepada si A diberi sedikit banjak kepertjajaan (fid ei), bahwa ia akan memenuhi kewadjiban jang dibebankan kepadanja (komisi) untuk kemudian menjerahkan barang warisan 'itu kepada orang lain.

Alasan untuk melarang fidei-commis ini ialah, bahwa dirasakan se­ bagai keberatan besar, apabila sebagai akibat -dari fidei-commis ini akan ada barang-barang jang mungkin dalam waktu jang agak lama sama sekali tidak dapat diperdagangkan. Dan ini akan menghalang-halangi lalu-lintas per­ ekonomian dalam masjarakat.

Sesuai dengan larangan ini adalah Staatsblad 1852-74. Menurut staatsblad ini di Indonesia semua ¡penetapan jang mengakibatkan ada ba-rang-barang tak-bergerak (vaste goederen) untuk waktu lama atau pendek tidak dapat didjual atau diasingkan pada umumnja, atau jang ditentukan akan dipakai selaku kuburan atau tempat menjimpan abu majat, adalah batal.

Sebetulnja staatsblad ini hanja merupakan pemberian pengertian ke­ pada „fidei-commissaire banden of dispositien”, jang dilarang dalam pengumuman Gubernur-Djenderal Mossel tanggal 27 September 1757, jang mula-mula hanja berlaku didaerah sekitar Djakarta, tetapi dengan staatsblad

1838-45 dinjatakan berlaku djuga untuk seluruh Indonesia.

Dapat dipersoalkan apakah larangan dalam dua staatsblad ini tidak bertentangan dengan kemungkinan mendirikan wakaf dilingkungan Hukum Islam dan Hukum Adat.

Dengan adanja dua orang ahliwaris jang dalam fidei-commis bertu-rut-turut berhak menguasai barang harta warisan selaku pemilik, maka menurut pendapat kebanjakan ahli-hukum dan jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda .(putusan tanggal 4 Mei 1893 B.W . 6343), tidaklah dilarang suatu penetapan dalam testament, bahwa seorang ahliwaris diwa- djibkan menggunakan sedjumlah uang atau barang-barang dari harta wa­ risan untuk mendirikan suatu jajasan, oleh karena kini tidak ada seorang ahliwaris pertama seperti si A tadi, jang untuk sementara waktu berhak menguasai barang-barang harta Warisan selaku pemilik.

Djuga dengan demikan dapat dianggap tidak dilarang oleh staatsblad 1852-74 apa jang terdjadi di Indonesia dengan pembentukan suatu wakaf

oleh seorang peninggal warisan, antara lain untuk mendirikan dan meme­ lihara sebuah mesdjid atau untuk menolong orang-orang miskin.

Asser-Meyers dalam bukunja halaman 122-124 mengadakan perban­ dingan antara fidei-commis jang dilarang ini disatu pihak ¡dan testament

bersjarat (voorwaardelijke making) jang diperbolehkan oleh pasal 889

B.W .

Sjarat ini dapat demikian rupa, bahwa si B ditundjuk selaku ahli­ waris dengan sjarat bahwa ia baru akan berhak menguasai barang-barang harta warisan selaku pemilik, apabila ia sudah dewasa atau sudah kawin. 78

Sebelum sjarat ini dipenuhi, barang warisan akan dikuasai oleh ahliwaris si A jang berkewadjiban melaksanakan testament.

Perbedaan dengan fidei-commis ialah, bahwa dalam fidei-commis si A tadi berhak menguasai barang warisan selaku petnilik, dan baru kemudian diganti oleh si B selaku pemilik, sedang testament bersjarat, apabila tiba waktunja si B berhak menguasai barang warisan selaku pemilik, kedudukan si B terhadap barang ini berlaku surut sampai wafatnja si peninggal wa­ risan, djadi si A dianggap bukan petnilik mulai semula; dengan akibat bahwa ia harus mengembalikan segala hasil jang ia telah petik dari barang warisan itu.

Maka, apabila dalam testament bersjarat itu oleh si peninggal warisan

ditentukan, bahwa si A tadi tidak perlu mengembalikan hasil jang ia petik dari barang warisan itu, maka sebetulnja ditentukan, hak ¿i B tidak berlaku surut, dan oleh karena ini kini sebetulnja ada fidei-commis jang dilarang.

Tetapi ketentuan istimewa dari si peninggal warisan tersebut tidak dapat begitu sadja dianggap terlarang.

Maka menurut Asser-Meyers, sebaiknja hal fidei-kommis ini dilenjap-kan sadja sama sekali dari Burgerlijk Wetboek, dan diganti dengan ,per­ aturan tertentu tentang testament bersjarat.

Pendapat Meyers ini patut diperhatikan oleh pembuat undang-undang di Indonesia.

Kembali kepada fidei-kommis jang selaku keketjualian diperbolehkan

oleh B.W ., jaitu jang diatur dalam pasal-pasal 973 s/d 991.

Oleh pasal 881 B.W . diperbolehkan sematjam fidei-commis, dalam mana ahliwaris si A tadi diberi hak mengasingkan dan menghabiskan ba­ rang-barang warisan, maka jang harus diserahkan kepada si B, hanja sisa

barang-barang jang tidak diasingkan atau dihabiskan (onvervreemd of onverteerd). Fidei-commis sematjam ini lazimnja dinamakan fidei-commis de residuo.

Pasal-pasal 973 s/d 988 B.W . mengenai fidei-commis jang diperboleh­ kan untuk keperluan tjutju-tjutju dan keturunan dari saudara-saudara se­ kandung selaku ahliwaris jang mempunjai harapan seperti ahliwaris si B tadi.

Menurut pasal 973 jo. pasal 976 B.W ., seorang peninggal warisan dapat dalam testament memberikan barang-barang tinggalannja jang tidak masuk bagian legitiem, kepada seorang anak dengan beban supaja barang itu disimpan dan kemudian diserahkan kepada semua anak-anaknja si anak tadi (djadi tjutju-tjutjunja si peninggal warisan), baik jang sudah maupun jang belum lahir. Djadi tidak diperbolehkan pembebanan supaja barang itu kemudian diserahkan kepada tjutju tertentu.

Kalau salah seorang anak si peninggal warisan wafat lebih dulu dari pada si peninggal warisan, maka penghibahan dengan pembebanan sema­ tjam itu dapat dilakukan kepada anak-anak dari anak jang wafat lebih dulu itu.

Pasal 974 B.W . memuat peraturan seperti pasal 973 tadi mengena.i saudara-saudara sekandung dari si peninggal warisan, djadi jang dapat

diberi barang warisan dengan beban untuk menjimpannja dan kemudian menjerahkan kepada anak-anaknja.

Pasal 975 B .W . menentukan selandjutnja, apabila pihak jang meng­ harapkan barang, wafat lebih dulu dari pada pihak jang dibebani menjim- pan barang tadi, maka hak dari pihak jang mengharapkan tadi, beralih kepada anak-anaknja.

Tjontoh : si A ada seorang peninggal warisan, memberi hibah wa­ siat kepada anaknja bernama si B, dan B ini mempunjai dua anak, jaitu C dan D.

Setelah A wafat, barang jang diberikan itu, dikuasai oleh B dengan beban untuk menjimpan barang tadi, agar kemudian diberikan kepada C dan D. Tetapi C wafat lebih dulu dari pada B. maka hak si C beralih kepada anak-anaknja si C itu.

Djadi kalau B kemudian wafat, maka barangnja harus diserahkan kepada D dan anak-anaknja si C.

Begitu djuga apabila djuga D wafat lebih dulu dengan meninggalkan anak-anak, maka barangnja beralih kepada anak-anak dari C dan anak- anak dari D. (ajat 2 dari pasal 975 B .W .).

Akibat dari fidei-commis jang diperbolehkan ini ialah, bahwa ahli- waris jang dibebani itu, tidak dapat mendjual atau mengasingkan barang warisan itu.

Perlu diingatkan, bahwa oleh karena fidei-commis sematjam ini me­ rupakan keketjualian dari pada larangan membuat fidei-commis pada umumnja, maka penentuan-penentuan mengenai fidei-commis jang diper­ bolehkan ini, harus ditafsirkan sempit, keras dan kaku.

Apabila misalnja pihak jang dibebani itu, lain dari pada anak atau saudara sekandung, atau apabila ditetapkan sebagai pihak jang mengharap­ kan barang itu, bukan semua anak-anak dari jang dibebani, melainkan misalnja seorang anak tertentu, maka berlakulah pasal 879 ajat 2 B.W ., jang menentukan, bahwa penghibahan setjara fidei-commis ini adalah batal sama sekali, djadi djuga mengenai pihak jang dibebani, tidak hanja mengenai pihak jang mengharapkan barang. Dan dengan pembatalan ini djuga si ahliwaris jang dibebani itu, tidak mendapat apa-apa.

Tentunja ia mungkin mendapat bagian harta warisan, tetapi selaku ahliwaris tanpa hibah wasiat (ab intestato).

Pasal 977 B.W . mengatakan, bahwa hak2 dari pihak jang mengharap­ kan, mulai berlaku pada waktu pihak jang dibebani, berhenti dalam menik­ mati barangnja. Biasanja waktu ini adalah wafatnja pihak jang dibebani.

Ajat 2 dari pasal tersebut memungkinkan pihak jang dibebani, sebelum wafat, sudah dengan suka-rela menghentikan pemakaian barang itu dan menjerahkan milik atas barang itu kepada pihak jang mengharapkan.

Dalam hal ini ditentukan, perbuatan ini tidak boleh merugikan para berpihutang, jang pihutangnja sudah ada pada waktu perbuatan itu dila­ kukan. Artinja : apabila hutang itu tidak dibajar dan dituntut pembajaran- nja pada waktu pihak .jang dibebani itu masih hidup, maka barang itu da­ pat disita dan dilelang untuk membajar hutang itu.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

Djuga perbuatan pihak jang dibebani itu, tidak boleh merugikan anak- anaknja jang baru kemudian akan lahir.

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 75-84)