• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAGIAN HARTA WARISAN (BOEDELSCHEIDING)

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 112-128)

Diatas sudah pernah dikatakan, bahwa dalam Hukum Adat, lain dari pada dalam Hukum Islam dan Hukum B.W ., ada ketjenderungan untuk tidak membagi-bagi harta warisan, oleh karena harta warisan dalam keseluruhan- nja harus diperuntukkan guna suatu tudjuan tertentu, misalnja guna dipakai untuk keperluan hidup bagi djanda dan anak-anak jang belum dewasa.

Ada kalanja sebagian dari harta warisan dibagi-bagi, terutama untuk diberikan kepada anak-anak jang sudah keluar dari keluarga sesomah (ge- zin) dan jang sudah mengadakan somah sendiri.

Diatas (Bagian III) telah dikatakan, bahwa di Minangkabau ada barang-barang „Harta Pusaka” dan di Ambon ada tanah Dati, jang tidak dapat dibagi-bagi, sedang di Minahasa ada barang2 kelakeran, jang ha- nja dapat dibagi dengan persetudjuan semua ahliwaris.

Dilain-lain daerah, jang memperbolehkan pembagian harta warisan pada suatu waktu, mungkin ada peraturan Hukiim Adat mengenai tanah di Desa, jang membatasi kemungkinan membagi-bagi bagian dari harta warisan jang berurpa tanah tertentu, seperti di Tjirebon ada tanah kesikepan, jang lain dari pada tanah jasan, tidak boleh djatuh pada orang bukan warga-desa atau pada orang warga-desa jang sudah mempunjai tanah ka- sikepan lain.

Sekedar toh diadakan pembagian dari barang-barang harta warisan, maka dalam Hukum Adat masih tebal sifat kerukunan diantara para ahli­ waris, jang tidak selalu mewadjibkan supaja kepada tiap-tiap ahliwaris diberi bagian-bagian tertentu, seperti misalnja masing-masing harus men­ dapat 1/8 bagian atau 1/4 bagian, melainkan diperhatikan kebutuhan ma­ sing-masing.

Misalnja kalau diantara barang-barang warisan ada berupa keris dan subang, maka seberapa boleh keris djatuh pada anak lelaki idan subang djatuh pada anak perempuan, dengan tidak dihitung berapa tepat nilai- harga dari barang-barang itu.

Lain halnja dalam Hukum Islam dan Hukum B.W ., jang pada hake- katnja menjarankan supaja harga warisan ditudjukan kearah pembagian tepat menurut perhitungan jang ditentukan dalam Hukum Islam dan Hu­ kum Burgerlijk Wetboek itu.

Terutama Burgerlijk Wetboek tentang hal ini adalah sangat tegas dengan adanja pasal 1066, jang dari isinja dapat disimpulkan, bahwa :

a. tiada seorang ahliwaris jang dapat dipaksakan membiarkan harta wa­ risan tidak terbagi-bagi,

b. pembagian harta warisan dapat dituntut sewaktu-waktu,

c. dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta

PEMBAGIAN HARTA W ARISAN

risan itu, tetapi hanja untuk waktu lima tahun, tenggang mana dapat diperpandjang dengan lima tahun lagi, tetapi ini semua harus dengan persetudjuan semua ahliwaris.

Marilah kita lihat peraturan selandjutnja .dalam Burgerlijk Wetboek jang seperti telah diketahui, berlaku bagi warganegara Indonesia, jang ber- turunan Eropah, Tionghoa, Arab, India dan lain-lain Timur-Asing.

Pasal 1066 B.W . jang pada hakekatnja menjarankan suatu pembagian harta warisan, diikuti oleh pasal 1067 B.W . jang membuka kemungkinan bagi para berpihutang dan para legataris untuk melawan suatu pembagian harta warisan.

Ini ada hubungan dengan pasal 1 1 0 1 B.W ., jang memberi hak kepada para berpihutang untuk mendapat pembajaran hutangnja dari seluruh harta warisan selama belum dibagi.

Dalam pasal 1067 B.W . ditentukan selandjutnja, bahwa apabila, mes­ kipun ada perlawanan dari pihak berpihutang dan legataris, toh diadakan pembagian harta warisan, maka pembagian ini sekedar mengenai mereka jang melawan itu, dianggap batal, ketjuali, tentunja, apabila hutangnja dibajar atau legaatnja dipenuhi.

Siapakah jang dapat menuntut pembagian harta warisan ?

Pertama-tama sudah barang tentu masing-masing ahliwaris.

ke-2 : ahliwaris dari ahliwaris itu,

ke-3 : seorang jang membeli hak seorang ahliwaris atas sebagian dari harta warisan.

ke-4 : créditeur dari ahliwaris. Ini dapat disimpulkan dari pasal 494 Règ­ lement Burgerlijke Rechtsvordering.

Jang tidak dapat menuntut pembagian harta warisan, ialah :

a. legataris,

b. créditeur dari si peninggal warisan.

Mereka ini tidak membutuhkan pembagian harta warisan, oleh karena

a. seorang legataris dapat menuntut penjerahan barang jang diberikan kepadanja setjara legaat, dan b. seorang créditeur dari si peninggal warisan dapat menagih pembajaran hutangnja setjara mensita dan melelang barang barang seluruhnja dari harta warisan, djuga sebelumnja dibagi-bagi antara para ahliwaris.

Pasal 1070 B.W . mengenai orang-orang ahliwaris, jang kemampuan- nja untuk melakukan perbuatan-hukum setjara sah, dibatasi, jaitu orang belum dewasa, orang di'bawah curatele dan orang perempuan jang bersuami.

Untuk orang belum dewasa dan seorang curandus oleh ajat 1 ditundjuk pada peraturan tentang hal mewakili mereka oleh wali (voogd) dan cu- rator.

Untuk perempuan jang bersuami harus dilihat apakah diantara suami dan isteri ada pertjampuran ,kekajaan atau tidak.

Kalau ja, dan ada suatu harta warisan djatuh pada seorang perempuan itu, maka harta warisan itu djatuh pula dalam kekajaan-tjampuran tadi, maka menurut ajat 2 dari pasal 1070, si suami selaku Kepala dari keka­ jaan-tjampuran itu, dapat menuntut pembagian harta warisan.

H U KU M W A RISA N D I IN DO NESIA

Apabila diantara suami dan isteri tidak ada tjampuran-kekajaan, dan si isteri mendjadi ahliwaris, maka menurut ajat 3 dari pasal 1070 tadi, si isteri itu sendirilah jang dapat menuntut pembagian harta warisan, akan tetapi harus diberi kuasa atau dibantu oleh suaminja atau diberi kuasa oleh Hakim.

Dengan demikian si suami dalam hal ini djuga tidak dapat mewakili isterinja dimuka Hakim. Djadi in adalah suatu keketjualian dari ketentuan dalam pasal 105 ajat 2 B .W ., jang menentukan pada umumnja, bahwa si isteri dimuka Hakim harus dibantu atau diwakili oleh suami.

Verjaring

Pada umumnja hak seorang ahliwaris untuk menuntut pembagian harta warisan tidak dapat lenjap oleh karena lampau waktu (verjaring), oleh karena seperti diatas telah dikatakan, selaku hakekat pembagian harta warisan harus mungkin sewaktu-waktu.

Pasal 1068 B .W . menjebutkan satu keketjualian, jaitu apabila seorang

ahliwaris sudah memegang suatu barang warisan selama 30 tahun atau lebih.

Peranan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)

Menurut pasal 1071 B .W . oleh Hakim dapat ditentukan, bahwa Balai Harta Peninggalan akan mewakili ahliwaris jang tidak mau atau lalai turut serta dalam melakukan pembagian harta warisan.

Tjara pembagian harta warisan

Hukum Adat dan Hukum Islam tidak menentukan tjara tertentu un­ tuk pembagian harta warisan, jang maka dari itu dapat dilakukan setjara bagaimana pun djuga, dengan tulisan atau dengan lisan. Kalau dengan tulisan, dapat dengan akta-notaris atau dengan akta dibawah tangan. Asal terang sadja.

Dalam suasana desa adalah lajak, apabila pembagian harta warisan di­ lakukan dimuka Kepala Desa.

Burgerlijk Wetboek pun tidak menentukan tjara tertentu, apabila para ahliwaris semua menurut Hukum mampu untuk melakukan perbuatan-hu- kum jang sah, dan apabila mereka semua ada hadir (pasal 1069 B .W .).

Dalam pasal ini disebutkan istilah „akte”, tetapi ini tidak berarti tulisan, melainkan „perbuatan-hukum” (rechtshandeling). Semua penulis ahli-hukum Belanda sependapat tentang hal ini.

Lain halnja, apabila diantara para ahliwaris ada jang belum dewasa atau berada dibawah pengawasan curatele, atau apabila ada ahliwaris jang tidak hadir atau tidak sudi turut serta dalam pembagian harta warisan.

Dalam hal ini, menurut pasal 1071 ajat 2 B .W ., harus diturut tjara

jang ditentukan dalam pasal 1072 dst., jaitu sebagai berikut :

a. Pembagian harta warisan harus dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan (ipasal 1072 B .W .).

b. Pembagian harta warisan harus dilakukan dimuka seorang notaris jang

PEMBAGIAN HARTA W'ARISAN

dipilih oleh para ahliwaris, atau apabila mereka berbeda pendapat dalam hal memilih ini, notaris itu akan ditundjuk oleh Pengadilan Negeri.

c Harus ada perintjian barang-barang dari harta warisan (boedelbeschrij- ving, inventarisasi). Apabila sedjak wafatnja si peninggal warisan keadaan barang-barang sudah berubah, maka harus dinjatakan keada­ an pada waktu wafat itu dan perubahan jang kemudian terdjadi. Kebenaran dari keterangan tentang keadaan barang-barang warisan ini harus dikuatkan dengan sumpah dimuka notaris oleh si ahliwaris jang memegang barang-barang itu.

j Barang-barang warisan harus ditaksir harganja. Menurut pasal 1077 g effek-effek dan saham-saham harus ditaksir menurut tjatatan resmi, sedang harga dari barang-tak-bergerak harus ditaksir oleh tiga orang penaksir.

Tjara mengangkat orang-orang penaksir ini ditentukan dalam pasal

1 0 7 8 B .W ., jaitu oleh orang-orang jang berkepentingan. Apabila ada per- .. •. an diantara mereka, maka penaksir itu harus ditundjuk oleh Penga­ p i Negeri. Sebelum menaksir, si penaksir itu harus disumpah oleh se-

ne Pedjabat Pamong Pradja ditempat.

° f Pasal 1075 B .W . menundjuk pada kemungkinan Balai Harta Pening- tidak menjetudjui tjara membagi harta warisan.

&a j£ aiau ini terdjadi, maka dengan atjara tertentu dapat dimintakan ke­ ausan dari Pengadilan Negeri.

P

A f e n u r u t pasal 1076 B .W ., idzin dari Pengadilan Negeri djuga harus • ta apabila menurut pendapat para ahliwaris ada barang-tak-bergerak d'01.10 ’ ta warisan jang harus ididjual untuk dapat medakukan pembagian dar* ^ arjsan. Pendjualan ini dapat dilakukan dimuka umum atau dibawah

tangan. .k j aj am ^al ini seorang ahliwaris membeli sendiri barang jang j'd 'u a l itu maka ia dianggap memperolehnja selaku pembagian harta wa­ risan.

if

" ^ I s r i l a h Belanda ini berarti : memperhitungkan pemberian barang-dilakukan oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih barang 1 ahliwaris.

hidup g w diatur dalam pasal-pasal 1086 s/d 1099. n 1 1086 B.W . mulai dengan mengatakan, bahwa perhitungan itu

... i ukan 0leh ahlhvaris-keturunan dari si peninggal warisan (anak, harUS A n seterusnja kebawah), ketjuali kalau si peninggal warisan setjara tjutiu * myebaskan mereka dari perhitungan ini, sedang perhitungan itu tegas ^ j j warjs lain hanja harus dilakukan, apabila ini dikehendaki oleh

° ^ 1 ‘nggal warisan.

si Pe” ' perhitungan ini dilakukan, maka pemberian-pemberian jang

du-1 dilakukan oleh si peninggal warisan selama ia masih hidup, dianggap 113

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

sebagai pemberian dimuka (voorschot) dari bagian si ahliwaris itu dalam harta warisan.

Menurut pasal 1087 B.W . bagi ahliwaris jang menolak warisan, tidak perlu diperhitungkan barang-barang jang dihibahkan kepadanja, ketjuali kalau dengan hibah itu, bagian legitiem dari ahliwaris lain mendjadi kurang.

Tetapi, menurut pasal 1088 B.W ., apabila warisan diterima oleh ahli­ waris, maka barang jang diperhitungkan itu, tidak melebihi bagian legi­ tiem; djadi jang diperhitungkan, hanja jang dihibahkan sampai harga-nilai

dari bagian legitiem.

Apakah jang harus diperhitungkan ?

a. Menurut pasal 1086 B.W . : semua penghibahan (schenkingen) oleh si peninggal warisan pada waktu ia masih hidup.

Menurut jurisprudensi dari Hoge Raad di Negeri Belanda penghibah­ an ini meliputi djuga lain-lain perbuatan jang menguntungkan ahli­ waris, seperti misalnja suatu pembebasan hutang.

Para penulis ahli-hukum di Negeri Belanda djuga berpendapat demi­ kian (Asser-Meyers halaman 361, - Klaassen-Eggens halaman 557, Suyling-Dubois No. 310).

b. Menurut pasal 1096 B.W . :

ke-1 hal sesuatu jang dipergunakan untuk memberi suatu kedudukan dalam masjarakat atau suatu djabatan atau pekerdjaan kepada si ahliwaris,

ke-2 hal sesuatu jang dimaksudkan untuk membajar hutang dari si- ahliwaris,

ke-3 hal sesuatu jang diberikan kepada si ahliwaris pada waktu ia • ' '• kawin selaku bekal untuk hidup setelah kawin itu.

Sebaliknja oleh pasal 1097 B.W . dikatakan apa jang tidak perlu di­ perhitungkan, jaitu :

a. bia'ja tintuk nafkah dan pendidikan si ahliwaris,

b. biaja untuk beladjar guna perdagangan, kesenian, kerdja-tangan atau perusahaan,

c. biaja untuk pengadjaran,

d. biaja pada waktu kawin dan untuk pakaian jang perlu untuk hidup setelah kawin (huwelijks-uitzet),

e. 'biaja nntuk membajar orang jang menggantikan si ahliwaris selaku pewadjib dalam pertahanan Negara.

Menurut pasal 1098 B.W ., dari barang-barang jang harus diperhitung­ kan itu, djuga harus diperhitungkan hasil-hasil jang dipetik dari barang- barang itu mulai hari wafatnja si peninggal warisan.

Oleh pasal 1099 B.W . ditegaskan pula, bahwa kalau ada barang- barang jang musnah tidak dari kesalahan si ahliwaris, maka harga-nilai dari barang-barang itu tidak perlu diperhitungkan.

Dari pasal 1089 dan pasal 1090 B.W . dapat disimpulkan, bahwa jang harus diperhitungkan itu hanja barang-barang jang langsung dihibahkan

kepada si ahliwaris. 114

PEM BAGIAN HARTA W ARISAN

Menurut pasal 1089 B .W ., kalau seorang tjutju dari si peninggal warisan mendapat hibah, maka ajah dari tjutju itu perlu memperhitung­ kan penghibahan itu.

Djuga apabila seorang tjutju langsung mendjadi ahliwaris, maka ia tidak perlu memperhitungkan barang-barang jang oleh si peninggal waris­ an dihibahkan kepada ajahnja si tjutju itu.

Tetapi apabila tjutju itu mendjadi ahliwaris selaku pengganti dari orang-tua jang wafat lebih dulu dari si peninggal warisan (plaatsvervul- ling), maka ia harus memperhitungkan penghibahan kepada orang-tua itu, djuga apabila ia menolak warisan.

Pasal 1090 B.W . menundjuk pada suatu penghibahan kepada orang lelaki jang beristeri atau kepada seorang perempuan jang bersuami, sedang diantara mereka ada tjampur-kekajaan (huwelijksgemeenschap).

Apabila penghibahan itu dilakukan oleh ajahnja atau ibunja sendiri,

maka penghibahan itu harus diperhitungkan.

Apabila penghibahan itu dilakukan oleh mertuanja, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan.

Apabila penghibahan itu dilakukan kepada dua-duanja suami dan isteri, maka penghibahan harus diperhitungkan untuk separoh sadja.

Oleh pasal 1091 B.W . ditegaskan, bahwa perhitungan ini hanja dila­ kukan untuk keperluan ahliwaris lain, tidak untuk keperluan legatàris atau para créditeur dari si peninggal warisan.

Tjara memperhitungkan

Ini diatur dalam pasal-pasal 1092 s/d 1095 B.W .

Pasal 1093 B.W . mengenai barang-barang tak-bergerak dan pasal 1095 mengenai barang-barang bergerak, seolah-olah ada perbedaan dalam peraturannja tentang dua djenis barang tadi, jaitu seolah-olah jperaturan dalam ajat 2 dan 3 dari pasal 1093 hanja berlaku bagi barang-tak-bergerak. Tetapi ratio untuk ajat 2 dan 3 itu djuga berlaku bagi barang-barang ber­ gerak, maka dari itu ajat-ajat itu harus dianggap berlaku djuga bagi ba­ rang-barang bergerak.

Djadi harus dianggap, bahwa peraturan untuk dua djenis barang tadi adalah sama, jaitu : perhitungannja barang-barang itu jang dihibahkan kepada ahliwaris sebelum wafat si peninggal warisan, harus dilakukan setjara tiga matjam :

ke-1 in natura, artinja barang:barang itu harus dikembalikan dalam

udjud pada waktu barang-barang itu harus diperhitungkan. Apabila barang-barang itu sudah berkurang dari salahnja si ahliwaris, maka ia bertanggung djawab atas hal itu. Kalaii ada hypotheek atau beban lain oleh ahliwaris dilekatkan pada barang-barang itu, maka ia ha­ rus membersihkannja dari beban-beban itu.

Sebaliknja kepada si ahliwaris harus diberi ganti-kerugian untuk biaja-'biaja jang ia perlu keluarkan guna mempertahankan barang- barang itu.

HUKUM W ARISAN D I INDONESIA

barang-barang itu seolah-olah djuga harus diganti kepada si ahli­ waris. Tetapi oleh ajat itu ditundjuk pada peraturan tentang hak- memetik-hasil (recht van vruchtgebruik), jang harus diperhatikan. Sedang menurut pasal 793 B.W . dalam hal hak-memetik-hasil ini praktis semua biaja untuk mempelihara (onderhoud) barangnja 'harus ditanggung oleh si memetik hasil,

ke-2 Perhitungan setjara memberi harga-nilai dari barang-barang berwu- djud uang-tunai dilakukan, apabila barang-barangnja sudah hilang, dihilangkan atau didjual oleh si ahliwaris. Harga-nilai ini harus dihitung pada waktu barang-barang itu dihibahkan kepada si ah­ liwaris.

Apabila jang dihibahkan itu berupa uang-tunai, maka menurut pasal 1094 B.W ., perhitungan dapat dilakukan setjara memberi uang-tunai jang sedjumlah atau setjara i mengurangi bagian si ahli­ waris dalam harta warisan dengan sedjumlah uang-tunai tadi, ke-3 Perhitungan dapat dilakukan pada umumnja setjara mengurangi

bagian si ahliwaris dengan sedjumlah barang atau uang-tunai jang seharga-nilai dengan barang2 jang dihibahkan itu (pas. '1092 B .W .).

Pembajaran hutang-hutang dari si peninggal warisan

Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1100 s/d 1111 B.W .

Peraturan-pokok dalam hal ini termuat dalam pasal 1100 B.W . jang

menentukan, bahwa : .

a. kewadjiban membajar hutang itu hanja dipikulkan pada ahliwaris jang menerima baik harta warisan (aanvaarden),

b. kewadjiban masing-masing dari para ahliwaris untuk membajar hu­ tang, menjerahkan legaat-legaat dan memenuhi beban-beban lain, ha­ rus seimbang dengan apa jang mereka terima dari barang-barang

warisan. . .

Maka tidak perlu dalam akta-pembagian-warisan disebutkan adanja hutang-hutang itu, oleh karena sudah dengan sendirinja hutang-hutang itu harus dibajar oleh para ahliwaris.

Hanja perlu disebutkan, apabila jang dimaksudkan ialah supaja salah seorang dari para ahliwaris diwadjibkan membajar suatu hutang seluruhnja. Dalam satu hal seorang ahliwaris harus membajar hutang seluruhnja, dengan tidak disebutkan demikian dalam akta pembagian warisan, jaitu jang dikatakan dalam pasal 1102 ajat 2 B.W . Ajat ini menundjuk pada peristiwa suatu barang-takbergerak dibagikan kepada seorang ahliwaris dengan penetapan, bahwa harga-nilai dari barang itu adalah harga- nilai biasa dikurangi dengan djumlah hutang-hypotheek jang dibebankan pada barang itu.

Kalau ini terdjadi, maka si ahliwaris itu berwadjib membajar hutang-hypotheek itu seluruhnja.

Oleh pasal 1103 B.W . ditetapkan, bahwa apabila seorang ahliwaris membajar suatu hutang-hypotheek jang melebihi bagiannja, maka dapat menuntut pembajaran kembali kelebihannja itu dari ahliwaris lain.

PEM BAGIAN HARTA W ARISAN

Sebetulnja ini tidak perlu dikatakan dan berlaku djuga bagi semua hutang, tidak hanja hutang-hypotheek sadja.

Bagi para ahliwaris tentunja sebaiknja hutang-hutang itu dibajar dulu, sebelum harta warisan dibagi-bagi, terutama apabila ada hutang jang di­ kuatkan dengan hypotheek.

Maka sudah lajak pasal 1102 ajat 1 B.W . memberi hak kepada para ahliwaris untuk menuntut supaja hutang-hypotheek itu dibajar dulu, sebe­ lum diadakan pembagian harta warisan.

Ini djuga sesuai dengan pasal 1 1 0 1 B.W . jang memperingatkan ke­ pada semua créditeur dari isi peninggal warisan untuk 'minta pembajaran hutang diambil dari harta warisan seluruhnja, selama harta warisan itu belum dibagi-bagi.

Pasal 1104 B.W . menundjuk pada hal seorang ahliwaris tidak mampu untuk turut membajar hutang-hypotheek. Dalam hal ini bagiannja dibe­ bankan kepada ahliwaris-ahliwaris lain, djuga seimbang dengan bagian masing-masing dalam barang-barang warisan.

Pasal 1105 B.W . menegaskan, bahwa seorang legataris tidak berwa- djib membajar hutang dari si peninggal warisan, tetapi kalau jang diberi­ kan setjara legaat itu adalah suatu barang-tak-bergerak jang dibebani suatu hypotheek, maka hypotheek itu dapat dilaksanakan atas barang itu, kalau perlu.

Dalam hal ini pasal 1106 B.W . membuka kemungkinan si legataris membajar hutang jang dikuatkan dengan hypotheek itu. Kalau ini terdjadi, maka ia menggantikan kedudukan si créditeur terhadap ahliwaris-ahliwaris lain. Ini djuga sudah lajak.

Memperpisahkan pelbagai kekajaan (boedel-afscheiding)

Tentang hal ini ada sekadar peraturan termuat dalahi pasal-pasal 1107 s/d 1111 B.W .

Diatas sudah dikatakan, bahwa menurut sistim Burgerlijk Wetboek harta warisan dan kekajaan pribadi si ahliwaris jang menerima warisan tanpa sjarat, mendjadi satu (boedelmenging), artinja : semua hutang dari si peninggal warisan mendjadi hutang dari ahliwaris.

Mungkin sekali si ahliwaris sudah mempunjai banjak hutang sedemi­ kian rupa, bahwa hutang-hutang itu tidak dapat dibajar penuh dari keka­ jaan si ahliwaris sendiri. Akibatnja ialah, bahwa harta warisan dapat di­ pergunakan untuk membajar hutang dari si ahliwaris, sehingga mungkin sekali sisanja tidak mentjukupi untuk membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Untuk menghindarkan ini, maka pasal 1107 B.W . memberi hak kepa­ da créditeur dari si peninggal warisan dan kepada para legataris untuk menuntut terhadap créditeur dari si ahliwaris, agar harta warisan dipisah­ kan dari pada kekajaan pribadi dari si ahliwaris.

Dengan demikian harta warisan pertama-tama dipergunakan untuk membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan dan untuk memenuhi legaat-legaat.

HUKUM WARISAN D I INDONESIA

Kalau harta warisan tidak mentjukupi untuk ini, maka sisa hutang- hutang dari si peninggal warisan masih dapat ditagih dari para ahliwaris, oleh karena mereka tetap merupakan ahliwaris jang berwadjib membajar hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Timbul pertanjaan, apakah sisa hutang-hutang dari si peninggal wa­ risan ini harus dibajar dari kekajaan pribadi si ahliwaris bersama-sama

dengan hutang-hutang pribadi dari si ahliwaris, ataukah hutang-hutang pribadi dari si ahliwaris ini dulu jang harus dibajar dari kekajaan pribadi dari si ahliwaris.

Tentang hal ini ada dua pendapat. Suyling-Dubois (no. 266) meng­ anggap : bersama-sama, dan Meyers (halaman 288-289) menganggap : tidak.

Suyling-Dubois memandang pemisahan kekajaan ini selaku sesuatu

melulu untuk kepentingan para berpihutang dari si peninggal warisan dan para legataris, sedang Meyers memandang pemisahan kekajaan ini betul-betul selaku pemisahan kekajaan.

Meyers menjandarkan pendapatnja djuga pada pasal 1109 B.W ., jang mengatakan, bahwa hak untuk menuntut pemisahan kekajaan ini tidak dapat dilakukan, apabila si créditeur membaharui hutangnja setjara mene­ rima si ahliwaris selaku seorang jang berhutang langsung kepadanja, ar- tinja : kekajaannja langsung diperuntukkan membajar hutang itu. Dan per- untukkan ini dalam sistim Meyers harus diartikan : didahulukan dari pada hutang-hutang dari si peninggal warisan.

Hanja dengan demikian dapat dimengerti, kenapa lantas tidak diper­ bolehkan lagi bagi si créditeur itu untuk menuntut pemisahan kekajaan.

Saja dapat menjetudjui pendapat Meyers ini.

Menurut pasal 1108 B.W ., aipabila créditeur dari si peninggal warisan dan para legataris menuntut pemisahan kekajaan ini dalam .tempoh enam

Dalam dokumen HUKUM WARISAN DI INDONESIA (Halaman 112-128)