• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Matematis

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

3. Hubungan Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Matematis

Berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir yang sangat penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan Menteri No. 23 tahun 2006 tetang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang

20

menyebutkan bahwa Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik (siswa) mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.15 Sejalan dengan itu, Tatag Yuli Eko S mengatakan

bahwa “Orientasi pembelajaran matematika saat ini diupayakan lebih menekankan pada pengajaran ketrampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis dan kreatif dan kedua berpikir itu merupakan suatu kesatuan”.16 Berdasarkan hal tersebut kemampuan berpikir kritis dan kreatif menjadi salah satu kemampuan yang sangat diharapkan ada didalam diri siswa.

Berpikir kritis dan kreatif erat hubungan dilihat dari ciri-ciri individu yang memiliki kedua kemampuan tersebut. Tatag Yuli Eko S mengatakan bahwa “berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk mrmbandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki dan bila terdapat perbedaan atau persamaan maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan sehingga berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif”.17 Pendapat lain mengenai berpikir kritis muncul dari Krotetski yang mengelompokkan berpikir kritis dengan pemecahan masalah yang memiliki solusi lebih dari satu sebagai ukuran berpikir fleksibel.18

Pendapat lain yang mendukung individu yang kritis juga kreatif adalah pendapat yang muncul dari Costa yang mengatakan bahwa individu yang berpikir kritis memiliki ciri-ciri diantaranya adalah mampu mendaftar alternatif pemecahan masalah, mampu mendaftar alternatif ide, mampu mendaftar alternatif situasi, mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya, mampu menarik kesimpulan dan

15 Sri Wardhani, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk

Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika, 2008), h. 30

16 Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Semarang : Unesa University Press, 2008), h. 3

17 Ibid,. h. 14

18 Dina Mayadiana Suwarna, Suatu Alternatif Pembelajaran untuk Meningkatkan

generalisasi dari data yang ada dan data yang berasal dari lapangan dan menurut Dhand kemampuan individu dalam berpikir kritis dapat terlihat dari sikapnya antara lain memiliki gagasan yang baru.19 Berdasarkan hal tersebut, berpikir kritis dapat dikatakan memuat ciri-ciri dari seseorang yang memiliki kemampuan berpikir logis dan kreatif. Ini didasarkan pada pendapat Tatag Yuli Eko S tentang berpikir logis dan pendapat Utami Munandar tentang berpikir kreatif. Tatag Yuli Eko S mengatakan bahwa “berpikir logis

merupakan kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar atau valid sesuai dengan pengetahuan-pegetahuan sebelumnya yang sudah diketahui.20 Sedangkan Utami Munandar mengatakan bahwa “ berpikir kreatif

adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dimana penekanannya adalah kuantitas ketepagunaan, dan keragaman jawaban”.21

Hal serupa juga disampaikan oleh Pehkonen yang memandang bahwa

“berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran.”22 Artinya adalah ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktek pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak ide. Hal ini menjelaskan bahwa berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif untuk menghasilkan ide-ide. Maka dapat dikatakan individu yang kreatif juga kritis karena berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir tertinggi dari semua kemampuan berpikir sehingga untuk menjadi pemikir yang kreatif terlebih dahulu melewati fase berpikir kritis dan fase berpikir yang lain karena berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir tertinggi dari kemampuan-kemampuan berpikir yang

19 Tatag Yuli Eko S, Op. Cit., h. 11

20 Dina Mayadiana Suwarna, Op. ci.t, h. 13

21 Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta:

Gramedia, 1992), h. 48

22 Erkki Pehkonen, The State-of-Art in Mathematical Creativity, Zentralblatt fur Didaktik

der Mathematik, Volume 29 Number 3 Electronic Edition ISSN 1615-679X, 1997, p 63 (www.emis.de/journals/ZDM/zdm973i.html)

22

lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Krulik dan Rudnick yang mengelompokkan tingkat berpikir yang tersaji seperti gambar berikut:23

Gambar 2.1

Tingkat Penalaran (Berpikir) dari Krulik dan Rudnick 4. Pendekatan Pembelajaran Model Eliciting Activities (MEAs)

a. Pengertian Model Eliciting Activities (MEAs)

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Roy Killen mencatat bahwa ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa

(student-centred approaches).24 Pada umumnya, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru lebih menekankan pada proses pembelajaran yang didominasi oleh banyaknya guru berbicara dan murid hanya mendengarkan. Proses pembelajaran seperti ini membuat siswa menjadi tidak aktif belajar dan cenderung hanya mendengarkan tanpa mencari tahu apakah informasi

23 Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Semarang : Unesa University Press, 2008), h. 29

yang diterima sudah benar atau tidak. Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa lebih menekankan pada proses pembelajaran yang membuat aktif para siswa, karena pada sistem pembelajaran seperti ini siswa diajak untuk terlibat langsung dalam mendengarkan, mengamati, dan mencari informasi serta solusi sehingga proses pembelajaran pun menjadi bermakna untuk para siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pendekatan pembelajaran model eliciting activities (MEAs).

Model eliciting activities dilihat dari kamus besar Bahasa Inggris memiliki arti aktivitas-aktivitas yang memunculkan model.

Lesh dan Doerr mengatakan bahwa “Model eliciting activities (MEAs) are derived from a models and modelling perspective on problem solving in mathematics, sciene, and engineering education and provide students with a future-oriented approach to learning”.25 Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa Model Eliciting Activities (MEAs) adalah kegiatan membuat (membangun) model dan perspektif pemodelan untuk pemecahan masalah dalam pendidikan matematika, ilmu pengetahuan dan teknik dengan pendekatan pembelajaran yang berorientasi masa depan. Melalui MEAs, siswa berulang kali mengungkapkan, menguji, dan memperbaiki atau merevisi cara berpikir mereka untuk menghasilkan sebuah model yang terstruktur dan paling efektif dan efisien untuk memecahkan masalah yang diberikan. Melalui proses berpikir berulang-ulang inilah, MEAs mampu untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa.

Menurut Scott, pencetus MEAs, MEAs memiliki dua tujuan dalam membuat MEAs yaitu, first, MEAs would encorage students to create mathematical models to solve complex problems, just as applied methematicians do in the real world (Lesh dan Doer). Second, MEAs were designed to enable researches to investigate students mathematical thingking

25 Myith Swe Khrine, et al, Model and Modeling Cognitive Tools For Scientific Enquiry,

24

(NCTM). 26 Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa Model Eliciting Actvities (MEAs) ini bertujuan mendorong siswa untuk membuat (membangun) model matematika untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan nyata dan memungkinkan peneliti untuk meneliti kemampuan berpikir siswa. Jadi, melalui MEAs ini diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam bidang matematika, khususnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya. Dalam MEAs terdapat beberapa prinsip pengembangan masalah dalam proses pembelajaran. Prinsip ini diharapkan agar masalah yang diberikan kepada siswa dapat menggali kedalaman berpikir siswa dalam menyelesaikan setiap permasalaha yang diberikan..

Pengembangan masalah dalam MEAs dipandu oleh enam prinsip yaitu: 1. The Model Construction Principle (Prinsip Konstruksi Model)

Prinsip ini menjelaskan bahwa model yang dibuat siswa harus matematis dan ilmiah artinya siswa harus fokus pada karakteristik struktural yang mandasari terciptanya model tersebut. Siswa harus memahami elemen, hubungan dan operasi antar elemen, serta pola aturan yang mengatur hubungan anatar elemen pembentuk model tersebut.

2. The Reality Principle ( Prinsip Realita)

Prinsip ini menjelaskan bahwa masalah yang ada dalam MEAs sebaiknya relevan dan mencerminkan situasi kehidupan nyata serta membangun pengetahuan dan pengalaman siswa. Karena kegiatan pemodelan yang demikian tidak hanya berfungsi dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika saja, tetapi juga membantu siswa menghubungkan pembelajaran matematika mereka dengan disiplin ilmu, ilmiah, sosial, dan lingkungan.

3. The Self- Assesment Principle (Prinsip Penilaian Diri)

Menurut prinsip ini, siswa harus mampu menilai diri atau mengukur kegunaan dari solusi yang mereka temui serta siswa harus diberikan

26 Scott A. Chamberlin, et al, Model Eliciting Activities as a tool to Develop and Identify

Creatively Giftes Mathematicians, The Journal of Secondary Gified Education, vol.XVII no.1, 2005, p.37

kriteria yang cukup untuk menentukan apakah model terakhir mereka adalah salah satu yang efektif dan memadai dalam menghadapi situasi masalah yang diberikan. Kriteria tersebut juga memungkinkan siswa menilai dan merevisi model mereka saat mereka bekerja menyelesaikan masalah tersebut.

4. The Model Documentation Principle ( Prinsip Dokumentasi Model)

Prinsip ini menjelaskan bahwa siswa harus mampu untuk mengungkapkan dan mendokumentasikan proses berpikir mereka dalam membangun model. Model yang dibangun siswa perlu melibatkan lebih dari jawaban singkat seperti deskripsi dan penjelasan langkah-langkah yang diambil siswa dalam membangun model mereka harus dimasukkan.

5. The Construct Shareability and Reusability Principle

Prinsip ini menjelaskan model yang dihasilkan siswa harus berlaku untuk masalah dalam situasi terkait lainnya. Dalam menciptakaan suatu model, siswa harus memikirkan bahwa model yang dihasilkannya akan dapat digunakan dan dimodifikasi kembali pada saat menghadapi masalah serupa. Untuk dapat menilai apakah model tersebut bersifat genelralisasi, biasanya guru melakukan diskusi antar siswa untuk membicarakan kelebihan dan kelemehan model yang dihasilkan.

6. The Effective Prototype Principle

Prinsip ini menjelaskan bahwa model yang dihasilkan siswa harus dapat dipahami atau diinterpretasikan oleh orang lain. Hal ini akan memacu daya kreatifitas, penalaan dan koneksi matematika siswa agar dapat membuat suatu model yang efektif, efisien serta dapat dengan mudah di pahami oleh orang lain.27

MEAs didasarkan pada situasi kehidupan nyata dimana siswa belajar dalam kelompok kecil untuk menyajikan model matematika sebagai solusi yang dibutuhkan. Hal ini juga diungkapkan Chamberlin dengan mengatakan bahwa

26

A MEAs is implemented in several steps. First, the teacher reads a simulated newspapaer article that develops a context for students. Subsequently, the student respond to readiness question that are based on the articel. Next, the teacher reads the problem statement with the students and makes sure each group understands what is being asked and students subsequently attempt to solve the problem. After creating multiple iteration of the solution and revising when necessary, students present their models to the class. Typically, teacher provide about one hour to solve the problem, but certain MEAs may require up to two periods of class time to complete.28

Artinya adalah bahwa MEAs diterapkan dalam beberapa langkah yaitu guru membaca sebuah artikel koran yang mengembangkan sebuah konteks untuk siswa, siswa siap dengan pertanyaan berdasarkan artikel tersebut, guru membacakan pernyataan masalah bersama siswa dan memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan, siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah membahas dan meninjau ulang solusi, dan secara khas guru menyiapkan waktu satu jam untuk menyelesaikan masalah tetapi beberapa tahapan MEAs membutuhkan lebih dari dua kali pertemuan dalam kelas untuk menyelesaikannya.

Sejalan dengan langkah-langkah MEAs yang dikemukakan Chamberlin, NG Kit Ee Dawn mengemukakan MEAs dalam beberapa langkah yaitu pertama, guru selama 20 menit menjelaskan tentang definisi pemodelan dalam matematika, kemudian, siswa diminta untuk bekerja secara kelompok yang terdiri dari 4-5 orang untuk membuat suatu model matematika, siswa diberi waktu selama 1 jam utnuk menyelesaikan tugas memodelkan tersebut, siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka dalam bentuk poster, setiap grup menunjuk salah satu anggota kelompok mereka untuk presentasi, selama presentasi berlangsung masing-masing kelompok menuliskan pendapat mereka berdasarkan 3 kriteria, yaitu representasi, validitas, dan penerapan menggunakan kertas refleksi, kertas tersebut berisi 3

28 Chamberlin, S. A., Moon, S. M. 2005, How Does the Problem Based Learning

Approach Compare to the Model-Eliciting Activity Approach in Mathematics? (http:/www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chamberlin.pdf ). diakses pada 2 September 2014

pertanyaan yang berhubungan dengan tugas yang sedang dipresentasikan yaitu:

a. Representasi – seberapa baikkah model yang dibuat untuk menyelesaikan masalah tersebut?

b. Validitas – bisakah kalian memberikan saran untuk memperbaiki model tersebut?

c. Penerapan – bisakah model yang telah dibuat digunakan dalam konsep matematika yang lain? 29

b. Tahap Pembelajaran MEAs (Model Eliciting Activities)

Menurut Kelly, “A model is a system that consists of (a) elements; (b) relationships among elements; (c) operations that describe how the elements interact; and (d) patterns or rules, such as symmetry, commulativy, or transitivy, that apply to the relationships and operations”.30 Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa sebuah model adalah sebuah sistem yang terdiri dari unsur, hubungan antara unsur-unsur, operasi yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur berinteraksi, dan pola atau aturan, seperti simetri, komutatif, atau transitivitas, yang berlaku untuk hubungan dan operasi. Namun tidak semua sistem berfungsi sebagai model, tetapi menjadi model sistem harus digunakan untuk menggambarkan, memahami, menjelaskan atau memprediksi sistem lain. Dalam membuat suatu model banyak upaya atau tahapan yang harus dilalui sebelum sampai pada hasil akhir. Tiap tahap memerlukan pengertian yang mendalam tentang konsep, teknik, pemikiran kritis, kreatifitas, serta pembuatan keputusan.

Ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan pemodel (siswa) dalam membangun model atau pemodelan matematika. Pada awalnya siswa akan diberikan permasalahan (soal) yang berkaitan dengan kehidupan nyata, lalu siswa mengidentifikasi masalah tersebut dengan mengenali variabel-variabel yang relevan, menyederhanakan daftar variabel-variabel dan menyaring

29 Berinderjeet Kaur and Jaguthsing Dindyal, Mathematical Applications and Modelling,

(Singapore: World Scientific, Association of Mathematics Educators, 2010), pp. 135

30 Kelly Anthony E, Handbook of Research Design in Mathematics and Sciene

28

pertanyaan untuk menentukan bentuk jawaban. Selanjutnya, dengan menggunakan kemampuan berpikir matematik yang mereka miliki, siswa akan mencari hubungan antara variabel yang terdapat pada suatu masalah untuk membangun suatu model matematik.

Apabila model sudah terbentuk, hal yang kemudian dilakukan siswa adalah menemukan suatu produk matematika dengan cara melakukan beberapa manipulasi model seperti membuat persamaan, hubungan grafik, meramalkan kemungkinan yang terjadi, dsb. Produk matematika yang telah terbentuk kemudian di translasi kepada permasalahan yang ada, sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan baru tersebut nantinya akan dianalisis dengan cara membandingkan dan mengujinya dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya.

Pembentukan model matematik dari suatu masalah dengan langkah-langkah yang telah disebutkan di atas masih terlalu umum dan luas untuk diterapkan. Proses pemodelan dalam matematika lebih sederhana dan jelas diterangkan dalam NCTM. Adapun tahap-tahap dasar dalam proses pemodelan menutut NCTM, meliputi:

1. Mengidentifikasi dan menyederhanakan situasi masalah dunia nyata Pada tahap ini siswa akan mengidentifikasi masalah yang ada dalam dunia nyata untuk menetapkan sistem apa yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan membaca masalah dengan cermat, menulis informasi yang diketahui dan belum diketahui atau dicari serta mengabaikan informasi yang kurang penting.

2. Membangun model matematis.

Pada tahap ini siswa menggunakan kemampuan representasi mereka untuk menghubungkan komponan masalah kedalam bentuk variabel, notasi, membuat gambar, membuat grafik, dan menulis persamaan, pertidaksamaan, dan sistem persamaan.

Pada tahap ini siswa berusaha untuk mencari model yang sesuai. Pada tahap ini siswa akan menganalisis dan memanipulasi model agar model tersebut dapat menyelesaikan masalah yang ada. Jika model belum dapat diselesaikan siswa dapat merevisi dan menyederhanakan model semula.

4. Menginterpretasi model.

Pada tahap ini siswa mencocokkan solusi matematis yang diperoleh ke dalam situasi semula. Jika model dianggap sudah memadai dan teruji, model tersebut dinamakan sebagai model yang kuat.31

Chamberlin menyatakan bahwa MEAs diterapkan dalam beberapa langkah yaitu guru membaca sebuah artikel koran yang mengembangkan sebuah konteks untuk siswa, siswa siap dengan pertanyaan berdasarkan artikel tersebut, guru membacakan pernyataan masalah bersama siswa dan memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan, siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah membahas dan meninjau ulang solusi, dan secara khas guru menyiapkan waktu satu jam untuk menyelesaikan masalah.32

NG Kit Ee Daws juga mengemukakan langkah-langkah MEAs yang hampir sama dengan Chamberlin tetapi yang menjadi pembeda, NG Kit Ee menambahkan lembar refleksi yang akan siswa tulis selama proses presentasi. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, pada penelitian ini peneliti akan mengacu pada langkah-langkah MEAs yang dikemukakan oleh Chamberlin dan NG Kit Ee. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan Lembar Diskusi Siswa (LDS) yang disusun dengan mengacu pada proses pemodelan matematika menurut NCTM.

31Yanto Permana, “Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMA Melalui Model Eliciting Activities”,Pasundan Journal of Mathematics Educations, Tahun 1 no. 1, November 2011, h 77

32 Chamberlin, S. A., Moon, S. M. 2005, How Does the Problem Based Learning

Approach Compare to the Model-Eliciting Activity Approach in Mathematics? (http:/www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chamberlin.pdf). diakses pada 2 September 2014

30

MEAs merupakan suatu pendekatan yang mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun suatu model, oleh karena itu tahap pembelajarannya pun lebih mengutamakan kerjasama siswa pada grup dalam membangun model matematik untuk menyelesaikan suatu masalah. Tahap pembelajaran

model eliciting activities (MEAs) dalam pembelajaran pada penelitian ini sebagai berikut:

a. Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3-4 orang siswa.

b. Setiap kelompok diberikan Bahan Ajar yang telah disusun berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran pendekatan Model Eliciting Activities dan menuntut pengerjaannya mengunakan pendekatan MEAs.

c. Siswa menyelesaikan masalah yang diberikan dengan cara berdiskusi dalam kelompok (diskusi kelompok). Sedangkan guru berkeliling kelas menuntun siswa dalam mengorksi kesalahan yang dibuatnya.

d. Perwakilan siswa dari beberapa kelompok (kelompok dengan jawaban berbeda) mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas.

e. Selama proses presentasi berlangsung, masing-masing kelompok diberikan lembar refleksi untuk menilai hasil presentasi kelompok lain. f. Siswa atau kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi hasil

presentasi temannya (diskusi kelas). Dalam hal ini guru menjadi fasilitator jalannya diskusi dan memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai hasil kerja siswa.