• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

5.6 Hubungan Perilaku Sehat dengan Kejadian Diarepada Balita

5.6.1 Hubungan Perilaku Penggunaan Jamban dengan Kejadian

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk penggunaan jamban menunjukkan hasil paling banyak perilaku responden tidak memenuhi syarat dengan rincian sebanyak 29 orang (52,7%) mengalami diare dan 26 orang (47,3%) tidak mengalami diare. Berdasarkan uji statistik chi-square ada hubungan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare (p=0,040) dengan nilai PR=1,445 CI95%

(1,020-2,047) berarti perilaku penggunaan jamban merupakan salah satu faktor terjadinya diare. Risiko 1,445 kali pada orang yang berperilaku tidak memenuhi syarat dalam penggunaan jamban dibandingkan dengan orang berperilaku memenuhi syarat dalam penggunaan jamban

Hasil observasi pada responden masih ada yang tidak mempunyai jamban sendiri, masih menggunakan jamban umum, masih menggunakan jamban tanpa septik tank yang dialirkan langsung ke sungai, jamban cemplung,dan bahkan jamban-jamban darurat di tepi sungai, bahkan ada di belakang rumah dengan cara di timbun dengan tanah. Beberapa jamban ditemukan dalam keadaan tidak tertutup dan tidak bersih. Keadaan tidak saniter bisa menyebabkan terjadinya penularan diare, dimana tinja yang dibuang tidak pada tempatnya akan memungkinkan di hinggapi lalat, dan

lalat akan menghinggapi sumber makanan keluarga, demikian juga tinja yang dibuang secara sembarangan bisa mencemari sumber air bersih penduduk.

Hasil yang sama juga terdapat pada penelitian Sunarti (2015) ada hubungan pengunaan jamban dengan kejadian diare pada anak balita (1 s.d < 5 tahun) di Kota Padangsidempuan (p=0,004), dengan nilai OR = 4,005 dengan 95%CI=1,504-10,669.

Penelitian Novytania (2013) di Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang bahwa terdapat 21 (42,8%) responden yang tidak memiliki jamban, 28,6% memiliki jamban tanpa tanki septik dan sisanya kurang dari sepertiga jumlah responden (28,6%) yang memiliki jamban dengan tanki septik atau jamban leher angsa. Penelitian Regassa et al pada (2008) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan dengan ketersediaan

dan kepemilikan jamban dengan kejadian diare balita Studi meta analisis yang dilakukan terhadap beberapa negara, untuk Indonesia disebutkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara penggunaan jamban dengan terjadinya diare pada balita dengan risk ratio (CI 95%) 4,63 (3,25 – 6,59) (Gil et al., 2004).

Menurut Sutomo, dkk (2013) pembuangan tinja yang tidak saniter dapat menyebabkan penyebaran berbagai macam penyakit. Hal ini dimulai dari tinja yang terinfeksi mencemari air tanah atau air permukaan yang terkontaminasi bibit penyakit yang berasal dari tinja diminum manusia. Bisa juga tinja yang terinfeksi di hinggapi kecoak atau lalat, kemudian kecoak atau lalat merayap atau hinggap pada makanan atau tempat meletakkan makanan. Seperti piring atau sendok untuk makan.

Tinja yang dibuang sembarangan merupakan faktor risiko diare pada balita saat berkontak langsung dengan tangan ketika anak bermain tanah di halaman

maupun di belakang rumah atau secara tidak langsung melalui vektor seperti lalat yang hinggap pada tinja dan ditularkan lewat makanan. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja seperti diare yang merupakan salah satu penyakit menular yang berbasis lingkungan sebagai faktor risiko penyakit diare balita.

5.6.1. Hubungan Perilaku Penggunaan Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balitadi Daerah Aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018

Berdasarkan perilaku penggunaan air bersih sebagian besar responden yaitu 50 orang berprilaku tidak memenuhi syarat kesehatan dalam penggunaan air bersih dengan 27 orang (54,0%) balitanya mengalami diare. Berdasarkan uji statistik chi-square variabel penggunaan air bersih menunjukkan hasil ada hubungan antara

perilaku penggunaan air bersih dengan kejadian diare (p=0,035) dengan nilai PR=1,465CI95% (1,021-2,103) berarti perilaku penggunaan air bersih merupakan salah satu faktor terjadinya diare. Risiko diare 1,465 kali pada orang yang berperilaku tidak memenuhi syarat dalam penggunaan air bersih dibandingkan dengan orang berperilaku memenuhi syarat dalam penggunaan air bersih.

Berdasarkan observasi banyak dari masyarakat berperilaku tidak baik dan kurang memperhatikan mnegenai air bersih untuk dijadikan air minum. Berdasarkan observasi secara fisik masih berasa dan berwarna, dan kurang memperhatikan tempat penampungan air minum.

Hal ini sejalan dengan penelitian Hannif dkk, (2011) yang menunjukan bahwa

sumber air bersih yang yang berisiko tinggi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya diare akut pada balita. Anak yang berasal dari keluarga yang tidak menggunakan sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,65 kali lebih besar terkena diare dibanding anak yang keluarganya menggunakan sumber air bersih yang memenuhi syarat kesehatan.

Menurut Suyono, 2013 air merupakan unsur yang sangat vital bagi kehidupan makhluk di muka bumi, air digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya minum, mandi, mencuci peralatan rumah tangga, mencuci pakaian, memasak, yang keseluruhan merupakan kebutuhan pokok. Air yang dikonsumsi manusia harus bersih, bebas dari bahan pencemar kimiawi, maupun biologis/bakteriologis.

Penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan dapat menimbulkan terjadinya gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan tersebut dapat berupa penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Penyakit menular yang disebarkan oleh air secara langsung diantara masyarakat disebut penyakit bawaan air (water borne disease) hal ini dapat terjadi karena air merupakan media yang baik tempat

bersarangnya bibit penyakit/agent (Mulia, 2005).

Jika dalam memenuhi kebutuhan terhadap air bersih menggunakan sumur menurut Hannif dkk (2011) ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian yaitu, sumur sebagai sumber air bersih sangat mudah tercemari sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit, salah satunya adalah diare karena sumur menyediakan air yang berasal dari lapisan air tanah yang relatif dekat dengan permukaan tanah.

Oleh karena itu, dengan mudah terkena kontaminasi. Kontaminasi yang paling umum

adalah berasal dari penapisan air dari sarana pembuangan kotoran manusia dan binatang.Tingkat risiko sarana air bersih yang tinggi kemungkinan karena adanya sumber pencemar yang berjarak kurang dari 10 meter, tidak adanya saluran pembuangan air, lantai yang mengitari sumur yang tidak disemen, adanya keretakan pada lantai sumur, adanya air yang merembes ke sumur sehingga mengakibatkan tercemarnya air dalam sumur tersebut. Ada berbagai cara untuk melindungi sumber air misalnya konstruksi di sekitar sumur harus baik dan tersedia fasilitas drainase, menggunakan ember yang bersih untuk mengambil air, lubang sumur hendaknya ditutup jika tidak digunakan, tali pada ember jangan sampai mengotori sumur, tangan harus bersih ketika memegang ember, air bekas mandi dan cucian hendaknya dibuang jauh dari sumur, serta menjauhkan binatang dari sumur.

Kualitas sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan memengaruhi kualitas air yang dihasilkan oleh sarana air bersih tersebut. Dengan demikian risiko kejadian penyakit diare akan lebih besar terjadi pada keluarga yang menggunakan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Salah satu upaya memperkecil risiko terkena penyakit diare, yaitu pengadaan dan peningkatan kebersihan sarana air bersih sehingga terhindar dari kontaminasi agen penyebab penyakit. Selain itu, masyarakat harus memasak air minum terlebih dahulu untuk mematikan agen penyebab penyakit yang terdapat dalam air bersih tersebut (Madhi, 2010; Stefano, 2011).

5.6.3. Hubungan Perilaku Mencuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Balita di Daerah Aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018

Berdasarkan perilaku mencuci tangan sebagian besar responden yaitu sebanyak 63 orang berprilaku memenuhi syarat kesehatan dalam perilaku cuci tangan dengan rincian 22 orang (60,6%) balitanya mengalami diare dan 41 orang (65,1%) balitanya tidak mengalami diare. Berdasarkan uji statistik chi-square, variabel mencuci tangan menunjukkan hasil ada hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan kejadian diare (p=0,016) dengan nilai PR=1,652 CI59% (1,043-2,618) berarti perilaku mencuci tangan merupakan salah satu faktor terjadinya diare. Risiko diare 1,652 kali pada orang yang berperilaku tidak memenuhi syarat dalam mencuci tangan dibandingkan dengan orang berperilaku memenuhi syarat dalam mencuci tangan.

Hasil observasi masih banyak masyarakat yang tidak menyediakan air mengalir dan sabun untuk mencuci tangan. Asumsi peneliti masih banyak ibu dari balita yang menjadi responden tidak tahu kapan seharusnya melakukan cuci tangan pakai sabun, banyak juga yang mengabaikan untuk mencuci tangan pakai sabun karena tidak tahu manfaatnya bagi pencegahan penyakit diare pada anak. Prilaku mencuci tangan pakai sabun merupakan prilaku hyegine seorang ibu, hyegine perorangan yang baik dapat mencegah diare.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hannif, dkk (2011) yang menyatakan bahwa ibu/pengasuh balita yang cuci tangan pakai sabun buruk dapat menimbulkan risiko 2,45 kali terkena diare dibandingkan dengan ibu/pengasuh yang mempunyai kebiasann cuci tangan pakai sabun baik. Sedangkan penelitian Nuraeni (2012) menyatakan bahwa mencuci tangan dengan tidak baik dapat menyebabkan

kejadian diare pada balita sebesar 81,3%. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Amaliah (2010) di Desa Bendosari Kabupaten Sukoharjo menemukan hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada balita dengan kebiasaan mencuci tangan pakai sabun (p=0,001). Hasil penelitian Kusumaningrum (2011) di Kelurahan Gandus Palembang yang membuktikan bahwa kebiasaan mencuci tangan yang tidak baik menyebabkan diare pada balita (p=0,000).

Penelitian Sunarti (2015) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare, hasil penelitian didapat nilaiperilaku CTPS dengan OR 3,333. Perilaku mencuci tangan yang buruk merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya diare akut pada balita.

Menurut Kemenkes (2011), jika ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat khususnya pola penyebaran penyakit menular, cukup banyak penyakit yang dapat dicegah melalui kebiasan atau perilaku higienis dengan cuci tangan pakai sabun (CTPS), seperti penyakit diare, typhus perut, kecacingan, flu burung, dan bahkan flu babi yang kini cukup menghebohkan dunia. Seperti halnya perilaku buang air besar sembarangan, perilaku cuci tangan, terlebih cuci tangan pakai sabun merupakan masih merupakan sasaran penting dalam promosi kesehatan, khususnya terkait perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini disebabkan perilaku tersebut masih sangat rendah, dimana baru 12% masyarakat yang cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar, hanya 9% ibu-ibu yang mencuci tangan pakai sabun setelah membersihkan tinja bayi dan balita, hanya sekitar 7% masyarakat yang cuci tangan pakai sabun sebelum memberi makan kepada bayi, baru 14% masyarakat cuci tangan pakai sabun

sebelum makan. Dengan perilaku cuci tangan yang benar, yaitu pakai sabun dan menggunakan air bersih bisa menurunkan angka kejadian diare.Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare, bisa menurunkan angka kejadian diare sebesar 47%.

Penelitian yang dilakukan oleh Departement Technique Action Contre Ia FAIM Fr bahwa terdapat beberapa penyakit yang bisa dicegah dengan menjaga

makanan yang akan dimakan, yaitu diare, thypoid, parathypoid, dan hepatitis A. Pada penelitian lain disebutkan bahwa mencuci semua bahan makanan yang akan dimasak, mencuci semua peralatan masak dengan sabun dan air bersih, dan menutup makanan yang sudah di masak bisa mencegah terjadinya diare (UNICEF Liberia, 2012)

5.7. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Daerah Aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018

Hubungan faktor lingkungan yang meliputi sanitasi dasar pengelolaan sampah, pembuangan tinja dan pembuangan limbah rumah tangga dengan kejadian diare di daerah aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018.

5.7.1. Hubungan Pengelolaan Sampah dengan Kejadian Diare pada Balita di Daerah Aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak memenuhi syarat dalam pengelolaan sampah, dengan rincian 34 orang (56,7%) balitanya mengalami diare dan 26 orang (43,3%) balitanya tidak mengalami diare.

Berdasarkan uji statistik chi-square ada hubungan antara pengelolaan sampah dengan kejadian diare (p=0,001) dengan nilai PR=1,795 CI95% (1,280-2,517) berarti pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor terjadinya diare. Risiko diare 1,795 kali pada orang yang pengelolaan sampahnya tidak memenuhi syarat dalam lebih berisikodibandingkan dengan orang memenuhi syarat.

Sampah yang tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan terjadinya perindukan vektor, seperti kebiasaan responden menumpuk sampah di halaman belakang rumah, membakar atau membuangnya setelah beberapa hari, menempatkan sampah pada ember atau tempat sampah yang tidak tertutup sehingga menimbulkan bau dan mengundang lalat sebagai pembawa kuman yang bisa mencemari makanan dan minuman.

Hasil yang sama pada penelitian Sunarti (2015) ada hubungan pengelolaan sampah dengan kejadian diare pada anak balita di Kota Padangsidempuan(p=0,107 ; OR=4,643). Penelitian Azizah dan Lindayani (2013) di Desa ngunut Kabupaten Tulungagung dihasilkan ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita (p=0,004). Penelitian Sabariah (2014) pengelolaan sampah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya diare pada balita di Kelurahan Sei Sekambing C-II Medan Helvetia dimana hasil analisa multivariat menunjukan bahwa variabel pengelolaan sampah diperoleh p= 0,018;OR=2,673 pada CI95%=0,658-4,261 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah akan mempunyai kemungkinan 2,673 kali terkena diare dibandingkan yang memiliki tempat pembuangan sampah.

Menurut Sutomo (2013) sampah padat yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena sampah dapat memberikan tempat tinggal bagi vektor penyakit.Sampah padat yang mengandung makanan yang disukai lalat mengundang hinggapnya lalat dan bahkan bertelur di tumpukan sampah. Sampah padat yang kotor juga juga bisa menjadi sarang kecoak yang sama halnya dengan lalat bisa meluaskan bibit penyakit diare.

Pengelolaan sampah merupakan salah satu perilaku yang harus diperhatikan, karena apabila pengelolaan sampah baik, maka akan mengurangi insiden penyakit, termasuk diare. Sampah merupakan sumber berbagai penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dan sebagainya.

Apabila pengelolaan sampah dilakukan dengan baik dengan menyediakan tempat sampah di dalam rumah, dikumpulkan dan dibuang setiap hari ke penampungan sampah maupun dibakar, maka akan mengurangi dan mematikan vektor sehingga vektor tidak sempat menularkan agen penyakit ke makanan dan minuman manusia (Kemenkes, 2011).

Pengelolaan sampah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan lebih banyak diare karena sampah yang tidak diolah atau dibuang sembarangan dapat menjadi tempat yang baik bagi perkembangbiakan serangga dan mikroorganisme, serangga sebagai pembawa mikroorganisme patogen dapat menyebarkan berbagai macam penyakit. Dari Survei yang dilakukan ke rumah-rumah responden kebanyakan tempat sampah yang digunakan berupa kantongan plastik yang digantungkan di dinding dapur atau diluar rumah yang dibiarkan terbuka sehingga hal ini dapat menyebabkan

masuknya serangga dan vektor yang kemudian menghinggap ke makanan dapat menjadi faktor risiko terjadi diare.

5.7.2. Hubungan Pembuangan Tinja dengan Kejadian Diare pada Balita di Daerah Aliran Sungai Deli Medan Tahun 2018

Berdasarkan pembuangan tinja sebagian besar responden memenuhi syarat dengan rincian 35 orang (66,0%) balitanya tidak mengalami diare dan 24 orang (55,8%) balitanya mengalami diare. Uji statistik chi-square memperlihatkan ada hubungan antara pengelolaan tinja dengan kejadian diare (p=0,032) dengan nilai PR=2,456 CI95% (1,014-2,202) berarti pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor terjadinya diare. Risiko diare 2,456 kali pada orang yang pengelolaan tinjanya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan orang memenuhi syarat dalam pengelolaan tinja.

Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja/kotoran manusia bagi keluarga yang lazim disebut kakus/wc. Jamban yang sehat haruslah mempunyai persyaratan antara lain : Tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus untuk ini tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang yang rapat, air seni (air pembersih dan pengelontor) tidak mencemari tanah sekitarnya karena itu lantai jamban harus cukup luas minimal 1x1 meter dan dibuat cukup landai/miring ke arah lubang jongkok, mudah dibersihkan serta aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung dimana dinding kedap air dan berwarna terang, cukup penerangan, lantai kedap air, luas ruangan cukup, vebtilasi cukup baik

serta tersedia air dan alat pembersih.

Berdasarkan hasil penelitian Sabariah (2014) responden paling banyak memiliki jamban sehat pada kelompok kasus ada 17 responden (54,8%) dan pada kelompok kontrol ada 23 responden (74,2%). Tidak ada hubungan antara jamban sehat dengan kejadian diare pada balita (p = 0,054). Tetapi karena OR < 1 maka hubungan antara jamban sehat dengan kejadian diare pada balita adalah protektif dalam arti jamban sehat merupakan faktor yang berefek positif (melindungi) dan faktor yang menguntungkan karena bersifat menghambat penyakit diare.

Penelitian lain dilakukan mendapatkan hasil bahwa sarana air yang berjarak kurang dari 10 meter dari sumber pembuangan tinja atau pembuangan sampah, tidak ada saluran pembuangan air, lantai yang mengitari sumber air, khususnya sumur tidak disemen atau adanya lantai yang mengitari sumur yang retak akan meningkatkan pencemaran agen patogen terhadap air. Hasil penelitian terhadap kualitas bakteriologis air bersih di Jakarta diperoleh sebanyak 24% air permukaan tercemar fecal coliform, dan hanya 3% dari air PDAM yang tercemar (Hannif et al., 2011)

Berdasarkan hasil observasi yang membuang aliran tinja rumah tangga ke sungai bukan hanya masyakat baik yang terkena diare atau tidaktapi juga home industry dan bukan tidak mungkin perusahaan yang lebih besar juga membuang

limbahnya ke Sungai Deli, Medan. Saluran pembuanga limbah yang tertutup dalam artian sebenarnya bisa di buka untuk dibersihkan agar tidak ada sampah yang tersangkut yang menyebabkan sarang vektor. Air limbah dapat mengandung bibit

penyakit yang dapat menimbulkan penyakit bawaan air (waterborne diseases).

Limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sarang vektor penyakit seperti nyamuk, lalat, kecoa dan lain-lain (Mulia, 2005). Pembuangan air limbah yang dilakukan secara tidak sehat dapat menyebabkan pencemaran pada permukaan tanah dan sumber air.

Berdasarkan hasil penelitian Sabariah (2014), responden paling banyak memiliki SPAL yang tidak memenuhi syarat karena kebanyakan SPAL terbuka pada kelompok kasus ada 27 responden (88,1%) sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak memiliki SPAL yang memenuhi syarat kesehatan/tertutup yaitu 19 responden (61,2%). Ada hubungan antara kepemilikan SPAL dengan kejadian diare pada balita dengan hasil (p=0,001).

Sarana pembuangan air limbah dimaksudkan agar tidak ada air yang tergenang di sekitar rumah, sehingga tidak menjadi tempat perindukan serangga atau dapat mencemari lingkungan maupun sumber air. Hal ini diperkuat dengan teori oleh Slamet (2002), bahwa air limbah domestik termasuk air bekas mandi, bekas cuci pakaian, maupun perabot dan bahan makanan, dan lain-lain. Air ini mengandung banyak sabun atau detergen dan mikroorganisme. Selain itu, ada juga air limbah yang mengandung tinja dan urin manusia. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah penularan diare adalah sebaiknya dengan membuat SPAL yang tertutup dan selalu menjaga sanitasi SPAL agar tidak ada genangan air dan menjadi media penularan penyakit diare.

5.8. Analisis Multivariat

Berdasarkan analisis multivariat variabel yang paling berhubungan terhadap kejadian diare pada Daerah Aliran Sungai Deli, Tahun 2018 adalah perilaku pengelolaan sampah dengan nilai Exp (B)=4,918.

Balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit karena sistem imun yang masih lemah sehingga mudah terserang infeksi bakteri, virus maupun parasit.P ada umumnya, insiden tertinggi diare terjadi pada satu dan dua tahun kehidupan yang diikuti penurunan dengan bertambahnya umur. Setiap tahun dapat diperkirakan 2,5 miliar kasus diare terjadi pada anak umur di bawah lima tahun.

(UNICEF and WHO, 2009).

Homer, et.al, (1993) berpendapat kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumberdaya dalam tiga cara, (i) kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi degan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya, (ii) penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, (iii) akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan.

Masalah sampah merupakan masalah Nasional yang mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan ditetapkannya oleh Pemerintah tanggal 21 Februari 2016 sebagai “Hari Peduli Sampah Nasional menuju Kota Sehat tahun 2020”. Kebijakan pemerintah ini tentu perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat, karena kemampuan pemerintah dalam pengelolaan sampah mulai dari

rumah tangga, permukiman sampai dengan perkotaan sangat terbatas dan sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi, sehingga mimpi atau cita-cita untuk menuju Kota Sehat 2020 dapat diwujudkan. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (PP. No 18 Tahun 2012). Pengelolahan sampah dengan biaya murah, layak dari segi kesehatan dan tidak membawa implikasi yang negatif terhadap lingkungan, merupakan salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi oleh pemerintah kota dan harus dipikirkan oleh semua elemen masyarakat.

Menurut Simatupang (2003), sebagian besar diare disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui cara oro-fekal. Salah satu media penyebaran diare adalah air bersih yang digunakan oleh responden. Air ini dapat tercemar karena perilaku yang buruk salah satunya adalah pengelolaan sampah. Air yang tercemar terutama pada sumur dangkal, konstruksinya harus dilengkapi dengan cincin sumur sedalam 3 meter, bibir sumur minimal 1 meter dari permukaan tanah serta memiliki tutup untuk mencegah terjadinya pencemaran (Chandra, 2007). Infeksi E. coli pada manusia terjadi terutama melalui makanan/air minum yang tercemar oleh feces Sehingga dapat menyebabkan diare. Oleh sebab itu, untuk pemutusan rantai penularan diare salah satu intervensinya adalah penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan

Menurut Simatupang (2003), sebagian besar diare disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui cara oro-fekal. Salah satu media penyebaran diare adalah air bersih yang digunakan oleh responden. Air ini dapat tercemar karena perilaku yang buruk salah satunya adalah pengelolaan sampah. Air yang tercemar terutama pada sumur dangkal, konstruksinya harus dilengkapi dengan cincin sumur sedalam 3 meter, bibir sumur minimal 1 meter dari permukaan tanah serta memiliki tutup untuk mencegah terjadinya pencemaran (Chandra, 2007). Infeksi E. coli pada manusia terjadi terutama melalui makanan/air minum yang tercemar oleh feces Sehingga dapat menyebabkan diare. Oleh sebab itu, untuk pemutusan rantai penularan diare salah satu intervensinya adalah penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan