• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIFE HISTORY TIGA MANTAN ANGGOTA PT SOPHIE PARIS

2. Ibu Telaumbanua sebagai Pembantu Rumah Tangga

Pada hari pertama berkunjung, karena ini merupakan kali pertama peneliti datang ketempat tersebut, peneliti terlihat bingung dan masih seperti orang-orang yang meraba jka mengunjungi atau mendatangi suatu wilayah yang asing, tapi bukan seorang calon Antropolog namnya jika begitu saja dan dengan mudah menyerah mencari satu alamat yang baru, tanpa merasa takut dan berkeyakinan untuk mendapatkan informan yaang hendak diteliti, peneliti melihat kesekeliling tapi tak satu orangpun melintas dan melewati jalanan gang tersebut, tiba-tiba peneliti melihat

satu rumah terbuka dan tidak tinggal diam peneliti melihat seorang ibu yang bisa dikatakan cukup muda dan mungkin umurnya tidak jauh dari umur peneliti sekarang, ibu tersebut berdiri di dean pintu rumahnya sambil menggendong anak dengan menggunakan kain gendong panjang yang terbuat dari batik yang tergulung di tubuhnya, dengan memarkirkan sepeda motor pas didepan rumah ibu muda tersebut, meletakkan helm dikaca spion kemudian berjalan menuju pintu rumah ibu muda itu. Peneliti pun menghampiri ibu muda tersebut dan bertanya kepadanya, “Buk.. permisi, numpang nanya, ibu kenal sama ibu Juliana Telaumbanua?” Ibu itu sedikit heran, karena tidak pernah mendengar nama itu dan mengatakan, “saya nggak pernah dengar nama itu dek, coba kamu tanya sama yang punya rumah yang berpagar hitam itu (sambil menunjuk ke arah rumah berpagar hitam) yang berada tidak jauh dari rumahnya, hanya beda dua rumah dari rumah yang pesis berada di depan rumahnya, dia orang lama di gang ini, kalo saya masih baru dek”. Karena terlihat bingung, saya pun segera mengucapkan terima kasih dan segera berlalu menuju rumah berpagar hitam yang ditunjuk ibu muda tadi.

Dengan meminta izin untuk memarkirkan kendaraan, kepada ibu muda itu, penetilipu segera menuju kerumah yang ditunjuk ibu itu. Rumah yang peneliti tuju, pagarnya tertutup namun pintu samping dari rumah tersebut kelihatan terbuka dan tanpa berpikir panjang dengan suara kuat layaknya memanggil siempunya rumah dengan sopan sambil membunyikan bel yang ada di samping pagar tersebut, “Permisi, ada orang?”, tak lama kemudian muncul seorang ibu berambut ikal, berkaca

mata, dengan postur tubuh sedang keluar dan bertanya, “ada apa dek? Cari siapa?”. Peneliti pun dengan sigap mengutarakan maksud dan tujuannya kerumah itu, “maaf mengganggu bu, saya ingin bertanya apakah ibu kenal dengan ibu Juliana Telaumbanua?”, ibu itu sedikit berpikir dan mengatakan, “saya enggak tau nama itu dek, Cuma ada orang yang nyewa rumah saya istrinya boru telaumbanua, julukannya mak wati, itu rumahnya dek, 3 rumah dari rumah saya ini, yang papan rumahnya ya, disebelah yang ada becak itu dek ” (sambil keluar pagar dan menunjuk). Sebelum peneliti mengucapkan terima kasih, ibu itu bertanya tujuan peneliti menanyakan rumah ibu Telaumbanua tersebut dan peneliti pun menjelaskannya. Sambil mengucapkan terima kasih, peneliti pun berlalu menuju rumah ibu Telaumbanua tersebut.

Dengan perasaan senang dan semangat, peneliti kembali kerumah ibu muda tadi sambil tersenyum dan permisi mengambil kendaraannya, ibu muda itu pun membalas senyuman sambil sedikit membunda tanda mengiyakan, peneliti pun bergerak dan segera menuju rumah yang diinformasikan oleh ibu yang ada dirumah berpagar itu, sambil memarkirkan kendaraannya, peneliti pun segera turun dan mengetuk pintu rumah ibu Telaumbanua yang tertutup, tak lama kemudian muncul seorang anak perempuan remaja dan bertanya,”cari siapa kak?” ada ibu Juliana Telambanuanya dek? Sambil mengutarakan penjelaskan kepada remaja tersebut maksud dan tujuan peneliti datang kerumah itu. Tak lama kemudian, seorang ibu berkulit sawo masak, dengan memakai kaos oblong, rambut diikat dan celana pendek

selutut keluar dari kamar dan menghampiri si peneliti. Dengan sopan dan ramah peneliti kembali menjelaskan maksud dan tujuan datang ke rumah ibu Telaumbanua tersebut. Tanpa basa-basi ibu itu langsung mempersilakan si peneliti untuk masuk kerumah dan duduk di kursi plastik berwarna hijau.

Peneliti mengulang kembali apa yang menjadi tujuan awal datang kerumah itu,”begini buk, saya dari mahasiswa Antropologi USU, sedang melakukan penelitian untuk tugas akhir perkuliahan saya (skripsi) mengenai pengambilan keputusan individu keluar dari bisnis MLM (multi level marketing) di PT Sophie Paris atau yang lebih dikenal dengan Sophie Martin, nah kemarin itu saya sudah mewawancarai seorang ibu bernama tante Lina Harefa, dari beliau saya mendapatkan informasi tentang ibu bu, apa benar ibu pernah menjadi anggota Sophie Martin bu?” Dengan senang hati ibu ini bersedia untuk diwawancarai dan menceritakan tentang kegiatan bisnis jaringan yang pernah digelutina. Dengan sedikit mengingat-ingat, beliau menjadi anggota bisnis ini sekitar tahun 2007 akhir. Berawal dari ketertarikan melihat-lihat katalog yang dulunya punya tetangganya juga dan akhirnya menjadi anggota atau member dari Sophie Paris. Menjadi member dari Sophie ini pertama sekali diantarkan oleh temannya yang bernama mama Karis ke BC atau bussines Centre, atas bantuan mama Karis ini kemudian beliau harus membayar uang pendaftaran sebesar Rp.50.000, setelah itu beliau diberikan sebuah tas kain berwarna pink berlabelkan Sophie Martin, dimana pada saat itu Sophie belum berganti nama. Didalam tas tersebut, ada sebuah buku pendaftaran dan buku panduan-panduan

lainnya serta sebuah katalog. Buku pendaftaran tersebut berupa kertas yang bertuliskan biodata diri anggota Sophie dan ada kolom untuk menulis nama-nama anggota jaringan kita. Kemudian beliau mengisi semua yang tertera di ketas itu, setelah itu, beliau akan diberikan kartu anggota Sophie dengan tulisan yang tertera yaitu: nama anggota, nomor ID anggota, nama sponsor (orang yang merekrut beliau), nomor ID sponsor, dan setelah itu ibu ini sudah resmi menjadi anggota Sophie Martin atau Sophie Paris.

Ibu Telaumbanua ini sangat menyukai fashion terutama dalam hal berpakaian. Banyak pakaiannya diambil dari Sophie Paris. Mulai dari pakaian untuk dirinya sendiri, anaknya bahkan untuk suaminya pun ibu ini selalu memesan dari Sophie. Selama berkecimpung di Sophie Paris pada beberapa bulan pertama ibu ini hanya mengkonsumsi produk Sophie Paris itu sendiri, tanpa memberikan dan menawarkannya kepada kerabat maupun tetangganya karena tidak ingin terfokus ke bisnis ini, disamping itu beliau juga memiliki kerja tetap sebagai buruh cuci dan menggosok di rumah orang.

Saya enggak terlalu fokus seratus persen dek ke bisnis ini, karena dulu kerjaan saya banyak, cuci-gosok dirumah orang, jadi nggak punya waktulah dek buat nawar-nawarin.”

Ibu yang berumur 35 tahun itu bercerita tentang kegiatan yang paruh waktu harus bekerja cuci gosok di 5 rumah yang berbeda. Satu keluarga ada yang 3x 1 minggu, tiga keluarga ada yang setiap hari dan satu keluarga lagi da yang 2x

seminggu. Kegiatan 3x seminggu itu cuci-gosok dengan upah Rp 300.000 sebulan, yang setiap hari Rp 350.000 dan yang 2x seminggu diberi upah Rp 250.000.

Ibu yang lahir di Gunung Sitoli, Nias ini berkeluarga sejak umur 22 tahun dan menikah dengan Bapak Zendrato Harefa serta memiliki 2 orang anak bernama Ayu Lestari Harefa dan Samuel Harefa masing-masing duduk dikelas 3 SMP dan 5 SD. Kedua anaknya bersekolah di SMP Negeri 15 Medan dan di SD 060854 Medan.

Ibu yang lebih akrab disapa dengan panggilan “Mak Wati” ini terlihat ramah dalam menjawab pertanyaan dari peneliti. Bersuku Nias dan menikah dengan sesukunya lantas tidak membuat beliau membedakan suku lain seperti peneliti yang bersuku Batak Toba. Wawancara sambil lalu, ibu ini juga bisa berbahasa batak toba bahkan lebih lancar, konon ibu ini dulu pernah tinggal lama di daerah Sibolga bersama bapak angkatnya yang bermarga simbolon dan mayoritas tempat tinggalnya di Sibolga itu adalah suku batak toba.

“saya juga bisa dek bahasa batak toba, ise goarmu? Boru aha ho? Piga halak hamu geleng ni umakmu? Didia jabum? Ise halletmu? Aha karejo natorasmu? Aha karejo halletmu?” (ujar, Juli 40 tahun)

Yang artinya, “siapa namamu? Boru/marga apa kau? Berapa orang kalian anak mamak? Dimana rumahmu? Siapa pacaramu? Apa kerja orangtuamu? Apa kerja pacarmu? “. Banyak lagi kata-kata ataupun percakapan dalam bahasa batak yang dengan lancar diucapkan ibu ini.

Mak Wati, begitu para tetangga dan kerabat memanggilnya. Diberikan panggilan itu, karena dulu nama anaknya Wati, namun karena waktu kecil anak perempuannya sering mengalami sakit yang kadang sembuh, dan terkadang kambuh lagi atas saran kerabatnya, nama itu diganti menjadi Ayu, alhasil anak perempuan itu tidak pernah mengalami sakit lagi.

Ibu Wati ini pun, semakin terlihat “welcome” kepada peneliti, itu terlihat jelas dengan menyuruh anak perempuannya untuk menyuguhkan teh manis hangat kepada peneliti dan memberikan camilan berupa kerupuk yang ada di dalam toples berukuran sedang, “Dicicipin dek, cuma itu yang ada dirumah ini”, sambil menawarkan kepada peneliti. “Aduh buk, jadi ngerepotin.”

Sambil menikmati minuman dan camilan yang disuguhkan, ibu ini pun melanjutkan untuk bercerita tentang pengalamannya saat bekerja di bisnis jaringan yang pernah digelutinya.

” Aku sudah kurang lebih 3 tahun lah berkecimpung di Sophie Martin. Awal mula gabung itu karena pertama kali main kerumah tetanggaku, nah waktu itu aku kerumahnya buat ngajakin dia keundangan untuk pergi sama. Karena dia belum siap dek, ya aku tungguin di ruang televisi, kebetulan di lantai dekat televisi itu, ada buku terus aku liat-liat eh.. ternyata buku katalog Sophie dek. Sambil nungguin temanku itu, ya aku liat-liat saja dek katalognya. Menurut aku bagus-bagus dek barangnya, tasnya, dompetnya, apa lagi pakaiannya. Haha.. Biasalah dek, kayak

kamu enggak perempuan saja, semua perempuan pasti suka yang namanya bergaya kan??

Ibu ini lebih suka menyebut produk Sophie dengan sebutan Sophie Martin, daripada Sophie Paris, ini terlihat jelas dari jawaban dan cerita yang diterangkan oleh beliau. Mendengarkan informasi dari bu Wati tersebut, peneliti mencatat dan merekamnya dengan menggunakan catatan kecil dan sebuah handphone sebagai alat perekam. Ibu wati yang sudah tinggal di Medan selama 17 tahun ini pun mengatakan, tertarik bergabung di Sophie Martin karena suka dengan fashion terutama pakaian,.

“aku suka model-model pakaiannya, bagus dan harganya lumayan terjangkau. Pertama kali pas aku liat katalog itu, aku langsung mesan sama kawanku itu, eh dia malah bilang untuk jadi anggota saja, karena aku bakalan untung banyak. Pertama berpikir juga, buat apa jadi anggota karena enggak bakalan tiap hari juga untuk beli-beli. Tapi karena kawanku itu menerangkan seluk-beluk keuntungannya, ya tergiur juga dek jadi anggota. (kata, Juliani Telaumbanua, 35 tahun).

Ibu yang kesehariannya sebagai buruh cuci-gosok ini pun terlihat sangat menikmati pekerjaannya baik dirumah majikan maupun dirumahnya sendiri. Hal ini terlihat pada saat peneliti berkunjung kerumahnya, ternyata ibu ini sedang bersiap-siap untuk menyetrika.

“aku tadi mau nyetrikanya dek di kamar, cuma karena ku dengarnya tadi kau datang, langsung keluar aku, aku kirain tadi sales-sales dek, agak takut aku sama sales sekarang ngakunya nawarin barang tapi yang lain-lain kerjanya. Apalagi adekmu ini, masi kecil. Mana tau dia apa-apa,

nanti ntah apa-apa dibilangin sales itu nurut-nurut aja dia, kan aku yang susah dek”.

Sambil berlalu meninggalkan peneliti, ibu Wati itu pun keluar bersamaan dengan anak perempuannya yang membawa alat setrikaan dan membawa 1 keranjang penuh kain yang hendak di setrika, ke arah ruang televisi yang sekaligus ruang tamu tempat kami bertanya jawab.

“bisalah aku sekalian nyetrika ya dek, takut enggak keburu besok, udah kerja lagi dirumah orang, kalo enggak dikerjakan sekarang makin banyak lagi. Maklumlah dek, satu kalinya seminggu aku nyerika dirumah sendiri, itupun yang ku utamakan baju-baju seragam sekolah adek-adekmu ininya, sama baju yang bagus-baguslah kalo mau ke pesta. Kalau adekmu si Ayu ini, paling nyetrika pakaian rumah saja ku suru namun pakaian pergi-pergi atau seragam sekolah aku yang nyetrika karena tidak rapi.”

Peneliti pun mempersilahkan ibu itu untuk melanjutkan pekerjaannya, dan meminta maaf karena telah mengganggu waktunya sedikit. Peneliti pun melanjutkan wawancara dengan topik yang di telah peneliti tentukan sebagai bahan penyelesaian tugas akhirnya. “oh ya buk, ibu selama bergabung di Sophie ini, punya anggota bawahan tidak atau pernah mengajak orang lain untuk jadi anggota/member? “ dengan lancar ibu ini menjawab, “ada dek, adek iparku, dia sama kayak aku suka beli juga tapi dia tas dek”.

Ibu kelahiran 11 juli 1978 ini, bercerita bahwa beliau memiliki bawahan atau yang dalam bisnis jaringan ini biasa disebut dengan downline15. Beliau hanya

memiliki 1 downline dan sampe sekarang ibu ini tidak tahu apakah adik iparnya itu masih aktif atau tidak, dikarenakan kehilangaan kontak sejak adiknya iparnya bercerai dari adik kandungnya ibu Wati tersebut.

Dalam kesehariannya, ibu Wati ini juga terlihat sebagai seorang ibu yang sangat cekatan, itu terlihat dari 5 rumah yang dipegangnya untuk bekerja sebagai buruh cuci dan menggosok. “pernah kepikiran untuk aktif juga nawarin Sophie sama orang-orang, cuma kerjaanku banyak sekali”. Bayangin dek lima rumah, tangan dan kakiku saja udah sampek pecah-pecah karena megang sabun cuci terus (sambil menunjukan telapak tangan dan kakinya)”.

Ibu Wati ini juga menjelaskan, hingga saat ini, posisinya di bisnis Sophie Paris masih peringkat pertama (president), walaupun sudah memiliki bawahan dan mendapat bonus yang tidak banyak, hanya sekitar 25 ribuan, itu untuk setiap pendaftaran member baru, beda lagi jika downline atau bawahan kita belanja minimal 500 ribu dalam kurun waktu 1 bulan, maka beliau akan dapat bonus lagi.

“banyak bonus yg ditawarkan, cuma kalau kita juga enggak banyak nyari anggota buat dijadikan member, ya sama saja dek, kalau cuma ngandalin harga pembelian produk saja, buat dijadikan penambah penghasilan tetap, bisnis ini kurang menjanjikan buat aku secara pribadi dek”.

Ibu yang memiliki dua orang anak ini juga mengatakan, bahwa beliau bukan tipe orang yang cakap16

“aku kurang pandai dek buat ngajak orang untuk bergabung disini, waktu adek iparku itu dulu bergabung, dia yang nawari diri langsung buat jadi anggota, karena Sophie ini termasuk produk yang terkenal juga.”

dalam berbicara, terutama dalam hal berkomunikasi mengajak ataupun dalam istilah berbisnis jaringan ini merekrut orang untuk dijadikan anggota member. Sehingga beliau hanya menawarkan produk saja, dan tidak berniat menambah anggota dibawahnya.

Sambil meneguk minuman yang telah disajikan, peneliti bertanya, “selain sama adek ipar ibu itu, apa ada lagi yang pernah ibu ajak menjadi member? Seperti saudara yang lain, teman atau bahkan tetangga dan majikan ibu sendiri?” Menurut ibu Wati ini, beliau pernah menawarkan barang kepada ibu majikan dan teman-teman ataupun kerabatnya, dan banyak dari mereka yang mengambil juga, hanya untuk ditawarin sebagai anggota kebanyakan dari mereka semua menolak, karena sudah ada yang bergabung di bisnis jaringan lain seperti Thiensi, Oriflame, dan majikan ibu ini ada yang menjadi anggota Melia Sehat Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Propolis.

Pertama sekali menawarkan produk ini selain kepada kerabat dan tetangga, beliau juga menawarkan kepada majikannya yang bekerja sebagai guru di SD Negeri 060854 yang bernama ibu Melisa, beliau tergerak menawarkan produk ini karena

sebagai seorang pegawai baik guru ataupun yang lainnya, pasti harus memiliki barang-barang yang bagus sebagai penunjang penampilan dalam bekerja, akhirnya beliau membawa katalog Sophie dan memberikan kesempatan kepada majikannya untuk melihat, hal ini mendapatkan respon yang positif dari majikannya, ibu guru itu tertarik mengambil 2 tas seharga Rp 350.000 dan Rp 326.000.

Biasanya untuk harga diatas tiga ratus ribu, ibu Wati ini memberikan cicilan 3 sampai 4 kali dalam waktu satu bulan, atau karena kebanyakan majikannya seorang pegawai yang memiliki penghasilan setiap awal bulan, dia memberikan penyicilan paling lama satu setengah bulan, dengan biaya awal atau biasa disebut dengan DP sekitar seratus atau seratus lima puluh ribu (lebih besar dari biaya cicilan untuk tahap kedua maupun ketiga), dan sisanya di penyicilan selanjutnya. Ada juga dari majikannya yang membayar lunas, karena takut mengutang dan sering lupa, dengan harga pengorderan barang seharga tiga ratus ribu lebih.

“kalau yang seperti ini, aku senang, bonusnya ada buat aku dek, dan terkadang aku bilang kalau belanja lunas lagi akan diberikan diskon dan kebanyakan majikanku lah dek yang dapat diskon, maklum pegawai jadi pas gajian langsung minta katalog dan bayar.”

Ibu ini memang kebanyakan menawarkan barang-barang produk Sophie kepada para pegawai-pegawai baik itu pegawai negeri sipil maupun pegawai yang bekerja di perusahaan swasta. Tidak hanya itu, beliau juga menawarkan produk-prosuk Sophie ini kepada mahasiswa atau pun mahasiswi yang sekaligus tetangganya,

beliau juga menawarkannya kepada ibu-ibu rumah tangga yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

“seperti yang aku bilang tadi dek, kebanyakan sih cuma melihat, ada yang tertarik, mesan dan nyicil, namun untuk menjadi anggota/member belum ada yang tertarik, bahkan ada yang bilang susah nawarin kayak gini, karena musiman, maklumlah namanya juga manusia, pasti selalu merasa tidak puas dan terkadang cepat bosan.”

Ibu yang memiliki rumah tidak jauh dari kampus itu, memiliki kesempatan lebih baik dengan menawarkn produk-produk Sophie ini kepada mahasiswa dan mahasiswi yang bermukim di daerah sekitar daerah rumahnya. Kebanyakan dari pelanggannya itu terutama mahasiswi memesan baju, jilbab, sepatu dan alat-alat make-up. Mereka biasanya diberikan waktu cicilan 5x dalam waktu 2 bulan, karena kebanyakan dari mereka adalah anak dari perantauan, dan ngekost tidak jauh dari rumah sewa yang ditempati oleh ibu Wati tersebut. Kalau untuk para mahasiswa yang memesan, beliau juga memberikan cicilan yang sama dengan mahasiswi, namun untuk uang mukanya, lebih banyak dibandingkan para mahasiswi.

“ya tau sendirikan dek, laki-laki kan kadang ada nakal-nakalnya, susahlah kalo mau dimintain bayaran cicilan gitu, cuma aku udah tanda-tanda orang dek, kalo dia ngambil aku enggak kasih lagi, perempuan juga ada gitu, bahkan sempat juga aku berantam karena dia pura-pura lupa dan aku akhirnya adu mulut, tapi akhirnya ya bayar juga dek, mulai dari situ, sama anak-anak kuliahan atau yang masih pelajar, kalo mesan barang dengan harga lumayan besar diatas tiga ratus ribu, aku minta

uang muka atau panjar dua ratus atau seratus lima puluh ribu dek paling sedikit, kalo enggak gitu, ya aku yang bakalan rugi.”

Ibu yang suaminya bekerja sebagai penarik becak ini pun, memang merasakan betul sulitnya perekonomian sekarang, sehingga tahun kedua menjadi anggota Sophie beliau selalu meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukan bekerjanya untuk aktif dalam bisnis jaringan ini. Ekspresi yang dipancarkan oleh wajahnya terlihat sedih ketika berbicara mengenai perekonomian. Beliau mengatakan bahwa suaminya bukan seorang yang ligat dalam mencari nafkah, terkadang suaminya hanya dirumah tidur dan tidak pergi bekerja, sehingga mengakibatkan mereka selalu bertengkar.

Hal inilah yang membuat ibu Wati bergiat mencari tambahan untuk mencukupi biaya anak-anaknya dalam bersekolah, yaitu dengan cara menawarkan dan aktif dalam pertemuan yang dilakukan di BC Sophie Paris. Bahkan terkadang ibu ini berniat menambah tempat kerja lagi untuk mecuci-gosok. “Kalau hanya mengandalkan suami dengan sifat dan kebiasaan seperti suami saya dek, ya mungkin anak-anak ini tidak bakal lanjut sekolah lagi”, ujar ibu Wati.

Dengan kondisi yang seperti itu, lantas tidak membuat ibu ini pantang menyerah, disela-sela kesibukannya bekerja sebagai buruh cuci-gosok, selama 1 minggu, ibu ini juga menyempatkan waktu juga menawarkan barang-barang kepada setiap orang yang dikenalnya, bahkan sampai pada saat selesai ibadah, gerejanya selalu mengadakan diskusi dan pertemuan yang memperbincangkan kesusahan dan kesulitan selama satu minggu beraktivitas, ibu ini menceritakannya kepada

pemimbing gerejanya mengenai keluh kesahnya, para teman-teman yang satu kelompok diskusinya merasa iba dan kasian mendengar curahan hatinya, sehingga banyak dari satu kelompok diskusinya di gereja itu yang membantu perekonomiannya dengan memesan barang-barang yang mereka butuhkan melalui produk Sophie ini.

“Puji Tuhan lah dek, mereka mau membantu, aku enggak bisa pulak dikasih-kasih ala kadarnya/ ngemis dek, pantang kali sama ku gitu. Makanya aku bersyukurlah mereka mau memesan orderan sama ku, enggak tanggung-tanggung dek, ada yang belanja sampai hampir satu