• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas dalam Pasar

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 70-74)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan

C. 2. Identitas dalam Pasar

Selepas reformasi, gerakan untuk membicarakan isu-isu global seperti isu identitas, makin kuat berkembang. Berbekal standar isu kemanusiaan global, pembicaraan mengenai isu ini masuk keruang-ruang penciptaan karya sastra lokal. Salah satunya pembicaraan mengenai pelanggarakan kemanusiaan yang terjadi pada masa pra reformasi. Reformasi tahun 1998, yang dirayakan sebagai titik puncak pencapaian dari keterkekangan rejim Orde Baru, menyisakan banyak catatan hitam. Salahsatunya kasus pelanggaran HAM terhadap masyrakat etnis Cina. Beberapa sastrawan membicarakan perihal itu di dalam karya-karyanya. Salah satunya dalam novel berjudul Putri Cina yang ditulis oleh Shindunata. Novel tersebut membicarakan posisi masyarakat enis Cina di Indonesia. Bagaimana pun kuatnya ikatan hidup mereka dengan Jawa (dikisahkan kedua tokoh tersebut hidup di tengah masyarakat Jawa), mereka tetap menjadi liyan.

Bila boleh meminjam istilah dari tulisan Aprinus Salam, sastra semacam ini merupakan salah satu bentuk sastra traumatik. Pada masa pasca reformasi, karya sastra seperti ini hadir untuk menjadi mekanisme penyembuhan bagi luka- luka sosial-politik di masa lalu. Pasca Orde Baru, sastra traumatik juga kerap mengangkat permasalahan politik di tahun 1965. Walaupun tema ini muncul,

namun tidak terlalu populer dibanding tema lainnya. Hal tersebut disoroti Aprinus sebagai dampak dari kekecewaan sastrawan terhadap rejim Orde Baru yang represif. Tema-tema yang tampil yaitu seputar kebobrokan negara, korupsi, nepotisme, kolusi, demonstrasi menentang ketidakadilan aparatus negara, kebusukan politik (nasional atau aparat pemerintah), dan sebagainya.40 Tema- tema tersebut masih hidup, guna membicarakan dampak berkepanjangan dari kekuasaan rejim. Sastra traumatik semacam ini muncul, namun belum mampu menandingi beberapa tema lainnya, yang jauh lebih populer pada masa pasca reformasi. Salah satunya sastra yang mengangkat tema religiusitas.

Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadya dan Pipit Senja yang tergabung dalam kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), menjadi deretan nama dengan magnet yang besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Novel-novel yang ditulis oleh mereka sangat kental dengan identitas ke-Islam- annya. Hampir di seluruh novel yang mereka buat, kental dengan nuansa religius. Para sastrawan yang bergiat di wilayah ini, ingin menjadikan karya sastra sebagai bagian dari dakwah atau syiar agama. Sastra religius semacam ini meraih kepopuleran yang cukup tinggi, dengan jumlah permintaan pasar yang tinggi pula.

Lantas adapula karya yang mulai berjejal, dan dengan cepat bermunculan di era ini. Karya-karya dengan tema seksualitas. Pada era Orde Baru, sebagian dari kita mungkin sudah mengenal penulis seperti Motinggo Busye, Fredy S ataupun Abdulah Harahap. Mereka bukan orang baru dalam wilayah penulisan novel dengan tema erotis di Indonesia. Selepas reformasi, arus tema penulisan semacam itu bangkit kembali sebagai karya sastra. Sederet penulis perempuan

ambil bagian dalam wilayah ini. Sebutlah salah satunya Ayu Utami, dengan karyanya yang berjudul Saman. Ia mengejutkan banyak orang dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak lagi malu-malu berbicara mengenai kehidupan, maupun impian seksual mereka. Masih mengangkat tema yang sama, Ayu menghasilkan karya lain seperti Larung, Bilangan Fu dan Si Parasit Lajang. Lantas ada Jenar Maesa Ayu, anak dari sineas Syuman Jaya, yang menulis Mereka Panggil Aku Monyet dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Tidak hanya mereka berdua, ada banyak nama penulis perempuan lainnya, yang mengangkat isu yang sama.

Isu-isu global yang hadir dalam artikulasi kesusastraan pada kenyataannya menjadi bagian penting dari kekuatan komoditi dalam pasar. Novel Saman pernah menjadi Best Seller, dengan jumlah penjualan yang menyentuh angka lebih dari 55.000 eksemplar.41Jumlah yang sangat banyak, terlebih lagi bila memikirkan berapa jumlah keuntungan yang didapatkan melalui penerbitan dan penjualan novel tersebut. Semestra pembicaraan mengenai sastra, pada akhirnya mengantarkan kita pada pembicaraan mengenai keuntungan dari komoditi tersebut. Wahmuji dalam tesisnya menyinggung hal tersebut. Ia menuliskan bahwa menguatnya komodifikasi apapun dalam sistem neoliberal, berimbas pula pada semakin kuatnya pengaruh sistem tersebut di medan produksi kultural, seperti sastra, kritik sastra, dan kritik artistik. Wahmuji melihat bahwa praktek kritik sastra dan artistikpun hadir untuk melayani kepentingan penerbit, demi

41www.kompasiana.com/aziz.abdul.ngashim/ayu-utami-jogja-dan-selembar-kisah-yang-

meraup keuntungan yang lebih besar. Ia mencontohkan keberadaan blurb sebagai upaya penting untuk mengangkat nilai buku tersebut.42

Karya sastra pada titik ini mengalami kehilangan ke-diri-annya. Wahmuji menyebutkan sebagai kondisi hilangnya medan otonom karya sastra. Hal tersebut dikarenakan kuatnya komersialisasi di wilayah ini.43Seperti yang dicontohkan di atas, kala novel Saman menjadi best seller, ia telah menjadi produk yang tren dengan penulis yang terkenal. Karya sastra tidak lagi dilihat dalam kapasitas karyanya, namun seberapa kuat idiom pendukung promosi yang hadir bersamanya.

Sehingga pada akhirnya, karya sastra masuk dalam ruang penggolongannya masing-masing. Kecenderung penerbit sebagai pelaku pasar, lebih melihat fiksi populer sebagai komoditi yang jauh lebih menjanjikan keuntungan, ketimbangan karya sastra serius. Wahmuji melihat bahwa sastra direpresentasikan sebagai sebuah medan yang relatif otonom dari kekuasaan (ekonomi) sedangkan fiksi populer justru menghamba pada pasar. Sastra memiliki otonomi relatif, yang memungkinkannya untuk lebih kritis pada kekuasaan.44Hal tersebut tidak didapati dalam sastra (fiksi) populer, yang selalu berusaha untuk memenuhi keinginan pasar, sebagai pusat produksi dan distribusi.

Peran pasar nasional dengan berdasar pada isu yang berkembang secara global, nyatanya mampu mendongkrak posisi ekonomi dari sastra popouler. Khalayak pembaca digiring para selera yang dibentuk oleh kepentingan

42Wahmuji, Heteronomisasi Medan Sastra di Bawah Neo-liberalisme: Analisis Modal Kultural

Mengenai Sastra dan Fiksi Populer, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakata, 2015, hal. 42

43Wahmuji, 2015, hal.43 44Wahmuji, 2015, hal. 5

kapitalisme, bukan kepentingan sastra itu sendiri. Strategi blurb misalnya, jauh lebih penting untuk membentuk minat pembaca pada sebuah karya sastra. Pasar global pun, hadir dan berperan penting dalam popularitas beberapa karya sastra yang berhasil dialihbahasakan ke bahasa lainnya. Kekuataan kalimat “berhasil terbit dan menjadi best seller” di negara lain, dapat menjadi magnet bagi minat pasar (baca:pembaca) lokal-nasional untuk memburu karya tersebut. Sehingga pada masa sekarang ini, ketertarikan khalayak pembaca pada karya sastra, tidak selalu terletak pada kualitasnya saja. Akan tetapi juga dapat dibentuk oleh isu, maupun strategi pasar yang diterapkan para pelaku ekonomi di dunia sastra.

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 70-74)

Dokumen terkait