• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi isu dalam Teater Lokal

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 80-85)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater

D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal

Dalam proses penciptaan kembali, termasuk proses mencari musuh baru, seni pertunjukan terutama teater berusaha untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan masyarakat di tingkat akar rumput. Tujuannya tidak hanya bermain di lapangan kesenian, akan tetapi juga masuk kedalam rumah-rumah persoalan

50Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma,

Yogyakarta, hal. 28

51Barbara Hatley, 2014, hal. 29 52Barbara Hatley, 2014, hal. 36 53Julianti L Parani, 2011, hal. 7

masyarakat. Berbasis pada apa yang masyarakat hadapi itulah, maka mereka berupaya mengidentifikasi musuh baru yang hendak mereka kritisi, serta gerak perjuangan semacam apa yang paling pantas untuk disuarakan di atas panggung. Dalam sebuah workshop yang diadakan Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010, pembicaraan mengenai orientasi seni pertunjukan dibicarakan secara khusus. Para peserta workshop beranjak dari ekplorasi identitas dan pemasalahan lokal masing-masing terlebih dahulu.

Hampir semua peserta, yang terdiri dari para seniman dan pegiat seni pertunjukan, khususnya teater memindai gerak kesenian komunitasnya masing- masing, dan membicarakannya pada forum. Kebanyakan karya yang dipresentasikan bersumber dari kegelisahan atas kondisi yang terjadi pada masyarakatnya. Mereka merespon kondisi masyarakat melalui proses berkarya yang serius. Kita bisa mendapati bahwa di Aceh, karya yang dihasilkan merupakan tanggapan atas peristiwa konflik dan tsunami yang sempat melanda mereka. Adapula karya dari komunitas pertunjukan di Bali, dan Yogyakarta, yang masing-masing menghaturkan temuan dan tanggapannya melalui karya-karya teater yang sangat khas dengan budaya mereka masing-masing.

Untuk memberi gambaran yang mendekati utuh, ada baiknya kita membahas beberapa kecenderungan karya yang diciptakan oleh para seniman dan komunitasnya, sebagai bagian dari respon terhadap kondisi masyrakatnya. Di Aceh, teater menjadi salah satu mekanisme pemulihan trauma. Salah satu komunitas teater yang fokus memperhatian permasalahan semacam itu di Aceh, adalah Komunitas Tikar Pandan. Komunitas ini menginisasi lokakarya teater partisipatif yang melibatkan para korban konflik (GAM dan TNI) dan Tsunami

Aceh. 54 Lokakarya pada tahun 2007, yang diselenggarakan oleh komunitas tersebut itu menghasilkan sebuah produksi teater yang bertujuan untuk memulihkan masyarakat dari trauma, dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik.

Sedangkan di Bali, fokus seusai masa Orde Baru adalah kearifan lokal, adat daerah dan industri pariwisata. Bagi masyarakat Bali, seni pertunjukan tidak bisa dijauhkan dari laku hidup sehari-hari. Terlebih lagi, karena Bali adalah tujuan wisata dunia, maka Bali dirasa tidak akan pernah kekurangan ide maupun pelaku seni pertunjukan. Pasca reformasi, permasalahan yang dihadapi adalah makin massifnya budaya luar yang semakin lama diadopsi oleh masyarakat Bali sendiri. Sebuah resiko yang harus dihadapi, kala Bali membuka diri terhadap datangnya wisatawan yang juga dibarengi datangnya budaya mereka ke Bali. Maka muncullah Ajeg Bali yang mengajak masyarakat Bali untuk kembali pada inti nilai-nilai kebudayaannya.55 Selain itu, dunia seni pertunjukan Bali semakin berani mengajak para seniman untuk menyatakan sikap politik meraka, dalam setiap karya yang dibuatnya.

Lantas di Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah yang dinamika gerakan keseniannya cukup dinamis, di sana lahir karya-karya yang terbuka dan berani melakukan eksplorasi pada medium baru. Teater Garasi salah satunya. Mereka sudah meninggalkan format teater konvesional, dengan format yang lebih baru, dengan memadukan unsur-unsur seni instalasi di dalamnya. Secara gagasan,

54Reza Idria, 2014, Dua Panggung Pertunjukan di Aceh: Dari Konflik Negara ke Konflik Syariat,

dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal .206

55Brett Hough, 2014,Komunitas dan Kancah Budaya di Bali, dalam Seni Pertunjukan Indonesia

mereka tetap setia pada pembahasan mengenai Indonesia, Jawa dan konsep- konsep rumit di dalamnya. Pasca reformasi, mendorong teater Garasi untuk mengekplorasi tema mengenai krisis Identitas Jawa, yang terjadi setelah runtuhnya rezim dominasi Jawa a la Soeharto. Mereka mementaskannya dalam Waktu Batu yang diproduksi pada tahun 2002, 2003 dan 2005. Serta Je.Ja.l.an, yang dipanggungkan pada tahun 2008 dan 2009. Banyaknya hal yang muncul dan bercampur dalam produksi Waktu Batu, dikatakan oleh Yudi Ahmad Tajudin sebagai mekanisme mengamini hadirnya hibriditas yang terus berlangsung pada identitas Jawa. Menurutnya, kejawaan bukanlah suatu identitas murni namun sebuah campuran yang dinamis dan kreatif. 56 Sedangkan pada Je.Ja.l.an mereka mencoba untuk membangun kesadaran mengenai perbenturan identitas yang saling bertemu di jalanan, yang masing-masing terancam dihimpit oleh globalisasi dan jeratan penafsiran identitas yang sempit.57

Kekhasan dari tiap waliyah muncul sebagai bagian dari kegelisahan yang berbeda satu dengan lainnya. Tidak seperti pada masa Orde Baru, masa pasca reformasi telah mengembalikan gerak para seniman dan komunitas teater pada wilayah sosial-politiknya masing-masing. Gerak perubahan dunia teater Indonesia, terutama teater di masa pasca reformasi, dilihat oleh Barbara Hatley sebagai sebuah perubahan yang signifikan. Jika pada masa Orde baru, para seniman teater berusaha menyejajarkan dirinya untuk melakukan upaya politis dalam gerakan-gerakan perlawanan dengan basis yang lebih luas, maka kini setelah tumbangnya musuh bersama, membuat para seniman teater lokal sibuk

56Barbara Hatley, 2014, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata

Dharma, Yogyakarta, hal. 43

membicarakan mengenai permasalahan masyarakatnya. Mereka berlomba-lomba mengkritik masalah kekuasaan politik (lokal), beserta aneka ragam identitas sosial, yang didasarkan sifat etnis, agama, kedaerahan maupun orientasi seksual, yang dirayakan dan saling bersaing.58

Hatley menegaskan bahwa perayaan identitas sesungguhnya adalah juga bagian dari pementasan teater pada masa Orde Baru, yang diejawantahkan dalam sebuah perlawanan politik bersama. Walaupun perlawanan itu terkadang kurang jelas dasarnya. Melihat konteks identitas lokal yang beragam dan tersebar, Hatley melihat adanya bahaya dari seni pertunjukan yang terjebak pada perayaan dangkal atas yang lokal yang terfokus pada kepentingan sendiri. Melalui parade-parade dengan dukungan pemerintah, para seniman dianggapnya mengambil resiko, karena mau menjadi bagian dari representasi satu daerah yang memitoskan dirinya sendiri.59

Kekhawatiran Hatley ada benarnya. Akan tetapi kekhawatiran semacam ini juga tidak melulu dapat diterima secara utuh. Bila menelusuri isu yang dibawa dalam pementasan teater di hampir seluruh wilayah Indonesia, hampir semua memang berbicara tentang identitas. Baik identitas gender, agama, suku bahkan juga seksualitas. Berkembangnya isu yang hadir di atas panggung pertunjukan teater juga melalui proses pembacaan wacana besar yang saat ini sedang marak dibicarakan secara global. Hadirnya organisasi-organisasi penyandang dana internasional, yang mendukung produksi teater Indonesia, dapat dilihat sebagai bagian dari pementasan isu titipan global, yang disampaikan melalui seni lokal.

58Barbara Hatley, 2014, hal. 6 59Barbara Hatley, 2014, hal. 38

Sebagai sebuah negara yang baru bangkit dari keterpurukan akibat dari rejimnya, kesenian dianggap sebagai media strategis untuk melakukan pemberdayaan bagi masyarakatnya. Teater pun melakukan fungsi semacam itu. Banyaknya bantuan organisasi internasional untuk komunitas teater, terutama yang ditujukan untuk melakukan kampanye dan pendidikan melalui seni, ditenggarai sebagai bentuk penanaman nilai universal yang tidak selalu sesuai dengan nilai lokal. Membicarakan permasalahan global dengan isu yang universal di ranah teater terasa menggiurkan, karena dapat menjadi pembuka gerbang untuk mengaktualisasikan kesenian teater yang serius di muka internasional. Namun kesempatan menggiurkan itu akan sangat membahayakan nilai lokal, terlebih lagi bila nilai universal diamini sebagai acuan kebenaran.

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 80-85)

Dokumen terkait