• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 85-90)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak

E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan

Semasa kecil, saya sangat suka menonton pertunjukan kuda lumping yang disebut Ebeg60. Selepas saya tinggal di Yogyakarta, kesenian semacam itu memiliki nama lain, yaitu Jathilan. Namun esensinya tetap sama, mempertontonkan para penari, lengkap dengan kuda dari kulit bambunya. Pada pertunjukan tersebut, ada satu ritual yang sangat menarik. Yaitu ritual pemangilan roh, yang akan dengan sengaja memasuki tubuh para penari. Terus terang, dari semua alur pertunjukan jathilan, atau ebeg, bagian yang paling saya tunggu adalah bagian ini. Pada saat para penari mengalami trans, karena proses bersatunya

mereka dengan roh yang dipanggil, menjadi puncak tontonan yang mendebarkan. Para penari biasanya akan menggila dan hilang kendali. Terlepas apakah yang mereka lakukan karena pengaruh keadaan trans yang dialami atau karena trik-trik tertentu, bagi saya tontonan semacam itu sukses membuat saya berdecak kagum. Sungguh liar dan seru.

Namun keliaran dan keseruan semacam itu tidak saya dapatkan lagi pada beberapa tahun belakangan ini. Saya teringat pernyataan yang disampaikan oleh Sutanto yang lebih dikenal sebagai Tanto Mendut, pada sebuah diskusi yang membahas mengenai fenomena trans dalam kesenian jathilan.61 Beliau menyatakan bahwa kesenian kita memang sudah mengalami pemotongan alias sensor di sana-sini. Hal tersebut merupakan warisan Orde baru. Pada masa itu, semua tontonan yang dirasa “tidak pantas” akan mengalami penyensoran. Jathilan telah masuk dalam jajaran kesenian yang layak dipromosikan di ranah pariwisata Indonesia, sebuah kesenian layak jual yang menarik bagi wisatawan. Maka jathilan sudah semestinya dapat memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah tontonan yang sopan. Fase trans yang seringkali tidak liar dan tidak layak tonton, pada akhirnya mengalami penyensoran, demi kepantasan.62

Warisan peraturan yang dikembangkan pada era Orde Baru masih diteruskan hingga kini. Jathilan dipertontonkan pada publik, khususnya wisatawan, sebagai pertunjukan seni tradisi yang eksotik. Achmad Kasim menekankan mengenai kelebihan kesenian tradisional yang terletak pada pengolahan nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa

61Dalam tulisan ini saya ingin membahasakan kembali pernyataan beliau, tanpa menghilangkan

substansinya.

62Pernyataan ini saya tulis dengan menggunakan bahasa saya sendiri, namun berdasar pada inti

etis, estetis, serta budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang lebih muda.63 Hampir sebagian besar seni tradisi memikul tanggungjawab yang sama. Kethoprak pun mengalami nasib yang sama. Menjadi kesenian klangenan yang mesti dilestarikan.

Kethoprak sebagai klangenan, terutama pada tahun 2000-an ini menunjukan bahwa masa kelangkaan pertunjukan seni tradisi, khususnya kethoprak telah usai.64 Semuanya ditenggarai karena maraknya pertunjukan kethoprak dengan format yang lebih modern, lebih menarik dan lebih didukung oleh teknologi yang jauh lebih cangggih. Kesenian ini semakin terbuka pada idiom-idiom baru. Misalnya dengan pengadopsian format panggung teater pada pertunjukan kethoprak, menjadi salah satu hal yang membuat kesenian ini jauh lebih diterima oleh masyrakat penontonnya. Selain itu semakin besarnya dukungan pemerintah daerah, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kesenian ini untuk jauh lebih berkembang ketimbang di masa sebelumnya. Program dan kegiatan kethoprak berjalan dengan lebih berkembang.65Kita akan dengan mudah mendapati festival kethoprak, dari tingkat kecamatan, hingga tingkat kabupaten/ kota yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Lantas ada pula pertujukkan kethoprak Mataram yang dilaksanakan setiap bulannya di Auditorium RRI Gejayan. Belum lagi pentas-pentas kethoprak non regular yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas kethoprak yang menyebar di seluruh wilayah Yogyakarta. Sungguh fase “sepi” kethoprak sudah terlewati.

63Achmad Kasim, seperti yang dikutip oleh Afendy Widayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni

Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 2

64Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 65Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.

Semangat untuk menghidupkan kembali kethoprak sebagai kekayaan tradisi rakyat Jawa, sangat terasa di seluruh wilayah Yogyakarta. Penonton dari berbagai generasi menyambut gembira, dengan hadirnya tontonannya yang dikemas sesuai dengan minat mereka. Generasi tua, yang akrab dengan jenis pertujukan kethoprak model lama, akan lebih memilih pertunjukan kethoprak konvensional. Sedangkan generasi muda terlihat jauh lebih berminat pada kethoprak garapan yang lebih mirip dengan pertujukan teater.66 Semua dimanjakan dengan variasi jenis kethoprak yang dihadirkan ke hadapan mereka. Kethoprak seringkali dipandang sebagai romatisme pada kenangan masa lalu, baik oleh generasi tua maupun muda.

Akan tetapi keberadaan kethoprak tidaklah sebatas romantisme atau kelangenan pada seni dari masa lalu. Kethoprak punya nilai lebih dari itu. Menanggung beban sebagai seni yang mewariskan nilai tradisi, dan sebagai mekanisme penanaman nilai. Menilik kesejarahannya, kethoprak yang lahir dan hidup pada masa penjajahan Belanda, secara luwes berusaha menyelipkan dorongan perlawanan, melalui cerita-cerita yang dipentaskannya. Kesenian ini menjadi penggalang dukungan dan pembangun kekuatan politik rakyat yang cukup strategis. Karena dianggap membahayakan posisi penjajah, pihak Belanda melarang pementasan kethoprak, serta membubarkan komunitas-komunitas kethoprak rakyat. Dalam waktu yang cukup lama, kethoprak mengalami mati suri.

Hingga tiba pada era penjajahan Jepang, kethoprak dihidupkan lagi. Bukan sekedar untuk fungsi hiburan, akan tetapi untuk kepentingan politik penjajah. Pihak Jepang sangat sadar bahwa posisi kethoprak amat vital bagi kehidupan

masyarakat Jawa. Kethoprak dilirik menjadi salah satu alat propaganda Jepang. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Mereka hendak memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan sekutu dan para elite priyayi Jawa yang menjadi perpanjangan tangan penjajah Belanda. Pihak Jepang berupaya memukul pihak priyayi pendukung Belanda, dan menggalang dukungan bagi pihaknya.

Dari kedua masa penjajahan tersebut, kethoprak diombang-ambingkan kepentingan, baik kepentingan rakyat Indonesia, maupun penjajahnya. Baik penjajah Belanda, maupun Jepang sangat sadar akan potensi strategis politis kesenian ini. Dengan menekan geliat kethoprak yang dirasakan membahayakan, penjajah Belanda berharap dapat menekan pula geliat perlawanan yang dikobarkan melalui kethoprak. Lain halnya dengan pihak Jepang, terutama di kala mereka masuk ke Indonesia dan mengklaim diri sebagai saudara tua dari timur jauh. Pihak Jepang secara asertif berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Guna melunturkan pengaruh Belanda, pihak Jepang memfungsikan kethoprak untuk mengadu rakyat kalangan bawah, dengan para priyayinya. Hingga pada saat Jepang secara jelas menjajah Indonesia, kethoprak mengalami nasib seperti pada masa penjajahan Belanda. Kethoprak kembali dilarang karena membahayakan posisi penjajah Jepang. Kethoprak kembali mati.

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 85-90)

Dokumen terkait