ABSTRAK
Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai
program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua
pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.
Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian
tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.
Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan
Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak
ABSTRACT
The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s
special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.
Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local
scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.
This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.
On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for
the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is
affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical
statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh:
Vini Oktaviani Hendayani
116322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
HALAMAN JUDUL
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Vini Oktaviani Hendayani
116322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
KATA PENGANTAR
Setelah selesainya penulisan tesis ini, ada perasaan lega sekaligus sedih, yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Lahirnya tesis ini selayaknya lahirnya anak yang selama ini saya idamkan. Janin tesis ini, berkali-kali gugur, karena ketidaksiapan saya sebagai seorang ibu, yang tidak jua belum mampu memenuhi diri dengan berbagai vitamin berupa asupan keilmuan yang cukup. Setelah sekian lama berproses, pada akhirnya tesis ini selesai juga dituliskan. Saya harus mengakui bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, terutama di wilayah analisis. Namun secara sadar pula saya merasa memiliki kewajiban pada diri sendiri, untuk tidak menghentikan proses belajar saya hanya sampai di atas meja ujian saja.
Bukan hal yang mudah memang membicarakan kethoprak dari sisi sosial politik. Walaupun, masyarakat umum sudah mafhum mengenai tema-tema cerita kethoprak, yang tidak pernah jauh dari semesta pembicaraan mengenai kekuasaan dan masyarakat. Terlebih lagi, menarik pembicaraan mengenai kethoprak dalam konteks sosial politik di wilayah Yogyakarta pada khususnya. Berbekal kacamata yang dipinjam dari Antonio Gramsci, tesis ini mencoba menghadirkan kethoprak melalui sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi terpaku pada pembicaraan mengenai muatan estetika semata. Namun juga membahas mengenai praktek tarik menarik kepentingan politis yang hadir secara estetis di muka khalayak penontonnya.
Lantas saya merasa wajib mengucapkan terima kasih secara khusus pada saudara-saudara yang saya dapatkan di IRB. Salah satu alasan saya menyelesaikan tesis ini adalah karena mereka. Mereka lah yang telah membuat saya kembali tegak berdiri, setelah keterpurukan yang panjang, karena dilempari masalah yang bertubi-tubi selama penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih pada Wahmuji, manusia dengan kesabaran, pengertian dan kebaikan luar biasa. Siuss, terima kasih untuk selalu dapat menampung keluh kesah yang berkepanjangan dengan cara yang berbeda. Zuhdi dan mbak Laksmi, terima kasih telah menjadi kakak yang terus menyemangati adiknya ini. Lisis, terima kasih untuk empati dan dukungannya yang menyentuh. Anto, terima kasih bro untuk semangat dan dukungannya. Fafa, terima kasih untuk obrolan-obrolan yang menyenangkan selama ini. Mbak Ekaningrum, terima kasih atas suntikan semangat yang tidak pernah putus. Mbak Puji dan mas Harry, terima kasih yang terdalam atas rasa sayang dan perhatian kalian. Pak Eko, terima kasih atas dukungan yang khas darimu. Vidya, terima kasih untuk terus menjagaku dengan caramu. Sugi, terima kasih atas doa khusus yang selalu dikirimkan dari jauh. Terima kasih untuk kawan-kawan di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Lembaga Anak Wayang Indonesia, Kelompok Pencinta Sains dan Ilmu Pengetahuan (KLETHING), Filsafat UGM angkatan 1998 dan banyak kawan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
ABSTRAK
Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai
program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua
pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.
Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian
tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.
Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan
Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak
ABSTRACT
The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s
special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.
Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local
scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.
This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.
On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for
the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is
affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical
statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t
DAFTAR ISI
A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. ... 1
B. Tema ... 11
C. Rumusan masalah ... 11
D. Tujuan penelitian ... 11
E. Pentingnya Penelitian... 12
F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis ... 12
F.1. Tinjauan Pustaka... 12
F.2. Kerangka Teoretis... 18
G. Metode Penelitian ... 36
G.1. Lokasi penelitian ... 36
G.2. Kelompok Sasaran ... 37
G.3. Jumlah yang akan diteliti ... 37
G.4. Sumber Data... 37
G.5. Teknik Pengumpulan Data... 38
H. Skema Penulisan ... 39
Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI... 41
A. Pengantar... 41
B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?... 45
C.1. Era Baru, Harapan Baru?... 52
C. 2. Identitas dalam Pasar... 55
C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra ... 59
D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater ... 63
D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari ... 63
D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal ... 65
E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak... 70
E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan... 70
E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan... 75
F. Kesimpulan ... 82
BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK . 86 A. Pengantar... 86
B. Negosiasi Kethoprak Garapan ... 87
C. Mari Menonton melalui Lakon ... 97
C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan... 98
C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan... 109
D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka ... 126
D.1. Guyub Rukun Paseduluran ... 129
D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak ... 134
D.3. Imaji Pemimpin Idaman... 139
D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi... 144
D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi... 149
E. Kesimpulan ... 157
BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi... 161
A. Pengantar... 161
B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik... 162
C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung ... 166
C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?... 168
C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan... 175
C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal ... 180
D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional... 190
E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi... 195
F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban ... 205
DAFTAR PUSTAKA ... 217
Lampiran 1 ... xiii
M a g e r s a r i ... xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an.
Ruang yang berukuran hampir seluas lapangan bola itu disesaki oleh
banyak orang. Ruang pertunjukan yang biasanya hanya terisi setengahnya, kali itu
dipenuhi sesak. Semua bangku sudah terpakai. Sisa penonton lainnya, yang tetap
berkeinginan untuk menonton, harus rela duduk melantai tepat di depan
panggung, ataupun duduk di tangga, di antara kursi-kursi yang telah terisi. Jujur
saja, saya belum pernah melihat antusiasme setinggi ini, terutama untuk tontonan
berformat seni tradisi. Saya tidak bermaksud mengecilkan seni tradisi, akan tetapi
sepanjang pengalaman saya menonton pertunjukan seni, terutama seni tradisi,
baru malam itu saya menemui peristiwa semacam itu. Peristiwa yang melahirkan
keheranan. Keheranan yang menyenangkan tentunya. Antusiasme saya malam itu,
mungkin dirasakan juga oleh penonton lainnya, antusiasme terhadap kerinduan
terhadap pertunjukan yang lahir dari masa lalu. Sebuah romatisme pada
pertunjukan kethoprak.
Kethoprak. Bukan kata yang asing bagi telinga orang Jawa (yang
dimaksud- etnis Jawa). Ya. Untuk orang Jawa. Mengapa? Karena kethoprak yang
merupakan salah satu seni pertunjukan itu memang lahir dari rahim tradisi Jawa.
Secara personal, persentuhan saya dengan kethoprak dapat dikatakan sangat dini.
tinggal (walau sebentar) di salah satu wilayah di Jawa Tengah, saya sempat
menikmati beberapa jenis kesenian masyarakat Jawa.
Jagat ingatan kanak-kanak saya menyimpan beberapa hal itu secara kuat
dan apik, namun kadang juga samar. Dulu semasa saya kecil, saya sempat tinggal
di rumah simbah. Selama tinggal bersama simbah, saya memiliki kebiasaan yang
terjadwal, yaitu selalu menunggu malam minggu datang dan menonton acara
televisi yang cukup digandrungi di masa itu. Acara televisi “Kethoprak Sayembara”, yang rutin ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI)
Semarang. Dapat dikatakan acara itu adalah acara favorit saya. Bagaimana tidak?
Pada malam hari (saat kethoprak sayembara tayang) biasanya saya sudah jatuh
tertidur, karena kelelahan setelah seharian bermain. Akan tetapi, saya selalu
wanti-wanti (berpesan) pada simbah atau pun ibu, untuk membangunkan saya,
bila acara tersebut sudah mulai tayang. Dengan rasa kantuk yang amat sangat, dan
kelopak mata yang terasa berat untuk dibuka, saya akan memaksakan diri untuk
tetap duduk di depan layar televisi, agar episode pada kali itu tidak terlewati
begitu saja.
Kegandrungan saya terhadap kethoprak bukan tanpa alasan. Bahkan saya
yakin, kegandrungan ini tidak hanya menjangkiti diri saya sendiri, akan tetapi juga
terjadi pada banyak orang. Sebagai satu-satunya stasiun televisi yang tayang pada
masa itu (pertengahan tahun 1980an), TVRI menjadi patron tontonan bagi
masyarakat Indonesia. Begitu pun dengan masyarakat di daerah-daerah tertentu.
TVRI pusat yang kemudian direlay melalui TVRI daerah, menghadirkan tontonan
menayangkan acara “Kethoprak Sayembara” pada setiap Sabtu malam. Selain
belum ada pilihan tontonan lain, sebagai orang Jawa, saya memang menyukai
keseruan ceritanya.
Pada saat menonton, saya dapat terpaku dan terkagum-kagum pada para
tokoh utama yang (biasanya digambarkan) berwatak baik dan ksatria. Begitu pula
sebaliknya, saya bisa begitu benci dan geram, terhadap kelakukan para penjahat
atau pengkhianat yang lihai dan lancar melakukan aksinya. Saya sering dibuat
berdebar-debar, saat melihat para telik sandi beraksi secara cerdas namun
tersembunyi, agar keberadaanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Di saat lainnya,
saya dapat ber-euforia terhadap kemenangan para pahlawan yang berjaya setelah
melawan segala bentuk kejahatan, konflik dan intrik yang ditemuinya. Impresi itu
melekat begitu kuat dalam ingatan visual saya terhadap kethoprak. Memang harus
diakui bahwa pada saat itu, saya belum sepenuhnya paham mengenai pokok
masalah yang dibicarakan dalam pertunjukan kethoprak tersebut. Saya hanya
menikmati keseruannya di tiap adegannya, tidak lebih. Semua bersifat parsial,
bukan pemahaman yang menyeluruh.
Semakin dewasa, pengalaman saya dalam menonton kethoprak semakin
bertambah. Pemaknaan yang saya dapatkan pun semakin bertumbuh. Tidak lagi
sebatas menikmati sensasi yang parsial. Saya menikmatinya beriringan dengan
munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa-apa saja yang disajikan di dalam
tontonan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dan sedikit menganggu.
Pertanyan-pertanyaan itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi jelas dipantik
seputaran permasalahan konflik, intrik dan kontestasi politik dan kekuasaan,
sangat kental hadir dan tersaji dalam dialog maupun adegan dalam kethoprak.
Politik dan kekuasaan, memang bukan tema usang yang terus menerus hadir,
hampir sama dengan realitas yang hidup di dalam masyarakat kita. Kita bahkan
dapat mengatakan bahwa para seniman kethoprak selalu berusaha memotret
kondisi nyata masyarakat, bahkan juga negara, lantas kemudian diwujudkan
kembali dalam bentuk yang khas kethoprak. Kethoprak hadir tidak hanya sebagai
tontonan biasa, dan menghasilkan pengalaman menonton yang juga tidak biasa.
Perjumpaan dengan tontonan semacam kethoprak membawa pengalaman
khusus bagi saya, juga bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Kethoprak bukan
sekedar tontonan, akan tetapi juga tuntunan dalam praktek hidup masyarakat
Jawa. Pelajaran mengenai nilai moral tidak hanya disebarkan melalui tata aturan
dalam lisan maupun tulisan, akan tetapi juga dihidupkan melalui lakon-lakon yang
di-lakon-kan dalam pertunjukan kesenian, salah satunya kethoprak. Mengutip
Budi Susanto SJ, yang mengatakan bahwa kethoprak tidaklah sekedar membantu
rakyat untuk “membaca” kata-kata yang terlihat (melalui dialog yang dituturkan),
akan tetapi juga mengajak mereka untuk ikut “menuliskan” bahasa-atau lebih tepatnya budi bahasa, sebagai mekanisme untuk berkomunikasi tentang beberapa
kebenaran dari dunia ini; adalah lebih baik untuk memperhatikan bahasa sebagai
yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya
tidak mudah untuk dijelaskan.1 Kethoprak menjadi media untuk mentransfer
1Budi Susanto SJ, Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini,
substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang
estetis.
Pada masa lalu, masyarakat nusantara (Indonesia) adalah masyarakat
dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih
menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII
dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara.
Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa
rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti
pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.2
Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting
lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan
sekedar tontonan atau hiburan.
Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara
penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka.
Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton
biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan
adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para
pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton
dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain.
Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada
peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan
Desa-Kala-Patra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan.
Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni
tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum
ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang (semestinya) dimasuki oleh
kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak
dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi
dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan
yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman
antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret
sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang
terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik
yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana
melalui pertunjukan ini.
Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas
seni drama Barat (tonil), dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan
dan kepentingannya sendiri.3 Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang
sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak
pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk
menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat
gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah,
berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan
dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu
mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh
lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada
saat bulan purnama.
Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir
berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya,
membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian
kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses
refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya
saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni
pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali
berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik.
Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian
estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan
selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang
hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah
pembahasan yang jauh lebih politis.4
Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita
sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang
kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan
Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu
alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa
lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal
keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa
4G. Subanar SJ, dalam makalah yang berjudul Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman ini:
pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat
Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai
mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme
rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa
yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda.5
Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan
pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian
dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di
tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik
hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai
muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang
secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak
yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta.
Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam
dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu
mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun
kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan
negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari
perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan
pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat
perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu.
Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra,
musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa,
kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang
kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan
represi politik dan militer (pada masa Orde Lama dan Orde Baru). Berbeda
dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam
radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena
kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat
(khususnya etnis Jawa), kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin
rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan
Orde Baru?
Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila
sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai
senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal
tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada
pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan
kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem.
Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa
penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak
Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan
Kepala Daerah kota Yogyakarta (Pilkada), tepatnya pemilihan walikota
tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 terjadi, khususnya
pemilihan presiden Republik Indonesia.
Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir
mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik
kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye,
maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan
mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap
dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto
SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk
menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk
mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari
sebuah kekuatan politik6.
Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas
panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang
kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat
mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap
seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem
sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario
besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan
dengan (seniman dan komunitas) kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan
6Budi Susanto SJ, 2012,“Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal
posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa
dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi.
B. Tema
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
C. Rumusan masalah
Titik berangkat penelitian hadir melalui pertanyaan-pertanyaan kunci.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rumusan masalah, yang menjadi
pijakan analisisnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut antara lain:
1. Bagaimana peran kethoprak dan bidang kesenian lainnya, dalam merespon
kondisi sosial-politik masyarakat pasca reformasi?
2. Apa konteks yang melatarbelakangi, dan bagaimana cara dihadirkannya
dalam kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem?
3. Bagaimana hegemoni bekerja dari atas panggung kethoprak lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem?
D. Tujuan penelitian
1. Menggali peran kethoprak dalam gerakan kritik politik masyarakat terhadap
kekuasaan.
2. Mencari tahu format hegemoni semacam apa yang dihadirkan dalam lakon
E. Pentingnya Penelitian
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berarti penting bagi:
1. Ilmu sosial, khususnya Kajian Budaya. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pikiran khususnya tentang kesenian kethoprak, yang
berusaha meningkatkan pemahaman dan perubahan sosial-politik di masyarakat.
2. Para aktivis kebudayaan dan politik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi penting dalam melakukan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik, yang
berorientasi pada perubahan dan peningkatan posisi serta daya tawar masyarakat
terhadap kekuasaan lokal, nasional dan global.
3. Mahasiswa (peneliti) agar dapat mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan profesionalnya dibidang kajian budaya, terutama yang berkaitan
dengan gerakan politik dalam kethoprak.
4. Peneliti lain, agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam proses
penelitian sejenis.
F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis
F.1. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka ini lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, terutama penelitian yang memiliki
fokus objek material dan objek formal yang hampir sama. Penelitian pertama
Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural. Pada
penelitiannya, Afendy Widayat menyoroti kedudukan kethoprak sebagai hasil seni
tradisional Jawa. Menurutnya, kesenian mampu mengikuti perubahan di dalam
masyarakat. Kemampuan mengikuti perubahan atau kemampuan beradaptasi ini
ditarik masuk dalam konteks multikultural. Sebagai sebuah kesenian yang lahir
dari tradisi masyarakat Jawa, kethoprak bersifat sangat luwes. Penilaian
konvensional yang melekat pada kethoprak tidak lantas membuatnya menjadi
kaku. Afendy Widayat menyatakan bahwa sejak awal pertumbuhnnya, kethoprak
memang penuh dengan inovasi-inovasi yang baru sama sekali, maupun yang
dicangkokan dari cabang-cabang seni lainnya. Sehingga sah-sah saja mengikuti
perkembangan masyarakat dan keilmuan yang relevan. Agar dapat dihasilkan
bentuk yang paling pas dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Lanjutnya, kethoprak harus mampu membongkar dan menata kembali
bentuknya, agar keberadaannya dapat terus bertahan, terutama dalam pergaulan
multikultural. Melalui pergaulan tersebut, kethoprak semestinya dapat membawa
nilai-nilai filosofi Jawa, yang serupa dengan sebagian besar kesenian dari daerah
lain di nusantara. Sehingga keberadaan kethoprak tetap dapat mengakomodir
kepentingan dari kesenian-kesenian tradisi di nusantara, tanpa menghilangkan
misi utamanya, yaitu penanaman nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal.
Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Annisa
Sukada menggunakan pemaparan kronologi kesejarahan kethoprak, dan lebih
menitikberatkan permasalahan kethoprak yang diperhadapkan dengan globalisasi.
bahwa kesenian tersebut dapat terus hidup dan mengikuti perubahan jaman.
Perubahan yang dialami kethoprak, tidak lantas membuatnya meninggalkan akar
tradisi.
Pada penelitian yang diselesaikannya bulan Juni 2008, sebagai hasil dari
proses program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies
(ACICIS) Angkatan IIVI, Sukada menjelaskan bahwa kebutuhan untuk
beradaptasi dan memodifikasi sesungguhnya dipicu oleh globalisasi. Semua aspek
yang mengglobal dan modern, telah menyediakan begitu banyak pilihan hiburan
bagi masyarakat. Sehingga bentuk hiburan atau media kritik semacam kethoprak,
pasti menemukan tantangannya. Bila kethoprak hadir dengan format lama, sudah
pasti kethoprak akan ditinggalkan oleh para penontonnya. Di sini Sukada terus
menerus menekankan bahwa kethoprak haruslah ikut merubah dirinya. Para
seniman tidak hanya dituntut untuk sekedar mengikuti kondisi global, akan tetapi
juga harus merasa bahwa perubahan adalah kebutuhannya. Tanpa meninggalkan
pakem tradisi yang menjadi kekhasannya. Globalisasi bisa disiasati dengan
mengikuti perubahan jaman, melalui strategi adaptasi dan modifikasi.
Bila penelitian di atas sedikit banyak menggunakan pendekatan sejarah,
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, pada tahun 2009.
Dalam disertasinya, Retnowati menggunakan perspektif antropologi. Penelitian
tersebut berjudul Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok
Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah. Retnowati
menemukan bahwa kethoprak adalah salah satu ekspresi identitas yang lahir dari
Menurutnya, komunitas kethoprak yang ditelitinya, yaitu komunitas
kethoprak pesisiran di daerah Pati Jawa Tengah, telah melakukan mekanisme
dekonstruksi terhadap modernisasi dan globalisasi. Kethoprak telah bisa
menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Di sini
kethoprak mengambil peranan penting, yaitu posisi (dalam bahasa yang
disampaikan oleh) orang-orang yang terpinggirkan, di sebuah wilayah di pesisiran
utara Jawa Tengah.
Barbara Hatley (2008) dalam bukunya yang berjudul Javanese
Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change,
banyak mengulas mengenai teater dan kethoprak. Pada bukunya ini, Hatley jauh
lebih lengkap memaparkan mengenai kedua hal itu, dalam kaitannya dengan
perubahan kondisi di Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan penelitiannya itu,
melihat bahwa pada awalnya kethoprak merupakan pertunjukkan yang dilakukan
dan diperuntukan bagi masyarakat “kelas bawah”, di kampung-kampung. Hingga pada perkembangannya, bentuk awal dari kethoprak berubah setelah beberapa
bagian dari teater barat mulai diadopsi di dalam pertunjukan (kethoprak).
Titik penting yang dikemukakan Hatley dalam buku tersebut, adalah
pemaparannya mengenai andil penting dari pertunjukan teater maupun kethoprak
di dalam peristiwa politik di negeri ini. Menurutnya, kethoprak berperan dalam
upaya menyatuan visi dan pengumpulan massa, untuk melawan rejim kekuasaan
Soeharto pada masa orde baru. Perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di pusat
(pemerintahan), diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada di daerah, dalam
menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan
terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa (Yogyakarta), menjadi ciri khas
yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak
hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat
keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai
agen dari gerakan politik.
Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan
yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa,
yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh
Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan
untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak
menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam
masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai.
Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi,
etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan
dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih
menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman
kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing
dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan
sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di
dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material
harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga
globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan
oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa
tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa
kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan
nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses
mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak
setengah-setengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di
masyarakat.
Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik
mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui
kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal
pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik
pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang
berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani
mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya
yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga
menjadi alat politik rakyat.
Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak
sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat,
merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih
meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan (transformasi nilai),
ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam
pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak
sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa
pasca reformasi.
F.2. Kerangka Teoretis
Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini.
Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi
politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang
menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula
serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori
hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi
(terutama yang berkaitan dengan budaya), kethoprak akan didedah lebih spesifik.
pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang
berbeda.
F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi
Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan
peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini,
berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran
Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk
menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi
yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya
mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material
penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek
Bariyem.
Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada
kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut
dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul
Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis.7 Bukan tanpa alasan
Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting
mengenai konsep determinisme ekonomi Marx. Ia mengkritik konsep
determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala
sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung
menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah.8 Determinisme
ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci.
Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi
kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin
sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah
keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme
yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx.
Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana
elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda
7George Ritzer dan Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori
Neo-Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 99
ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan
berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda
produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang
berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial,
politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa
sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan
hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi.9
Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut
mengabaikan keberadaan manusia/ masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar.
Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf
dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya.10 Manusia diposisikan sebagai
agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak
mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi
kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam
sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak
terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk
mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut,
masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem
yang sedang dijalaninya.11 Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu,
masyarakat paham pada apa yang diperjuangkannya. Bukan sekedar
melakukannya secara buta.
9Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23 10Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24
F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas
Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma
subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia,
khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari
pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), para pemilik modal
berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya
selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila
mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam
bukunya The Principles as Scientific Management (1911) yang melihat manusia
sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri
modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme
dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap
mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan
memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan
membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah
mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif.12
Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun
Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola
industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak
terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”,
sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau
pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh.
Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme
yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran
bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan
jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi
masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para
pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti
permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan
bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan.13
Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx,
hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para
pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja,
mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang
berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui
revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah
industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi
gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam
merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para
pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju
perlawanan buruh, dengan cara kekerasan.
Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik
modal (masyarakat kapitalis). Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur
kekerasan (coercion) yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara,
serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’,
yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati,
amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara
(dalam hal ini penguasa) dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan
kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah
hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya. Gramsci
memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas
pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh
masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak
perubahan.
Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun
faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat
melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi
revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini
dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada
masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran
semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat
telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong
adanyanya revolusi sosial.
F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni
Gramsci’s main concern became why men were committed to certain
beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which
he maintained was implicit in the ideas of Lenin. (…) hegemony was what was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of
Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan
sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional.
Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting
pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak
menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan
bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan
yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan
banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang
diusungnya adalah hegemoni.14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama
di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj) dengan suka
rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang
mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan
dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan
dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya
berhubungan sangat erat.
Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi
melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui jalan kekerasan (coersi) dan jalan konsensus
(consent). Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun
cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari
kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa (yang mendominasi) kerap
menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu
konsensus (consent), kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas
1414Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka
yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan
doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi.
Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas,
dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.
Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan
kekerasan (coersi) yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau
diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara.15 Hegemoni
merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan
melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain
adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika
sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa.16 Hegemoni
dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas
penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan
dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi
dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok
dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari
hegemoni dominan.
Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha
untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol
sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan (coersi), bukanlah cara kerja
hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok
yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk
dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni
dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus (consent). Hegemoni
dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal
tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan
konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan
kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi
menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui
jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena
keinginan mereka sendiri.17
Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada
kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi
hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni
integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang
organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak
ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni
decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman
hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan
celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik
kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan
tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah.
Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini
17Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal.
menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada
kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang
bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan
kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh
kelompok penguasa.18
Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan
kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya
membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka
kelas yang didominasi (pada kasus ini adalah kelas pekerja), diajak untuk
memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan
tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal
tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang
dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran
para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya,
maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai
subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni.
Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran
kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan
kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual.
Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut
sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila
kelas penguasa berhasil memunculkan keseimbangan dalam menjaga
hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan
sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan.19
Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam
pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2
(dua), yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa
membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran
para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk
bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas
penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual
tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas,
yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi.
Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara
sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan
kepentingan kelas yang didominasi.
Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya
pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah
kelas kapitalis (pemilik modal) dengan kelas pekerja (buruh). Namun pada proses
hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur
dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui
mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik
(pada kasus kelas pemilik modak dan buruh). Hingga pertentangan kelas, menjadi
sebuah ilusi. Kelas pekerja (buruh) menginternalisasi pengawasan dan
iming-iming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan
hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya.
Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni
dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya.
Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut
Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun
pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi.
Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media
massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus
dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi
ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan
merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa. Konsensus yang
merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai
kepentingan mereka.
Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak
sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang
didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri,
sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok
historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan (dari kelas peguasa) dibuat absen.
Hegemoni tandingan (counter hegemony) dibentuk oleh kelas yang didominasi .
sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok
historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya.
Gramsci berpendapat bahwa jikalau kelas yang didominasi
menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan
permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat
dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan
pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula
didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun
kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan
ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap
menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai
bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri
untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis.
Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok
penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja
dan identitas kolektif.20
Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk
mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini
diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun
lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya
didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci
berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun
20Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah