• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hegemoni dari atas panggung seni tradisi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hegemoni dari atas panggung seni tradisi."

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai

program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua

pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.

Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian

tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.

Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan

Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak

(2)

ABSTRACT

The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s

special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.

Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local

scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.

This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.

On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for

the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is

affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical

statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t

(3)

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

Vini Oktaviani Hendayani

116322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(4)

HALAMAN JUDUL

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

Vini Oktaviani Hendayani

116322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Setelah selesainya penulisan tesis ini, ada perasaan lega sekaligus sedih, yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Lahirnya tesis ini selayaknya lahirnya anak yang selama ini saya idamkan. Janin tesis ini, berkali-kali gugur, karena ketidaksiapan saya sebagai seorang ibu, yang tidak jua belum mampu memenuhi diri dengan berbagai vitamin berupa asupan keilmuan yang cukup. Setelah sekian lama berproses, pada akhirnya tesis ini selesai juga dituliskan. Saya harus mengakui bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, terutama di wilayah analisis. Namun secara sadar pula saya merasa memiliki kewajiban pada diri sendiri, untuk tidak menghentikan proses belajar saya hanya sampai di atas meja ujian saja.

Bukan hal yang mudah memang membicarakan kethoprak dari sisi sosial politik. Walaupun, masyarakat umum sudah mafhum mengenai tema-tema cerita kethoprak, yang tidak pernah jauh dari semesta pembicaraan mengenai kekuasaan dan masyarakat. Terlebih lagi, menarik pembicaraan mengenai kethoprak dalam konteks sosial politik di wilayah Yogyakarta pada khususnya. Berbekal kacamata yang dipinjam dari Antonio Gramsci, tesis ini mencoba menghadirkan kethoprak melalui sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi terpaku pada pembicaraan mengenai muatan estetika semata. Namun juga membahas mengenai praktek tarik menarik kepentingan politis yang hadir secara estetis di muka khalayak penontonnya.

(10)

Lantas saya merasa wajib mengucapkan terima kasih secara khusus pada saudara-saudara yang saya dapatkan di IRB. Salah satu alasan saya menyelesaikan tesis ini adalah karena mereka. Mereka lah yang telah membuat saya kembali tegak berdiri, setelah keterpurukan yang panjang, karena dilempari masalah yang bertubi-tubi selama penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih pada Wahmuji, manusia dengan kesabaran, pengertian dan kebaikan luar biasa. Siuss, terima kasih untuk selalu dapat menampung keluh kesah yang berkepanjangan dengan cara yang berbeda. Zuhdi dan mbak Laksmi, terima kasih telah menjadi kakak yang terus menyemangati adiknya ini. Lisis, terima kasih untuk empati dan dukungannya yang menyentuh. Anto, terima kasih bro untuk semangat dan dukungannya. Fafa, terima kasih untuk obrolan-obrolan yang menyenangkan selama ini. Mbak Ekaningrum, terima kasih atas suntikan semangat yang tidak pernah putus. Mbak Puji dan mas Harry, terima kasih yang terdalam atas rasa sayang dan perhatian kalian. Pak Eko, terima kasih atas dukungan yang khas darimu. Vidya, terima kasih untuk terus menjagaku dengan caramu. Sugi, terima kasih atas doa khusus yang selalu dikirimkan dari jauh. Terima kasih untuk kawan-kawan di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Lembaga Anak Wayang Indonesia, Kelompok Pencinta Sains dan Ilmu Pengetahuan (KLETHING), Filsafat UGM angkatan 1998 dan banyak kawan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(11)

ABSTRAK

Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai

program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua

pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.

Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian

tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.

Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan

Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak

(12)

ABSTRACT

The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s

special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.

Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local

scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.

This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.

On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for

the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is

affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical

statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t

(13)

DAFTAR ISI

A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. ... 1

B. Tema ... 11

C. Rumusan masalah ... 11

D. Tujuan penelitian ... 11

E. Pentingnya Penelitian... 12

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis ... 12

F.1. Tinjauan Pustaka... 12

F.2. Kerangka Teoretis... 18

G. Metode Penelitian ... 36

G.1. Lokasi penelitian ... 36

G.2. Kelompok Sasaran ... 37

G.3. Jumlah yang akan diteliti ... 37

G.4. Sumber Data... 37

G.5. Teknik Pengumpulan Data... 38

H. Skema Penulisan ... 39

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI... 41

A. Pengantar... 41

B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?... 45

(14)

C.1. Era Baru, Harapan Baru?... 52

C. 2. Identitas dalam Pasar... 55

C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra ... 59

D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater ... 63

D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari ... 63

D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal ... 65

E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak... 70

E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan... 70

E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan... 75

F. Kesimpulan ... 82

BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK . 86 A. Pengantar... 86

B. Negosiasi Kethoprak Garapan ... 87

C. Mari Menonton melalui Lakon ... 97

C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan... 98

C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan... 109

D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka ... 126

D.1. Guyub Rukun Paseduluran ... 129

D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak ... 134

D.3. Imaji Pemimpin Idaman... 139

D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi... 144

D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi... 149

E. Kesimpulan ... 157

BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi... 161

A. Pengantar... 161

B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik... 162

C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung ... 166

C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?... 168

C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan... 175

C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal ... 180

D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional... 190

E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi... 195

F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban ... 205

(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 217

Lampiran 1 ... xiii

M a g e r s a r i ... xiii

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an.

Ruang yang berukuran hampir seluas lapangan bola itu disesaki oleh

banyak orang. Ruang pertunjukan yang biasanya hanya terisi setengahnya, kali itu

dipenuhi sesak. Semua bangku sudah terpakai. Sisa penonton lainnya, yang tetap

berkeinginan untuk menonton, harus rela duduk melantai tepat di depan

panggung, ataupun duduk di tangga, di antara kursi-kursi yang telah terisi. Jujur

saja, saya belum pernah melihat antusiasme setinggi ini, terutama untuk tontonan

berformat seni tradisi. Saya tidak bermaksud mengecilkan seni tradisi, akan tetapi

sepanjang pengalaman saya menonton pertunjukan seni, terutama seni tradisi,

baru malam itu saya menemui peristiwa semacam itu. Peristiwa yang melahirkan

keheranan. Keheranan yang menyenangkan tentunya. Antusiasme saya malam itu,

mungkin dirasakan juga oleh penonton lainnya, antusiasme terhadap kerinduan

terhadap pertunjukan yang lahir dari masa lalu. Sebuah romatisme pada

pertunjukan kethoprak.

Kethoprak. Bukan kata yang asing bagi telinga orang Jawa (yang

dimaksud- etnis Jawa). Ya. Untuk orang Jawa. Mengapa? Karena kethoprak yang

merupakan salah satu seni pertunjukan itu memang lahir dari rahim tradisi Jawa.

Secara personal, persentuhan saya dengan kethoprak dapat dikatakan sangat dini.

(17)

tinggal (walau sebentar) di salah satu wilayah di Jawa Tengah, saya sempat

menikmati beberapa jenis kesenian masyarakat Jawa.

Jagat ingatan kanak-kanak saya menyimpan beberapa hal itu secara kuat

dan apik, namun kadang juga samar. Dulu semasa saya kecil, saya sempat tinggal

di rumah simbah. Selama tinggal bersama simbah, saya memiliki kebiasaan yang

terjadwal, yaitu selalu menunggu malam minggu datang dan menonton acara

televisi yang cukup digandrungi di masa itu. Acara televisi “Kethoprak Sayembara”, yang rutin ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI)

Semarang. Dapat dikatakan acara itu adalah acara favorit saya. Bagaimana tidak?

Pada malam hari (saat kethoprak sayembara tayang) biasanya saya sudah jatuh

tertidur, karena kelelahan setelah seharian bermain. Akan tetapi, saya selalu

wanti-wanti (berpesan) pada simbah atau pun ibu, untuk membangunkan saya,

bila acara tersebut sudah mulai tayang. Dengan rasa kantuk yang amat sangat, dan

kelopak mata yang terasa berat untuk dibuka, saya akan memaksakan diri untuk

tetap duduk di depan layar televisi, agar episode pada kali itu tidak terlewati

begitu saja.

Kegandrungan saya terhadap kethoprak bukan tanpa alasan. Bahkan saya

yakin, kegandrungan ini tidak hanya menjangkiti diri saya sendiri, akan tetapi juga

terjadi pada banyak orang. Sebagai satu-satunya stasiun televisi yang tayang pada

masa itu (pertengahan tahun 1980an), TVRI menjadi patron tontonan bagi

masyarakat Indonesia. Begitu pun dengan masyarakat di daerah-daerah tertentu.

TVRI pusat yang kemudian direlay melalui TVRI daerah, menghadirkan tontonan

(18)

menayangkan acara “Kethoprak Sayembara” pada setiap Sabtu malam. Selain

belum ada pilihan tontonan lain, sebagai orang Jawa, saya memang menyukai

keseruan ceritanya.

Pada saat menonton, saya dapat terpaku dan terkagum-kagum pada para

tokoh utama yang (biasanya digambarkan) berwatak baik dan ksatria. Begitu pula

sebaliknya, saya bisa begitu benci dan geram, terhadap kelakukan para penjahat

atau pengkhianat yang lihai dan lancar melakukan aksinya. Saya sering dibuat

berdebar-debar, saat melihat para telik sandi beraksi secara cerdas namun

tersembunyi, agar keberadaanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Di saat lainnya,

saya dapat ber-euforia terhadap kemenangan para pahlawan yang berjaya setelah

melawan segala bentuk kejahatan, konflik dan intrik yang ditemuinya. Impresi itu

melekat begitu kuat dalam ingatan visual saya terhadap kethoprak. Memang harus

diakui bahwa pada saat itu, saya belum sepenuhnya paham mengenai pokok

masalah yang dibicarakan dalam pertunjukan kethoprak tersebut. Saya hanya

menikmati keseruannya di tiap adegannya, tidak lebih. Semua bersifat parsial,

bukan pemahaman yang menyeluruh.

Semakin dewasa, pengalaman saya dalam menonton kethoprak semakin

bertambah. Pemaknaan yang saya dapatkan pun semakin bertumbuh. Tidak lagi

sebatas menikmati sensasi yang parsial. Saya menikmatinya beriringan dengan

munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa-apa saja yang disajikan di dalam

tontonan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dan sedikit menganggu.

Pertanyan-pertanyaan itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi jelas dipantik

(19)

seputaran permasalahan konflik, intrik dan kontestasi politik dan kekuasaan,

sangat kental hadir dan tersaji dalam dialog maupun adegan dalam kethoprak.

Politik dan kekuasaan, memang bukan tema usang yang terus menerus hadir,

hampir sama dengan realitas yang hidup di dalam masyarakat kita. Kita bahkan

dapat mengatakan bahwa para seniman kethoprak selalu berusaha memotret

kondisi nyata masyarakat, bahkan juga negara, lantas kemudian diwujudkan

kembali dalam bentuk yang khas kethoprak. Kethoprak hadir tidak hanya sebagai

tontonan biasa, dan menghasilkan pengalaman menonton yang juga tidak biasa.

Perjumpaan dengan tontonan semacam kethoprak membawa pengalaman

khusus bagi saya, juga bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Kethoprak bukan

sekedar tontonan, akan tetapi juga tuntunan dalam praktek hidup masyarakat

Jawa. Pelajaran mengenai nilai moral tidak hanya disebarkan melalui tata aturan

dalam lisan maupun tulisan, akan tetapi juga dihidupkan melalui lakon-lakon yang

di-lakon-kan dalam pertunjukan kesenian, salah satunya kethoprak. Mengutip

Budi Susanto SJ, yang mengatakan bahwa kethoprak tidaklah sekedar membantu

rakyat untuk “membaca” kata-kata yang terlihat (melalui dialog yang dituturkan),

akan tetapi juga mengajak mereka untuk ikut “menuliskan” bahasa-atau lebih tepatnya budi bahasa, sebagai mekanisme untuk berkomunikasi tentang beberapa

kebenaran dari dunia ini; adalah lebih baik untuk memperhatikan bahasa sebagai

yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya

tidak mudah untuk dijelaskan.1 Kethoprak menjadi media untuk mentransfer

1Budi Susanto SJ, Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini,

(20)

substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang

estetis.

Pada masa lalu, masyarakat nusantara (Indonesia) adalah masyarakat

dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih

menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII

dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara.

Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa

rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti

pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.2

Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting

lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan

sekedar tontonan atau hiburan.

Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara

penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka.

Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton

biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan

adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para

pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton

dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain.

Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada

peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan

Desa-Kala-Patra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan.

(21)

Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni

tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum

ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang (semestinya) dimasuki oleh

kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak

dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi

dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan

yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman

antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret

sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang

terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik

yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana

melalui pertunjukan ini.

Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas

seni drama Barat (tonil), dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan

dan kepentingannya sendiri.3 Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang

sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak

pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk

menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat

gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah,

berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan

dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu

mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh

(22)

lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada

saat bulan purnama.

Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir

berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya,

membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian

kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses

refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya

saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni

pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali

berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik.

Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian

estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan

selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang

hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah

pembahasan yang jauh lebih politis.4

Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita

sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang

kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan

Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu

alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa

lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal

keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa

4G. Subanar SJ, dalam makalah yang berjudul Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman ini:

(23)

pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat

Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai

mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme

rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa

yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda.5

Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan

pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian

dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di

tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik

hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai

muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang

secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak

yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta.

Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam

dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu

mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun

kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan

negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari

perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan

pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat

perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu.

(24)

Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra,

musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa,

kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang

kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan

represi politik dan militer (pada masa Orde Lama dan Orde Baru). Berbeda

dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam

radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena

kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat

(khususnya etnis Jawa), kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin

rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan

Orde Baru?

Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila

sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai

senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal

tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada

pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan

kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem.

Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa

penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak

Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan

Kepala Daerah kota Yogyakarta (Pilkada), tepatnya pemilihan walikota

(25)

tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 terjadi, khususnya

pemilihan presiden Republik Indonesia.

Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir

mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik

kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye,

maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan

mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap

dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto

SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk

menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk

mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari

sebuah kekuatan politik6.

Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas

panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang

kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik

masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat

mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap

seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem

sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario

besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan

dengan (seniman dan komunitas) kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan

6Budi Susanto SJ, 2012,“Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal

(26)

posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa

dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi.

B. Tema

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

C. Rumusan masalah

Titik berangkat penelitian hadir melalui pertanyaan-pertanyaan kunci.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rumusan masalah, yang menjadi

pijakan analisisnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut antara lain:

1. Bagaimana peran kethoprak dan bidang kesenian lainnya, dalam merespon

kondisi sosial-politik masyarakat pasca reformasi?

2. Apa konteks yang melatarbelakangi, dan bagaimana cara dihadirkannya

dalam kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem?

3. Bagaimana hegemoni bekerja dari atas panggung kethoprak lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem?

D. Tujuan penelitian

1. Menggali peran kethoprak dalam gerakan kritik politik masyarakat terhadap

kekuasaan.

2. Mencari tahu format hegemoni semacam apa yang dihadirkan dalam lakon

(27)

E. Pentingnya Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berarti penting bagi:

1. Ilmu sosial, khususnya Kajian Budaya. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pikiran khususnya tentang kesenian kethoprak, yang

berusaha meningkatkan pemahaman dan perubahan sosial-politik di masyarakat.

2. Para aktivis kebudayaan dan politik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi penting dalam melakukan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik, yang

berorientasi pada perubahan dan peningkatan posisi serta daya tawar masyarakat

terhadap kekuasaan lokal, nasional dan global.

3. Mahasiswa (peneliti) agar dapat mengembangkan pengetahuan dan

kemampuan profesionalnya dibidang kajian budaya, terutama yang berkaitan

dengan gerakan politik dalam kethoprak.

4. Peneliti lain, agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam proses

penelitian sejenis.

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis

F.1. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka ini lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai

penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, terutama penelitian yang memiliki

fokus objek material dan objek formal yang hampir sama. Penelitian pertama

(28)

Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural. Pada

penelitiannya, Afendy Widayat menyoroti kedudukan kethoprak sebagai hasil seni

tradisional Jawa. Menurutnya, kesenian mampu mengikuti perubahan di dalam

masyarakat. Kemampuan mengikuti perubahan atau kemampuan beradaptasi ini

ditarik masuk dalam konteks multikultural. Sebagai sebuah kesenian yang lahir

dari tradisi masyarakat Jawa, kethoprak bersifat sangat luwes. Penilaian

konvensional yang melekat pada kethoprak tidak lantas membuatnya menjadi

kaku. Afendy Widayat menyatakan bahwa sejak awal pertumbuhnnya, kethoprak

memang penuh dengan inovasi-inovasi yang baru sama sekali, maupun yang

dicangkokan dari cabang-cabang seni lainnya. Sehingga sah-sah saja mengikuti

perkembangan masyarakat dan keilmuan yang relevan. Agar dapat dihasilkan

bentuk yang paling pas dan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Lanjutnya, kethoprak harus mampu membongkar dan menata kembali

bentuknya, agar keberadaannya dapat terus bertahan, terutama dalam pergaulan

multikultural. Melalui pergaulan tersebut, kethoprak semestinya dapat membawa

nilai-nilai filosofi Jawa, yang serupa dengan sebagian besar kesenian dari daerah

lain di nusantara. Sehingga keberadaan kethoprak tetap dapat mengakomodir

kepentingan dari kesenian-kesenian tradisi di nusantara, tanpa menghilangkan

misi utamanya, yaitu penanaman nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal.

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Annisa

Sukada menggunakan pemaparan kronologi kesejarahan kethoprak, dan lebih

menitikberatkan permasalahan kethoprak yang diperhadapkan dengan globalisasi.

(29)

bahwa kesenian tersebut dapat terus hidup dan mengikuti perubahan jaman.

Perubahan yang dialami kethoprak, tidak lantas membuatnya meninggalkan akar

tradisi.

Pada penelitian yang diselesaikannya bulan Juni 2008, sebagai hasil dari

proses program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies

(ACICIS) Angkatan IIVI, Sukada menjelaskan bahwa kebutuhan untuk

beradaptasi dan memodifikasi sesungguhnya dipicu oleh globalisasi. Semua aspek

yang mengglobal dan modern, telah menyediakan begitu banyak pilihan hiburan

bagi masyarakat. Sehingga bentuk hiburan atau media kritik semacam kethoprak,

pasti menemukan tantangannya. Bila kethoprak hadir dengan format lama, sudah

pasti kethoprak akan ditinggalkan oleh para penontonnya. Di sini Sukada terus

menerus menekankan bahwa kethoprak haruslah ikut merubah dirinya. Para

seniman tidak hanya dituntut untuk sekedar mengikuti kondisi global, akan tetapi

juga harus merasa bahwa perubahan adalah kebutuhannya. Tanpa meninggalkan

pakem tradisi yang menjadi kekhasannya. Globalisasi bisa disiasati dengan

mengikuti perubahan jaman, melalui strategi adaptasi dan modifikasi.

Bila penelitian di atas sedikit banyak menggunakan pendekatan sejarah,

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, pada tahun 2009.

Dalam disertasinya, Retnowati menggunakan perspektif antropologi. Penelitian

tersebut berjudul Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok

Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah. Retnowati

menemukan bahwa kethoprak adalah salah satu ekspresi identitas yang lahir dari

(30)

Menurutnya, komunitas kethoprak yang ditelitinya, yaitu komunitas

kethoprak pesisiran di daerah Pati Jawa Tengah, telah melakukan mekanisme

dekonstruksi terhadap modernisasi dan globalisasi. Kethoprak telah bisa

menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Di sini

kethoprak mengambil peranan penting, yaitu posisi (dalam bahasa yang

disampaikan oleh) orang-orang yang terpinggirkan, di sebuah wilayah di pesisiran

utara Jawa Tengah.

Barbara Hatley (2008) dalam bukunya yang berjudul Javanese

Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change,

banyak mengulas mengenai teater dan kethoprak. Pada bukunya ini, Hatley jauh

lebih lengkap memaparkan mengenai kedua hal itu, dalam kaitannya dengan

perubahan kondisi di Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan penelitiannya itu,

melihat bahwa pada awalnya kethoprak merupakan pertunjukkan yang dilakukan

dan diperuntukan bagi masyarakat “kelas bawah”, di kampung-kampung. Hingga pada perkembangannya, bentuk awal dari kethoprak berubah setelah beberapa

bagian dari teater barat mulai diadopsi di dalam pertunjukan (kethoprak).

Titik penting yang dikemukakan Hatley dalam buku tersebut, adalah

pemaparannya mengenai andil penting dari pertunjukan teater maupun kethoprak

di dalam peristiwa politik di negeri ini. Menurutnya, kethoprak berperan dalam

upaya menyatuan visi dan pengumpulan massa, untuk melawan rejim kekuasaan

Soeharto pada masa orde baru. Perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di pusat

(pemerintahan), diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada di daerah, dalam

(31)

menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan

terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa (Yogyakarta), menjadi ciri khas

yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak

hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat

keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai

agen dari gerakan politik.

Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan

yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa,

yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh

Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan

untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak

menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam

masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai.

Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi,

etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan

dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih

menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman

kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing

dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan

sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di

dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material

(32)

harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga

globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan

oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa

tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa

kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan

nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses

mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak

setengah-setengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di

masyarakat.

Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik

mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui

kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal

pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik

pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang

berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani

mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya

yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga

menjadi alat politik rakyat.

Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda

dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak

sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat,

merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih

(33)

meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan (transformasi nilai),

ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam

pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak

sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa

pasca reformasi.

F.2. Kerangka Teoretis

Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini.

Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi

politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang

menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula

serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori

hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi

(terutama yang berkaitan dengan budaya), kethoprak akan didedah lebih spesifik.

pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang

berbeda.

F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi

Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan

peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini,

berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran

Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk

menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi

(34)

yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya

mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material

penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek

Bariyem.

Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada

kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut

dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul

Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis.7 Bukan tanpa alasan

Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting

mengenai konsep determinisme ekonomi Marx. Ia mengkritik konsep

determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala

sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung

menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah.8 Determinisme

ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci.

Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi

kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin

sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah

keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme

yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx.

Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana

elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda

7George Ritzer dan Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori

Neo-Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 99

(35)

ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan

berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda

produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang

berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial,

politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa

sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan

hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi.9

Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut

mengabaikan keberadaan manusia/ masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar.

Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf

dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya.10 Manusia diposisikan sebagai

agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak

mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi

kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam

sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak

terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk

mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut,

masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem

yang sedang dijalaninya.11 Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu,

masyarakat paham pada apa yang diperjuangkannya. Bukan sekedar

melakukannya secara buta.

9Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23 10Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24

(36)

F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas

Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma

subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia,

khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari

pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), para pemilik modal

berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya

selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila

mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam

bukunya The Principles as Scientific Management (1911) yang melihat manusia

sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri

modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme

dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap

mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan

memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan

membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah

mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif.12

Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun

Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola

industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak

terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”,

sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau

pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh.

Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme

(37)

yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran

bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan

jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi

masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para

pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti

permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan

bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan.13

Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx,

hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para

pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja,

mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang

berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui

revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah

industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi

gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam

merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para

pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju

perlawanan buruh, dengan cara kekerasan.

Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik

modal (masyarakat kapitalis). Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur

kekerasan (coercion) yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara,

serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’,

(38)

yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati,

amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara

(dalam hal ini penguasa) dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan

kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah

hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya. Gramsci

memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas

pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh

masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak

perubahan.

Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun

faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat

melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi

revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini

dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada

masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran

semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat

telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong

adanyanya revolusi sosial.

F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni

Gramsci’s main concern became why men were committed to certain

beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which

he maintained was implicit in the ideas of Lenin. (…) hegemony was what was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of

(39)

Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan

sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional.

Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting

pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak

menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan

bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan

yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan

banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang

diusungnya adalah hegemoni.14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama

di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj) dengan suka

rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang

mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan

dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan

dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya

berhubungan sangat erat.

Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi

melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui jalan kekerasan (coersi) dan jalan konsensus

(consent). Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun

cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari

kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa (yang mendominasi) kerap

menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu

konsensus (consent), kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas

1414Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka

(40)

yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan

doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi.

Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas,

dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.

Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan

kekerasan (coersi) yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau

diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara.15 Hegemoni

merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan

melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain

adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika

sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa.16 Hegemoni

dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas

penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan

dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi

dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok

dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari

hegemoni dominan.

Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha

untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol

sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan (coersi), bukanlah cara kerja

hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok

yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk

(41)

dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni

dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus (consent). Hegemoni

dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal

tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan

konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan

kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi

menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui

jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena

keinginan mereka sendiri.17

Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada

kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi

hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni

integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.

Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang

organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak

ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni

decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman

hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan

celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik

kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan

tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah.

Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini

17Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal.

(42)

menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada

kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang

bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan

kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh

kelompok penguasa.18

Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan

kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya

membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka

kelas yang didominasi (pada kasus ini adalah kelas pekerja), diajak untuk

memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan

tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal

tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang

dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran

para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya,

maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai

subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni.

Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran

kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan

kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual.

Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut

sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila

kelas penguasa berhasil memunculkan keseimbangan dalam menjaga

(43)

hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan

sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam

lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan.19

Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam

pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2

(dua), yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa

membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran

para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk

bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas

penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual

tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas,

yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi.

Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara

sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan

kepentingan kelas yang didominasi.

Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya

pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah

kelas kapitalis (pemilik modal) dengan kelas pekerja (buruh). Namun pada proses

hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur

dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui

mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik

(pada kasus kelas pemilik modak dan buruh). Hingga pertentangan kelas, menjadi

(44)

sebuah ilusi. Kelas pekerja (buruh) menginternalisasi pengawasan dan

iming-iming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan

hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya.

Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni

dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya.

Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut

Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun

pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi.

Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media

massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus

dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi

ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan

merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa. Konsensus yang

merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai

kepentingan mereka.

Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak

sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang

didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri,

sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok

historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan (dari kelas peguasa) dibuat absen.

Hegemoni tandingan (counter hegemony) dibentuk oleh kelas yang didominasi .

(45)

sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok

historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya.

Gramsci berpendapat bahwa jikalau kelas yang didominasi

menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan

permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat

dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan

pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula

didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun

kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan

ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap

menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai

bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri

untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis.

Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok

penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja

dan identitas kolektif.20

Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk

mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini

diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun

lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya

didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci

berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun

20Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah

Referensi

Dokumen terkait

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan

Sub Das Cisadane Hulu merupakan daerah aliran sungai yang paling hulu dari sungai Cisadane yang mengalir dari Gunung Pangrango ke arah barat laut dan dari

Penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mengeksplor tanggapan mengenai praktik kartu kredit syariah dalam hal ini aplikasi iB Hasanah Card dari berbagai sudut

Sistem Penjaminan Mutu Internal yang selanjutnya disingkat dengan SPMI adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi oleh setiap perguruan tinggi

Penelitian yang dilakukan oleh Zhang menyimpulkan bahwa adanya paparan iklan susu formula pada mesia sosial sejak awal kehamilan ibu hingga saat persalinan sangat

Keberadaan para ODHA dihargai penting sebagai seorang saudara, oleh karena itu setiap kehadiran dan pelayanan mereka dalam Gereja tidak boleh ditolak/ direndahkan atas dasar

Taat berarti tunduk dan patuh untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Sifat taat dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan ini

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis