• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlawanan terhadap Pusat Sastra

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 74-78)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan

C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra

Meneruskan pebicaraan mengenai salah satu karya sastra yang cukup fenomenal pada masa pasca reformasi, mungkin kita tidak akan mungkin mengabaikan karya Ayu Utami, yaitu Saman. Karya ini mendapat sambutan yang cukup baik, dari pembaca nasional maupun internasional. Karya yang lahir dari ajang penulisan sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, juga membuahkan penghargaan dari negara lain. Hal tersebut menjadi sebuah catatan baru bagi dunia kesusastraan Indonesia. Novel Saman dianggap mendobrak ranah kesusastraan Indonesia pada awal kemunculannya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena isu yang diusungnya. Isu seksualitas. Meski bukan sebuah isu yang baru, namun Saman terbukti mampu menarik perhatian banyak orang, untuk membaca dan dan membincangkannya. Kehadiran Saman perdebatan yang seru di antara para sastrawan dan pegiat sasta, karena novel ini dianggap sebagai representasi dari Komunitas Utan Kayu (KUK).

KUK harus diakui kerap dijadikan sebagai standar dan kiblat kesusastraan dan kesenian di Indonesia. Letak komunitas yang berada di ibu kota Jakarta, kedekatannya dengan pemerintah (dalam hal ini Dewan Kesenian Jakarta), penguasaan media dan kekuatan pendanaan menjadi pendukung keberhasilan komunitas ini, dalam membangun dirinya. Lambat laun tokoh-tokoh KUK seperti Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, Ayu Utami, dan lain sebagainya, menjadi patron bagi para seniman dan sastrawan di wilayah lainnya.

Patronase ini diperkuat dengan dukungan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai salah satu jaringannya. Keberadaan KUK, pada perkembangan sastra dan seni di Indonesia tidak selalu mendapatkan respon positif. Adanya banyak perdebatan dan polemik yang hadir seiring dengan eksistensi mereka yang dianggap sebagai pusat dan standar sastra dan seni Indonesia. Gugatan mulai bermunculan dari komunitas, sastrawan, seniman dan pegiat sastra serta seni, terhadap “pemusatan” pada KUK. Dengan beragamnya kekhasan dan kepentingan dari sastra dan seni di Indonesia, sepertinya muskil bila perkembangan sastra pada akhirnya mengikuti jejak KUK. Standarisasi dan pemusatan sastra yang terletak pada KUK, melahirkan kondisi yang tidak sehat dalam dunia sastra. Tanggapan terhadap KUK sendiri sangat beragam. Dari merayakan, menyambut gembira, hingga melawannya karena dinilai sebagai pusat sastra.

Gerakan perlawanan terhadap pemusatan sastra Komunitas Utan Kayu (KUK), banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah-daerah. Komunitas-komunitas ini hadir sebagai tandingan, dan menyatakan sikap menolak keberadaan hegemoni sastra yang terpusat. Jurnal Boemipoetra yang digawangi

beberapa sastrawan dan pegiat sastra di daerah, menjadi ikon gerakan tersebut. Babat Hutan Kayu45, menuliskan essai mengenai apa yang sesungguhnya mereka kritisi dari KUK. Keberadaan komunitas sastra daerah sebagai oposisi dari KUK, dipetakan melalui beberapa perbedaan yang singnifikan di antara keduanya. Perbedaan permasalahan antara komunitas sastra daerah dan KUK, adalah satu: pendanaan komunitas biasanya didapatkan dari kantong para anggotanya (patungan), sedangkan KUK mendapatkan dana dari donor asing. Kedua: komunitas sastra berorientasi pada permasalahan kerakyatan dan membumi. Ketiga: KUK melalui sepakterjangnya, melegitimasi diri sebagai pusat sastra, sedangkan komunitas sastra mementahkannya dengan slogan “Sastra Tanpa Pusat Sastra”. Keempat: identitas komunitas sastra berorientasi pada lokalitas dan nasional, lain halnya dengan KUK yang berorientasi pada kapitalisme dan seksualitas.46

Gerakan melawan KUK, melahirkan maklumat, yang dikenal sebagai pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung, yang dilaksanakan pada tanggal 20-22 Juli 2007, di daerah Serang Banten. Isi dari maklumat tersebut yaitu:

1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas yang lainnya.

2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.

3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh 138 orang sastrawan dan para penggiat komunitas-komunitas sastra dari seluruh Indonesia.

Keberadaan Joernal Boemipoetra sendiri cukup menarik perhatian banyak pihak. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam journal ini sering dipandang urakan

45Nama pena dari Wowok Hesti Prabowo

46Essei dari Babat Hutan Kayu, 2007, Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra Boemipoetra, Edisi

dan liar. Terutama saat menyampaikan kritik-kritiknya terhadap KUK. Muhidin M Dahlan dalam esseinya yang berjudul Jurnalisme Pamflet mengatakan bahwa bentuk jurnalisme Boemipoetra hampir sama dengan jurnal Doenia Bergerak. Jurnal yang dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo. Jurnal tersebut dibuat karena alasan ketidakpuasannya terhadap sikap Tjokroaminoto yang dianggap lembek terhadap pemerintah pada saat itu. Muhidin melihat kesamaan diksi-diksi yang dimunculkan dalam dari kedua jurnal, yang rentang tahunnya sangat jauh itu. Bila banyak pihak yang melihat keduanya sebagai sederetan tulisan liar, penuh kemarahan, dan jauh dari tata kesopanan, Muhidin memandang dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya kedua karya jurnalistik tersebut lebih seperti cambuk api di tengah kelesuan dunia kesusastraan yang mengarah pada monolitisme. Seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Mereka melawan keras pada dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan kebudayaan, dengan jurus jurnalisme pamflet.47

Perlawanan terhadap pusat sastra melalu junalisme pamflet, adalah upaya untuk mengkonter pembangunan paradigma tunggal dalam sastra. Pencarian paradigma baru dalam sastra Indonesia, mau tidak mau pasti menghasilkan polemik tersendiri. Pembangunan paradigma baru, yang dilakukan oleh Goenawan Muhammad dan KUK, dianggap tidak mampu mewakili permasalahan masyarakat secara utuh. Selain itu, efek globalisasi yang masuk dalam bentuk dukungan dana internasional, dinilai sebagai bentuk lain imperialisme model baru. Mahdiduri dalam essei yang dituliskan pada Joernal Boemipoetra menyatakan bahwa semenjak kebijakan penanaman modal asing

ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Ketidakmungkinan melakukan invansi melalui jalan militeristik, melahirkan strategi untuk menguasai melalui kebudayaan. Mahdiduri menuliskannya: Jika kebudayaannya dapat dirubah, maka berubahlah jiwa bangsa itu. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai segala-galanya dari bangsa itu. 48 Globalisasi kebudayaan semacam ini lah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama oleh komunitas-komunitas sastra di daerah.

D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 74-78)

Dokumen terkait