• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 60-67)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?

Apakah bola perjuangan reformasi telah berhenti bergulir semenjak pencapaiannya? Secara normatif, mungkin kita (dan akan diamini oleh banyak orang) akan menjawab tidak. Cita-cita untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik, melalui perjuangan yang memakan waktu panjang itu tidak mungkin berhenti, dan tidak mungkin hilang begitu saja. Menumbangkan rejim Orde Baru bukanlah perkara mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Ini hal yang terlalu rumit dan terlalu sulit. Rejim yang berkuasa selama 32 tahun itu, sudah mencengkram terlalu dalam. Menang harus diakui bahwa reformasi yang telah

dirayakan sebegitu rupa, nyatanya masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah yang amat banyak. Pembenahan di banyak sektor bukanlah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Banyak doktrin Orde Baru yang masih tersisa dan kuat mengendap dalam pola pikir dan pola perilaku pemerintah dan rakyat Indonesia. Ya walau reformasi sudah dilalui, namun doktrin mengenai ideologi yang lama (Orde Baru) belumlah bisa diganti begitu saja.

Terus terang, saya merupakan seorang anak yang tumbuh di kala Soeharto menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Saya juga merupakan murid yang hampir di setiap harinya dicekoki doktrin mengenai keunggulan pemerintahan di kala ini. Sebutan “Bapak Pembangunan” yang dilekatkan pada Soeharto, adalah citra yang ditanamkan di dalam kepala setiap orang. Bahwa Soeharto lah kunci pembangunan dan keberhasilan bangsa ini. Doktrin yang selalu digaungkan di hampir seluruh mata pelajaran di sekolah, mengatakan bahwa Orde Lama merupakan masa suram yang penuh penderitaan dan catatan hitam. Sosok yang telah mengangkat rakyat Indonesia dari penderitaan di masa Orde Lama adalah Soeharto. Soeharto menjadi pahlawan yang membawa era baru bagi Indonesia, era kemajuan pembangunan yang serba modern. Pada masa itu, kita dicekoki keyakinan bahwa sejauh kita memandang, pembangunan gedung, jalan, dan fasilitas umum lainnya, adalah keberhasilan Soeharto. Padi hijau menghampar, yang mampu mengantarkan Indonesia untuk dapat berswasembada pangan, adalah keberhasilan Soeharto. Keamanan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an seluruh rakyat

Indonesia di 27 Provinsi35, adalah keberhasilan Soeharto. Kebudayaan dan kesenian Indonesia maju dan terkenal secara global, adalah keberhasilan Soeharto. Ya. Apapun keberhasilan yang nampak pada masa itu, itu adalah berkat sang bapak pembangunan. Puja dan puji terhadap Soeharto dikumandangkan di seluruh pelosok negeri. Entah puja dan puji yang murni mengagumi sosok tersebut, atau bisa jadi puja dan puji yang dipajatkan dibawah represi. Seringkali terlalu sulit untuk membedakannya. Pada masa itu Soeharto digambarkan sebagai seorang tokoh negarawan yang menawan. Bagaimana tidak? Di TVRI, yang merupakan satu-satunya stasiun televisi pada masa itu, yang notabene adalah stasiun televisi milik pemerintah, sosok Soeharto dicitrakan sebegitu luar biasa. Kita dibombardir dengan propaganda yang tiada hentinya. Terlebih lagi bagi saya yang merupakan anak dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), pastinya diharamkan untuk membenci sosok tersebut. Terbukti dengan pertama kalinya saya mengikuti pemilu pada tahun 1997, ayah mengharuskan saya untuk memilih nomer 2 (dua) yaitu partai Golkar, sebagai salah satu upaya dari instansi pemerintahan (tempat ayah saya bekerja), untuk mengukuhkan pemerintahan Soeharto sebagai penguasa. Walau dalam hitungan tahun, kekuasaan itu tidak lagi kuat menahan perlawanan rakyatnya.

Saya harus akui bahwa mekanisme pencitraan yang dilakukan pada masa Orde Baru sangat berhasil mempengaruhi banyak orang. Pencitraan merupakan mekanisme penaklukan di ruang publik yang dilakukan oleh oleh rejim pada masa itu. Pada kenyataannya, represi terjadi di sana sini. Rejim mendominasi di segala

35Pada masa Orde Baru, Wilayah Indonesia dibagi dalam 27 Provinsi. Pembagian itu kemudian

berubah pada tahun 1999, setelah masa reformasi. Setelah masa reformasi, terjadi program pemekaran, dengan membagi wilayah yang luas menjadi beberapa provinsi. Pemekeran itu ditujukan untuk efisiensi dan pemerataan pembangunan.

bidang kehidupan rakyatnya. Rakyat seakan tak punya pilihan selain tunduk dan menurut pada rejim yang dicitrakan baik hati ini. Pelanggaran kemanusiaan bukan hal baru dalam pelaksanaan pemerintahan di dalam rejim. Mekanisme penundukan rakyat, dilakukan secara sistematis. Tidak hanya melalui mekanisme teror, baik itu melalui berbagai kebijakan pemerinatahan dan militer, akan tetapi juga melalui pendisplinan serta pengawasan yang ketat terhadap rakyat, melalui agen-agennya (baik resmi maupun tidak resmi). Rejim mengklaim bahwa mekanisme semacam itu diadakan demi keamanan dan ketertiban masyarakat.

Doktrin yang ditanamkan melalui berbagai mekanisme tersebut, tidak hanya melalui jalur penertiban yang keras, akan tetapi juga masuk dalam sela-sela laku hidup masyarakat. Kesenian salah satunya. Rejim Orde Baru, selayaknya rejim-rejim yang berkuasa di negara lain, juga menggunakan perangkat kesenian sebagai senjata untuk mendoktrin rakyat. Walau sesungguhnya tidak semua seniman setuju untuk ikut menguatkan kekuasaan rejim. Tarik menarik dan bahkan pertentangan antara seniman yang melawan rejim, dengan seniman yang mengafirmasi rejim jelas tidak bisa dihindari. Nalar untuk melawan selalu timbul di kala seseorang dihadapkan pada sebuah represi dan dominasi, akan tetapi perlawanan tersebut ada kalanya mengalami titik ketidakberdayaan atas represi dan dominasi yang sedemikian kerasnya. Demikian juga dengan kondisi para seniman yang berhadapan dengan rejim penguasa.

Saya ingin mengajukan satu contoh menarik untuk menggambarkan kondisi tersebut. Sebuah contoh yang mungkin terlalu jauh jaraknya dari sini, namun kondisinya agak mirip. Mengenai Alexander Pushkin, seorang penulis era romantik dan juga pendiri mahzab kesusastraan modern Rusia. Pushkin

merupakan sastarawan yang memiliki kerinduan pada perlawanan. Ia begitu lantang menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Alexander I selaku penguasa, melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Ia mengajak rakyat untuk tidak tunduk dan tidak pasrah pada cambuk, penjara bawah tanah serta kursi penyiksaan. Namun, sikap kerasnya berubah secara drastis, manakala pemerintahan Rusia berganti dipegang oleh Nikolas I. Pushkin berubah menjadi seorang seniman yang apatis terhadap perlawanan melalui seni. Sikapnya dipengaruhi oleh peristiwa 14 Desember 1825. Ia dan banyak kaum terpelajar di masa itu, telah dilumpuhkan secara paksa oleh Nikolas I dan tangan kanannya, Benkendorf. Mereka berusaha untuk meluruskan pena Pushkin untuk menjadi agen moral konvensional. Pushkin muak pada “kebesaran moral” itu. Ia lebih muak pada seni yang menjadi alat yang mendatangkan keuntungan bagi penguasa pada saat itu.36 Alasan itulah yang membuatnya ingin menaruh seni sebagai seni, tidak lagi sebagai sesuatu yang dapat ditunggangi (oleh penguasa).

Melihat Pushkin, lantas apalah bedanya dengan kondisi yang dihadapi para seniman di Indonesia, pada masa Orde Baru? Mungkin jawabnya tidak jauh berbeda. Pada jaman Orde Baru, sedikit banyak kondisi tersebut dapat ditemukan juga. Tarik menarik kepentingan dalam kesenian tidak pernah sepi. Dalam upayanya menenggelamkan sisa-sisa gambaran Orde Lama, penguasa Orde Baru menggunakan lini kesenian untuk menyebarkan doktrin kebencian dan ketakutan pada “hantu komunis” dari masa lalu. Bagi anak yang lahir pada tahun 70-80an, mungkin pernah sekali atau bahkan berkali-kali menonton film berjudul Pengkhianatan G 30 S/ PKI, besutan Arifin C. Noer. Film tersebut merupakan

salah satu upaya propaganda menabur ketakutan terhadap komunisme. Dalam film yang berdurasi lebih dari 4 jam itu, Soeharto dicitrakan sebagai sosok pahlawan, sang penyelamat Indonesia dari rencana kudeta PKI. Dibalik semua propaganda yang dilakukan melalui pita seluloid itu, banyak dari anak-anak yang setiap tahunnya dicekoki ketakutan terhadap PKI, tidak mengetahui bahwa ada ribuan rakyat ditangkapi, ditahan dan dibantai, demi menguatkan legitimasi kekuasaan Orde Baru. Genosida yang belum ditemukan secara tertulis di dalam buku pelajaran sejarah di sekolah.

Tidak hanya melalui film, beberapa lini kesenian juga digunakan untuk menanamkan doktrin, dan menuai kepatuhan dari rakyat. Penguasa Orde baru sangat sadar atas kekuatan yang terkandung dalam gerakan seni. Melalui kesenian yang digandrungi rakyatlah, kekuasaan Orde Baru mendekati dan menundukan mereka. Kesenian dengan corak “penyuluhan” akan sangat mudah kita dapati dalam karya-karya beberapa seniman dan kelompok seni di masa itu. Lesenian semacam ini dipelihara oleh negara. Sedangkan di sisi yang bersebrangan, kondisi semacam itu menghadirkan kegelisahan yang berkepanjangan. Seni dalam kacamata para seniman tersebut adalah media untuk menyuarakan hati dan kemanusiaan. Seniman di sisi ini berkarya dan bergerak untuk mengkritisi rejim.

Gerakan semacam itu berhasil membuat Soeharto dan para pengikutnya gerah. Rejim mempersempit ruang bagi kesenian semacam itu. Tidak ada ruang bagi perlawanan, walaupun dibungkus melalui lidah kesenian. Pada masa tersebut, sosok Soeharto hadir sebagai musuh bersama. Sejumlah seniman aktif berbicara politik dan mengkritik rejim. Bersama para aktivis, mereka berupaya menggempur

ke atas, dan menggalang kekuatan di bawah. Gerakan menuju titik puncak reformasi.

Perjalanan panjang mencapai reformasi berbuah manis. Terbukti pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan dirinya lengser dari tampuk kekuasaannya, sebagai respon dari gerakan rakyat di seluruh negeri. Selepas titik puncak reformasi, secara kasat mata kita melihat ada banyak perubahan yang terjadi. Perjuangan politik masyarakat berangsur-angsur berubah. Reformasi sebagai sebuah fase yang dituju, ditunggu dan diperjuangkan dalam waktu panjang, telah sukses diwujudkan. Rejim Soeharto berhasil digulingkan, sosok yang menjadi musuh bersama telah berhasil dilengserkan. Pada awal reformasi, gegap gempita perubahan muncul di sana-sini. Kran-kran yang sebelumnya dimampatkan atau ditutup oleh kekuatan kekuasaan, akhirnya dapat dibuka dengan volume yang sangat besar. Berbagai hal yang sebelumnya direpresi, akhirnya bebas menentukan nasibnya sendiri-sendiri. Begitu pun dengan kesenian. Di sini era baru dimulai. Era yang menjanjikan kemerdekaan berekspresi.

Era kemerdekaan berekspresi dan juga bereksistensi ini, tidak kemudian diikuti dengan kesiapan untuk mengawal orientasi yang semula dituju. Bila mengibaratkan pencapaian reformasi sebagai proses dari sebuah eskalasi konflik, pada saat titik puncak telah dilampaui, maka akan ditemu juga ada fase menurunnya. Walau sesungguhnya fase menurun dalam konteks ini, tidak bisa serta merta dikatakan sebagai sesuatu yang negatif. Menurun di sini dapat diartikan sebagai penurunan tegangan perjuangan. Perjuangan ini tidak sepanas sebelumnya, tidak semassif sebelumnya dan tidak seberdarah sebelumnya. Setelah tumbangnya rejim Soeharto, pada awal tahun 2000-an, banyak seniman dan

komunitas-komunitas seni yang mengalami kebingungan. Kebingungan akibat dari hilangnya sosok musuh bersama. Seniman dan komunitas-komunitas seni kemudian mencari format baru. Format diri dan format musuh yang hendak dikritisi dan dilawan. Bila pada masa yang lalu, sosok musuh terlihat nyata dan tungggal, Soeharto, maka pada masa setelah rejim itu tumbang, sosok musuh menjadi tak terlihat. Di titik inilah kemudian kesenian mulai mengidentifikasi musuhnya masing-masing, berdasar dari pengalaman yang ditemukannya selama bersinggungan dengan kondisi sosial, politik dan juga ekonomi rakyat.

C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 60-67)

Dokumen terkait