• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 90-97)

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI

E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak

E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan

Setelah Indonesia merdeka, semua hal yang sebelumnya telah mengalami kematian, dibangkitkan kembali. Tak terkecuali kethoprak. Penataan negara dilakukan bersama-sama dengan penataan kebudayaan dan keseniannya. Di bawah kepemimpinan Soekarno, dimana politik ditempatkan sebagai panglima, kerja-kerja kebudayaan pun berada dalam satu komando yang sama. Pada kisaran tahun 1955 hingga tahun 1965 kelompok kethoprak yang jumlahnya cukup banyak, mulai menggabungkan diri pada 2 (dua) partai politik yang kuat pada masa itu. Partai Nasional Indonesia(PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya berdiri sebagai partai politik yang berafiliasi dengan lembaga kebudayaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat, salah satunya kethoprak. PNI berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, sedangkan PKI berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1964 telah menaungi 371 paguyuban kethoprak.67 Pada masa itu kethoprak lebih banyak digunakan sebagai sarana pendidikan politik rakyat, yang menekankan pada penanaman sikap egaliter dan anti-feodal. 68mekanisme pendidikan politik rakyat melalui kethoprak sebagai kesenian, dirasa sangat efektif. Sehingga pergerakan seni ini semakin lama semakin berkembang, atas dukungan lembaga kebudayaan dan pemerintah di masa tersebut.

Setelah kemenangan Orde Baru, hal-hal yang berbau komunisme serta berdekatan dengan PKI, dihapuskan. Tak terkecuali kethoprak. Dengan

67Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-

pernah-dibunuh-dua-kali (diunduh:27 Agustus 2015)

68Barbara Hatley, 2008, Javanese performances on an Indonesian stage; Contesting culture,

dibubarkannya LEKRA, maka hal tersebut menjadi titik balik bagi kondisi kesenian kethoprak. Tidak sedikit para seniman kethoprak, yang ditahan, dibuang, atau bahkan dibantai atas dasar kegiatan keseniannya, yang berafiliasi dengan PKI dan LEKRA. Militer pada masa itu kemudian mengambilalih kesenian. Kethoprak dijadikan senjata kebudayaan yang melayani kepentingan Orde Baru, alih-alih membersihkan kesenian itu dari semua unsur ideologi komunisme. Misalnya saja pada Pada bulan September 1971, Kodam VII/Diponegoro menyenponsori pendirian group Kethoprak "Sapta Mandala". Selain itu, ada pula "Wringin Mataram" yang dikendalikan oleh Korem 0357.69 Anggota kedua kelompok kethoprak bentukan militer tersebut, sebagian besar diisi oleh para seniman kethoprak yang berasal dari kelompok “Budi Rahayu” dan “Dahono Mataram”. Keduanya merupakan kelompok kethoprak yang lolos dari proses “pembersihan” Orde Baru. Keberadaan kelompok kethoprak di masa Orde Baru, mengalami pengawasan yang sangat ketat. Bukan hanya karena kesenian ini sangat dekat dengan sejarah komunisme di negara ini, akan tetapi karena kethoprak disadari dapat menjadi mesin politik yang sangat dekat dengan rakyat.

Program pemerintahan Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan kesenian, diarahkan untuk mendukung ketertiban dan pembangunan nasional. Maka pada masa itu kita tidak asing dengan program pembinaan kesenian. Kethoprak pada Orde baru juga hadir sebagai media pendidikan dan kampanye dari beberapa lembaga pemerintah, salah satunya di bawah naungan Departemen

69http://www.kompasiana.com/isharyanto/sapta-mandala-dalam-

Penerangan.70 Seniman dan kelompok kethoprak tersebut mendapat perlakukan khusus dari militer dan instansi yang menaunginya. Karena mereka ikut andil dalam penyebarluasan program pemerintah dikala itu. Semisal kampanye hidup sehat, program keluarga berencana, penataran Pancasila, hingga perayaan hari- hari besar nasional.71

Menurut Barbara Hatley, pemerintah Orde Baru pada masa itu lebih fokus pada kerja-kerja untuk penyediaan fasilitas, dana dan penyelenggaraan pertunjukan-pertunjukan besar. Namun hanya pertunjukan tertentu lah yang dapat dipentaskan, yaitu jenis pertunjukan resmi, berbau seni tradisi dan bermuatan nilai-nilai yang mendukung program pembangunan pemerintah. Sedangkan unsur- unsur yang danggap liar, kasar, ataupun berpotensi mengkritik kebijakan pemerintahan akan disingkirkan ataupun disensor dengan ketat.72 Hampir mirip nasibnya dengan jathilan atau kuda lumping.

Pada masa Orde Baru, Budi Susanto SJ menuliskan bahwa sesungguhnya kajian mengenai kesenian tradisi di Indonesia menanggung beban ganda. Pertama, karena para elit pejabat pemerintah menganggap bahwa kesenian tersebut sama sekali tidak mencerminkan keagungan negara di masa lalu. Kedua, karena kesenian itu dianggap sebagai pertunjukan yang tidak halus, sehingga dinilai tidak dapat memberi sumbangan yang efektif bagi program modernisasi pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah.73 Jadi tidak mengherankan bila jathilan, kethoprak atau kesenian tradisi lainnya, mengalami transformasi yang berbeda

70Dr. I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996, Teater Daerah Indonesia, Kanisius, Yogyakarta,

hal. 32

71Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-

pernah-dibunuh-dua-kali (diunduh: 27 Agustus 2015)

72Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma,

Yogyakarta, hal .4

dari bentuk sebelumnya. Demi memenuhi standar kehalusan, ketertiban dan fungsi sebagai perpanjangan tangan rejim.

Tekanan yang dialami oleh komunitas-komunitas kesenian kethoprak, telah memampatkan fungsi pendidikan politik yang sebelumnya telah diembannya. Di bawah pengawasan yang ketat dari militer dan institusi pemerintahan di masa itu, komunitas-komunitas tersebut tidak dapat bergerak secara bebas untuk melakukan kritik politik. Selain itu, dengan diposisikannya kethoprak sebagai media penanam doktrin, menjauhkannya dari benturan- benturan kepentingan politik. Disadari atau tidak, kesenian kethoprak pada saat itu telah didepolitisasi oleh rejim Orde Baru. Posisi politisnya dibunuh, karena kekuatan dan afiliasinya di masa lalu.

Tarikan paling jelas mengenai penggambaran kontestasi politik dalam pementasan kethoprak adalah dalam pelakonan naskah tokoh Ki Ageng Mangir. Tokoh Ki Ageng Mangir pada masa Orde Lama seringkali dipentaskan dan menjadi sosok pahlawan. Sosok Ki Ageng Mangir digambarkan berani melawan kekuasaan sang raja Mataram, Panembahan Senopati. Sedangkan pada masa Orde Baru, sudut pandang itu dibalik. Bila sebelumnya tokoh Ki Ageng Mangir dijadikah tokoh pahlawan, tidak berlaku pada mas Orde Lama. Ki Ageng Mangir berubah menjadi tokoh jahat karena pemberontakannya. Sedangkan sang raja Mataram Panembahan Senopati, berganti menjadi sosok pahlawan. Ilustrasi implisit tersebut mewakili kondisi perubahan ideologi politik dan penguasa Indonesia pada kedua masa itu.74

74www.nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuh-dua-kali

Lantas kala reformasi telah direngkuh, posisi kethoprak sempat mengalami kondisi sepi. Sepinya pementasan kethoprak tidak hanya dikarenakan perubahan iklim politik di Indonesia. Akan tetapi juga karena dampak modernitas di kalangan masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Munculnya alternatif hiburan melalui radio, televisi dan internet, ternyata dapat menggilas minat masyarakat untuk menonton pertunjukan kethoprak secara langsung. Beberapa komunitas kethoprak terpaksa menghentikan pertunjukan regularnya, karena tidak lagi mampu untuk membiayai produksi yang jumlahnya tidak sedikit.

Dengan kondisi yang tidak terlalu stabil untuk terus berkesenian, beberapa komunitas kethoprak hanya mengandalkan undangan untuk acara-acara tertentu. Dengan catatan, para seniman kethoprak tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya padanya. Tapi nyatanya kethoprak masih tetap memiliki nafas panjang. Ada saja cara kethoprak untuk dapat bisa bertahan dan hidup lama. Seperti ilustrasi awal yang sempat saya berikan pada sub bab ini, pada kisaran tahun 2000an, kethoprak mulai menunjukan geliatnya lagi. Atas semangat pelestarian kesenian tradisi, beberapa instansi dan organisasi terkait, kembali membangkitkan kethoprak dari kematiannya yang kesekian kali. Seniman kethoprak pun kian membenahi diri dengan format kethoprak yang makin mutakhir, mereka memutar otak agar pengalaman di masa lalu tidak terulang kembali. Perbaikan semua elemen penetasan di lakukan, promosi gencar dilakukan dan regenasi terus digalakkan.75

Kini kita dengan mudahnya menonton kethoprak Mataram konvensional, yang rutin dipentaskan di auditorium RRI, yang terletak di jalan Gejayan

Yogyakarta. Tujuan pementasan tersebut adalah untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. Pementasan di RRI Yogyakarta ini sesungguhnya sudah ada semenjak tahun 1930-an, di kala stasuin radio itu masih bernama MAVRO.76 Walau sempat mengalami kematian, program ini lantas dihidupkan kebali oleh para seniman kethoprak Yogyakarta. Tidak hanya RRI Yogyakarta, TVRI Yogyakarta pun melakukan hal yang sama. Program acara Kethoprak Sanepa masih setia tayang setiap sabtu malam. Dengan format kethoprak sayembara, kethoprak Sanepa mampu memikat para penonton setianya. Selain itu, beberapa radio lokal Yogyakarta pun ikut menyiarkan kethoprak sebagai salah satu programnya.77

Selain pementasan atau pun program siar kethoprak di panggung dan media elektronik, ada pula kegiatan rutin yang diadakan oleh instansi pemerintahan daerah. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta secara regular melaksanakan program Festival Kethoprak antar Kabupaten. Festival tersebut memiliki turunan berupa Festival Kethoprak di tingkat (antar) kota/ kabupaten, yang diikuti oleh kontingen dari tiap kecamatan. Setiap tahunnya, festival tidak pernah sepi dari keikutsertaan perwakilan dari tiap daerah.78 Percaya bahwa kethoprak masih terus bisa hidup dan dihidupkan oleh antusiasme penontonnya, maka semangat untuk membangkitkan seni kethoprak tidak lagi hanya didukung oleh institusi pemerintahan. Sektor swasta dan lembaga non pemerintah79 pun melihat potensi ini. Maka tidak mengherankan bila dalam sebulan, kita bisa

76Darmanto,1999, Sejarah Penyelenggaraan Siaran Kethoprak Mataram RRI Yogyakarta, 1935-

1995, Jurusan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 6

77Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 78Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.

79Lembaga non pemerintah dapat terdiri dari lembaga nirlaba, pendidikan, kesenian dan

mendapati adanya beberapa pementasan kethoprak yang tersebar di beberapa titik di wilayah Yogyakarta.

Seperti halnya di masa lalu, kethoprak hadir sebagai hiburan, akan tetapi tidak pernah meninggalkan semangat utamanya, yaitu melakukan pendidikan bagi masyarakat luas. Pada masa pasca reformasi pun kethoprak (khususnya di daerah Yogyakarta) semakin aktif untuk mencari posisi yang tepat, terlebih lagi pada ranah politik di Indonesia. Setelah masa Orde baru yang menggunakan kethoprak untuk kepentingan kekuasaan, maka pada pasca reformasi kelompok kethoprak mulai mencari alur dan format keseniannya lagi.

Pada masa ini, kethoprak secara aktif kembali terlibat dalam pembicaraan politik di panggung-panggung pementasan. Bila pada masa Orde Baru, kethoprak seringkali hadir sebagai alat bagi kekuasaan, kini para seniman kethoprak lebih berani untuk membicarakan kondisi politik kontemporer Indonesia, melalui sudut pandang mereka sendiri. Kritik sosial-politik kerap kali menjadi tema utama yang diusung dalam pementasan.

Beberapa kali saya temukan lakon kethoprak yang di pentaskan tampil untuk mengkritik politik kekuasaan negeri ini. Baik yang sampaikan melalui tokoh pahlawan di masa lalu atau atau tokoh-tokoh ciptaan yang sengaja dihadirkan dalam cerita-cerita konflik kerajaan Jawa. Beberapa pementasan kethoprak, merespon peristiwa politik seperti pemilu, pilkada atau peristiwa tahun 1965. Satu hal yang mesti dicatat dari kesenian ini, adalah menjadikan politik kekuasaan sebagai tema sentralnya. Ganjil rasanya bila kita tidak mendapati konflik kepentingan kekuasaan di dalam lakon-lakon yang

dipentaskannya. Pembicaraan mengenai konflik kekuasaan tidak lagi di dominasi dari dalam dinding istana, namun terus berkembang ke wilayah masyarakat biasa.

Hakikat pentas kethoprak dikembalikan pada proses kreasi, negosiasi dan kontestasi. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menjadi tuntunan atau pedoman dasar bagi kelompok kethoprak untuk mementaskan lakonnya di atas panggung.80 Kethoprak terus mengkreasikan lakon-lakonnya kedalam sebuah karya estetis, namun proses negosiasi dengan kondisi sosial politik masyarakatlah, yang membuat karya itu dapat menjadi utuh. Di tahap selanjutnya, kethoprak tidak ketinggalan untuk berkontestasi dengan kesenian lainnya. Ia masih berjuang untuk mencari posisi yang paling tepat.

Dalam dokumen Hegemoni dari atas panggung seni tradisi. (Halaman 90-97)

Dokumen terkait