• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan

Dalam dokumen 20101104214232.Kinerja Otsus Papua (Halaman 52-61)

Bagian Ketiga

3.2. Implementasi Kebijakan

Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di Papua dipahami sebagai perhatian pemerintah Pusat terhadap Provinsi Papua terutama masalah pendidikan, yang memungkinkan terjadinya peningkatan pembangunan di bidang pendidikan.

Otonomi Khusus bidang pendidikan ini juga dipahami sebagai pengalokasian dana yang cukup besar dari pemerintah pusat untuk pembangunan pendidikan bagi masyarakat asli Papua melalui Pemerintah Kabupaten dan Provinsi.

Dengan Otonomi Khusus juga memungkinkan pendidikan di Papua disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan budaya dan keadaan geografis. Termasuk dalam pengelolaan sekolah, penyusunan kurikulum, penyediaan akses pendidikan yang lebih luas dan merata, kewenangan mengatur dirinya sendiri sesuai dengan manajemen berbasis sekolah.

Semasa Otonomi Khusus masyarakat sudah merasakan ada perbedaan yang berarti dalam hal pendidikan, khususnya di Jayapura. Perbedaan tersebut tampak dari dibangunnya sekolah berstandar nasional dan internasional, melalui dana Otonomi Khusus. Sedangkan masyarakat di dua kabupaten lain (Merauke dan Manokwari), belum merasakan seperti yang diharapkan, yaitu seperti di Jayapura. Beberapa perubahan yang dirasakan antara lain dalam hal pembebasan biaya pendaftaran masuk, penyediaan seragam bagi murid baru, penyediaan buku paket, alat tulis, rehabilitasi gedung sekolah, tunjangan kelebihan mengajar bagi guru, penyediaan kendaraan bermotor bagi Kepala Sekolah, serta penyediaan rumah dinas bagi guru.

Perubahan sebelum dan sesudah Otonomi Khusus di Jayapura menjadi lebih signifikan jika dibanding dengan di Merauke dan Manokwari. Sebagian dari responden hanya mendengar bahwa sebelum Otonomi Khusus pendanaan berasal dari pusat sedangkan sesudah Otonomi Khusus pendanaan berasal dari Kabupaten/Kota atau Provinsi, di mana pendanaan ini masih dirasa juga belum cukup menunjang pengembangan profesi guru. Beberapa responden menyatakan

bahwa dukungan bagi guru untuk meningkatkan karirnya cenderung berkurang, misalnya dengan berkurangnya frekuensi pelatihan dan penataran untuk guru, beasiswa bagi guru untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, jika dibandingkan sebelum masa Otonomi Khusus. Padahal menurut mereka itulah salah satu cara untuk komunikasi dengan guru dari lain daerah. Hal ini penting karena melalui pelatihan dapat saling tukar informasi.

Bagi siswa dan orang tua, sudah dirasakan adanya perubahan, dengan dihapuskannya uang sekolah, uang pendaftaran masuk sekolah, pemberian seragam, alat tulis dan buku pelajaran. Khusus untuk buku pelajaran, penggunaan buku tersebut belum optimal. Maka dari itu, beberapa responden minta agar dalam hal pengadaan buku, pihak sekolah atau guru perlu dilibatkan sehingga buku yang dibeli dapat bermanfaat langsung bagi siswa.

Dalam proses pembuatan peraturan-peraturan bidang pendidikan di aras provinsi dan kabupaten, diperoleh data bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui dengan jelas. Masyarakat menghimbau agar pembuatan peraturan tersebut melibatkan unsur-unsur masyarakat yang terkait, yaitu birokrat, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, yayasan-yayasan dan LSM pendidikan, perguruan tinggi, serta perwakilan orang tua murid. Dirasa oleh sebagian masyarakat, dalam masa Otonomi Khusus juga belum dibuat suatu formula atau desain untuk mendidik anak Papua sesuai kondisi sosial dan budaya (misalnya berdasarkan pemetaan wilayah kota (modern), kabupaten (pra-modern), distrik/ kampung (tradisional); Yaitu model pendidikan yang berorientasi pada budaya lokal (daerah) Papua. Pendidikan yang sekarang dijalankan masih mengacu pada standar nasional, tanpa adanya penyesuaian yang signifikan dengan lokalitas daerah. Untuk membuat desain ini, responden menyarankan adanya kajian khusus tentang hal tersebut, yang meliputi antara lain materi pengajaran, mentalitas pengajar, penggunaan buku, dan sarana pendukung pendidikan lainnya.

3.2.1 Kurikulum

Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan untuk pengembangan kurikulum di Papua belum mendapat respon yang optimal kecuali di Sekolah Unggulan/ rintisan SBI; Jangankan kebijakan tentang kurikulum, sampai saat evaluasi dilakukan, diperoleh informasi masih adanya kabupaten yang belum memiliki sekolah. Walau begitu secara umum telah diusahakan adanya kebijakan Kurikulum, misalnya untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Pertanian dan Pengolahan Hasil Pertanian kurikulumnya harus disesuaikan dengan potensi

wilayah/daerah Papua, sedangkan untuk sekolah umum kurikulum ekstra kurikulernya-pun perlu menyesuaikan juga. Dengan pengembangan kurikulum yang demikian, siswa diberi peluang untuk mengembangkan diri dan berkreasi dalam rangka peningkatan kemampuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, pengembangan Kurikulum perlu mengikuti Model Pendidikan Dasar yang Berorientasi Budaya Lokal/Daerah Papua. Namun sampai saat evaluasi, belum ada muatan lokal khas Papua dalam kurikulum sekolah baik intra maupun ekstra kurikuler.

Hiruk pikuk pembaharuan kurikulum di tingkat Nasional baik dalam bentuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun KTSP cukup dirasakan mengganggu dinamika implementasi di dua kabupaten, Merauke dan Manokwari. Stakeholders berharap agar pengembangan kurikulum tidak dilakukan berdasarkan hasil kajian di sekolah-sekolah di Jawa melainkan lebih merupakan kajian kebutuhan nyata masyarakat Papua. Lebih dari itu sekiranya akan diimplementasikan kurikulum baru, proses penyiapan guru dan aparat pendidikan harus dilakukan terlebih dahulu agar pembaharuan pendidkan itu benar-benar dapat dilaksanakan. Penyelenggaraan Ujian Akhir National (UAN) juga dianggap sebagai kendala tersendiri bagi pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3.2.2. Muatan Lokal

Pada implementasinya, kebijakan pendidikan memasukkan muatan lokal. Muatan lokal berupa mata pelajaran pengetahuan masyarakat setempat, bahasa daerah, sejarah lokal, kebudayaan asli Papua, diberikan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan perubahan global dengan tetap berakar pada nilai-nilai budaya Papua. Namun demikian, muatan lokal yang mengatur tentang sikap dan perilaku yang luhur masih sangat jarang diberikan di sekolah. Memang ada sekolah yang memberikan muatan lokal, misalnya di Merauke dan Manokwari. Sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Merauke memasukkan budaya lokal dalam mata pelajaran seperti seni suara maupun seni tari lokal. Juga dimasukkan nilai kehidupan lokal seperti

masamu melalui pelajaran PKn, dan bahasa Indonesia. Sedang di Manokwari

ada sekolah SMP yang memberikan muatan lokal berupa pelajaran ketrampilan membuat panah dan anak panah. Ketrampilan membuat anak panah dan panah ini diberikan karena sementara ini panah masih banyak digunakan sebagai alat untuk berburu binatang sebagai mata pencaharian sebagian penduduk di Papua.

Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di Papua juga diwujudkan dalam bentuk kebijakan mutu pendidikan melalui Sekolah Unggulan, sebagai perhatian lebih khusus tentang kebijakan dan kewenangan yang diberikan untuk kemajuan mutu pendidikan. Dengan kebijakan sekolah unggulan ini diharapkan terjadi persaingan positif di antara siswa, dan juga yang lebih utama adalah mendorong adanya kompetisi antar sekolah-sekolah di daerah yang mengarah ke sekolah bermutu/favorit dan menuju sekolah bertaraf internasional. Kebijakan ini disadari cukup banyak menyedot dana, walaupun begitu jika bercermin dari satu sekolah aras Provinsi dan satu sekolah di Kota Jayapura, hasilnya cukup menggembirakan, terbukti dengan diperolehnya prestasi dalam berbagai kejuaraan olimpiade. Sayangnya kebijakan ini belum bisa bergulir ke daerah/kabupaten lain diluar Jayapura.

3.2.3. Mutu Pendidikan

Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi, menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kepedulian yang tinggi tentang mutu pendidikan yaitu dengan kebijakan menjadikan Sekolah-Sekolah Ber-Standar Nasional (SSN) dan menuju Sekolah Ber-Standar Internasional (SSI) mulai dari rintisan sekolah pada aras Provinsi dengan Model SMA sebagai Sekolah Unggul dengan Berasrama dan di Kota Jaya Pura dengan Model Sekolah Satu Atap SD, SMP dan SMA; Keberhasilan kebijakan ini bisa diidentifikasi misalnya: murid mulai sejak tingkat SD sudah dapat mengikuti Olimpiade Matematika dan IPA tingkat Nasional; siswa-siswa berhasil dalam lomba olimpiade Sience Nasional dan Internasional.

Kebijakan mutu pendidikan dalam Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di daerah perkotaan seperti Jayapura, sudah dapat dikatakan telah berhasil membuat mutu pendidikan hampir sama dengan mutu pendidikan di daerah lain di luar Papua. Hal ini bisa dilihat dari sangat tingginya kesadaran siswa akan arti pentingnya sekolah.Hasilnya adalah: (1) Anak-anak bisa mengikuti pelajaran lebih baik, dapat meningkatkan cara belajarnya yang lebih baik, termasuk melalui belajar berkelompok, terciptanya siswa yang mandiri, sangat kreatif, dan berkemampuan yang bermutu/sangat baik. Murid-murid sejak SD mendapat pelajaran komputer (teori dan praktek) di sekolahnya masing-masing, sehingga hasil UAN maupun prestasi dalam mengikuti lomba-lomba pada tingkat nasional terus meningkat (terlebih Khusus SMK); (2) Sebagian besar tamatan terserap di lapangan kerja, dan atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi; (3) Jumlah mahasiswa asli Papua pada perguruan tinggi negeri (di Papua maupun di luar

Papua) semakin meningkat. Bahkan sekalipun penduduk asli Papua yang berasal dari pedalaman-pun dapat memperoleh pendidikan dokter di Perguruan Tinggi ternama. Sayangnya hal ini masih terpusat di kota Jayapura saja, dan belum sampai daerah kabupaten yang lain.

Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan Di kalangan Perguruan Tinggi di Papua juga telah berhasil karena telah terjadi peningkatan jenjang pendidikan dosen dari S1 menjadi S2 dan S3 yang sebagian dibiayai dari dana Otonomi Khusus; Selain itu para dosen juga dapat mengadakan penelitian dengan menggunakan peralatan laboratorium dan dana yang sebagian bersumber dari Otonomi Khusus. Lebih lanjut, Sumber Daya Manusia yang berkualifikasi S1, S2 dan S3 semakin meningkat jumlahnya baik dari lulusan Papua maupun luar Papua, baik dari dalam maupun luar negeri.

3.2.4. Kesempatan Pendidikan

Kebijakan yang menyangkut perluasan kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan secara khusus dan tersurat dalam era Otonomi Khusus ini belum dipahami benar oleh para birokrat peserta Focus Group Discussion (FGD), namun dengan semakin tingginya animo masyarakat akan pentingnya pendidikan dapat dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan dalam kebijakan ini. Selain itu juga semakin tinggi jumlah penduduk asli Papua dari pedalaman yang melanjutkan pendidikan ke jenjang Pendidikan Tinggi; Murid SD, SMP memperoleh dana Otonomi Khusus dan juga Biaya Operasional Sekolah (BOS), siswa SMTA mendapatkan subsidi; Demikian juga mahasiswa berprestasi memperoleh bea siswa, dan atau bantuan tugas akhir dari Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P), mengarah ke pertanda semakin luasnya kesempatan penduduk asli Papua untuk memperoleh pendidikan. Walaupun begitu, juga diakui ada banyak siswa-siswa (terutama asli Papua) dengan tingkat kemampuan rendah yang semakin tersisih dari pendidikan, utamanya di sekolah bermutu seperti di SSN atau SNBI. Berbeda dengan di Merauke maupun di Manokwari, komitmen pemerintah untuk membuka seluas mungkin akses pendidikan bagi masyarakat Papua khususnya yang ada di pedalaman kurang bersambut baik dengan sistem

reward bagi para pendidik yang bertugas di pedalaman maupun kesadaran

warga masyarakat untuk menyekolahkan putra putri mereka. Kondisi geografis yang membatasi jangkauan layanan pendidikan yang bermutu dan kekayaan alam juga menjadi kendala rendahnya partisipasi masyarakat. Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan membuat mereka merasa bebas untuk bersekolah, dalam artian bebas masuk dan bebas keluar. Penghargaan terhadap guru di daerah pedalaman juga menurun atau merosot, yang disebabkan juga karena kualitas guru itu sendiri. Sementara sekolah yang bermutu di kota lebih didominasi putra-putri pendatang, sedangkan putra-putri Papua sendiri tergeser ke sekolah yang kurang bermutu.

3.2.5. Partisipasi Masyarakat

Otonomi Khusus di bidang pendidikan di Papua memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat guna berpartisipasi dalam pendidikan. Mengingat semakin banyaknya siswa-siswa (terutama asli Papua) yang tingkat kemampuannya rendah tersisih dari sekolah yang bermutu, maka partisipasi masyarakat semakin terbuka, baik dalam penyelenggaraan pendidikan, atau memberi dukungan kepada sekolah yang sudah ada. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pengadaan dan pemeliharaan sarana/prasarana (laboratorium, perpustakaan) juga alat dan bahan baik yang bersumber dari dana Orang Tua Murid ataupun dari Otonomi Khusus/Pemerintah. Selain itu juga dalam bentuk pengawasan terhadap kebijakan pendidikan, mekanisme pengucuran dana, penyelenggaraan MBS di sekolah, penggunaan dana dari masyarakat, kualitas PBM, dan lain-lainnya.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan cukup besar baik dalam bentuk pendirian sekolah formal maupun non formal. Sekolah yang didirikan oleh masyarakat ini sangat berperan terutama sebelum adanya sekolah Inpres. Awalnya sekolah didirikan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kehadiran sekolah ini dipandang oleh pemerintah sangat penting karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan fasilitas sekolah bagi semua putra-putri Papua. Bagaimanapun beberapa sekolah yang didirikan oleh masyarakat ini masih banyak kendala terkait dengan kualitas guru, sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas guru yang terbatas, kurangnya masyarakat dalam membayar uang sekolah, kemampuan sekolah untuk membayar guru, dan penyediaan rumah guru, dibandingkan dengan sekolah negeri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kualitas sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat ini sangat beragam. Pemerintah daerah sudah membantu sekolah swasta ini dengan berbagai bantuan yang berupa guru sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) diperbantukan, sarana prasarana, BOP dan lain-lain. Meskipun sejak Otonomi Khusus sudah terbentuk komite sekolah pada sekolah-sekolah swasta ini, tetapi cara kerjanya masih sama dengan cara kerja BP3 pada waktu sebelumnya. Peran masyarakat dalam pendidikan melalui sekolah swasta makin menurun, khususnya yang berada di daerah pedalaman.

3.2.6. Pembiayaan

Selama dekade terakhir ini di Jayapura, sebagai ibukota provinsi Papua, animo masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin tinggi. Hal ini tidak terlepas dari adanya perhatian serius pemerintah provinsi Papua. Apalagi ditambah dengan adanya dukungan dana Otonomi Khusus yang dinilai cukup memadai untuk provinsi saja. Kebijakan sehubungan dana pendidikan tersebut nampak dengan adanya alokasi dana yang cukup besar untuk dunia pendidikan khususnya bagi daerah-daerah (kabupaten dan distrik), antara lain meliputi: pembebasan dana pendidikan bagi penduduk asli Papua mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, pengadaan alat Laboratorium dan program ketrampilan, pengadaan dan atau renovasi sarana prasarana pendidikan dan secara khusus penyelenggaraan Sekolah Unggulan baik aras Provinsi maupun Kota di Jayapura.

Menurut informasi, di samping perdasi tersebut, juga sudah ditetapkan perda tentang mekanisme pengaturan dan pertanggungjawaban keuangan Otonomi Khusus. Namun, sampai saat penelitian ini dilakukan, peraturan tersebut belum disosialisasikan. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu segera disosialisasikan dengan lebih efektif lagi.

Sementara di kabupaten Manokwari dan Merauke, pemerintah kabupaten memberikan bantuan pembebasan uang pendaftaran untuk masuk ke sekolah, dan pakaian seragam bagi siswa kelas satu, dan alat transportasi untuk putra daerah, serta bantuan uang ujian Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebta). Hanya saja realisasi bantuan seragam sering mengalami keterlambatan karena luasnya rentang kendali. Oleh karena itu sistem pengaturannya perlu ada modifikasi. Pengaturan yang lebih efisien perlu dilakukan supaya paling lama satu bulan setelah masuk, siswa sudah dapat menggunakan seragam yang dibagikan tersebut. Khusus untuk kabupaten Merauke, siswa yang tidak mampu juga diberi bantuan sepeda sebagai alat transportasi. Beasiswa juga disediakan bagi siswa berprestasi dan siswa tidak mampu secara ekonomi. Bagi guru, diberi insentif untuk kelebihan jam mengajar, dan disediakan sepeda motor bagi Kepala Sekolah, serta pembangunan rumah guru di sekolah.

Sesuai dengan Perda No. 5 Tahun 2006, alokasi dana Otonomi Khusus diperuntukkan bagi enam pos, yaitu biaya penyelenggaraan pendidikan publik, subsidi penyelenggaraan pendidikan keagamaan, biaya pelaksanaan akreditasi, pengawasan, dan pengendalian mutu pendidikan, subsidi/hibah bagi lembaga

pendidikan swasta, bantuan kepada lembaga pendidikan swasta nasional, biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dan swasta. Pada aras provinsi juga digunakan untuk pengadaan sekolah menengah yang bertaraf internasional, berlokasi di Abepura. Di Jayapura juga dikembangkan hal yang sama untuk jurusan IPA dan Matematika. Untuk Merauke dan Manokwari, dana Otonomi Khusus dimasukkan sebagai pos penerimaan dana kabupaten atau kota. Pengalokasian dana di level provinsi, sebagian untuk pengembangan sekolah bertaraf internasional, sebagian disalurkan ke kabupaten atau kota yang oleh Pemerintah Kota/ Kabupaten dimasukkan sebagai pos penerimaan daerah. Dalam realisasinya tidak lagi dibedakan berdasarkan dana Otonomi Khusus atau bukan. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar responden tidak tahu pasti porsi 30% dana Otonomi Khusus apakah benar-benar dipakai untuk pendidikan. Yang mereka pahami adalah adanya penyaluran dana ke berbagai lembaga penyelenggara pendidikan umum, tetapi sumbernya tidak jelas apakah dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), atau dana Otonomi Khusus. Perbedaan antara tahun

takwin dengan tahun ajaran juga menjadi kesulitan bagi pengelolaan keuangan

pendidikan di kabupaten/kota karena biasanya sekolah sudah berjalan enam bulan, dana baru turun. Penyaluran dana ke sekolah swasta disarankan tidak langsung ke sekolah, tetapi ada koordinasi dan pengawasan dari yayasan.

3.2.7. Sarana dan Prasarana

Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan untuk pengembangan sarana dan prasarana pendidikan di Papua dipahami sebagai usaha Pemerintah membantu pengadaan sarana dan prasarana sekolah, alat Laboratorium dan pemeliharaannya, pengadaan perpustakaan beserta koleksinya, dan juga alat dan bahan pembelajaran dari dana Otonomi Khusus/Pemerintah. Selain penghapusan SPP dari tingkat SD sampai SMP bagi penduduk asli Papua, Otonomi Khusus juga dipahami sebagai bantuan sarana/fasilitas sekolah setiap anak, terlebih bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Walau begitu dalam implementasinya, belum berjalan seperti yang mereka harapkan. Indikatornya: masih banyak gedung sekolah yang rusak dan tidak diperbaiki, sementara mengharapkan partisipasi masyarakat sangatlah sedikit. Memang diakui bahwa partisipasi masyarakat sangat menonjol di daerah perkotaan, tapi di daerah pedalaman belum menggembirakan. Di sekolah tertentu yang ada di Jayapura tersedia sarana dan prasarana pendidikan yang relatif memadai, bahkan peralatan laboratorium di beberapa sekolah juga meningkat jumlah maupun jenisnya. Sama halnya dengan kondisi di Manokwari dan Merauke, terdapat sekolah yang kondisi sarana prasarananya sangat bervariasi. Sebagai ilustrasi,

keadaan laboratorium SMKN 1 Manokwari, di jurusan perkayuan peralatan laboratoriumnya begitu lengkap, tetapi di jurusan elektro sangatlah minim.

Dalam dokumen 20101104214232.Kinerja Otsus Papua (Halaman 52-61)