Kinerja Otonomi Khusus Papua
Editor : Agung Djojosoekarto Rudiarto Sumarwono Cucu Suryaman Penulis : Agung Djojosoekarto Drs. JRG. Djopari, MA Prof. Sutriyono, M.Sc. Ph.D Dr. Daniel Lantang, M.Kes Indra Jaya Piliang Drs. Agustinus Fatem, MT Drs. Naffi Sanggenafa, MADesign & Layout :
Ashep Ramdhan
Katalog Dalam Terbitan
Cetakan Pertama, Desember 2008 Kinerja Otonomi Khusus Papua Cet. I - Jakarta: Kemitraan, 2008; 154 hlm. ; 148 x 210mm; ISBN : 978-979-26-9656
Diterbitkan oleh:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Menara Eksekutif , Lt 10
MH. Thamrin Kav. 9 Jakarta 10350 Telp: (+62-21) 3902566 ; 3902626 Fax : (62-21)2302933 ; 2303924 www.kemitraan.or.id
kem raan
KINERJA OTONOMI KHUSUS
PAPUA
DAFTAR ISI
Bagian Kesatu
PENDAHULUAN
3
Bagian Kedua
KEBIJAKAN UMUM
28
Bagian Ketiga
PENDIDIKAN
50
Bagian Keempat
KESEHATAN
68
Bagian Kelima
MASYARAKAT SIPIL
89
Bagian Keenam
INFRASTRUKTUR
113
Bagian Ketujuh
EKONOMI KERAKYATAN
130
Bagian Kedelapan
SIMPULAN
135
Bagian Kesembilan
PEMBELAJARAN
145
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
1.1. Memahami Papua
Papua1 adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling
besar--memiliki kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak dengan mata telanjang di sisi lain--. Kawasan ini adalah kawasan yang paling akhir2 mendapatkan pengakuan internasional sebagai
bagian dari Indonesia setelah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyerahkan Papua ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui negosiasi yang berat berhadapan dengan Pemerintah penjajah Belanda. Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dinilai oleh masyarakat Papua sebagai pembangunan yang tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah adanya gejolak disintegrasi di kawasan ini, dengan digerakkan oleh berbagai kelompok
1 Yang dimaksud dengan Papua di sini dan seterusnya adalah kawasan Pulau Papua bagian barat, kawasan yang menjadi bagian dari Indonesia.
2 Timor-Timur, yang kemudian merupakan provinsi terakhir di Indonesia tidak dianggap sebagai kawasan yang paling akhir menjadi bagian dari Indonesia karena dua alasan, yaitu karena proses integrasinya dilatarbelakangi kepentingan negara-negara besar yang anti-komunis, sehingga prosesnya mengandung unsur aneksasi, dan karena kawasan ini telah menjadi negara merdeka, setelah negara-negara yang anti komunis yang mendukung aneksasi tersebut memaksa Republik Indonesia untuk melepaskan Timor Timur menjadi negara merdeka, dan pada saat ini Timor Timur menjadi negara merdeka dengan nama Republik Timor Loro Sae.
separatis. Indikator lain yang memperkuat penilaian tersebut adalah munculnya gerakan besar dari masyarakat Papua untuk menjadikan Papua sebagai kawasan dengan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998. Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan selama 35 tahun (19633
-1998) menjadi bagian dari Republik Indonesia ditengarai menjadi bagian inti dari gejolak tersebut.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan ruang baru bagi Papua untuk melakukan exercise model baru pembangunan untuk kawasan ini. Upaya tersebut dijalankan dengan berbagai cara, termasuk melakukan “pembangkangan politik”4
dalam bentuk gerakan-gerakan yang mendekati arah ke separatisme. Tidak mengherankan jika Papua menjadi salah satu kawasan yang menjadi perhatian utama dari Pemerintah Jakarta setelah reformasi.
3 PBB secara resmi menyerahkan wilayah Papua kepada Republik Indonesia pada tanggl 1 Mei 1963 4 �pembangkangan� dalam �tanda petik� dirupakan dalam bentuk penentangan-penentangan halus hing- �pembangkangan� dalam �tanda petik� dirupakan dalam bentuk penentangan-penentangan halus hing-ga menhing-garah kepada penciptaan konflik disintegrasi yang berjalan secara terus-menerus sejak reformasi.
Sebelum reformasi, kawasan yang berupa bagian barat dari Pulau Papua –karena sebelah timur adalah Negara Papua New Guinea—bernama Irian Jaya, sebuah nama yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia setelah kawasan ini resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1 Mei 1962, melalui negosiasi yang alot dan sengit di forum Internasional (Bachtiar, 1994: 88). Nama “Irian” diperkenalkan pada Konferensi Malino pada tahun 1946. Dalam bahasa Biak, kata itu berarti “sinar matahari menghalau kabut di laut”. Presiden Soekarno menjadi penganjur utama penggunaan nama Irian, dengan mengakronimkan IRIAN sebagai “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland” (Koentjaraningrat, 1994: 3-5).
Sebelum diberi nama “Irian Jaya”, kawasan ini dikenal dengan nama “Papua”. Nama “Papua” pada awalnya dipergunakan oleh pelaut Portugis Antonio d’Arbrau, yang mendarat di pulau ini pada tahun 1521. Diperkirakan, kata “papua” berasal dari kata dalam bahasa Melayu kuno “pua-pua”, yang berarti “keriting”. Nama ini kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang ikut dalam pelayaran dengan Ferdinand Magellan mengelilingi bumi.
Versi lain dari penamaan papua adalah dari Papua bagian Timur, kini menjadi
Papua Nieuw Guinea. Sebutan “Nieuw Guinea” digunakan oleh para pelaut Belanda,
menggunakan penamaan dari seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, yang mengunjungi kawasan utara pulau ini pada tahun 1545. Dinamakan “Nieuw Guinea” karena penduduk yang ditemui berwarna hitam, seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrika.
Papua mempunyai kondisi sosial-budaya-politik yang khas. Ciri-ciri fisiologi Tanah Papua yang beragam menyebabkan diferensiasi sistem mata pencaharian. Bukan hanya itu, perkembangan struktur sosial masyarakat juga turut dipengaruhi oleh proses-proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam. Sifat kemajemukan penduduk Papua juga dapat dilihat dari prinsip hak ulayat tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-kolektif etnik yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan hak komunal). Selain itu terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak individu.
M.T. Walker dan J.R. Mansoben5 mencatat bahwa keanekaragaman orang Papua
bertalian erat dengan pola adaptasi sosio-ekonomi penduduk pada zona ekologi utama. Setidaknya ada empat zona ekologi utama. Pertama, ekologi rawa,
5 Dikutip Johsz R Mansoben, Sistem Politik Tradisonal di Irian Jaya, Indonesia: Studi Perbandingan, P.hD Thesis, Leiden University, 1994
daerah pantai, dan muara sungai; kedua, dataran pantai; ketiga, kaki gunung dan lembah-lembah kecil; dan keempat pegunungan tinggi. Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi tercermin dalam sistem mata pencaharian hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks inovasi teknologi dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain seperti organisasi sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit. Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga yang luas, dengan jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan, dan federasi yang kompleks. Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani. Tipe ini menghasilkan ikatan horisontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai, kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluarga-keluarga inti kecil yang amat bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan relatif sulit dijadikan lahan pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong mereka untuk berdagang. Contoh masyarakat ini adalah penduduk pantai utara.
Kedua tipe ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ikatan kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian makna keluarga mendapat tempat dalam struktur hierarki masyarakat. Di satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktifitas perang lantas menjadi bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan sebagai sarana reproduksi kekuasaan. Tidak mengherankan jika ritual ini menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat. Kebutuhan pesta adat inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola patron-klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta.
Lebih jauh, Antroplog J. van Baal mencermati bahwa ekologi muara, dengan aktifitas produksinya meramu sagu, pada umumnya menyelenggarakan upacara keagamaan jauh lebih meriah dibanding dengan penduduk yang menggantungkan dirinya dari bertani umbi-umbian. Kompleksitas sistem ritus dan keagaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang berbeda6.
Mekanisme hierarki internal suku terbentuk berdasar pola pembagian kerja dan adanya ritual tertentu. Dua hal yang penting untuk dilihat adalah mekanisme penurunan kekuasaan dan sistem politik yang terbentuk. Lebih jauh untuk
memahami pola dan keteraturan macam apa yang mendasari hierarki kekuasaan dalam suatu suku, Mansoben mengidentifikasi empat sistem politik tradisional, yaitu: pertama, sistem pria berwibawa. Sistem ini bercirikan bahwa kedudukan pemimpin diperoleh melalui pencapaian individu yang bersumber pada kemampuan individual, keberhasilan dalam mendistribusikan kekayaan, kepandaian berdiplomasi dan pidato, keberanian memimpin perang, bertubuh besar dan tegap, dan sifat murah hati. Dalam sistem ini, kekuasaan dijalankan oleh satu orang serta tidak mengenal organisasi kerja dan pembagian kerja. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh pemimpin selalu dianggap benar dari segi kepentingan umum. Masyarakat adat yang menerapkan sistem ini adalah suku Dani, suku Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu. Walau sistem organisasi kerja tidak ada, di suku Dani mengenal empat kesatuan wilayah, yakni kompleks
(uma), gabungan kompleks (o-ukul, setara dengan desa), wilayah bertetangga (ap-logalek), dan konfederasi. Masing-masing kesatuan wilayah dipimpin oleh
seorang kain. Semakin menonjol peran kain di tingkatan itu, makin besar peluang untuk menjadi pemimpin di tingkat yang lebih tinggi. Wewenang dan kekuasaan terpenting dari kain pada tingkat uma adalah mengatur pemanfaatan tanah milik
uma. Sedangkan wewenang dan kekuasaan kain tingkat o-ukul adalah mengatur
masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan agama antar-desa. Pemimpin ap-logalek memiliki wewenang yang hampir sama dengan okul, hanya wilayahnya lintas okul. Sementara pemimpin konfederasi hanya berwenang dalam memimpin perang dan mensponsori penyelenggaraan pesta babi. Pesta babi adalah ritual penting bagi suku Dani karena merupakan media untuk memperkuat solidaritas kesatuan sosial kelompok. 7
Kedua, sistem politik kerajaan. Ciri utama sistem ini adalah pola kepemimpinan
yang bersumber pada pewarisan kedudukan pemimpin. Pewarisan bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klan. Sistem ini sudah mengenal pembagian fungsi dalam melaksanakan kekuasaan dengan berbasis pada teritori. Karena banyak dipengaruhi oleh kerajaan di Maluku, prinsip-prinsip organisasi sudah menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan kewajiban yang ketat dan tersentralisasi. Sistem upeti dan pemungutan pajak sudah dikenal dalam masyarakat ini. Pusat orientasi kekuasaannya adalah perdagangan. Masyarakat pendukung sistem ini meliputi kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana. Di kerajaan Raja Ampat, struktur organisasi terdiri dari dua bentuk, yaitu struktur organisasi pusat dengan seorang raja yang dibantu 5 orang. Di samping itu, terdapat pula dewan adat yang diketuai raja dengan anggota terdiri dari kepala klan kecil. Dewan adat
berfungsi merundingkan dan memutuskan secara musyawarah persoalan yang berkaitan dengan pemilihan pemimpin baru. Bentuk kedua adalah organisasi di tingkat daerah. Pada tiap kampung (pnu) di daerah, raja mengangkat seorang pembantu yang diberi gelar marinpnu untuk meneruskan perintah raja yang berkaitan dengan penarikan upeti dan pemungutan pajak pada rakyat di wilayahnya.8
Ketiga, sistem politik ondoafi atau kepala suku. Ciri utama kepemimpinan sistem
ini adalah melalui pewarisan kedudukan. Sistem kepemimpinan ini mengenal suatu organisasi terdiri dari seorang kepala, dan sejumlah pembantu dengan pembagian tugas yang jelas. Berbeda dengan sistem kerajaan yang berdasar pada wilayah teritori, sistem ini hanya terbatas pada satu golongan atau klan saja. Pusat orientasi kekuasaanya adalah religi. Pendukung sistem ini adalah suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku Arso-Waris. Seperti halnya suku Dani, sistem ini pun mengenal tingkatan organisasi, yakni klan kecil dengan pemimpin yang disebut khoselo dengan dibantu dua pembantu pelaksana ritus (abu-akho) dan bendahara (akhona-fafa). Tugas Khoselo adalah bertindak sebagai hakim untuk mengurus dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut warganya, memimpin upacara adat, mengurus perkawinan, dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi warganya. Tingkat di atas klan kecil adalah kampung yang merupakan gabungan sejumlah klan kecil. Pemimpinnya disebut ondoafi.
Ondoafi mempunyai hak atas semua sumber-sumber hidup (tanah, air, dan
hutan) dalam lingkungan kekuasaannya yang disebut phuke khelahe. Organisasi di tingkat kampung sudah memiliki empat fungsi yang jelas dengan empat bidang utama, yaitu bidang religi, bidang keamanan, bidang kemakmuran, dan bidang ketertiban. Para fungsionaris yang membidangi empat fungsi tersebut biasanya diambil dari khosole. Di samping itu, di kampung juga dibentuk satu dewan adat (yonow) sebagai tempat membicarakan semua urusan dan persoalan penting yang menyangkut kehidupan kampungnya. Tingkat di atas kampung adalah konfederasi atau gabungan kampung dengan syarat mempunyai latar asal-usul moyang yang sama. Pemimpinnya disebut Hu Ondoafi yang bertempat di kampung asal moyang pertama yang sekaligus berperan sebagai pusat persebaran bagi kampung-kampung lain dalam konfederasi. Wewenang utama
hu ondoafi adalah memimpin perang antar konfederasi dan memimpin upacara
inisiasi bagi pemuda kampungnya.9
8 ibid 9 ibid
Keempat, sistem kepemimpinan campuran. Ciri sistem campuran adalah kedudukan
pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian. Mekanisme pewarisan dilaksanakan jika situasi dalam keadaan tenang. Dan melalui pencapaian jika terjadi situasi tertentu yang menuntut penampilan pemimpin untuk menjawab tantangan tersebut. Situasi bisa berupa peperangan, bencana alam, dll. Berbeda dengan sistem kerajaan dan ondoafi, dalam sistem campuran ini tidak mengenal birokrasi. Pendukung sistem ini adalah suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya). Walau tidak mengenal birokrasi, di suku Biak dan suku Waropen mengenal pula hierarki model sistem ondoafi dengan hierarki tertinggi berada di kampung. Di Biak pemimpinnya disebut
mananwir. Pada soal-soal tertentu mananwir akan mengkoordinasikan
kepala-kepala klan kecil (keret) dengan tokoh masyarakat untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan kampung lewat lembaga yang disebut kainkain
karkara mnu. Jadi, mananwir mnu membuat keputusan berdasarkan keputusan
bersama.
Dengan adanya keempat sistem ini, bisa dikatakan bahwa suku-suku di Papua memiliki persyaratan dari sebuah negara yang sifatnya struktural fungsional dalam artian pemerintahan yang berdasar pada teritori tertentu yang efektif. Walau kental dengan nuansa hubungan darah dan kekerabatan, sebagai unit yang otonom, perangkat-perangkat semacam eksekutif, legislatif dan yudikatif berlaku efektif dan menjadi kesatuan yang dipatuhi oleh seluruh anggota suku.
Tabel 1.1 Tipologi Sistem Politik Masyarakat Adat di Papua
No Sistem Politik Tipe Ekologi Corak Produksi Sistem Pemerintahan
1.
Pria berwibawa: Suku Dani, suku Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu Pegunungan Tinggi • Pertanian konvensional, terutama umbi-umbian dan sayuran • Kegiataan ekstraksi (meramu) dan berburu • Mengenal peternakan
sederhana
• Kepemimpinan diperoleh melalui pencapaian individu pada kemampuan individual • one man show, belum
ada pembagian kerja dan birokrasi
• mengenal hierarki wilayah
2.
Sistem Kerajaan: Suku di kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana Dataran pantai Berdagang • kepemimpinan melalui sistem pewarisan • mengenal hierarki wilayah berdasarkan teritorial, tersentral • prinsip-prinsip organisasi menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan
kewajiban yang ketat dan tersentralisasi 3. Sistem Ondoafi: suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku Arso-Waris Lembah dan kaki gunung kecil • Kegiataan ekstraksi (meramu) dan menangkap ikan • Berladang • Mengenal beternak sederhana • kepemimpinan diperoleh melalui sistem pewarisan • mengenal hierarki
wilayah berdasar klan • Pusat orientasi
kekuasaanya adalah religi • Sudah ada pelembagaan
dengan struktur yang sederhana 4. Sistem campuran: suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya) rawa, daerah pantai, dan muara sungai • Berladang dan menangkap ikan • berdagang • Kepemimpinan diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian
• tidak ada birokrasi • mengenal hierarki
wilayah
Selain itu, pengetahuan tentang ekologi dan sistem kepemimpinan dari tipe yang ada, setidaknya memberikan catatan bagi pengambil kebijakan di Papua untuk memperhatikan, terutama: pertama, dimensi sosio-politik pemimpin suku atas persoalan yang berada pada lingkup tanah ulayatnya, terutama pola relasi antara pemimpin dengan masyarakatnya. Kedua, konsekuensi hukum adat yang berlaku, apabila dilanggar, bukan mengikat individu tapi mencakup keseluruhan komunal atau klan. Ketiga, macam-macam prioritas dalam dimensi sosio-ekonomis masyarakat ulayat, ini akan berlanjut pada hal-hal yang dimonopoli dan atau dipersaingkan. Keempat, reproduksi kekuasaan melalui perkawinan, ritus agama, dan mekanisme mengukuhkan pemimpin (lewat perang, atau
kecakapan tertentu) yang melibatkan sumber daya dalam hal upacara adat yang memerlukan biaya besar.
1.2. Papua dan Indonesia
Wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketika diproklamir-kan kemerdediproklamir-kannya pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Kerajaan Hindia Belanda. Berdasarkan nota kes-epakatan antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB), maka wilayah Irian Barat (Papua sekarang) akan diserahkan kemudian. Namun nota kesepakatan itu diingkari oleh pihak Kerajaan Belanda yang memunculkan reaksi dari pemerintah Indonesia pada tahun 1963 dengan melahirkan kebijakan melalui Komando Mobilisasi Umum, -yang terkenal dengan sebutan Tiga Komando Rakyat (Trikora)- untuk merebut kembali wilayah Irian Barat (Papua sekarang). Wilayah Irian Barat akhirnya terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Mei 1963. Dengan latar seperti itu, maka kebijakan pembangunan di wilayah ini berbeda dengan wilayah lain yang berimplikasi luas dalam aspek pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Provinsi Papua yang didirikan dengan dasar hukum UU No. 12 Tahun 1969 dan UU No. 45 Tahun 1999, mempunyai luas wilayah 317.062 km2, atau sekitar 20% dari
luas daratan Indonesia. Provinsi ini berbatasan di sebelah timur dengan negara Papua Nieuw Guinea, di sebelah selatan Laut Arafura. Provinsi Papua terdiri dari 19 Kabupaten dan Kota, yaitu
1. Kabupaten Asmat 2. Kabupaten Biak Numfor 3. Kabupaten Boven Digoel 4. Kabupaten Jayapura 5. Kabupaten Jayawijaya 6. Kabupaten Keerom 7. Kabupaten Mappi 8. Kabupaten Merauke 9. Kabupaten Mimika 10. Kabupaten Nabire 11. Kabupaten Paniai
12. Kabupaten Pegunungan Bintang 13. Kabupaten Puncak Jaya
15. Kabupaten Talikara 16. Kabupaten Waropen 17. Kabupaten Yakuhimo 18. Kabupaten Yapen Waropen 19. Kota Jayapura
Provinsi Papua ditandai oleh tiga ekologi wilayah utama, yakni; (1) ekologi wilayah rawa-rawa, dataran rendah, dan kaki gunung; (2) ekologi wilayah pesisir, pantai, dan kepulauan; dan (3) ekologi wilayah pegunungan tinggi. Sekitar 70% penduduk asli Papua bertempat tinggal di kampung-kampung yang terpencil, pedalaman, pulau-pulau kecil, dan perbatasan negara, dengan kondisi topografis yang sulit diakses oleh pelayanan pembangunan, pemerintahan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan.
Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru efektif dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat spo-radis, belum sempat terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Ber-barengan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah Papua Kondisi ini, diperburuk oleh pola anutan sentralistik di bawah pengaruh kekua-saan Orde Baru, yang ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi enclave. Praktis, hal ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang menyuburkan intensitas pergerakan kemerdekaan politik bagi sebagian komponen masyarakat, setelah merasa dikecewakan dalam peris-tiwa Pepera Tahun 1969.
Desakan untuk menggunakan kembali nama “Papua” berangkat dari kekecewaan elit politik lokal karena selama 36 tahun (1962-1998) menjadi bagian dari Indonesia di bawah tatanan Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), kawasan ini tetap menjadi kawasan terbelakang dan semakin tertinggal dibanding kawasan lain.
Meskipun merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang, namun Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Ada proven
deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas & tembaga (konsesi Freeport saja);
pembangunan perkebunan skala besar. Panjang pantai wilayah ini mencapai 2.000 mil, luas perairan 228.000 km2, dengan tidak kurang dari 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Namun demikian, di balik semua keberlimpahan tersebut, Papua juga dikenal sebagai provinsi dengan jumlah masyarakat miskin terbanyak. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, kawasan ini tetap menjadi kawasan paling terbelakang dan paling miskin, tidak berbeda dengan posisinya pada saat bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1963.
Papua merupakan provinsi yang paling terbelakang di Indonesia. Pada tahun 1997 –sebelum krisis-- tingkat kemiskinan Papua dilaporkan di atas 50%, sementara rerata tingkat kemiskinan nasional telah mendekati 14%. Papua menjadi provinsi dengan populasi miskin terbesar di Indinesia. Pada tahun 1999 dilaporkan persentase penduduk miskin Papua adalah 54,75%, yang menjadikan Papua tetap sebagai provinsi dengan populasi miskin terbesar, disusul Nusa Tenggara Timur 46,73%, dan Maluku 46,14%. Tahun 2000, persentase kemiskinan menurun menjadi 41,80%, tetapi masih yang terbesar di Indonesia, disusul Maluku 46,14%,dan Nusa Tenggara Timur 36,52%.
Kemiskinan dan keterbelakangan yang mendalam di Papua, sudah pada tempatnya, diakui sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru. Dibanding kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan kondisi keterbelakangan yang paling tinggi. Kondisi keterbelakangan ini, secara internal, disebabkan lima hal utama, yaitu bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia:
1. sebagian besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa akademis disebut keprimitifan;
2. tidak terdapat infrastruktur fisik, dalam arti transportasi dan telekomu-nikasi, yang memadai, bahkan pada tingkat paling minimal;
3. rendahnya tingkat kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya ting-kat pendidikan;
4. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung masuk ke dalam “mesin” pembangunan yang ber-jalan dengan “mode” masyarakat dengan kondisi seperti di Jawa dan ka-wasan lain yang lebih maju dari Papua;
5. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di jajaran elit lokal un-tuk menjadi bagian dari sistem kepemerintahan modern.
Simpulan yang dapat diambil adalah meskipun keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur yaitu membangun rakyat di Papua (Barat) menjadi masyarakat modern dan makmur, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Paling tidak, dua hal mendasar yang mendesakkan keinginan untuk memperoleh Otonomi khusus sebagai salah satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization), sebagai “pilihan antara” atas pilihan biner yang ada.
Pertama, pendekatan dalam kebijakan pembangunan Papua (atau Irian Jaya, pada saat itu) selama masa Orde Baru lebih ditentukan oleh Pusat daripada aspirasi setempat. Pendekatan ini biasanya disebut sebagai “pendekatan sentralistik”. Sebuah pendekatan yang dinilai lazim pada awal tahun 1970n hingga 1980an, di mana Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang “membangun”, di dalam arti sedang melakukan “perubahan sosial yang dipercepat”, yang memerlukan pola yang “satu ide, satu komando”, atau perencanaan dan pengendalian pembangunan yang terpusat. Terlepas dari upaya dari Pemerintah Pusat untuk melakukan pemahaman permasalahan pembangunan di tingkat lokal, namun kebijakan pembangunan di Papua lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana kebijakan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia pada umumnya. Selain berasal dari paradigma pembangunan yang ada dan diyakini pada saat itu, pendekatan yang sentralistik juga didukung oleh elit politik di tingkat nasional dan elit politik Papua yang berkepentingan dengan pemusatan kebijakan pembangunan Papua di Jakarta. Pendekatan pembangunan yang dijalankan, yang berpola sentralistik tidak cukup berhasil membuat Papua menjadi kawasan yang maju dan makmur. Kemakmuran cenderung lebih dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional dan nasional yang beroperasi di Papua, yang melakukan eksploitasi alam, dan para pendatang dari luar Papua. Kedua, momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus
tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Dapat disimpulkan, pembangunan Irian Jaya dipersepsikan oleh masyarakat lokal belum sesuai dengan keinginan dan aspirasinya, karena dibanding seluruh provinsi di Indonesia, Irian Jaya merupakan kawasan yang paling tertinggal dari berbagai sisi pembangunan. Ironisnya, Irian Jaya merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memberikan sumbangan pendapatan nasional yang tinggi, terutama dari hasil eksploitasi pertambangan.
1.3. Papua dan Reformasi Indonesia
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 mendorong lahirnya gerakan reformasi yang merubah peta politik, sosial, dan ekonomi nasional. Momentum perubahan besar ini dipergunakan oleh masyarakat dan elit di Irian Jaya bagi reformasi hubungan Pusat-Irian Jaya, dengan tujuan meletakkan Irian Jaya sebagai sebuah daerah yang mendapatkan prioritas pembangunan yang sama besar dengan daerah lain di Indonesia. Berbeda dengan gerakan sebelumnya yang bersifat separatis seperti gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), maka gerakan rakyat dan elit Irian Jaya mengarah kepada dua isu, yaitu (1) penggantian nama Irian Jaya, dan (2) perlakuan khusus dalam kebijakan otonomi daerah yang diberikan Pusat kepada Irian Jaya.
Momentum pertama diperoleh pada tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid memberikan dukungannya untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua, sebagaimana aspirasi lokal yang disampaikan ke Pusat. Perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua ini tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua.
Perubahan nama ini merupakan instrumen penting untuk mendorong perlakuan khusus Papua sebagai daerah otonom. Pada tahun 2000-2001, delegasi Papua memperjuangkan adanya kebijakan “otonomi khusus” bagi Papua. Setelah melalui pengkajian yang komprehensif dan melibatkan berbagai fihak yang terkait, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden memberikan persetujuan untuk
menerbitkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus), dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001.
Pada tahun 2003, Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2003 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua: Papua dan Irian Jaya Barat. Pada saat ini, berkembang wacana untuk membagi Papua menjadi dua provinsi baru, Papua Barat dan Papua Tengah.
UU Otsus merupakan hasil tawar-menawar antara rakyat Papua dengan Pemerintah RI tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara ketika 100 delegasi resmi, yang mewakili elemen di Papua dengan dipimpin Thomas Beanal, menemui Presiden BJ Habibie. Namun Presiden Habibie tidak memberikan dukungan kepada pemintaan tersebut. Desakan ini akhirnya mendapatkan “angin segar” ketika Presiden Abdurrahman Wahid memberikan dukungan untuk menggunakan kembali nama Papua sebagai ganti Irian Jaya, dan pemberian ijin untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera provinsi. Pada tahun 2000, desakan integrasi semakin menguat dan memuncak pada Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei – 3 Juni 2000. Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 tentang otonomi khusus.
Lahirnya undang-undang tentang otonomi khusus ini dapat dilihat sebagai penyelesaian konflik, win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI serta Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan NKRI.
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan pengakuan Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua. Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan dibanding saudaranya di kawasan tengah dan timur. Pada tahun 2003, terjadi perubahan signifikan, yaitu pemekaran provinsi Papua menjadi dua: Provinsi Papua, yang berada di timur, dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan Papua bagian barat, atau disebut sebagai bagian “Kepala Burung”, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2003. Sebuah
eksekusi dari wacana yang berkembang pada tahun 1999. Otonomi khusus untuk Papua menjadi fakta bagi sketsa baru dari tata hubungan pusat-deerah pasca reformasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih pada Pemilu 2004, mengembangkan pemahaman bahwa membangun Papua harus komprehensif, demokratis, dan bermartabat. Karenanya, masalah Papua hanya terselesaikan melalui kompromi dengan didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap rakyat Papua. Dengan demikian, Presiden Yudhoyono mendukung kebijakan Otsus, yang pada saat dirumuskannya beliau menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan menjadi salah satu pemikir utama kebijakan otsus bagi Papua.
1.4. Papua dan UU Otsus
Sebagaimana dikemukakan pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka yang dimaksud Provinsi Papua adalah Provinsi yang sebelumnya bernama Irian Jaya, yang diberi status Otonomi Khusus, yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia. Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 Kabupaten dan dua Kota, yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang ber-rawa sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang di-lakukan dengan kekhususan;
pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar;
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan,
pelaksana-an dpelaksana-an pengawaspelaksana-an dalam penyelenggarapelaksana-an pemerintahpelaksana-an serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyara-kat;
c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat. pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas
antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Pa-pua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli PaPa-pua yang dibe-rikan kewenangan tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.
Pada UU No. 21 Tahun 2001 ini juga disebutkan agenda-agenda yang mendasari penerbitannya, yaitu berkenaan dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, yaitu membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam agenda ini dipahami bahwa masyarakat Papua memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar. Dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus.
Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka kebijakan otonomi khusus dapat diberikan.
Pertimbangan tersebut juga didasari oleh pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Di sisi lain, hal yang utama adalah otonomi khusus diberikan dalam konteks untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak dasar di Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus dengan demikian juga diletakkan pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.
Pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk merespon kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu –sebelum pemekaran—JP Solosa, menyampaikan bahwa sekitar 75% warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerah10 itu.
Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di seluruh Papua. Gubernur Solosa menyatakan optimis dengan pemberlakuan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat mengatasi persoalan ketertinggalan dan kemiskinan
Permasalahannya adalah, bagaimana kinerja Papua setelah dilaksanakannya
10 Republika, 24 Agustus 2002. Data KPK-BPS menyebutkan pada tahun 2002 kemiskinan di Papua adalah 41,80%, berbeda dengan data dari Gubernur Papua.
Kebijakan Otonomi Khusus?. Pertanyaan ini mengemuka karena isu tentang keberlimpahan sumber daya alam dan semua potensi yang dimiliki Papua yang tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh penduduknya muncul kembali di era otonomi khusus. Situasi ini yang menyebabkan Papua mengalami kondisi yang biasa disebut sebagai problems of plenty atau masalah dari keberlimpahruahan. Sebuah ironi tentang tetap miskinnya penduduk Papua di tengah keberlimpahan sumber daya alam yang dimilikinya, meskipun status Otonomi Khusus telah diberikan. Jawaban dari pertanyaan inilah yang menjadi bagian ini dari tulisan ini.
1.5. Evaluasi Kinerja Otsus
Laporan ini merupakan sintesa hasil implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Dasar pemikirannya adalah bahwa Kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat, minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini. Kontradiksi seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli.11
Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan. Masyarakat asli Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua.
Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat
11 Arifah Rahmawati, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California. hal. 19-20.
terkait dengan kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.12 Intensitas konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan
yang semakin tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semakin populernya konsep desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif terhadap konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan.
Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua. Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua.13
Sebagaimana dikemukakan di depan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.14 Kebijakan
ini diterapkan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No. 21 Tahun 2001). Mekanisme
12 Untuk Elaborasi mendalam terkait dengan ketertinggalan pembangunan dan kualitas kehidupan masyarakat Papua, salah satunya dapat dilihat dalam tulisan John Robert Wing, Irian Jaya Development
and Indigenous Welfare The Impact of Development on The Population and Environment of The Indonesian Province of Irian Jaya (Melanesia West New Guinea or West Papua), Thesis, University
of Sydney, 1994. Thesis ini membahas pengaruh program percepatan pembangunan Indonesia Timur pada masa Orde Baru terhadap kondisi di Irian Jaya. Pada saat itu, pembangunan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk eksploitasi alam secara besar-besaran. Akibatnya, meskipun secara de
jure pemilik kekayaan tanah Papua adalah masyarakat lokal, tetapi secara secara de facto mereka
justru tersingkir dari proses pembangunan. Bahkan banyak hak-hak masyarakat lokal (misalnya kepemilikan tanah adat) yang justru banyak yang dinafikkan.
13 Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum, Departemen Dalam Negeri, halaman 13 dan halaman 28-32.
14 Salah satu tulisan yang mengelaborasi sejarah atau latar belakang implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua menyebutkan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi antara lain oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, konflik yang muncul di dalamnya yang akhirnya membuat kebijakan Otonomi Khusus dipilih sebagai solusi. Lihat dalam Arifah Rahmawati, Papua
Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate
baru penyelenggaraan pemerintahan ini dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk memfasilitasi aspirasi masyarakat daerah dengan kepentingan pemerintah nasional.
Pada dasarnya kebijakan otonomi khusus dimaksudkan untuk memberikan ruang dan otoritas yang lebih luas dan adil bagi pemerintah daerah dan masyarakat Papua untuk mengelola wilayahnya sesuai dengan karakter dan keunikan lokal. Otoritas yang diberikan mencakup jaminan hak agar provinsi ini dapat mengelola kekayaan alam di Papua sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat asli. Dengan kata lain, kebijakan Otonomi Khusus menciptakan sebuah tata pemerintahan daerah Papua yang unik dan berbeda dengan wilayah lain.15
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 merupakan kerangka kebijakan umum yang menjadi pedoman dalam melaksanakan Otonomi Khusus di Tanah Papua. UU ini mengatur berbagai sektor dasar yang menjadi bagian dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Sektor-sektor yang diatur dalam undang-undang ini menciptakan karakter spesifik pada arah kebijakan daerah di tanah Papua yang membedakannya dengan daerah lain di NKRI.
Sebagai bentuk kebijakan umum di tanah Papua, UU No. 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan.16 Filosofi ini diharapkan
dapat menjadi solusi untuk berbagai persoalan di Papua.17 Harapannya, kebijakan
ini dapat menjadi instumen efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan, keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan Otonomi Khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah terhadap berbagai kemelut selama ini.
15 Democratic Center Cenderawasih University, Principal Thoughts Concerning Development Policies
in Papua Province, Jayapura, June 2003. halaman 8.
16 Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum. Departemen Dalam Negeri, halaman 14.
17 Latar belakang munculnya filosofi ini dapat dilihat dalam uraian Jason Mcleod, Morning Star Rising:
Maximising The Effectiveness of The Non Violent Struglles in West Papua. Thesis, 2002, School of
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebijakan otonomi khusus mulai diimplementasikan setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU No. 21 Tahun 2001). Artinya, saat tulisan ini sedang dibuat pada April 2008, kebijakan otonomi khusus telah berjalan kurang lebih tujuh tahun. Dari rentang waktu tersebut, berbagai langkah nyata telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan implementasi otonomi khusus di atas. Kebijakan-kebijakan strategis di bidang pelayanan dasar telah diimplementasikan dengan melibatkan mobilisasi sumberdaya dan sumberdana yang jumlahnya sangat signifikan. Kebijakan strategis tersebut meliputi bidang kebijakan umum, bidang perekonomian, bidang infrastruktur, bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang masyarakat sipil.
Terkait dengan hal ini, untuk menilai efektivitas implementasi kebijakan ini, diperlukan sebuah instrumen evaluasi yang dapat digunakan sebagai tolok-ukur keberhasilan maupun kekurangan implementasi kebijakan ini. Kemitraan bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (Depdagri) telah melakukan penelitian yang terkait dengan evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Penelitian yang dilakukan meliputi evaluasi:
1. kebijakan umum,
2. kebijakan bidang kesehatan, 3. kebijakan bidang pendidikan, 4. kebijakan bidang infrastruktur,
5. kebijakan pengembangan masyarakat sipil.
Evaluasi tersebut dilakukan untuk melihat efektifitas implementasi kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat asli Papua. Sebagai sebuah sintesa, maka laporan ini berisi intisari temuan-temuan lapangan yang berguna sebagai dasar evaluasi keberhasilan maupun langkah-langkah perbaikan yang dapat diambil oleh pemerintah terkait dengan kebijakan implementasi otonomi khusus.
Tujuan penulisan sintesa ini adalah untuk memetakan pencapaian hasil maupun kelemahan-kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Capaian hasil dapat digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan keberhasilan yang telah diperoleh, maupun untuk meningkatkan target manfaat implementasi kebijakan otonomi khusus di masa yang akan datang. Di sisi lain, pemetaan berbagai kekurangan maupun kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus dapat dimanfaatkan sebagai dasar penyempurnaan kelemahan
kebijakan. Aktifitas ini dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk merancang kebijakan yang lebih aspiratif dan efektif dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Papua.
Melalui pemetaan ini, akan didapatkan sebuah dasar yang bermanfaat bagi perumusan rekomendasi kebijakan dan tindak lanjut kebijakan yang tepat. Rumusan rekomendasi ini akan berguna untuk menentukan langkah tindaklanjut yang dapat dilakukan oleh semua level pemerintahan, dalam hal ini adalah pemerintah nasional, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Penulisan sintesa penelitian ini dengan demikian diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan instrumen evaluasi bagi segenap stakes holders yang terlibat untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat dan kondisi umum di Papua yang lebih baik melalui kebijakan Otonomi Khusus.
Laporan sintesa hasil penelitian evaluasi kebijakan otonomi khusus ini ditulis dengan bersumber pada enam Laporan Penelitian di beberapa kabupaten/kota di Papua yang dilakukan oleh beberapa Perguruang Tinggi dan Lembaga Swasta bekerjasama dengan Kemitraan dan Depdagri. Selain berdasarkan hasil laporan penelitian tersebut, sumber penulisan juga diperkaya dengan berbagai referensi yang berasal dari sumber-sumber dokumen pendukung lain serta interaksi Tim Penulis yang cukup intens dengan masyarakat maupun pengambil kebijakan di Papua. Kunjungan lapangan yang dilakukan Tim Penulis ke beberapa kabupaten/ kota di dan lingkungan pemerintah Provinsi Papua ditambah dengan interaksi dengan para pengambil kebijakan di tempat itu menjadi referensi penting dalam penulisan sintesa hasil penelitian ini. Dengan dukungan sumber penulisan yang cukup lengkap semacam ini, diharapkan laporan sintesa hasil penelitian ini dapat menyajikan informasi yang komperhensif terkait dengan evaluasi kebijakan otonomi khusus di Papua. Sintesa hasil penulisan ini juga diharapkan bisa memberikan gambaran secara komprehensif tentang peta masalah yang dihadapi pemerintah daerah dan masyarakat Papua dalam implementasi kebijakan Otonomi Khusus, dan alternatif kebijakan strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Bagian Kedua
KEBIJAKAN UMUM
12.1. Proses Kebijakan
Kebijakan umum pemerintahan dan pembangunan di Papua adalah kebijakan otonomi khusus. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.2 disebut sebagai “otonomi khusus” karena memberikan
perlakuan yang khusus, dalam arti mendapatkan prioritas dukungan yang lebih banyak daripada daerah lain. Kebijakan umum tentang Papua dilembagakan dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau
UU Otsus.
UU Otsus merupakan respon dari kekecewaan Papua terhadap kebijakan sentralistik yang dilakukan pada masa Orde Baru, dan merupakan ekstrapolasi dari kebijakan desentralisasi yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan kebijakan sebelumnya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Momentum reformasi yang dihela oleh euforia
1 Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Kebijakan Umum, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
demokrasi dan kebebasan memunculkan suara “merdeka secara berdaulat”, dan berkembang dari konteks lokal, nasional, dan memasuki diskusi internasional. Kondisi politik domestik tidak menguntungkan, karena Timor Timur baru saja merdeka dari Indonesia. Pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Irian Jaya mengambil inisiatif dengan membentuk “Tim Asistensi” yang terdiri dari sejumlah akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, yang memperoleh dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irian Jaya.
Tim ini diberi mandat untuk menyusun naskah akademis otonomi daerah yang “berpihak kepada masyarakat lokal”. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat mengambil langkah paralel, di mana Depdagri menyusun draf Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus. Dari evaluasi ini ditemukan bahwa RUU versi Tim Asistensi ditentang oleh Pemerintah Pusat. Keterlibatan pemerintah pusat dalam proses pembentukan UU Otsus dipandang sangat kuat. Materi perdebatan memuncak pada kecurigaan terhadap kemungkinan penyalahgunaan isi pasal-pasal yang terkandung di dalam rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Tim Asistensi Universitas Cenderawasih keluar dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tercatat, perdebatan di seputar eksistensi Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dapat dipandang setara dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Padahal MRP sesungguhnya hanya merupakan institusi “pelengkap” dalam tata pemerintahan Papua, sebagai representasi kultural dari masyarakat Papua. Disamping itu, kekhawatiran lain berkisar pada penggunaan identitas daerah seperti lambang, bendera dan lagu. Selain itu, terjadi tarik ulur yang cukup kencang dalam pengaturan kewenangan pengelolaan sumber daya alam. Bagi Pemerintah, kemerdekaan yang diperjuangan oleh beberapa tokoh dan kelompok masyarakat di Tanah Papua, tidak untuk memisahkan diri dari NKRI. Papua dalam keIndonesiaan adalah harga mati. Persitiwa Pepera Tahun 1969 adalah sah sebagai bagian dari sejarah bangsa yang sudah permanen, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Atas dasar itu, setiap pergerakan kelompok masyarakat yang bermaksud untuk menggugat keabsahannya, senantiasa dihadapi dengan diplomasi yang meneguhkan prinsip “tetap satu dalam keIndonesiaan, baik dalam forum nasional, domestik, maupun internasional. Sehubungan dengan itu, Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan nasional demi terwujudnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah di Tanah Papua. Pemerintah menyadari bahwa ada kesalahan penerapan kebijakan pembangunan di Tanah Papua pada masa lalu, yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, solusinya bukanlah keluar dari NKRI, tetapi perlu diterapkan special treatment
dengan bersungguh sungguh memperhatikan dimensi-dimensi sosio-budaya masyarakat Papua.
Sebagai suatu produk kebijakan nasonal, UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah melalui mekanisme penyusunan yang dipandang bersifat akademis, partisipatif, dan demokratis. Sumber inspirasi penyusunan materi muatan pasal-pasalnya berasal dari dua pihak dengan pendekatan yang berbeda. Pertama, pendekatan dari bawah sebagaimana dilakukan oleh Tim Asistensi Univeristas Cenderawasih. Melalui kajian akademis, berbagai langkah partisisipatif yang demokratis telah ditempuh sejak lahirnya draft awal hingga diwujudkannya draft akhir. Dari berbagai momentum penjaringan aspirasi masyarakat Papua hingga konsultasi publik diberbagai forum lokal.
Kedua, pendekatan dari atas sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah – dalam
hal ini Depdagri, melalui penyusunan draft rancangan berdasarkan hasil kajian komprehensif pada skala nasional yang mencoba mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Kedua draf rancangan tersebut, kemudian dipersandingkan untuk menemukan persamaan dan perbedaannya, yang kemudian melahirkan satu format draf usulan yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas menjadi undang-undang. Dalam pembahasan tersebut, telah dilakukan klarifikasi kepada semua pihak yang berkepentingan, baik dari Pemerintah maupun dari pemerintah Provinsi Papua dan Tim Asistensi Universitas Cenderawasih. Dialog-dialog yang terjadi di forum Dewan, cukup mencerminkan aspek partisipatif dan demokratis dalam mewujudkan undang-undang ini. Pada akhirnya, ditetapkan kebijakan otonomi khusus dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang merupakan “kompromi” antara Pemerintah Pusat dan elit Papua. Meskipun merupakan “kompromi”, masyarakat Papua menerima kebijakan ini dengan baik, karena kebijakan ini memuat “pernyataan maaf” dari Pemerintah nasional kepada Papua, yang dinyatakan dalam muatan perundangan Otsus.
Secara eksplisit UU Otsus mengatakan bahwa keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah-masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan3.
Pernyatan-pernyataan ini secara tegas menggaris-bawahi kebijakan di masa lalu yang mengorbankan Papua. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan yang memberikan keabsahan bagi kekhususan otonomi Papua dengan menyebut adanya momentum reformasi sebagai ruang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat . Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Kebijakan Otsus merupakan kebijakan “kompromi” antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia . Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai
bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.4
2.2. Muatan Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan pada bagian “penjelasan” UU Otsus, hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah, pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan
jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Simpulan yang dibuat oleh Otsus adalah bahwa kebijakan pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Muatan kebijakan otsus sebangun dengan kebijakan penyelenggaraan desentralisasi dari Pemerintahan Indonesia, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dan berubah menjadi No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal yang dengan eksplisit menunjukkannya adalah pasal 4 UU No. 21 Tahun 2001 yang memilah kewenangan antara Pemerintah Pusat (nasional) dan Pemerintah Daerah, dengan menyebutkan pemilahan kewenangan sebagai berikut: (a) Kewenangan Umum yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan, dan kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (b) Kewenangan khusus yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Rincian kewenangan tertentu di bidang lain, yang tidak diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Provinsi Papua, meliputi: (a) Kebijakan makro tentang perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional, (b) Dana perimbangan keuangan, (c) Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (d) Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (e) Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan (f) Konservasi dan stándarisasi nasional. Sementara itu, kewenangan umum bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dilaksanakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Padahal, rincian kewe-nangan tertentu tersebut tidak diatur lagi di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sebagai penjabaran lebih lanjut dari UU No. 8 Tahun 2005 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Adapun rincian kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 adalah : (a) Urusan Wajib meliputi 16 urusan, yaitu : perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketertiban masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah social; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum dan pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan; (b) Urusan yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah.
Jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang meletakkan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota, maka UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus meletakkan otonomi daerah pada tingkat provinsi. Dengan demikian, secara muatan kebijakan, terjadi perbedaan penting antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di Papua. Namun demikian, jika dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah, terjadi kesebangunan, karena kebijakan ini meletakkan kekuatan otonomi di tingkat provinsi, meskipun tidak menghilangkan keotonomian di tingkat kabupaten/kota. Dalam komparasi kebijakan, ditemukan hal-hal dasar berkenaan dengan karakter kekhususan dari kebijakan Otsus Papua tidak berbeda dengan otonomi bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun demikian, terdapat tiga hal dalam muatan kebijakan yang memang menjadikan otonomi di Papua bersifat khusus.
Pertama, di Papua dibentuk institusi representasi kultural. Di provinsi Papua terdapat lembaga Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, yang difahami sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Representasi kultural ini menjadikan hukum-hukum adat yaitu aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi, khususnya yang berkenaan dengan hak atas tanah ulayat, yaitu hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk