Bagian Kedelapan SIMPULAN
9.2. Rumusan Kebijakan
Dari segi rumusan atau muatan kebijakan, Kebijakan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang diturunkan dari Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, sudah
memadai. Terlebih, pada tanggal 16 April 2008, berhubungan dengan pemekaran
Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat), telah diterbitkan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Otsus diberikan untuk Provinsi Papua
adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Agenda untuk merubah, menyempurnakan, atau melengkapi dapat diajukan, namun berpotensi untuk membelokkan upaya untuk menemukan faktor kunci yang selama ini menjadi kendala untuk mencapai kinerja Otsus itu sendiri. Dari pemetaan di atas, kebutuhan pertama adalah membangun kebijakan pelaksana di tingkat daerah, dalam bentuk kebijakan publik di tingkat Daerah (Perdasi, Perdakab, Perdakot, Perdasus) yang bermuatan strategi manajemen untuk melaksanakan kebijakan Otsus. Fokus dari kebijakan yang hendak dikembangkan dapat mengacu kepada ke enam sektor yang dievaluasi di depan, yaitu
1. kebijakan umum
2. kebijakan bidang kesehatan 3. bidang pendidikan
4. kebijakan bidang infrastruktur
5. kebijakan pengembangan masyarakat sipil 6. Kebijakan pengembangan ekonomi kerakyatan
Dengan demikian, rekomendasi pertama adalah merumuskan regional strategic
management yang sesuai dengan kebijakan Otsus dan kemampuan dari lembaga pemerintahan dan masyarakat di tingkat daerah untuk melaksanakannya. Untuk
itu, disarankan agar rumusannya bersifat dapat dilaksanakan (manage-able) dalam kondisi lokal, utamanya dalam bentuk prioritas yang sesuai dengan kapasitas lokal, dan penahapan yang tepat.
9.3. Implementasi Kebijakan
Rekomendasi kedua adalah melakukan upaya membangun kapasitas kelembagaan dan manusia di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sebagai pelaku utama implementasi Otsus. Tantangan terbesar bagi implementasi Otsus adalah bagaimana melaksanakannya tanpa tergantung kepada lembaga dan
sumberdaya manusia yang tidak terdapat di Papua dan Papua Barat. Hanya warga
Papua dan Papua Barat yang dapat melakukan implementasi kebijakan secara lebih efektif. Tantangan terbesar adalah membangun birokrasi pemerintahan lokal. Secara akademis dapat dikatakan bahwa birokrasi yang diterapkan di Papua lebih mendekati pengertian Weber tentang “dominasi patrimonial”, jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi dan hubungan patron-klien.1
Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut Weber ini adalah: pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik. Kedua, Jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan. Ketiga, pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi. Dan keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.2 Dalam masyarakat yang mengenal sistem monopoli atas penguasaan sumber daya seperti sistem politik pewarisan, maka cenderung terbentuk bibit pola patron-klien di masyarakat. Akibatnya kecenderungan korupsi menguat manakala unit-unit keluarga suku masuk dan menguasai struktur pemerintahan.
Kecenderungan pemekaran daerah turut andil dalam memperkuat dominasi dari formasi suku dominan untuk menguasai struktur pemerintah. Gejala membelah diri yang cepat di beberapa daerah banyak menguntungkan suku-suku yang secara teritori memiliki cakupan luas dengan jumlah klan yang besar. Mobilisasi suku jauh lebih efektif manakala sistem patron-klien yang berkembang di internal suku kuat, dalam arti elit-elit suku mampu membeli loyalitas itu dengan cuma-cuma lewat legitimasi kekerabatan dan hukum adat sehingga peluang elit suku untuk berkuasa melalui struktur pemerintah jauh lebih menjanjikan. Akulturasi budaya birokrasi menjadi suatu yang mendesak dibutuhkan, terlebih budaya birokrasi-responsif. Persoalannya, instalasi budaya butuh waktu lama sedangkan
1 Syukur Abdullah, “Budaya Birokrasi di Indonesia” dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (eds),
Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal. 22.
2 S.N. Eisenstadt, Traditional Patrimonialism and Modern Neo-patrimonialism, Sage Publication, Beverly Hills, California, 1973, hal. 5, dalam Priyo Budi Santoso, op. cit., hal. 23.
pemerintahan butuh pemahaman yang cepat agar roda pelayanan publik segera berjalan. Barangkali ini yang menjadi dilema manajemen sumber daya manusia (SDM) di Papua manakala dihadapkan pada tantangan menyiapkan SDM yang terampil, responsif dan bermoral.
Tantangan membangun kelembagaan berhadapan dengan isu pelik: pemekaran wilayah. Pasca otsus digulirkan tahun 2002, hingga tahun 2007 sudah terbentuk 15 kabupaten pemekaran baru yang hampir seluruhnya belum diketahui evaluasi menyeluruh atas kinerja pemerintahan pasca pemekaran. Namun, hasil studi dari beberapa daerah pemekaran di luar ke 15 kabupaten baru di Papua, masalah muncul manakala pemisahan diri dari daerah induk tidak diikuti oleh persiapan manajemen transisi di daerah pemekaran. Terlebih jika sumber daya aparatur di daerah induk juga tidak memadai, yang terjadi adalah disposisi ini membuat birokrasi pemerintah di daerah induk juga tertatih-tatih. Di daerah hasil pemekaran, permasalahan ini terutama mencakup beberapa hal:3
1. Bidang Pemerintahan
a. Keterbatasan sumberdaya aparatur, baik dari sisi jumlah, kualifikasi administratif (seperti golongan kepegawaian sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu), serta kualifikasi teknis dan substantif, b. Keterbatasan sumberdaya fiskal,
c. Infrastruktur fisik pendukung proses pemerintahan, seperti gedung dan peralatan perkantoran,
d. Pengalaman lembaga dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang sangat terbatas, bahkan belum adanya kebijakan yang akan diteruskan atau dikembangkan, sehingga harus dibuat kebijakan baru.
2. Bidang Ekonomi
a. Institusi ekonomi seperti pelaku produksi, distribusi dan keuangan (lembaga keuangan bank maupun non-bank) yang sangat terbatas, b. Insfrastruktur pendukung pembangunan ekonomi yang sangat terbatas,
mulai dari transportasi, komunikasi dan relasi dengan pelaku ekonomi dari luar.
3. Bidang Pelayanan Publik
a. Infrastruktur fisik pelayanan yang terbatas, seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar,
b. Kuantitas dan kualitas aparat yang juga sangat terbatas, karena mengandalkan transfer dari daerah induk.
3 Cornelis Lay dan Purwo Santoso (editor), �Perjuangan Menuju Puncak�, Kajian Akademik Pemekaran Kabupaten Puncak dari Kabupaten Puncak Jaya, S2PLOD UGM, 2006
4. Bidang Sosial dan Politik
a. Perebutan sumberdaya antara daerah baru hasil pemekaran dengan daerah induk maupun daerah tetangga,
b. Perebutan posisi-posisi politik dan birokratik dalam pemerintahan antar kelompok yang ada dalam masyarakat, namun belum ada pelembagaan dan preseden sebelumnya.
Kehadiran desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah, apalagi otonomi khusus, makin menegaskan pengertian otonomi adalah soal pengelolaan daerah yang menjadi hak masyarakat asli daerah. Sederhananya, kekuasaan berada di tangan putra asli daerah. Persaingan untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan tidak lagi didasarkan pada kompetensi personal, tapi lebih pada semangat menempatkan putra asli daerah pada jabatan strategis pemerintahan. Pegawai yang cakap dan mempunyai cukup kemampuan justru tersisih atas nama identitas kultural.
Pemekaran juga berdampak pada konsentrasi penggunaan dana terutama dalam mempersiapkan infrastruktur pemerintah. Di Sarmi misalnya, yang dimekarkan tahun 2003, anggaran infrastruktur menghabiskan 55% dana otsus di tahun 2004 dan 45% di tahun 2005.4 Tersedotnya dana Otsus untuk pembangunan fisik pemerintahan menyebabkan penurunan prioritas alokasi dana Otsus untuk pelaksanaan program berbasis masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik lain. 5
Tantangan implementasi selanjutnya adalah ketergantungan yang tinggi kepada implementor dalam bentuk lembaga dan SDM berketrampilan tinggi yang diperlukan untuk melaksanakan rancangan implementasi, tetapi bukan lembaga dan SDM lokal –sementara lembaga dan SDM lokal belum mampu. Tantangannya adalah bagaimana memastikan setiap program yang didisain dalam konteks Otsus, termasuk yang ditawarkan oleh donor, harus didisain sesuai dengan kapasitas lokal dalam melaksanakannya. Pada konteks ini, dimungkinkan untuk mengarahkan prioritas pembangunan kepada upaya membangun kapasitas lokal, dalam bentuk upaya membangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia di dalam organisasi publik di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten/kota), dan prioritas pembangunan pada sektor pendidikan dan kesehatan.
4 Evaluasi Otsus Provivinsi Papua, Studi Wilayah Pantura, 1 November 2007, hal 4
5 Kasus alokasi dana Otsus di Kabupaten Sarmi pasca pemekaran tahun 2003, berturut-turut dalam dua tahun anggaran 2004 dan 2005 pendidikan mendapat 15,65% dan 8,75%; bidang kesehatan 11,86% dan 7,2%; dan bidang ekonomi 17,43% dan 11,89%, ibid
9.4. Kinerja Kebijakan
Rekomendasi ketiga, yaitu dalam konteks kinerja kebijakan, perlu disusun model penilaian kinerja yang melekat kepada setiap program pembangunan, dan model tersebut menyatu satu sama lain antar program pembangunan. Model ini dapat dinamakan penilaian-mandiri-kinerja-pembangunan-Otsus
(Otsus-self-assesment-performance). Dengan demikian, model pemantauan dan penilaian
pembangunan dapat ditingkatkan efisiensinya.