Bagian Kedua
2.3. Implementasi Kebijakan 1. Implementasi Pasal-Pasal
2.3.4. Implementasi Pembangunan
Implementasi kebijakan dalam bentuk program pembangunan, Pemerintah kabupaten/kota di lokasi sasaran evaluasi, hanya berpedoman pada petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua setiap tahun anggaran. Sebagai contoh, pada tahun 2006 adalah : (a) Nota Kesepahaman antar Gubernur Provinsi Papua dengan Bupati/Walikota se Provinsi Papua Tanggal 10 Pebruari 2006 tentang Pembagian Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2006.; (b) Rencana Definitif Penggunaan Dana Otsus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2006 yang dikeluarkan pada Bulan April 2006, mencakup bidang : Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Penunjang Lainnya; dan (c) Pedoman Teknis Kebijakan alokasi penggunaan dana otonomi khusus untuk pembangunan Provinsi Papua, Tahun Anggaran 2006. Dalam hal ini, tidak ditemukan langkah-langkah kebijakan kabupaten/kota untuk menerjemahkannya lebih lanjut, misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah atau keputusan Bupati/Walikota.
a. Pendidikan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 56 : 1-6, mengatur tentang hak setiap penduduk memperoleh pendidikan bermutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan dengan meminimalkan beban masyarakat yang sekecil mungkin. Pihak swasta (Lembaga Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dunia Usaha) yang memenuhi syarat diberi kesempatan yang luas untuk berperan dalam mengembangkan program-program. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota diharuskan memfasilitasi dalam bentuk bantuan/subsidi yang diatur lebih lanjut di dalam Perdasi tentang pendidikan. Terkait dengan regulasi di atas, maka bidang pendidikan menjadi bagian penting dalam kerangka kebijakan dan strategi pembangunan di kabupaten/kota. Diakui bahwa kebijakan pendidikan kabupaten/kota (misalnya di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Teluk Bintuni) diarahkan pada peningkatan pemerataan dan mutu pelayanan pendidikan, terutama untuk suksesnya Wajar 9 tahun dengan memanfaatkan secara optimal prasarana dan sarana fisik/nonfisik dan meningkatkan jumlah dan mutu pengajar. Dalam implementasinya, dana otsus yang disediakan Pemerintah Daerah untuk dikelola oleh Dinas terkait, tidak sesuai kebutuhan dan masih kurang transparan terhadap besaran alokasi dana. Terjadi pemangkasan atau pengalihan peruntukan pembiayaan di bidang lain, terutama bidang infrastruktur.
Masih ada kesangsian dari masyarakat, apakah ada kesungguhan pemerintah untuk menerapkan kebijakan pembangunan pendidikan yang telah diagendakan itu. Kesangsian tersebut cukup beralasan jika mencermati berapa argumen indikatif yang diajukan : Pertama, Selama 6 tahun implementasi otonomi khusus, pendidikan bermutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan umumnya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat asli Papua yang tinggal di perkotaan dan sekitarnya. Sedangkan mereka yang berada di kampung-kampung yang sulit diakses dari ibukota kabupaten/kota belum memperoleh layanan pendidikan yang memadai; Kedua, alokasi bantuan beasiswa menjadi sangat terbatas dan tidak lancar. Padahal undang-undang Otonomi khusus Pasal 56 ayat (3) dan penjelasannya telah mengamanatkan perlunya alokasi pembiayaan seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Masyarakat sangat berharap agar dengan penuh kejujuran, Pemerintah dapat membebaskan biaya anak sekolah hingga ke jenjang Perguruan Tinggi.
Lahirnya Perdasi Provinsi Papua Nomor : 5 Tahun 2006 tentang pembangunan pendidikan di Provinsi Papua, diharapkan menjadi landasan utama bagi suksesnya implementasi otonomi khusus di bidang pendidikan. Sehingga alokasi dana untuk pendidikan minimal 30% yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, segera dapat diwujudkan. Hingga tahun 2006, alokasi dana untuk pendidikan di kabupaten/kota sasaran evaluasi, baru berkisar antara 12-21% saja.
b. Kesehatan
Amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, agar Pemerintah provinsi wajib menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan dan gizi (Pasal 59 ayat (1)), di mana setiap penduduk asli Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya (Pasal 59 ayat (3)), tampaknya belum dapat diwujudkan dengan baik. Sementara itu, pihak swasta dan lembaga sosial keagamaan yang diberi peran untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, masih memiliki keterbatasan sehingga seringkali harus menerapkan pelayanan berbiaya mahal. Rendahnya mutu pelayanan kesehatan umumnya disebabkan sulitnya akses penduduk ke pusat-pusat pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan transportasi. Penyebab lainnya adalah adanya keterbatasan tenaga, sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Alokasi dana otonomi khusus untuk pembangunan kesehatan sekitar 15% tidak cukup signifikan untuk menolong perbaikan layanan kesehatan masyarakat Papua. Sasaran penggunaan dana belum terfokus pada upaya nyata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara langsung.
Pelayanan kesehatan bagi penduduk dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya masih jauh dari harapan. Hal ini terutama dirasakan oleh penduduk yang jauh dari perkotaan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit masih dirasakan mahal terutama pembelian obat-obatan. Keikutsertaan lembaga non pemerintah, terutama lembaga agama dalam pelayanan kesehatan telah terlaksana selama ini, terutama terhadap penduduk di wilayah pedalaman dan terpencil. Ada juga lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, namun jumlahnya masih minim. Sedangkan dunia usaha sangat minim keterlibatannya dalam upaya pelayanan kesehatan. Kebijakan pemerintah kabupaten/kota sasaran evaluasi, dalam rangka implementasi Otonomi khusus di bidang kesehatan diarahkan pada peningkatan jangkauan/pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan.
c. Ekonomi Kerakyatan
Pembangunan ekonomi kerakyatan di kabupaten/kota sasaran evaluasi pada umumnya terumuskan dalam rangkuman arahan kebijakan sebagai berikut: Peningkatan kemampuan komoditi ekonomi tradisional masyarakat; Pembentukan dan peningkatan sentra ekonomi rakyat dan produksi masyarakat; Penciptaan sirkulasi ekonomi rakyat terpadu; Pelatihan dan magang peningkatan ekonomi rakyat; Peningkatan perilaku yang berorientasi pada usaha produktif; Peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Pemberdayaan ekonomi rakyat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu mengolah sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Mendorong masyarakat, pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang serta mampu mendorong berkembangnya ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Untuk merealisasikan hal tersebut, maka sejalan dengan semangat dan filosofi undang-undang otonomi khusus, pemerintah kabupaten/kota telah berupaya menerjemahkannya dalam berbagai bentuk program disemua sektor ekonomi di perkotaan dan di kanpung-kampung. Namun dalam bidang ekonomi kerakyatan masih memerlukan pelatihan dan sosialisasi yang intensif terhadap masyarakat.