Bagian Kelima
1. Mengapa Harus Ada Otonomi Khusus Papua
Sebagian besar dari aktor masyarakat sipil yang kami wawancarai berpendapat bahwa Otonomi Khusus Papua muncul sebagai reaksi terhadap aksi politik, dalam hal ini tuntutan merdeka yang dikumandangkan sebagian kalangan masyarakat sipil di Papua. Tuntutan itu sendiri muncul sebagai akumulasi dari berbagai ketidakpuasan yang terdiferensiasi dalam berbagai konteks historis. Tokoh-tokoh organisasi massa masih mempermasalahkan masalah proses Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang dinilai tidak partisipatif dan representatif. Ini berdampak kemudian pada kebijakan represif orde baru dalam menghadapi apa yang disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masalah distribusi ekonomi yang tidak menyentuh penduduk asli Papua hanyalah salah satu pilar yang menumbuhkan aspirasi merdeka. Artinya, mereka masih memandang bahwa penuntasan masalah Papua lebih kental unsur politis yang diikuti dengan pendekatan keamanan oleh TNI-Polri. Beberapa tokoh malah memberikan pendapat lebih keras dengan
menyatakan, Otsus tidak lebih dari gula-gula dari Jakarta untuk melenakan penduduk Papua dari perut yang lapar. Mereka menangkap kesan tidak serius pemerintah pusat dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan di Papua dengan kebijakan Otsus ini. Yang kentara terlihat malah keinginan Jakarta untuk memastikan bahwa Papua masih berada dalam lingkup NKRI. Tetapi ada juga tokoh yang coba berpikir positif, bahwa disamping kental unsur politisnya, Otsus Papua sebenarnya memberi peluang besar bagi masyarakat Papua untuk menata dirinya sendiri dengan kewenangan yang lebih luas. Hanya saja mereka melihat, kewenangan yang luas ini tidak diikuti oleh reformasi struktural aparat pemerintahan daerah yang menjadi aktor dalam pelaksanaan Otsus. Akibatnya seringkali pelaksanaan kebijakan masih menunggu hasil “konsultasi” pemerintah daerah ke Jakarta.
Aktor-Aktor Yang Memainkan Peranan Penting. Gagasan Otsus pada mulanya
berawal dari kalangan akademisi Universitas Cendrawasih dan tokoh-tokoh masyarakat sipil dari berbagai latar belakang. Pada tahun 1999, mereka yang kelak disebut dengan tim 100, bertemu dengan Presiden BJ Habibie di Jakarta. Pada awalnya mereka berencana membawa aspirasi merdeka ke Jakarta tetapi kemudian diambil jalan tengah dengan inisiatif tawaran Otonomi Khusus untuk Papua. Jadi pada awalnya, munculnya inisiatif ini berasal dari kalangan akademisi, intelektual dan tokoh masyarakat Papua.
Dalam perkembangannya kemudian, menurut sebagian tokoh yang kami wawancara, ternyata penggodokan Rancangan Undang-Undang oleh DPR tidak seluruhnya menampung aspirasi sebagaimana terdapat dalam dokumen yang diusulkan oleh tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan draft awal otonomi khusus. Inilah awal pergeseran aktor kunci Otsus dari kalangan akademisi, intelektual dan tokoh masyarakat Papua kepada para penyusun Undang-Undang dan pengambil keputusan tingkat pusat di Jakarta.
Setelah UU No. 21 Tahun 2001 ditetapkan dan kemudian terimplementasikan dalam bentuk Otonomi khusus Papua maka pemerintah provinsi Papua muncul sebagai aktor utama disamping pemerintah pusat. Pergeseran lebih jauh adalah semakin minimnya peran lembaga non pemerintah dalam era Otsus. Munculnya unsur agama, adat dan perempuan sebagai penekanan sasaran objektif Otsus tidak serta merta memberi ruang kepada tokoh-tokoh ini dalam implementasi Otsus.
Narasumber yang kami wawancara melihat, hingga saat ini, pemerintah provinsi Papua memegang peranan penting dalam era Otsus. Hanya saja, kewenangan besar itu ternyata tidak diikuti oleh inisiatif-inistiatif yang mampu mendorong pelaksanaan Otsus agar sebesar-sebesarnya memberikan manfaat kepada masyarakat Papua. Yang terjadi malah; pemekaran provinsi dan kabupaten, pengelolaan dana Otsus yang dinilai tidak transparan, tidak adanya perbaikan mendasar dalam kehidupan masyarakat Papua dimana semua itu bermuara pada lambannya penyusunan Perdasus yang seharusnya mengiringi implementasi UU No. 21 Tahun 2001. Aktor lain seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dinilai sebagai ornamen saja. Lembaga yang dianggap sebagai representasi kultural masyarakat Papua itu dinilai tidak bisa berbuat banyak.
Proses Politik dan Ekonomi Yang Mengikuti Otsus. Narasumber bersepakat
bahwa Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi merdeka. Perluasan kewenangan yang diberikan oleh pusat pada awalnya dimaksudkan untuk menciptakan inisiatif lokal demi memajukan kehidupan masyarakat Papua lewat proses politik yang akan berdampak pada sektor lainnya seperti ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Tetapi dalam kenyataannya, proses politik yang diharapkan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perdasus yang menjadi elemen penting implementasi Otsus sangat lambat penyusunannya. Hingga lima tahun pelaksanaan Otsus, dari 19 Perdasus yang seharusnya ditetapkan hanya Perdasus tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) yang baru ditetapkan dan berjalan. Dalam perkembangannya, MRP dilihat tidak berdaya dalam proses politik di Papua. Kewenangannya dinilai terlalu sempit, bukan menjadi representasi tetapi hanya ornamen kultural masyarakat Papua.
Menurut sebagian tokoh, hal ini diperparah lagi dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat. Ini menimbulkan dilema politik; apakah provinsi tersebut tercakup dalam UU No. 21 Tahun 2001 atau sama seperti provinsi lain di Indonesia diatur lewat UU No. 32 Tahun 2004?. Proses politik lainnya seperti pemekaran kabupaten ternyata tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan aparat pelaksana. Yang tergambar dari proses politik selama pelaksanaan Otsus hanyalah “bagi-bagi kursi” antara elit lokal.
Mandegnya proses politik ini berimplikasi pada bidang lain terutama perekonomian. Tidak ada capaian penting selama pelaksanaan Otsus selain dana Otsus yang cukup besar tetapi tidak pernah dirasakan masyarakat. Sebagian tokoh membenarkan adanya pembangunan infrastruktur selama Otsus tetapi itu tidak cukup mengatrol kemampuan ekonomi penduduk asli Papua hingga level bawah. Distribusi dana Otsus lebih banyak terpakai untuk birokrasi ketimbang turun kepada masyarakat. Walaupun pada masa gubernur Barnabas Suebu dana Otsus mulai dikucurkan langsung ke kampung-kampung, tetapi itu belum diikuti dengan penataan manajemen dan manajerial yang cukup akuntabel dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Narasumber satu suara dalam hal ini, dengan menyatakan bahwa kemandegan proses politik dan juga ekonomi ini bersumber pada lambannya penyusunan Perdasus.
Ini menimbulkan kecurigaan di kalangan beberapa tokoh bahwa Jakarta sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh memberikan Otsus kepada masyarakat Papua. Sebab yang sering muncul justru kembali isu-isu kemerdekaan dan integrasi. Polemik seputar simbol kultural yang sebenarnya telah diatur UU No. 21 Tahun 2001 masih saja menghiasi media massa lewat pengibaran bendera Bintang Kejora ketimbang masalah kesejahteraan dan alokasi dana Otsus.