• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV POLA PENGANGKATAN ANAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

C. Implikasi Hukum Anak Yang di Adopsi Tanpa Penetapan Pengadilan

1. Hak Untuk Mendapat Warisan

Hak anak dalam memiliki harta benda (hak waris), demi kelangsungan harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nissa [4]:

(2))

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:

Pasal 209:

a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

83

b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisan orang tua angkatnya.

Dalam QS. An-Nisa [4]: (9), sudah sangat jelas dalam hukum Islam bahwa Islam sangat melarang penelantaran anak. Sebab seorang anak akan mewarisi apa saja yang dimiliki orang tua, menjaga keturunan keluarga serta harapan agama dan bangsa di masa depan.

Orang tua berkewajiban menjaga, mendidik dan memelihara agar anak dapat memajukan dan memperjuangkan agama dan bangsa dengan baik bukan malah menelantarkannya. Anak yang ditelantarkan akan menjadi pengemis, gelandangan, pengangguaran yang berdampak pada kenakalan remaja. Perkembangan fisik dan emosional pun menjadi tidak normal, anak mengalami gangguan bahasa dan sosial, tidak tegas, sering bolos sekolah serta penampilannya tidak terawat. “Cukup berdosa orang yang yang mengabaikan hak seseorang yang menjadi tanggungannya”

(HR Abu Daud Nasa’i dan Hakim). Masalah pengangkatan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak.

Dalam Staatblad Nomor 129 Tahun 1917, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan serta sistem kewarisan. Bagi keluarga yang Parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali kekeluargaan antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya selain mendapatkan hal waris dari orang tua angkatnya, dia juga

84

tetap berhak atas hak waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya kedalam keluarga angkatnya.

Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. Demikian halnya di Minahasa, pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan si anak dengan orang tua angkatnya dan menjadi bagian dari keluarga yang mengangkatnya menjadi anak, dengan membawa nama keluarga baru tersebut dan meneruskan keturunan dan kedudukan orang tua angkatnya.

Seperti yang terjadi dalam hukum adat Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.121 Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu:

a. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung) b. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan

bagian tertentu atau jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak kandung)

c. Anak angkat berhak atas harta gono-gini. Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Hak Mewaris Anak Angkat atas Perkara: Ahmad K, lawan Ny. Rukmini Cs. Nomor 82 K/Sip/1957 tanggal 5 Maret 1958. Menurut Hukum Adat Peringanan seorang anak kukut atau seorang anak angkat tidak dapat mewaris barangbarang pusaka (asli) dari orang tua angkatnya. Barang pusaka itu hanya dapat diwaris oleh ahli waris keturunan darah

121 Sintia Stela Karaluhe, Kedudukan anak angkat dalam mendapatkan harta warisan ditnjau dari hukum waris, Jurnal: Lex Privatum vol. iv/Nomor 1/Januari 2016, h. 168.

85

(dalam perkara ini saudara-saudara) dari yang meninggal.122 Menurut Hukum Adat di Jawa Tengah anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta goni-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (asli) anak angkat tidak berhak mewarisinya hal ini tergali dari Perkara: Ny. Suriyah lawan Kartomejo Cs. MA. Nomor 37 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959.

Menurut Hukum Adat yang berlaku berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak mewaris para saudara orang tua angkatnya (ahli waris asli) Perkara: Kasrim lawan Ny. Siti Maksum Cs. MA. Nomor 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1977.

Dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di atas terlihat jelas bahwa hak mewaris dari anak angkat dirumuskan sebagai berikut:123

1. Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama)

2. Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli) 3. Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal.

Dalam hal terjadinya hak mewaris terhadap anak angkat dalam penerapannya pun masih beragam, hal ini terjadi karena pengaruh pluralisme hukum dalam bidang keperdataan yang berlaku di Indonesia.

a. Dalam sistem Hukum Adat, anak angkat diberikan hak yang sama seperti anak kandung tetapi ada pula yang memberikan hak terhadap anak angkat dengan bagian yang berbeda. Salah satu dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah adanya

122 PUTUSAN Mahkamah Agung Republik Indonesia HAK MEWARIS ANAK ANGKAT atas Perkara: Ahmad K. Lawan Ny. Rukmini Cs. Mahkamah Agung Nomor 82 K/Sip/1957 tanggal 5 Maret 1958.

123 M. Budiarto, Pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum, AKPRE, Yogyakarta, 1991, h. 172.

86

Yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1) Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama).

2) Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli)

3) Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal.

b. Dalam sistem Hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat.

c. Hak waris menurut BW (Burgelijk Wetboek), didalam Undang-undang ini tidak mengatur tentang hak waris anak angkat tetapi memuat hak-hak tiaptiap ahli waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan dengan memakai istilah Legitieme portie.

Pengaturan tentang hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini berlaku 3 sistem hukum, yaitu waris menurut hukum adat, waris menurut hukum Islam dan waris menurut BW (Burgelijk Wetboek) yang pemberlakuannya didasarkan pada pilihan hukum dari masyarakat.

a. Pengaturan waris menurut hukum adat mengacu pada sistem yang berlaku pada masing-masing masyarakat adat.

b. Pengaturan waris menurut Hukum Islam mengacu pada Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

c. Pengaturan waris dalam Hukum Perdata menuruti pengaturan dalam BW (Burgelijk Wetboek).

87

Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakan nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya, dan Hubungan antara ayah atau ibu dan anak angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan.

Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak, dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. la tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.124 Dengan demikian menurut ketentuan hukum Islam anak angkat tidak mewaris, kemudian nilai pihak anak angkat adalah sosok yang mempunyai pertalian hubungan kemanusiaan yang bersifat khusus dalam soal kedekatan dan saling membantu serta penempatan statusnya dalam keluarga orang tau angkatnya sebagaimana layaknya keluarga sendiri. Dengan demikian anak angkat tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan sendirinya anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya yang telah meninggal terlebih dahulu. Oleh karena itu untuk melindungi hak-hak anak angkat dan orang tua angkat Kompilasi Hukum Islam memberi kepastian hukum berupa wasiat wajibah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam Ayat (1 dan 2), yaitu:

124 Muhammad Al-Ghazali, Perlindungan Terhadap Hak-hak Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Islam, Qiyas Vol. 1, No. 1, April 2016, h. 105

88

1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.

2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa oleh karena anak angkat tidak termasuk golongan orang yang menerima warisan dari orang tua angkatnya, maka hal ini mereka akan menerima harta warisan melalui wasiat wajibah. Dan sebagai dasar yang bisa digunakan untuk dijadikan aturan mengenai wasiat wajibah terhadap anak angkat atau sebaliknya adalah Kompilasi Hukum Islam yang mana itu hanyalah melalui pertimbangan maslahah mursalah.

Menurut Bapak Hari Setiadi Subkoordinator Pengangkatan Anak Kementrian Sosial Republik Indonesia bahwa yang dimaksud pengangkatan anak melalui hukum adat sebelum mendapatkan persetujuan dan pengakuan dari pemangku adat setempat, maka tidak akan disahkan statusnya serta tidak akan bisa mendapatkan warisan atau hak-hak lainnya dari orang tua angkat melainkan hanya mendapatkan hak-hak-hak-hak dasar dan hak kasih sayang dari orang tua. Hal ini tidak selaras dengan pengangkatan anak yang terjadi di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat bukan berdasarkan hukum adat melainkan hanya berdasarkan musyawarah dan mufakat antar keluarga sehingga pengangkatan anak tersebut tidak sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak bahwa, pengangkatan anak itu meliputi pengangkatan anak

89

berdasarkan adat kebiasaaan setempat dan pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.125

125 Wawancara dengan bapak Hari Setiadi, Subkoordinator Pengangkatan Anak, di kantor Kementrian Sosial Republik Indonesia, Jakarta, Pada hari Selasa, 4 Januari 2022, Pukul 10.19 WIB.

90 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian Implikasi Anak Angkat di Luar Penetapan Pengadilan terhadap Warisan Orang Tua Angkat (Studi Kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten) maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan Pengangkatan Anak Menurut Perundang-undangan di Indonesia. DalamPasal 21 Konvensi Hak-Hak Anak:[1]

a. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak b. UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

d. Peraturan Menteri Sosial RI No.110/HUK/2009 yang mengatur tentang persyaratan pengangkatan anak

e. Peraturan Menteri Sosial RI No.37/HUK/2010 tentang Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Pusat (PIPA).

Menurut ketentuan hukum nasional anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Salah satu haknya adalah hak pengasuhan. Menurut Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anaktersebut, ke

91

dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. sehingga dalam pengangkatan anak juga harus senantiasa di dasarkan pada upaya perlindungan anak. Kepentingan terbaik anak dan kesejahteraan anak yang bersangkutan merupakan pertimbangan paling utama, di sahkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan hukum dan prosedur yang beraku yang didasarkan pada informasi yang terkait dan layak dipercaya.

2. Kebiasaan-kebiasaan dan Faktor-faktor Pengangkatan Anak Yang Terjadi di Masyarakat Betawi Ciputat Tangerang Selatan

Pengangkatan anak yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adat Betawi di kecamatan Ciputat ini masih banyak yang menggunakan hukum adat, dimana mereka beranggapan kemudahan dan tidak banyaknya biaya yang dikeluarkan. Ketika seseorang menggunakan hukum adat ini dalam proses tersebut, mereka hanya melibatkan tokoh masyarakat adat setempat serta RT, RW, dan keluarga inti baik dari orang tua kandung maupun calon orang tua angkat tersebut untuk menyaksikan proses serah terima anak angkat kepada calon orang tua angkat yang kemudian dilanjutkan dengan acara syukuran atau selamatan dengan tujuan untuk memberikan keselamatan bagi calon anak angkat dan calon orang tua angkat.

Ada dua faktor yang sangat mendasar mengapa suatu keluarga melakukan pengangkatan anak jika disimpulkan, (1) faktor biologis (2) faktor belas kasihan, faktor biologis yaitu sebuah pernyataan prediksi dari seorang dokter bahwa tidak atau susah mendapatkan anak (keturunan), jadi sebuah tabiyat/ naluriyah sebuah keluarga disini maksudnya suami atau istri untuk mendidik, mengasuh dan menjaga anak, oleh karena itu diangkatlah seorang anak, bahkan lebih dari satu. Faktor belas kasihan yaitu sebuah motif pengangkatan anak didasari rasa iba, mengingat orang tua kandung tidak mampu atau sudah meninggal dunia, oleh karena itupun diangkatlah seeseorang anak untuk dididik, disekolahkan dan dijaga.

92

3. Implikasi Hukum Anak Yang di Adopsi Tanpa Penetapan Pengadilan Terhadap Warisan Orang Tua Angkat

Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat. anak angkat tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan sendirinya anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya yang telah meninggal terlebih dahulu. Oleh karena itu untuk melindungi hak-hak anak angkat dan orang tua angkat Kompilasi Hukum Islam memberi kepastian hukum berupa wasiat wajibah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam Ayat 2 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Sedangkan Faktor pengangkatan atau pengadopsian anak disebabkan dua faktor: Pertama, faktor biologis, kedua faktor belas kasihan. Tidak hanya itu, pengangkatan anak juga dipengaruhi oleh faktor lemahnya ekonomi orang tua kandung dikarnakan suaminya yang sudah meninggal dunia.

Demikian juga implikasi hukum terhadap hak anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan yakni adalah pertama, hilangnya hak anak untuk mendapat warisan dan kedua menyebabkan hubungan antara anak dengan orang tua kandung dan orang tua asuh sangat baik, tetapi hubungan antara orang tua kandung dan orang tua asuh terjadi disharmonisasi dikarnakan kecemburuan batin.

93 B. Saran

Dari kesimpulan diatas, saran penulis dalam legalitas satus anak adopsi diluar penetapan pengadilan (studi kasus di Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten) sebagai berikut:

1. Orang tua yang ingin mengangkat anak seharusnya melalui penetapan pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak, sehinga ketika orang tua angkat melakukan pengangkatan anak status serta perlindungan hukumnya bisa di dapatkan terhadap orang tua maupun anak angkatnya.

2. Kepada Instansi Negara yang bertanggung jawab terhadap pengangkatan anak yaitu Kementrian Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kelurahan serta pihak-pihak terkait seharusnya dapat lebih tegas untuk mengawasi dan melayani agar tidak terjadi penyelewengan atau kekosongan hukum terhadap kasus pengangkatan anak.

94

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku dan Jurnal:

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, (Jakarta:

Perenada Media Group, Cet. Pertama, 2012).

Adnan Hasan shahih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, (Jakarta: Gema Insani Press,1996)

Ahmad Royani. “Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Bimbingan, Pengawasan, dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Angkat”, Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan, Vol. 2018. 6.

Al-Quran Surah An-Nisa Ayat 11.

Al-Kasani. Badai’ al-Shanai’, (Mesir: Maktabah al-Ilmiyah, tth.), Juz VII, hal. 234. Lihat juga Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia

Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008).

Annisa Justisia Tirtakoesoemah dan Muhammad Rusli Arafat, Penerapan Teori Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Penyiaran, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Volume 18, No.1, 2019.

Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo, 1985, Cet.

Pertama).

Arya Pradana Putra, Perbandingan Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia Dengan Hukum Islam, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), h. 150.

Bahder Johan, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum.

95

Bambang Sugiono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Keenam).

Beni Ahmad, Fiqh Mewaris, Pustaka Setia, Bandung, 2009.

Berlino Askandar Tjokroprawiro, Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Hukum Positif Indonesia, Surabaya, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, 2007.

Darwan Prints, “Hukum Anak Indonesia”, (T: Citra Aditya 2003).

Dini Noordiany Hamka, Relevansi Pengangkatan Dan Pemberdayaan Anak Angkat Dalam Hukum Islam, (Skripsi S-1, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama, Universitas Islam Negri Alauddin Makassar).

Dyah Octhorina Susanti, Urgensi Pendaftaran Tanah (Perspektif Utilities dan Kepastian Hukum), Fakultas Hukum Universitas Jember.

Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang).

E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2017).

Fahmi Muhammad dan Jenal Aripin, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. Pertama, 2010).

Faried Ma’aruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, (Jakarta: Gema Insan Press,1990).

Feni Rosmala Rosa, Hak Wasiat Wajibah Anak Angkat Dalam KHI di Indonesia Perspektif Maqashid Syari’ah, (Skripsi S1, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Hamka, Tafsir Al-azhar Juzu’ 2, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) Ibnu Katsier, Terjemah Singkat, Jilid 6, (Bandung: Bina Ilmu,1990)

96

Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya).

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta 1981.

Lulik Djatikumoro, Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011).

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta.

Majalah, Parent Guide (Better Parent-Better Generation), Edisi Tanggal 4 Oktober 2003 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika

presindo, 1985).

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam.

Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia (Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil), Tangerang Selatan, YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia), 2018

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Muhammad Heriawan, Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif Perlindungan Anak, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Tadulako).

Muhammad Kasyful Anwar Budi, Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya)

Muhammad Al-Ghazali, Perlindungan Terhadap Hak-hak Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Islam, Qiyas Vol. 1, No. 1, April 2016.

97

Nadia Nur Syahidah, Praktik Pegangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan dan Dampak Hukumnya (Studi Kasus di Desa Bantarjati, Klapanungal, Bogor), (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Neng Yani Nuhayani, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015.

Pendapat para ulama’ di antaranya Wahbah Az-Zuhaili, ia berpendapat bahwasannya hukum hadhanah adalah wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, lihat wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Jakarta:

Gema Insane Press, 2011), terj. Jilid 10 hal. 60. Adapun Ibnu Qudamah berkata bahwa hukum hadhanah yaitu hukumnya wajib sebagaimana juga wajib memberi nafkah kepadanya. Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo: Darul Manarah, tth), Vol. 3

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam.

Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1976).

Raissa Lestari, “Implementasi Konvensi Internasional Tentang Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Di Indonesia (Studi Kasus: Pelanggaran Terhadap Hak Anak Di Provinsi Kepulauan Riau 2010-2015),” Jurnal JOM FISIP 4, no. 2 (2017).

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, (Jakarta: PT Gunara Kata, 1997).

Rini Fitriani, Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Fakultas Hukum Universitas Samudra, Meurandeh, Langsa-Aceh, vol.11, Nomor 2, Juli-Desember (2016).

Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Salim dan Erlies, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis,

Salim dan Erlies, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis,